• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan "

Copied!
186
0
0

Teks penuh

(1)

KEMENTERIAN KEHUTANAN

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN

Prosiding

Seminar

Hasil

Penelitian

untuk Mendukung Tata Kelola

Kehutanan yang Baik

AGRARIA

REFORMA

Jakarta, April 2014

Prosiding S

eminar Hasil P

enelitian

untuk Mendukung

(2)
(3)

PROSIDING SEMINAR HASIL PENELITIAN

Reforma Agraria untuk Mendukung Tata

Kelola Kehutanan yang Baik

Jakarta, 7 April 2014

Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan

Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

Kementerian Kehutanan

(4)

PROSIDING SEMINAR HASIL PENELITIAN

PUSAT LITBANG PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN Tema : Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik

Editor:

Ir. Ismatul Hakim, M.Sc.

Drs. Lukas R. Wibowo, M.Sc.Ph.D. Dewi Ratna Kurnia Sari, S.Hut., M.Si. Ir. Achmad Pribadi, M.Sc.

Drs. Haryono

ISBN: 978-602-7672-53-6

Sumber dana: DIPA Puspijak Tahun 2014

Diterbitkan oleh:

Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan – Kementerian Kehutanan Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16118, Indonesia

Telp/Fax: +62-251 8633944/+62-251 8634924 Email: publikasipuspijak@yahoo.co.id

(5)

Kata Pengantar

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas tersusunnya Prosiding Seminar Hasil Penelitian “Reforma Agraria Kehutanan untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik”. Prosiding ini merupakan hasil seminar yang dilaksanakan di Ruang Rimbawan 2, Gedung Manggala Wanabakti Jakarta pada tanggal 7 April 2014.

Tujuan dilaksanakannya seminar ini adalah: 1) Mendiseminasikan aplikasi alat ukur kinerja tata kelola kehutanan yang baik di daerah, 2) Memberikan masukan kepada pemerintah baru tentang formulasi kebijakan dalam rangka reformasi agraria kehutanan, dan 3) Memberikan masukan kebijakan dalam pengelolaan hutan. Makalah yang dipresentasikan difokuskan pada kajian tentang konflik lahan serta kriteria dan indikator tata kelola kehutanan.

Kepada semua pihak yang telah berperan dan berkontribusi dalam penyusunan prosiding ini, diucapkan terimakasih dan penghargaan tak terhingga. Semoga prosiding ini memberikan manfaat.

Bogor, Oktober 2014

Kepala Puslitbang Perubahan Iklim dan Kebijakan,

Kepala,

(6)
(7)

Daftar Isi

Kata Pengantar ...iii

Daftar Isi ... v

Laporan ... vii

Sambutan ...ix

Rumusan ... xiii

1.

Sekelumit Permasalahan Mendasar dalam Reforma Agraria

dan Tata Kelola Hutan di Indonesia

Hadi Daryanto ... 1

2.

Penataan Kembali Reformasi Agraria Kehutanan

di Indonesia Pasca Desentralisasi

Lilis Mulyani ... 5

3.

Memperkuat Partisipasi Warga dalam Kebijakan Reforma

Agraria untuk Transformasi Kelola Hutan

Arie Sujito ... 11

4.

Reforma Agraria: Isu yang Tak Berujung

Lukas R. Wibowo ... 17

5.

Pengukuran

Good Forest Governance

Indonesia

Sulistya Ekawati, Haryatno Dwiprabowo, Fentie Y. Salaka &

Sylviani ... 21

6.

Tata Kelola Kawasan untuk Mendukung KPH

Dodik Ridho Nurochmat ... 71

7.

Membumikan Reforma Agraria di Sektor Kehutanan:

Menuju Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat

Ismatul Hakim, Lukas Rumboko Wibowo &

Dewi Ratna Kurnia Sari ... 77

(8)

9.

