• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kriteria dan Indikator Konsep Desa Hutan

Dalam dokumen Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan (Halaman 118-125)

Reforma Agraria Sektor Kehutanan Melalui Pengembangan Konsep Desa

8.5 Kriteria dan Indikator Konsep Desa Hutan

Konsep Desa Hutan merupakan desa yang terbentuk karena tekanan penduduk dan inisiatif Pemda yang didasarkan pada Perda. Hanya saja konsepnya harus

dipertegas, di mana pembentukannya harus dalam kerangka kelestarian dan menjaga hutan, dan spesifik masyarakatnyapun harus lebih berorientasi pada budaya hutan (agroforestry). Oleh sebab itu perlu adanya integrasi, koordinasi dan kerjasama antara Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kehutanan. Konsep Desa Hutan harus dijabarkan dalam bentuk fungsi dan peran hutan dan kawasan hutan dilihat dari aspek ekologis (konservasi dan lindung), fungsi ekonomi (produksi) dan fungsi sosial budaya dalam pelaksanaan program dan kebijakan pembangunan desa. Sementara ini, desa di dalam kawasan tersebut mengelola kawasan tersebut secara serabutan (sporadis) menurut pengetahuan dan kemauan masyarakat mengikuti kondisi budaya, sosial dan ekonomi setempat.

Program pembangunan kehutanan yang dilaksanakan saat ini oleh berbagai instansi dengan kewenangan masing-masing, baik yang bersumber dari pusat maupun dari daerah. Kurangnya koordinasi antar instansi mengakibatkan adanya kegiatan yang tumpang-tindih di lapangan. Dalam kaitan ini, sudah saatnya dilakukan konsolidasi semua program dan kegiatan pembangunan pertanian dan Kementerian Pertanian perlu mengambil inisiatif pelaksanaannya. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dapat mengambil inisiatif dan segera merancang kegiatan.

Semakin derasnya okupasi lahan dan berdirinya desa definitif di dalam kawasan hutan disadari karena adanya ketiadaan pengelola yang bertanggung jawab terhadap keberadaan kawasan hutan. Kenyataan ini harus menyadarkan kepada para pihak bahwa tanggungjawab pengamanan dan penguasaan hutan (land tenure) bukan saja menjadi tanggung jawab Kementerian Kehutanan, tetapi juga kementerian terkait lainnya. Dari

perencanaan partisipatif (Perhutani, 2007).

Komponen Perencanaan sepihak Perencanaan partisipatif Pelaku Pemegang hak kelola, misalnya

Perhutani

Para pihak terlibat, misalnya Perhutani,

Masyarakat Desa Hutan, Pemerintah Desa, Dinas/ instansi terkait, koperasi pedagang hasil pertanian dan hasil hutan

Proses Instruksi (top down) Partisipatif (semua pihak terkait) Tujuan

pengelolaan

Kelestarian pengusahaan hutan

Kelestarian sumber daya hutan dan kesejahteraan masyarakat

Ruang lingkup Aspek ekologi dan ekonomi perusahaan

Aspek ekologi, ekonomi, kelembagaan dan sosial masyarakat desa hutan

Sasaran Sumber daya hutan Sumber daya alam, masyarakat desa hutan Tanggung jawab Perhutani/Pemegang ijin KPH Semua pihak yang terlibat

kasus Propinsi Lampung yang sebagian besar kawasannya sudah diokupasi oleh masyarakat untuk kegiatan usahatani dan banyaknya desa definitif di dalam kawasan hutan, perlu dibuat langkah dan kebijakan strategis untuk membangun konsep Desa Hutan yang tetap lebih mementingkan berjalannya fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan, baik dari segi ekologis, ekonomi maupun sosial budaya masyarakat setempat. Perlu dilakukan inisiasi langkah kebijakan bersama Kementerian Dalam negeri, Kementerian Kehutanan dan Badan Pertanahan Nasional (untuk melakukan check and recheck terhadap keamanan kawasan hutan).

Gambar 2 menunjukkan gejala perpindahan penduduk dari wialah-wilayah yang lebih maju ke wilayah-wilayah kawasan hutan yang didorong oleh tekanan pasar komoditas primer perkebunan (sawit dan karet) dan program transmigrasi dan tekanan penduduk. Arus pergerakan migrasi penduduk tersebut secara nyata telah ikut berkontribusi semakin menyempitnya lebensraum komunitas rimba dan terhadap perubahan sosial masyarakat desa hutan (rimba).

