• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembelajaran Masa Lalu (Kebijakan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan)

Dalam dokumen Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan (Halaman 146-150)

Pembelajaran dari Kebijakan Perubahan Peruntukan Kawasan

10.3 Pembelajaran Masa Lalu (Kebijakan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan)

Land swap tidak bisa dipisahkan dengan kebijakan perubahan peruntukan kawasan hutan, khususnya kebijakan tukar-menukar kawasan hutan. Tukar-menukar kawasan hutan adalah perubahan kawasan hutan produksi tetap dan/atau hutan produksi terbatas menjadi bukan kawasan hutan yang diimbangi dengan memasukkan lahan pengganti dari bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan. Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, pada prinsipnya kawasan hutan dapat diubah peruntukan atau fungsinya sesuai dengan dinamika pembangunan nasional serta aspirasi masyarakat. Untuk menjaga terpenuhinya keseimbangan manfaat lingkungan, manfaat sosial budaya, dan manfaat ekonomi, maka perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan harus berasaskan optimalisasi distribusi fungsi dan manfaat kawasan hutan secara lestari dan berkelanjutan dengan memperhatikan keberadaan kawasan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proposional. Dinamika kebijakan peruntukan dan perubahan fungsi kawasan hutan terjadi karena peningkatan kebutuhan hasil hutan dan lahan hutan, pertumbuhan ekonomi bangsa dan desakan pengelolaan hutan lestari.

Pengalaman proses Tukar-Menukar Kawasan Hutan (TMKH) di Jawa menunjukkan bahwa penggunaan kawasan hutan, sebagian besar unit penggunaan masih belum menyelesaikan tahap akhir pelepasan kawasan hutan. Deskripsi TMKH di Jawa Timur menunjukkan dari 105 unit TMKH dengan luas kawasan hutan yang dimohon mencapai 4.609,98 ha, hanya 19 unit yang telah menyelesaikan proses permohonan hingga mendapatkan Surat Keputusan Pelepasan Kawasan Hutan (SK PKH). Di Jawa Barat, dari 87 unit dengan luas 38.374,83 ha, 9 unit yang telah

mendapatkan SK PKH. Sementara itu Jawa Tengah, terdapat 87 unit dengan 9 unit yang telah mendapatkan SK PKH. Di Provinsi Kalimantan Barat hingga saat ini belum terjadi TMKH karena sulitnya mencari lahan pengganti di areal APL untuk dijadikan kawasan hutan. Penggunaan hutan dengan mekanisme TMKH memerlukan dua proses yakni mencari lahan pengganti di APL untuk menjadi kawasan hutan dan melepaskan kawasan hutan yang dimohon. Pelaksanaan dua proses inipun tidak terlepas dari biaya transaksi masing-masing proses. Kesulitan mencari lahan pengganti menuntut adanya perubahan kebijakan TMKH dengan memperbolehkan areal pengganti yang tidak harus berbatasan langsung dengan kawasan hutan.

Pembelajaran dari kasus pinjam-pakai kawasan hutan (PPKH) menunjukkan bahwa kebijakan monitoring penggunaan kawasan hutan oleh kabupaten belum dilaksanakan. Pemerintah kabupaten tidak mau mengalokasikan dana untuk kegiatan monitoring penggunaan kawasan hutan karena dianggap urusan Pemerintah Pusat, Pemerintah Kabupaten tidak memiliki insentif untuk membiayai kegiatan tersebut. Kasus yang ditemukan di Provinsi Kalimantan Barat menunjukkan terjadi tumpang- tindih penggunaan area hutan pada berbagai ijin usaha. Ijin usaha pertambangan seringkali berbenturan dengan ijin perkebunan, ijin perikanan atau ijin kehutanan.

Dalam perkembangannya, terjadi kemunduran kebijakan peruntukan kawasan hutan. Beberapa persyaratan diubah untuk meringankan pemohon dalam proses perubahan peruntukan kawasan hutan seperti:

1. Lahan pengganti tukar-menukar kawasan hutan pada PP Nomor 10 Tahun 2010 menegaskan bahwa letaknya berbatasan langsung dengan kawasan hutan, pada PP No. 60 tahun 2012 tidak ada aturan bahwa lahan pengganti harus berbatasan langsung dengan kawasan hutan. Kebijakan ini bertujuan untuk memudahkan pemohon tukar-menukar untuk mendapatkan lahan pengganti, tetapi jika dilihat dari efisiensi, pengelolaan hutan pada lahan yang terpencar akan menjadi sulit dan tidak efisien.