Isu Tenurial Pada Unit Manajemen Hutan: Studi Kasus

di KPH Wae Sapalewa

Niken Sakuntaladewi ... 111

10. Mengkritisi Konsep

Land Swap

: Pembelajaran dari

Kebijakan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan

Sulistya Ekawati, Lukas Rumboko Wibowo,

Kushartati Budiningsih & Fentie Sallaka ... 121

11. Tata Kelola Ijin Pinjam-Pakai Kawasan Hutan

Subarudi ... 135

Notulensi dan Diskusi ... 151

Agenda Acara ... 162

(9)

Laporan

KEPALA BADAN LITBANG KEHUTANAN

Seminar Hasil Penelitian “Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik”

Manggala Wanabakti, 7 April 2014

Yang saya hormati Bapak Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan;

Yang saya hormati wakil dari CIFOR, ICRAF, lembaga internasional, lembaga nasional, LSM dan organisasi lainnya;

Yang saya hormati para Pejabat Eselon II, III dan IV lingkup Kementerian Kehutanan dan lembaga pemerintah lainnya;

Yang saya hormati para Prof. Riset dan Peneliti, serta hadirin sekalian.

Assalamu’alaikum Wr. Wb, Salam sejahtera bagi kita sekalian,

Marilah kita panjatkan puji syukur kita ke hadirat Tuhan yang Maha Esa karena berkat kesehatan, ijin dan karunia-Nya kita dapat berkumpul bersama di tempat ini untuk mengikuti seminar hasil penelitian “Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik”.

Bapak/Ibu hadirin yang berbahagia,

Seminar hasil penelitian pada hari ini bertema “Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik” bertujuan untuk:

1. Mendiseminasikan aplikasi alat ukur kinerja tata kelola kehutanan yang baik di daerah;

2. Memberi masukan bagi formulasi kebijakan dalam rangka reformasi agrarian kehutanan, kepada pemerintah baru;

3. Memberikan masukan kebijaan dalam pengelolaan hutan.

Narasumber untuk kegiatan seminar ini terdiri dari peneliti Puslitbang Perubahan Iklim dan Kebijakan, perguruan tinggi dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

(10)

Hadirin yang saya hormati,

Sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan luas dan jumlah biodiversitas hutan tropis terbesar di dunia. Selain itu tekanan kepentingan ekonomi, investasi dan bisnis yang tinggi terhadap lahan, telah banyak meninggalkan fungsi sosial dan lingkungan masyarakat lokal, yang pada akhirnya telah menimbulkan konflik dalam pengelolaan sumber daya alam khususnya lahan hutan di Indonesia.

Oleh karena itu Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan telah banyak melakukan kajian terkait dengan reforma agraria. Kegiatan tersebut di antaranya melalui penelitian dan juga kajian isu aktual. Diharakan melalui penelitian dan kajian tersebut akan mampu memberikan rekomendasi yang baik dan berlatar belakang ilmu pengetahuan kepada pemerintah.

Hadiri yang saya muliakan,

Puspijak pada tahun 2012 telah mengadakan diskusi tentang land green grabbing dan tahun 2013 telah melaksanakan diskusi awal tentang Reformasi Agraria serta menerbitkan satu buku berjudul “Jalan Terjal Reforma Agraria di Sektor Kehutanan” edisi pertama. Setelah penyampaian Keynote Speech oleh Bapak Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan akan dilaksanakan launching buku yang akan kami berikan secara simbolis kepada praktisi kehutanan. Setelah acara seminar buku tersebut dibagikan kepada semua peserta.

Hadiri yang saya hormati,

Selanjutnya kepada Bapak Sekretaris Jenderal kami mohon untuk menyampaikan keynote speech dan sekaligus membuka acara seminar ini.

Demikian yang bisa saya sampaikan, mudah-mudahan seminar hasil penelitian pada hari ini dapat memberikan manfaat untuk mendukung reforma agraria di sektor kehutanan di Indonesia.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Jakarta, 7 April 2014

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan,

(11)

Sambutan

SEKRETARIS JENDERAL KEMENTERIAN KEHTUANAN Seminar Hasil Penelitian “Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola

Kehutanan yang Baik” Manggala Wanabakti, 7 April 2014

Yang saya hormati wakil dari CIFOR, ICRAF, lembaga internasional, lembaga nasional, LSM dan organisasi lainnya.