Hasil penelitian Wibowo et al. (2012) menunjukkan bahwa berdasarkan wawancara dengan key informan para kapitalis dengan kapitalnya bisa membuka lahan ilegal seluas 100-200 hektar sementara komunitas lokal dan rimba sampai maksimum 5 hektar. Para kapitalis dengan mudah membeli lahan-lahan para spekulan tanah dari komunitas lokal, termasuk orang rimba, atau kebun yang dikuasai secara ilegal dari pemilik yang terpaksa menjual karena tekanan hidup. Yang sungguh ironis adalah seringkali orang rimba

dituding sebagai pencuri ketika mencari makan di lahan-lahan hutan mereka yang diklaim sebagai lahan para migran maupun perusahaan.

R a h m a n ( 2 0 0 8 ) mengungkapkan bahwa arus migrasi dan tekanan pasar semakin menajamkan kesenjangan ekonomi antara para migran, pemodal, perusahaan perkebunan dan HTI dalam penguasaan

sumber-sumber ekonomi dan politik terhadap orang-orang rimba. Masyarakat Suku Anak Dalam (baca: orang rimba) memiliki posisi yang lemah, baik secara ekonomi maupun politik. Peta kekuatan antara masyarakat lokal dengan para pengusaha dan pemerintah tentunya saling tarik-menarik kepentingan. Hal ini seringkali membuat

Perkebunan Transmigrasi Komunitas orang rimba/adat Kawasan hutan

Desa transisional village

Pertambangan Transmigrasi Hutan Tanaman Industri/

Hak Pengusahaan Hutan Transmigrasi Pengaruh (pasar, populasi, resettlement programs) Desa/dusun baru

Gambar 2. Arus kecenderungan gerakan penduduk dari berbagai wilayah dan pulau ke wilayah-wilayah hutan

masyarakat lokal mempertahankan resistensinya terhadap berbagai aturan dan kebijakan yang tidak berpihak kepada kepentingan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup serta masyarakat lokal sehingga akan mempengaruhi dinamika lokal.

Ada empat langkah yang dilakukan dalam merumuskan kriteria dan indikator: 1. Mengumpulkan bahan tentang sumber daya hutan, SDM, kelembagaan dan

sumber daya ekonomi.

2. Membangun prinsip, kreteria dan indikator, mengukur berdasarkan visi dan misi serta berdasarkan aspek pengelolaan hutan.

3. Melakukan pembobotan. 4. Penetapan nilai.

Langkah pertama dengan melakukan identifikasi semua data dan informasi berdasarkan pendekatan pengelolaan hutan, baik dari aspek teknis dan ekologi sumberdaya hutan, sosial ekonomi dan penguasaan lahan oleh masyarakat serta kelembagaan yang ada dimasyarakat. Berdasarkan hasil tabulasi pembobotan aspek pada Tabel 2 yang sangat berpengaruh dalam konsep desa hutan adalah aspek ekologi/konservasi. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi kawasan sangat penting bagi masyarakat karena status lahan garapan yang dikelola berada di dalam kawasan hutan yang merupakan bagian dari unit manajemen KPH.

Tabel 2. Hasil tabulasi kriteria yang dibangun berdasarkan masing-masing aspek

Aspek Rata-

rata Kriteria Bobot

1. Ekologi/ Konservasi

3,6 Pengelolaan hutan dilakukan oleh multipihak (Kementerian Kehutanan, Dinas Kehutanan Propinsi dan Dinas Kehutanan Kabupaten)

3

Perencanaan kawasan berdasarkan fungsi 3,6 Budidaya tanaman campuran jenis tanaman (agroforestry) 3,2 2. Kelembagaan 2,7 Kerjasama antar lembaga terkait dalam pengembangan desa

hutan

3,2 Adanya jaminan status hak garap/kepemilikan lahan 2,5 Aturan legal Pemerintah Daerah (Perda) 2,6 Pendekatan pengelolalan hutan dari atas ke bawah 2,5 Hukum dan peraturan yang menjamin dalam pe-manfaatan hutan dan sistem tata guna hutan lestari

3,5 Terdapat integrasi Pemerintah Pusat-Daerah dalam

pengelolaan hutan (kawasan hutan)

