• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Hutan Oleh Masyarakat

Dalam dokumen Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan (Halaman 104-109)

Selama belum ada perubahan dalam kultur dan struktur di birokrasi Pemerintahan, dalam hal ini Kementerian Kehutanan, di mana orientasi hutan untuk tujuan ekonomi dan berbasis pengusaha, maka perubahan paradigm pengelolaan hutan tidak akan pernah terjadi. Satu-satunya jalan untuk melakukan perubahan paradigm adalah dengan mengubah orientasi yang tadinya hanya untuk ekonomi dan pengusaha, maenjadi keberpihakan kepada aspek kelestarian ekologis/lingkungan dan sosial budaya. Memberikan kesempatan hak kelola kepada masyarakat lokal sudah mengandung unsur keberpihakan kepada lingkungan karena terdapat kearifan lokal masyarakat terhadap hutan, dan hal ini adalah sesuatu yang pasti. Cara hidup masyarakat dengan karakter kesederhanaan, kerja keras, gotong royong merupakan modal sosial yang harus dibangun dan dilembagakan oleh Negara (Pemerintah) karena pembangunan kehutanan pada dasarnya adalah untuk kesejahteraan rakyat.

Atas dasar pemikiran ini, sudah merupakan konsekuensi logis dari penggabungan Kementerian Kehutanan di bawah payung Lingkungan Hidup disebabkan karena: 1) yang menonjol selama ini adalah kerusakan dan kebakaran hutan serta pembalakan liar, yang perlu mendapatkan perhatian dari Negara; 2) kecenderungan semakin menguatnya resentralisasi dalam pengelolalan hutan juga membuat semakin kuatnya birokrasi di sektor kehutanan yang selalu menunggu kebijakan Pusat; 3) rendahnya tanggung jawab Pemerintah Daerah terhadap wewenang dalam mengurus peran dan fungsi hutan, yang bersifat menunggu dari Pusat; 4) makin menguatnya ego-sektoral kementerian dan ego pusat-daerah dalam praktek penyelenggaraan Negara, sehingga tidak ada sinergitas antara otoritas kehutanan, lingkungan hidup dan masyarakat. Satu-satunya jalan yang dapat menjamin keberhasilan dalam pengelolaan hutan adalah dengan mendorong pengelolaan hutan berbasis masyarakat dan dimulai dengan proses perencanaan hutan berbasis tenurial.

Dalam proses perencanaan hutan, tenurial merupakan aspek yang krusial. Tanpa mempertimbangkan aspek kejelasan tenurial maka pelaksanaan kegiatan sulit berjalan

seperti yang diharapkan. Munculnya konflik tenurial di hampir semua hamparan lahan/kawasan hutan Negara disebabkan karena perencanaan pengelolaan kawasan hutan sejak awal tidak memperhatikan potensi masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan, bahkan masyarakat setempat dianggap beban masalah. Ada jaminan hak kelola masyarakat terhadap hutan/kawasan hutan sebagaimana dalam UU Kehutanan 41/1999 di mana pemanfaatan kawasan hutan dapat diberikan kepada perseorangan (pasal 26, pasal 27, pasal 28 dan pasal 29), hanya saja peruntukan bagi hak masyarakat lokal belum pernah ditindaklanjuti secara khusus oleh Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut). Letupan-letupan konflik dipastikan akan mudah terjadi, bahkan bisa meluas menjadi konflik sosial yang lebih besar dan menjadi arena berbagai kepentingan politik yang mendistorsi esensi awal dari konflik itu sendiri. Proses deskalasi dan terminasi konflik menjadi sulit ditemukan solusinya.

Fondasi dasar dalam perencanaan hutan berbasis tenurial yang clear dan clean hanya terwujud manakala perencanaan tersebut berbasis paradigma baru yang dikenal sebagai evidence-based planning, bukan hanya pada legal-based planning. Dalam arti ortodoksi model perencanaan yang hanya mengandalkan kewenangan yurisdiksional absolut dan dukungan data yang tidak akurat harus mulai ditinggalkan. Walaupun dalam perencanaan tersebut telah didukung oleh teknologi yang sahih, misalnya teknologi pemetaan terbaru, namun itu belum cukup. Perencanaan berbasis tenurial yang kuat harus dibaca dalam perspektif sebagai ruang negosiasi dengan berbagai kelompok kepentingan terlebih bila existing condition atau kondisi faktual di lapangan banyak tumpang-tindih yang melibatkan berbagai aktor atau kelompok kepentingan. Filosofi dasar perencanaan hutan harus dimaknai sebagai bagian dari solusi konflik, bukan menjadi pemicu atau sumber konflik.

Paradigma baru perencanaan hutan berbasis tenurial harus menempatkan manusia dan hutan, terutama masyarakat desa hutan bukan dalam opisisi biner, hitam putih dan dalam relasi asimetris yang cenderung meminggirkan manusia tetapi justru dalam kontek relasi yang terintegratif. Perencanaan harus menempatkan masyarakat sebagai mitra atau salah satu subyek dalam perencanaan tersebut. Dan yang lebih penting perencanaan hutan harus mampu membangun kerangka pengaman atau safeguard bagi masyarakat, bukan sebaliknya.