Yang saya hormati para pejabat Eselon II, III dan IV lingkup Kementerian Kehutanan dan lembaga pemerintah lainnya,

Yang saya hormati Prof. Riset dan Peneliti, serta hadirin sekalian. Assalamu’alaikum Wr. Wb.,

Salam sejahtera bagi kita sekalian

Saya mengajak para hadirin sekalian untuk memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Penyayang, karena berkat kesehatan, ijin dan karunia-Nya kita dapat berkumpul bersama di tempat ini untuk mengikuti seminar hasil penelitian bertema “Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik”.

Pagi ini saya mendapat dua tugas dari penitia: pertama, untuk membuka kegiatan ini secara resmi dan kedua, menyampaikan arahan seminar. Untuk itu ijinkanlah saya terlebih dahulu membuka acara ini. Dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim, saya nyatakan seminar hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan dengan tema “Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik” secara resmi dibuka.

Semoga melalui seminar ini akan lahir pemikiran-pemikiran kontekstual dan opsi-opsi kebijakan yang bisa membantu untuk mengurai dan memecahkan berbagai permasalahan tenurial dan tata kelola kehutanan yang tidak saja terus dihadapi oleh Kementerian Kehutanan tetapi juga yang sedang dihadapi oleh kementerian lain dan bangsa ini secara keseluruhan.

Kalau kita baca dan telaah dari berbagai literatur dan belajar dari dinamika praksis, tantangan kehutanan saat ini tidaklah sederhana tetapi semakin kompleks serta bersifat multi dimensi. Di masa mendatang tantangan tersebut tidak semakin mudah untuk diantisipasi dan diselesaikan karena terkait dengan perubahan yang cepat dan sulit diprediksi, dari dinamika ekonomi-politik dan sosial di tingkat lokal, regional maupun geo ekonomi-politik internasional.

(12)

berbasis lahan yang semakin massif di berbagai tipe fungsi hutan; ketiga, tata kelola kehutanan dan manajemen hutan di tingkat tapak.

Data Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengungkapkan bahwa gini rasio untuk distribusi lahan di Indonesia saat ini sebesar 0,562. Ini berarti ketimpangan distribusi lahan telah krusial. Data lain dari BPN juga mengungkapkan bahwa 56% aset yang ada di Indonesia berupa properti, tanah dan perkebunan (HGU) dikuasi oleh hanya 0,2% penduduk Indonesia.

United Nations Development Programme (UNDP) meluncurkan indeks tata kelola hutan, lahan dan Reducing Emissions from Deforestration and Forest Degradation (REDD+) pada tahun 2012 di mana Indonesia secara nasional memperoleh skor 2,3 poin dari skala 5. Ada beberapa indikator yang menyebabkan indeks tata kelola hutan masih rendah, di antaranya adalah masalah keterbukaan akses, kepastian tenurial dan konflik kehutanan serta kelembagaan tata kelola yang belum terbangun seperti yang diharapkan.

Menanggapi indeks tersebut, Bapak Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menegaskan bahwa terwujudnya pengelolaan hutan yang baik bukan hanya tanggung jawab pemerintah pusat tetapi seluruh pemangku kepentingan. Terwujudnya tata kelola hutan yang baik juga membutuhkan partisipasi aktif dan masukan dari pemangku kepentingan.

Hadirin yang berbahagia,

Pada kesempatan ini, kami sangat berbahagia dapat menghadirkan para penyaji yang kompeten. Yang pertama, kami ucapkan selamat datang kepada yang terhormat Lilis Mulyani, S.H.LLM, peneliti senior LIPI, Prof. Dr. Ir. Endriatmo Soetarto, MS, Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia IPB, Myrna A. Safitri Direktur Epistema Institute. Pada hari ini beberapa pakar yang kompeten dan mumpuni dalam bidang ini juga dihadirkan, seperti Dr. Ir. Dodik R. Nurrochmat, M.Sc, Dosen senior dari Fakultas Kehutanan IPB serta Arie Sudjito, S.Sos, M.Si, peneliti IRE dan Pengamat Politik dari UGM, serta Dr. Ir. Sulistya Ekawati, M.Sc. dan Drs. Lukas R. Wibowo, M.Sc.Ph.D. dari Puspijak.