Aspek Rata-

rata Kriteria Bobot

Pemerintah Daerah (Propinsi dan Kabupaten) mem-punyai hak dan kewajiban terhadap kelestarian hutan

3,3 Pembangunan kehutanan akan berhasil tanpa dukungan

pemerintah daerah

1,8 3. Ekonomi 2,4 Menjamin akses sumber daya hutan 2,9 Menjamin keberlanjutan ekonomi bagi masyarakat 3,1 Menjamin peluang berusaha dan lapangan pekerjaan 2,9 Terdapat bimbingan dan pendampingan dari instansi terkait (pertanian, perkebunan, peternakan)

3,2 Terdapat kerjasama dengan pihak pengusaha (swasta) 2,5 4. Sosial dan budaya 2,5 Pemanfaatan lahan oleh masyarakat secara legal 2,9 Masyarakat punya hak untuk mengelola kawasan hutan 2,6 Hutan harus dikelola dengan sistem kelestarian (agroforestry) 3,4 Banyak kawasan hutan menjadi desa definitif 1,9 Masyarakat paham fungsi kawasan hutan untuk tata air dan

kelestarian (kesuburan) tanah

2,5 Lembaga sosial lokal mempunyai kapasitas untuk menegakkan hukum adat dan peraturan lainnya

3,5 Hubungan dengan pihak ketiga, peningkatan ekonomi dan

sektor pengetahuan

3,2

Keterangan: 1 = Sangat tidak setuju; 2 = Tidak setuju; 3 = Setuju; 4 = Sangat setuju. Bobot di-ranking dengan mem-berikan nilai 1, 2, 3, 4 aspek yang sangat

berpengaruh. Angka 4 menunjukkan bahwa aspek dan kriteria tersebut sebagai sangat berpengaruh

Aspek kelembagaan juga berpengaruh terhadap hak pengelolaan karena kelompok-kelompok tani yang ada dapat terkoordinasi dengan baik antara masyarakat dan pemerintah daerah, hak-hak garapan masyarakat dapat dituangkan dalam suatu aturan yang lebih jelas dan legal. Aspek sosial budaya sangat berpengaruh dalam keberlangsungan lahan garapan masyarakat walaupun desa-desa definitif berada dalam kawasan hutan menurut tata batas dari kehutanan, lembaga sosial yang ada dapat berperan dalam menangani masalah konflik lahan. Sementara itu aspek ekonomi sangat berpengaruh dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat, adanya kerjasama dengan pihak ketiga dalam bermitra untuk memasarkan hasil-hasil hutan.

Hasil studi menunjukkan beberapa aspek penting dalam menangani permasalahan tenurial di areal KPH. Untuk aspek ekologi/konservasi dibutuhkan beberapa hal penting seperti: perencanaan kawasan, pengelolaan kawasan dan penentuan jenis tanaman.Untukaspek kelembagaan diperlukan adanya aturan yang legal dalam pemanfaatan lahan, Pemerintah Daerah menjamin kelestarian kawasan,

integrasi Pemerintah Pusat dan Daerah dalam pengelolaan, jaminan status hak garap. Aspek sosial dan budaya: lembaga sosial lokal mempunyai kapasitas menegakkan hukum, hutan dikelola secara agroforestry, adanya hubungan dengan pihak ketiga dalam peningkatan ekonomi, pemanfaatan lahan secara legal dan masyarakat mempunyai hak, keberlanjutan ekonomi masyarakat, adanya akses SDH dan peluang berusaha dan lapangan kerja bagi masyarakat, adanya kerjasama dengan pihak swasta.