Berbagai peraturan pemerintah yang diturunkan dari UU No. 41/1999 yang disusun pada awal reformasi di mana semangatnya sangat kuat berpihak kepada masyarakat, ternyata tidak mengubah semangat dan ruh kebijakan birokrasi dalam kultur dan strukturnya yang berpihak kepada lingkungan hidup dan masyarakat karena yang diberikan perhatian utama dalam memberikan ijin-ijin pengelolaan dan pemanfaatan hutan dan kawasan hutan masih pihak-pihak pengusaha. Adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 35 tahun 2012 tentang Hutan Adat

dan Putusan MK No. 45 tentang Penetapan Kawasan Hutan sudah menunjukkan lemahnya kelembagaan hukum dalam pengelolaan hutan karena semuanya masih berada di pundak Pemerintah Pusat (Kementerian Kehutanan). Guna mendorong keberhasilan dalam pengelolaan hutan secara lestari ke depan adalah dengan memberikan hak kelola hutan dan juga kewajiban-kewajibannya kepada masyarakat agar fungsi hutan sebagai pengatur kehidupan tetap terjaga dan dirasakan oleh masyarakat, baik manfaat langsung maupun tak langsung. Untuk itu diperlukan adanya PP tentang Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat. Dengan cara ini, maka keadilan agraria sebagaimana yang dicita-citakan dalam reforma agraria yang tersirat dalam UUPA tahun 1960 semakin mendekati kenyataan. Jangan-jangan jalan terjal reforma agraria di Indonesia terdapat di sektor kehutanan.

7.6 Kesimpulan dan Saran

Reforma agraria di sektor kehutanan pada dasarnya adalah memberikan akses seluas-luasnya kepada masyarakat lokal dalam hal tanggung jawah berupa hak dan kewajiban-kewajibannya terhadap hutan. Masyarakat memiliki keraifan lokal dalam mengelola dan melindungi hutan yang bersifat melestarikan fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan mereka. Adanya kabijakan Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD) dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) merupakan kesadaran kecil dari Negara atau Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) yang belum dinyatakan dalam kultur dan struktur birokrasinya, sehingga masih menjadi kebijakan pinggiran.

Salah satu cara untuk menempatkan kepedulian kepada masyarakat di bagian inti kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan disarankan agar membentuk PP tentang hak dan kewajiban kelola masyarakat terhadap hutan dan kawasan hutan (forest tenure reform) sebagai bentuk kepedulian Negara terhadap kelstarian lingkungan hidup dan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian maka ke depan kita harus dapat menerapkan konsep pengelolaan hutan oleh masyarakat, dan tentunya diperlukan kesiapan semua pihak, baik Pemerintah Pusat terutama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan kementerian terkait, Pemerintah Daerah, dunia usaha swasta dan organisasi masyarakat sipil (civil society organization/CSO).

Daftar Pustaka

Bruce, J. (1993). Do indigenous tenure systems constrain agricultural development? In T. Bassett & D. Crummey (Eds.) Land in African Agrarian System. Madison: University of Wisconsin Press.

FAO. (2002). The state of food insecurity in the World 2002. Diunduh dari http:// www. fao.org/DOCREP/OO5/Y7352E/y7352e05.htm).

Korf, B. (2002). Ethnicised entitlements in land tenure of protracted conflicts: the case of Sri Lanka. 9th Biennial IASCP Conference “ The Commons in an Age of

Globalization’ Victoria Falls, Zimbabwe, 17-21 June 2002.

Nasir, M.M. (2012). Resolusi konflik terhadap sengketa penguasaan lahan dan pengelolaan sumber daya alam. Kertas Kerja EPISTEMA No.03/2012.

Robinson, B.E., Holland, M.B., & Naughton-Treves, L. (2011). “Does secure land tenure save forests? A review of the relationship between land tenure and tropical deforestation.” (CCAFS Working Paper 7). Copenhagen: CGIAR Research Program on Climate Change, Agriculture and Food Security (CCAFS). Safitri, M. A. (2010). Forest tenure in Indonesia: The socio-legal challenges of securing

communities’ rights. Leiden: Leiden University.

Safitri, M.A. (2012). Pengelolaan hutan berbasis masyarakat, konflik kehutanan dan keadilan tenurial: peluang dan limitasi. Makalah Semiloka Menuju Kawasan Hutan yang Berkepastian Hukum dan Berkeadilan.

Shivje, I.G., Moyo, S., Gunby, D., & Ncube, W. (1998). National land policy framework. Draft discussion paper. Harare: Ministry of Lands and Agriculture. Silpakar, S. (2008). Implications of land tenure on food sufficiency in Dang District.

8

Reforma Agraria Sektor Kehutanan

Dalam dokumen Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan (Halaman 104-109)