Kita semua tahu bahwa konflik pengelolaan sumber daya alam di Indonesia disebabkan oleh beberapa hal, antara lain lahirnya Undang-Undang sektoral, lemahnya koordinasi dan sinergitas pengelolaan sumber daya alam dan semangat kedaerahan dalam kerangka otonomi daerah telah semakin memperumit masalah yang ada, serta dorongan ingin menguasai ekonomi dan politik untuk penguasaan lahan semakin kuat.

(13)

Beberapa poin utama yang menjadi tujuan reforma agrarian antara lain: a) untuk memastikan tidak adanya konsentrasi yang berarti dalam penguasaan dan pemanfaatan tanah beserta kekayaan alam yang menjadi hajat orang banyak (green grabbing); b) terjaminnya kepastian hak penguasaan dan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam; c) terjaminnya keberlangsungan dan kemajuan sistem produksi rakyat setempat; d) terwujudnya tata kelola kehutanan yang baik.

Dengan digelarnya seminar tentang Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik, membuktikan bahwa Kementerian Kehutanan, dalam hal ini Puspijak, sangat responsif dan terbuka terhadap wacana persoalan-persoalan bangsa yang terus berkembang.

Sebelumnya perlu hadirin ketahui bahwa dibandingkan dengan era sebelum reformasi, Kementerian Kehutanan telah melakukan berbagai perbaikan-perbaikan dengan mengeluarkan berbagai kebijakan solutif terkait dengan pembukaan dan perluasan akses kepada masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam pengelolaan hutan. Beberapa kebijakan tersebut antara lain Hutan Tanaman Rakyat, HKm dan Hutan Desa.

Tidak dapat dipungkiri bila berbagai kebijakan pro-poor yang sekaligus pro-growth tersebut, masih belum dapat menjawab tantangan dan harapan publik yang semakin tinggi. Namun demikian, Kementerian Kehutanan tetap memiliki komitmen politik dan konsisten untuk terus melakukan perubahan dan perbaikan-perbaikan yang menyeluruh, tidak terbatas pada isu-isu yang akan kita diskusikan terkait dengan tenurial, tata kelola kehutanan dan pelembagaan KPH di tingkat tapak.

Itulah beberapa upaya yang sedang dan terus kami upayakan dalam mewujudkan tata kelola kehutanan yang baik (good governance). Kami sadar masih banyak hal yang perlu dipikirkan bersama sehingga partisipasi para pihak menjadi sangat mendesak, esensial dan diperlukan agar upaya penyelesaian terkait masalah tenurial dan tata kelola kehutanan bisa optimal.

Demikian yang bisa saya sampaikan, mudah-mudahan berguna bagi upaya kita bersama dalam menata kembali hutan dan lahan kita agar berkelanjutan, berkeadilan dan bermanfaat bagi upaya untuk menyejahterakan masyarakat.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Jakarta, 7 April 2014

Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan

(14)
(15)

Rumusan

Seminar Hasil Penelitian “Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik”

Manggala Wanabakti, 7 April 2014

Seminar hasil penelitian Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan dengan tema “Reforma Agraria Kehutanan untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik” dilaksanakan pada tanggal 7 April 2014 di Ruang Rimbawan 2, Gedung Manggala Wanabakti Jakarta. Seminar diikuti oleh 120 peserta yang berasal dari berbagai instansi, baik pemerintah maupun swasta, akademisi dan LSM.

Memperhatikan sambutan Kepala Badan Litbang Kehutanan, keynote speech Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan, makalah yang dipresentasikan serta diskusi yang berkembang pada saat seminar, maka dirumuskan beberapa hal sebagai berikut:

1. Reforma Agraria adalah suatu penataan kembali atau penataan ulang susunan pemilikan, penguasaan dan penggunaan sumber-sumber agraria (terutama tanah) untuk kepentingan rakyat kecil (petani, buruh tani, tunakisma dan lainnya) secara menyeluruh dan komprehensif.