2. Sebelumnya ada Surat Keputusan Bersama Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian dan Badan Pertanahan Nasional tentang pelepasan kawasan hutan dan pemberian Hak Guna Usaha untuk pengembangan usaha pertanian, bahwa untuk melakukan persiapan usaha pertanian diarahkan pada areal tanah kosong, padang alang-alang, semak belukar atau hutan non produktif yang sesuai untuk usaha pertanian. Aturan yang ada sekarang (pasal 19 ayat 3, PP No. 10 Tahun 2010; pasal 2 Permenhut P.33/Menhut-II/2010) menyebutkan hutan produksi yang dapat dikonversi untuk pelepasan kawasan hutan dalam keadaan berhutan maupun tidak berhutan.

3. Kementerian Kehutanan saat ini sudah tidak mempunyai kewenangan lagi untuk memonitor APL dan kawasan HCVF. Ketika kawasan hutan sudah

dilepas, Kementerian Kehutanan sudah tidak punya wewenang lagi untuk memonitoring. Hal itu diatur dalam PP 33 Tahun 2010 pasal 15: “terhadap kawasan Hutan Produksi Konversi yang telah dilepas sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat 3, pengurusan selanjutnya menjadi tanggung jawab instansi di bidang pertanahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sebelumnya Kementerian Kehutanan masih memiliki wewenang.

4. Permenhut No. P.31-2005 pasal 5 bahwa “Pemegang Keputusan Menteri Kehutanan tentang Pelepasan Kawasan Hutan wajib melaporkan perkembangan pembangunan perkebunan dan proses pengurusan HGU atau hak lainnya setiap 6 bulan kepada Kepala Badan Planologi Kehutanan”. Selain itu dalam pasal 6 bahwa “Kawasan hutan yang sudah dilepaskan dan belum dibebani HGU atau hak lainnya masih menjadi wewenang dan pengawasan Kementerian Kehutanan”. 5. Permenhut No. P.22 Tahun 2009 tentang Perubahan Permenhut No P.31/

Menhut-II/2005 tentang Pelepasan Kawasan Hutan dalam rangka Pengembangan Usaha Budidaya Perkebunan menyebutkan bahwa evaluasi terhadap kawasan yang dilepaskan dilakukan dengan evaluasi administrasi dan atau evaluasi lapangan terhadap proses pengurusan HGU dan adanya aktivitas kegiatan fisik di lapangan (pasal 4).

Terkait dengan lepasnya kewenangan Pemerintah Pusat (Kementerian Kehutanan) terhadap kawasan hutan yang menjadi APL, masih terdapat kewajiban pemegang SK pelepasan untuk memetakan area HCVF dalam kawasan hutan yang dilepas tersebut. Kewenangan terhadap kawasan hutan yang telah menjadi APL berada di BPN. Untuk mengatasi kawasan hutan yang sudah dilepas namun tidak dikelola sesuai dengan permohonannya terdahulu, maka ada kebijakan terkait dengan hal ini yakni PP 11 tahun 2010 tentang lahan terlantar di mana BPN sudah dimandatkan untuk mengiventarisir lahan-lahan terlantar.

Kasus tukar-menukar kawasan hutan memberi pelajaran betapa sulitnya melakukan tukar-menukar kawasan hutan dengan areal lain di luar kawasan hutan. Banyak hambatan, baik sosial, ekonomi dan lingkungan yang menjadi kendala, sementara kebijakan yang da kurang serius dalam menjaga areal HCVF di luar kawasan hutan.

10.4 Mengkritisi Konsep Land Swap

Konsep land swap yang saat ini berkembang perlu dikritisi, bukan semata-mata bertujuan untuk konservasi hutan (meningkatan cadangan karbon hutan), tetapi juga mempertimbangkan fungsi sosial ekonomi dan ekologi hutan. Filofosi land swap bisa mengadopsi tukar-menukar kawasan hutan yang ada saat ini. Filosofi dari

mekanisme tukar-menukar kawasan hutan adalah memperluas kawasan hutan, karena rasio minimal tukar-menukar kawasan hutan dengan lahan pengganti 1:1, bahkan dimungkinkan bisa lebih (tergantung dari hasil penelitian Tim Terpadu atau Tim Tukar-Menukar Kawasan Hutan dengan mempertimbangkan nilai ekonomi, ekologi dan sosial). Filosofi tukar-menukar juga menjamin luas kawasan hutan paling sedikit 30% dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi dengan sebaran yang proporsional sehingga dapat mempertahankan daya dukung kawasan hutan tetap layak kelola. Tujuan dari tukar-menukar kawasan hutan adalah: mengakomodir pembangunan di luar kehutanan yang bersifat permanen, menghilangkan enclave dalam rangka memudahkan pengelolaan kawasan hutan atau memperbaiki batas kawasan hutan.