8.6 Kesimpulan dan Saran

8.6.1 Kesimpulan

1. Pengelolaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Propinsi Lampung pada umumnya akan menghadapi berbagai permasalahan tenurial di kawasan hutan karena masyarakat sudah lama mengelola lahan tersebut secara intensif. Di dalam kawasan KPH tersebut sudah banyak yang berubah fungsinya, misalnya menjadi areal pemukiman penduduk desa, areal garapan usahatani masyarakat, lahan usaha sawit, peternakan (ayam), sarana ekonomi (pasar) dan prasarana umum seperti jalan desa dan pasar serta desa definitif. Usulan konsep tentang Desa Hutan akan membantu manajer KPH dalam mendorong potensi lahan dan sumberdaya manusia di desa untuk meningkatkan produktivitas lahan dan kesejahteraan rakyat setempat. 2. Kebijakan pengembangan Desa Hutan merupakan salah satu terobosan dalam mendukung reforma agraria di sektor kehutanan dan merupakan bentuk dukungan terhadap kebijakan Pemerintah (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dalam mendorong pengembangan Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan Hutan Desa (HD) yang jumlahnya masih sangat kecil (2%). Akan tetapi prosesnya harus dirancang dengan baik melalui tahap pembelajaran, sosialisasi dan penguatan kelembagaan yang terencana dan sistematik, jangan ada kesan bahwa lahan menjadi hak milik perorangan dan dapat diperjual-belikan. Konsep Desa Hutan hanya memberikan tanggung jawab (ada hak dan ada kewajiban di dalamnya) kepada masyarakat dan kelembagaan lokal untuk ikut serta mengelola hutan (forest tenure).

3. Salah satu upaya untuk menggerakkan KPH adalah merangkul mereka menjadi potensi SDM untuk pengembangan usaha KPH. Untuk KPH yang di dalamnya sudah menjadi areal desa definitif, perlu dibuat langkah inovatif dengan membentuknya menjadi Desa Hutan. Desa Hutan tersebut dibangun dengan kriteria khusus, misalnya: menerapkaan konsep agroforestry dan mengusahakan lahan usahanya di kawasan hutan dengan persentase tanaman hutan yang diatur, misalnya 30%, 40%, 60%, 75% dan seterusnya, tergantung kesepakatan antara Pemerintah Daerah dengan masyarakat (kelompok tani hutan); lahan tidak boleh dipindah-tangankan atau diperjual-belikan; disahkan oleh Dinas Kehutanan,

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang bahwa Desa Hutan tersebut berada di areal kawasan hutan. Dengan demikian kawasan hutan tetap terjaga.

8.6.2 Saran

1. Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang mulai mengadopsi terobosan kebijakan untuk areal kawasan hutan yang sudah diokupasi oleh masyarakat dalam waktu yang lama, dapat mengakomodir proses dinamika masyarakat di areal kawasan hutan, karena masyarakat lokal sebenarnya merupakan sasaran utama atau subyek penting dalam pengelolaan hutan.

2. Untuk memudahkan koordinasi antara kementerian tersebut dapat dilakukan inisiasi dengan membuat Surat Keputusan Empat Menteri (SKEM) tentang Desa Hutan.

Daftar Pustaka

Dahal, G.R.A. & Pacheco, P. (2010). Outcomes of of reforms for iveihoods, forest condition and equity (pp 183-209). In Arson, A.M., Barry, D., Dahal, G.R. & Cofer, C.J.P. (eds.), Forest for peope: Community rights and forest tenure reform. London: Earthscan.

Sekretariat Ditjen Bina Usaha Kehutanan. (2013). Pengembangan investasi sektor kehutanan. Jakarta: Ditjen Bina Usaha Kehutanan.

Larson, A.M. (2013). Hak tenurial dan akses ke hutan manual pelatihan untuk penelitian. Bogor: CIFOR.

Larson & Dahal. (2012). Forest tenure reform: New resource rights for forest-based communities? Conservation and Society 10(2): 77-99.

Keputusan Direksi Perum Perhutani No. 268/Kpts/Dir/2007 tentang Pengelolalan Hutan Bersama Masyarakat Plus.

Rahman, A. (2008). Konflik sebagai simbol perlawanan terhadap korporasi dan kebijakan. Makalah workshop ”Ancaman etno-ekologi Orang Rimba dari hegemoni kapitalis dan strategi penyelamatannya”. Jambi, 11-12 Desember 2008.

WG Tenure. (2007). Permasalahan tenurial dan reforma agraria di kawasan hutan dalam perspektif masyarakat sipil. Proceeding Rountable Discussion.

Wibowo, L.R., Race, D., & Curtis, A. (2012). Exploring the policy dimensions for Community Based Forest Management in Indonesia. (Thesis). CSU.

107

Pr

osiding Seminar Hasil P

enelitian Ref orma Agr aria untuk Mendukung T ata K elola K

ehutanan yang Baik

Dalam dokumen Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan (Halaman 118-125)