2. Pengertian penataan ulang yang menyeluruh dan komprehensif ini memberikan arahan agar sasaran Reforma Agraria bukan hanya tanah pertanian, tetapi juga tanah-tanah kehutanan, perkebunan, pertambangan, pengairan, kelautan dan lainnya. Dengan demikian, subyek yang menjadi sasaran reforma agraria dalam kaitan dengan sektor kehutanan adalah masyarakat (miskin) yang tinggal di sekitar kawasan hutan atau mereka yang menjadikan kawasan sebagai tempat mencari nafkah utama, bahkan tanpa sumber-sumber agraria yang ada di kawasan hutan tersebut, kehidupan masyarakat miskin itu tidak dapat berjalan sama sekali. Hal ini, terutama sangat dirasakan oleh komunitas masyarakat adat yang selama ini hubungannya dengan hutan bersifat tidak dapat dipisahkan antara kebutuhan ekonomi, sosial dan spiritual.

(16)

4. Reforma Agraria bukan hanya membicarakan tentang pembagian tanah semata, melainkan suatu cara membangun ideologi yang jelas yaitu soal kesejahteraan rakyat melalui pemberian aset dan akses, serta dengan bangunan tata kelola yang baik.

5. Pemerintah Indonesia sebenarnya telah melakukan upaya-upaya yang terkait dengan pemerataan penguasaan tanah yang bersifat sektoral, seperti program transmigrasi, Perkebunan Inti Rakyat (PIR), konsolidasi tanah hingga upaya yang bersifat multi sektoral melalui Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang digagas oleh Presiden SBY dalam dua masa jabatan kekuasaannya (2004-2014).

6. Dokumen BPN menyebutkan bahwa Presiden Republik Indonesia melalui PP akan menetapkan pelepasan kawasan hutan HPK seluas 8,15 juta hektar di 17 provinsi. Hal ini memberikan indikasi bahwa sektor kehutanan memegang peranan penting dari suskses atau tidaknya PPAN secara keseluruhan, mengingat tanah yang akan didistribusikan kepada rakyat sebagian besar ada di bawah yuridiksi kehutanan.

7. PPAN mengalami berbagai kendala, di antaranya adalah a) Resistensi sektoral, b) Belum ada payung hukum yang memadai, c) Tidak adanya koordinasi dan d) Inovasi lokal ada tetapi sangat terbatas. Oleh sebab itu rekomendasi yang diberikan terkait PPAN yang melibatkan sektor kehutanan adalah: a) Menjamin kepastian akses rakyat atas tanah, b) Mencairkan sektoralisme kelembagaan, c) Kepastian akses harus diawali dan diikuti oleh koordinasi antar instansi dan d) Menyempurnakan rancangan PP Reforma Agraria. Pada intinya Reforma Agraria di sektor kehutanan menjadi bagian dari reformasi agraria nasional, tidak dapat terlepas dan tidak boleh diklaim sebagai milik satu sektor. Reforma agraria harus menjadi agenda bangsa. 8. Peluang dalam reforma agraria melalui UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa yang

dianggap memberikan harapan dari pengaturan desa yang bersifat rekognisi, subsidiaritas, keberagaman kebersamaan, kegotong-royongan, kekeluargaan, musyawarah, demokrasi, kemandirian, partisipasi, kesetaraan, pemberdayaan dan keberlanjutan.

(17)

menjalankan pembangunan di tingkat desa. Selama ini asset-aset desa seringkali menjadi bagian dari penguasaan unit-unit supra desa.

10. Masalah tenurial bukan hanya penguasaan atas SDA saja, tetapi lebih pada soal akses. Ketika membicarakan akses maka terdapat kompleksitas yang bersifat vertikal dan horizontal, termasuk soal kebijakan maupun relasi antar masyarakat. Selain itu, masalah tenurial bersifat dinamis sehingga dalam proses penyelesaiannya harus selalu melihat konteks ruang, waktu dan pelaku yang terlibat di dalamnya. Dalam hal pelepasan kawasan untuk APL, dikhawatirkan pelepasan itu bukan untuk kepentingan rakyat miskin, tetapi untuk kepentingan yang bersifat korporasi. 11. Bayangan tentang luasan hutan di Indonesia yang dianggap luas, padahal ketika

membicarakan antara rasio antara jumlah penduduk dengan luas lahan hutan yang tersisa, maka jumlahnya tidak sebesar yang diduga selama ini.