Konsep tukar-menukar kawasan hutan dilakukan pada kawasan hutan produksi tetap/hutan produksi terbatas, sedangkan konsep land swap menggelinding ke semua kawasan hutan. Bahkan ada pihak yang mengajukan hutan konservasi yang kaya akan bahan tambang dan panas bumi untuk menjadi prioritas diadakannya tukar- menukar kawasan hutan, dengan alasan kawasan tersebut tetap akan dipinjam-pakai untuk penggunaan kawasan hutan (pertambangan). Wacana tersebut perlu dikritisi mengingat salah satu persyaratan pelepasan kawasan hutan untuk kepentingan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan pada Hutan Produksi Konversi.

Tinjauan kritis tentang wacana kebijakan land swap perlu mempertimbangkan beberapa hal, di antaranya eksisting kondisi yang ada, dampak sosial politik, ekonomi dan lingkungan diterapkannya land swap. Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk melakukan land swap (mengacu pada PP No. 10 Tahun 2010 yang direvisi dengan PP No. 60 Tahun 2012), yaitu:

1. Letak, luas, dan batas lahan APL maupun lahan hutan yang terdegradasi, jelas. 2. Sebaiknya letaknya berbatasan langsung dengan kawasan hutan.

3. Terletak dalam daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi yang sama.

4. Kawasan hutan yang terdegradasi tersebut dapat dihutankan kembali dengan cara konvensional.

5. Tidak dalam sengketa dan bebas dari segala jenis pembebanan dan hak tanggungan. 6. Ada rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota.

7. Selain kriteria di atas, ada kriteria penting yang harus ditambahkan yaitu: 8. Definisi kawasan hutan yang terdegradasi, jelas.

9. Memasukkan satu kriteria lagi dalam penentuan fungsi kawasan hutan yaitu keanekaragaman jenis untuk memperkuat kriteria yang telah ada (jenis tanah, curah hujan, kelerengan dan ketinggian tempat).

Jika hutan di kabupaten tersebut kurang dari 30% dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi dengan sebaran yang proporsional, tukar-menukar kawasan hutan dengan lahan pengganti yang bukan kawasan hutan dilakukan dengan rasio paling sedikit 1:2 atau dimungkinkan rasio lahan penggantinya lebih besar (tergantung hasil penelitian tim terpadu). Rasio paling sedikit 1:1 diberlakukan jika hutan di kabupaten tersebut di atas 30%. Setelah diterbitkan keputusan penunjukan dan pelepasan kawasan hutan, perlu dimonitor perkembangan APL yang berhutan tersebut untuk memastikan bahwa kawasan tersebut tetap terkelola dengan baik. Kawasan hutan yang terdegradasi yang dilepaskan perlu segera ditata batas agar kawasan hutan di sekitarnya aman. Sebelum diterbitkannya keputusan penetapan lahan pengganti sebagai kawasan hutan dan keputusan pelepasan kawasan hutan, pemohon dilarang melakukan kegiatan dalam kawasan hutan yang dimohon. Sebaiknya jika nanti hutan di APL dijadikan kawasan hutan tentunya tidak menjadi Hutan Produksi Konversi, karena akan dengan mudah dapat di-APL-kan lagi.

Penerapan land swap memerlukan tahapan-tahapan kegiatan, baik yang bersifat teknis maupun non teknis. Untuk tahapan non-teknis, sosialisasi yang intensif adalah prasyarat yang harus dilakukan, terutama untuk daerah-daerah yang akan terkena dampak. Pemerintah harus memikirkan dampak yang akan terjadi dan bentuk insentif dan berbagai kemudahan yang akan diberikan untuk masyarakat.

Refungsionalisasi lahan

Dalam dokumen Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan (Halaman 146-150)