12. Berkaitan dengan kerangka kelembagaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), prinsip yang terpenting adalah tidak ada sebuah kerangka kelembagaan yang tunggal, perlu dilihat dalam konteks yang bersifat lokal, termasuk pelibatan masyarakat dalam kegiatannya.

13. Penguasan harus ditafsirkan secara kreatif dan berdasarkan fungsinya. Apakah persoalannya adalah memperluas atau mempersempit atau justru membuat tafsir baru tentang kawasan hutan.

14. Berkaitan dengan tata kelola kehutanan hingga kini belum ada suatu tools yang aplikatif sehingga diperlukan suatu tools yang teruji dan sesuai dengan prinsip-prinsip transparansi, partisipasi, akuntabilitas, kordinasi, profesionalisme dan kompetensi. Prinsip-prinsip tersebut kemudian dilihat dalam konteks arena yang terlibat, yaitu arena political office (yaitu pihak yang membuat kebijakan), pelaksana kebijakan (SKPD), kelompok penekan (masyarakat sipil) serta masyarakat bisnis sebagai pihak yang terlibat dalam pengambilan keuntungan suatu pengelolaan. Hal ini menjadi penting untuk mengetahui derajat tata kelola yang ada.

Jakarta, 7 April 2014

Tim perumus:

Ir. Ismatul Hakim, M.Sc.

Drs. Lukas R Wibowo, M.Sc.Ph.D.

(18)
(19)

1

Sekelumit Permasalahan Mendasar

dalam Reforma Agraria dan Tata

Kelola Hutan di Indonesia

1

Oleh: Hadi Daryanto

Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan

Reforma agraria sudah menjadi ketetapan MPR sejak awal reformasi. Sudah panjang jalannya, sudah saatnya kita melihat apakah sudah bisa menyelesaikan persoalan ketimpangan tenurial dan perbaikan tata kelola hutan yang lebih baik. Untuk menjawab pertanyaan tadi, bisa kita lihat dari data yang diumumkan BPS pada awal 2014, ternyata rasio gini, dari 0,32 pada 2004 menjadi 0,41 pada 2013. Jadi tampak bahwa ada ketimpangan kepemilikan sumberdaya lahan yang mengkhawatirkan. Ketimpangan itu membuat kesenjangan kaya-miskin kian lebar. Tanpa menyentuh masalah struktural ini, akan sulit untuk melepaskan warga dari jerat kemiskinan dan pengangguran, termasuk bias berdaulat di bidang pangan.

Dengan demikian, soal reformasi agraria yang telah menjadi ketapan MPR belum menjawab soal ketimpangan pemilikan lahan atau dalam konteks kehutanan bisa diartikan tidak ada akses bagi penduduk setempat dalam pengelolaan/ pemamfaatan kawasan hutan. Ketimpangan pembangunan tetap terjadi, walaupun rerata pertumbuhan ekonomi dari 2004-2013 di antara kisaran 5-6%. Bagaimana ketimpangan ini terjadi, bisa dilihat pendapat Thomas Piketty dalam buku Capital in the 21st Century. Ketimpangan terjadi karena penguasaan modal hanya pada sekelompok orang akibat dari globalisasi dan pasar bebas yang mana arus modal yg masuk ke emerging countries hanya dapat diakses sekelompok orang. Di Indonesia sekitar 20% saja penduduk yang punya akses ke bank, sedangkan mayoritas tidak mendapat penghasilan dari bunga. Globalisasi dan liberalisasi telah membawa arus modal yang deras ke Asia dan berakumulasi pada sekelompok orang. Ternyata selain

(20)

di Indonesia, ketimpangan juga terjadi di China dan India, seperti terjadi di AS dan Australia.

Selain apa yang disampaikan oleh Thomas Pikety, kita juga bisa belajar apa yang disampaikan oleh Daron Acemoglu dan James A. Robinson dalam bukunya Why Nations Fail, The Origin of Power, Prosperity and Poverty tahun 2012 ternyata kemiskinan bukan karena kedaan alam dan budaya suatu bangsa, tetapi karena pemimpinnya gagal membuat kebijakan yang tepat. Diingatkan bahwa sangat penting bagi suatu negara agar institusi politik dan institusi ekonomi inklusif berjalan bersamaan untuk mencapai masyarakat yang makmur. Kegagalan terjadi karena institusi ekonominya bersifat ekstraktif yg hanya diperoleh sekelompok orang yang punya akses legal, keuangan dan pasar yang berkaitan dengan kekuasaan. Kelembagaan yang ada di negara berkembang yang meliputi peraturan dan kebijakan, tidak memberikan insentif bagi masyarakatnya untuk berinvestasi dan berinovasi.

Selain pemikiran di atas, pada masa Kabinet Indonesia Bersatu jilid I periode 2004-2009, ada Presidential Course yang disampaikan oleh Hernando de Soto terkait bukunya “The Mystery of Capital”. Ternyata kemiskinan terjadi karena penduduk miskin tidak mempunyai akses legal dalam kegiatan ekonomi formal. Selain akses legal, penduduk miskin juga tidak punya akses ke sumber pembiyaan sebagaimana disampaikan oleh Muhamad Yunus dalam Presidential Course berikutnya setelah Hernando de Soto mengenai sukses Grameen Bank di Bangladesh. Selain itu kita juga belajar keberhasilan soft reform di China, di mana tanah-tanah negara disewakan kepada penduduk untuk membangun hutan tanaman dengan jenis cepat tumbuh yang diperlukan oleh industri kayu di China. Hasilnya program pengentasan kemiskinan di China telah mendapat pengakuan di PBB tahun 2012 yang lalu. Di India, sejak 1950-an, beberapa negara bagian juga melakukan reformasi lunak (soft soft reform), di mana pemanfaatan lahan dilakukan dengan kebijakan memperkuat posisi penyewa serta menghapus institusi makelar tanah. Reformasi ini pun mampu menurunkan tingkat kemiskinan secara signifikan di India.

(21)

Dengan soft reformasi agraria tersebut, dan dengan membangun kelemagaan yang inklusif, kebijakan memberikan hak kewarganegaraan (citizenship) pada masyarakat setempat yang selama ini terpinggirkan secara struktural akibat kebijakan yang kurang tepat dan benar serta terpinggirkan karena faktor geografis (terpencil dalam kawasan hutan) kita berharap dapat menyelesaikan masalah tenurial kehutanan secara bertahap dan terencana. Kita yakin bila masalah tenurial kehutanan dapat diselesaikan maka untuk mewujudkan kepastian hukum untuk memperoleh pengelolan hutan lestari dan pengentaskan kemiskinan dapat tercapai. Oleh karena itu, saya minta Litbang Kehutanan harus bisa mengkritisi soft reformasi agraria yang sudah dimulai di Kehutanan.

Perbaikan peraturan perundangan, kebijakan yang mendorong inklusifitas dan nyata berpihak pada yang lemah dan terpinggirkan, akan menyukseskan reformasi agraria. Kita berupaya agar paradigma yang umumya ada di pembuat kebijakan, baik di pemerintahan, para politisi/elit lokal dan para ekonom yang melihat hutan sebagai source of land dan direct revenue from timber sales untuk pembangunan bangsa secara perlahan tidak terjadi lagi. Sepanjang elit lokal dan nasional hanya melihat hutan dua hal itu saja, maka keberadaan hutan akan habis dan menyisakan bencana ekologis dan konflik tenurial yang makin meruncing dan sulit diatasi.

(22)
(23)

2

Penataan Kembali

Reformasi Agraria Kehutanan di

Indonesia Pasca Desentralisasi

1

Oleh: Lilis Mulyani

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Wacana tentang reforma agraria di kehutanan sudah lama mengemuka. Meskipun kita masih bertanya-tanya sejauh mana komitmen sektor kehutanan dalam mendukung reformasi agrarian, khususnya bila dikaitkan dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan.

Di kalangan peneliti dan penggiat agraria, sektor kehutanan senantiasa menjadi wilayah yang agak sulit “dijamah”. Teman-teman yang berkecimpung di wilayah agraria sudah sering mencoba meminta sektor kehutanan khususnya untuk juga mendukung pelaksanaan reforma agraria. Tapi memang konteks dan cara pikir preventif seolah sektor kehutanan merupakan “dunia” yang benar-benar berbeda dengan “dunia” agraria karena mempunyai seperangkat aturan dan seperangkat hak-hak yang ditawarkan untuk memanfaatkan hutan.

Materi presentasi ini berdasarkan kajian kami di LIPI tentang “Reforma Agraria” selama tiga tahun. Kami mencoba mengevaluasi program reforma agraria yang dijalankan oleh pemerintahan SBY.

Ada hal menarik, ketika SBY meluncurkan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN), kemudian nama berubah-ubah dan pada akhirnya disebut dengan program Reforma Agraria, meskipun secara riil program ini masih pada tahapan pilot project. Kami pada tahun pertama di 2011 pernah membahas secara intensif. Secara ideal konsep reforma agraria yang diajukan oleh pemerintah SBY tahun 2007 adalah sangat ideal dilandaskan pada penataan aset dan akses. Penataan aset diilhami oleh

(24)

konsep Hernando de Soto, sedangkan penataan akses diilhami oleh Amartya Sen. Ini juga sudah dibukukan meskipun tidak di-publish, jadi hanya di dalam intern DPR oleh Pak Joyo Winoto dan jajarannya.

Mengapa reformasi agraria penting? Kita melihat reforma agraria ini, tujuan utamanya adalah menghilangkan atau mengurangi ketidakadilan, melalui:

1. Distribusi atau redistribusi tanah secara lebih merata.

2. Menyediakan sumber penghidupan berupa lahan untuk pekerjaan, yang tentunya akan menghasilkan penghasilan. Di perkotaan, konsepnya berbeda, karena lahan perkotaan terbatas maka tanahpun tidak bisa terlalu luas untuk dijadikan sumber penghidupan. Hal ini menarik karena bisa diterapkan konsep Hernando de Soto, menjadikan tanah sebagai kapital untuk direpresentasikan secara legal di dalam dunia ekonomi melalui tegakan.

Reforma agraria juga memberikan kepastian legal formal terhadap tanah/lahan/ property lainnya sebagai hak tertinggi dalam hukum kita. Atau memang ada alternatif-alternatif terbaik lain seperti yang dikatakan Pak Hadi tentang Soft Agrarian Reform di beberapa Negara.

Hasil evaluasi kita melihat bahwa sebelum melaksanakan reforma agraria ini ternyata ada prakondisi yang harus dipenuhi. Kita punya masalah yang sangat kronis, sistemik dan sangat dalam tentang pengelolaan sumber daya agraria di Indonesia. Sejak tahun 1960-an hingga kini masih banyak konflik, mungkin di antara kementerian sendiri tidak ada konsinyasi, masyarakat banyak yang mengklaim lahan, konflik terjadi di mana-mana. Belum lagi, hal ini ditambah persoalan desentralisasi yang menambah rumit persoalan. Ada hal-hal yang harus dipenuhi, misalnya hukum, kebijakan dan kelembagaan dan pemahaman riil tentang kebutuhan dan dinamika di dalam masyarakat.

Bentuk akses atas tanah secara hukum ada beberapa, yaitu hak akses, hak pemanfaatan dan hak milik. Hak milik menguasai/memiliki sebagai bentuk hak tertinggi. Di dalamnya sering disebut sebagai bundle of rights, termasuk ada hak akses, hak untuk mengalihkan, hak untuk memanfaatkan dan lain-lain.

Bentuk hak untuk rakyat yaitu: 1. Hak akses tanpa kepemilikan 2. Hak kepemilikan

Kelemahan bentuk hak untuk rakyat: 1. Hak akses tanpa kepemilikan:

(25)

b. Tidak menjawab persoalan ketimpangan c. Potensi konflik masih akan ada

d. Peningkatan daya atau posisi sosial di lingkungan tempat tinggal masyarakat tidak ada. Terkadang tanah bagi masyarakat kita merupakan status sosial. 2. Hak kepemilikan:

Kelemahan tidak ada karena ada risiko akumulasi tanah oleh orang per orang, investor dan spekulan tanah. Ketika jaminan sosial bagi masyarakat tidak kuat, jika ada risiko sakit, risiko biaya pendidikan tinggi, maka satu-satunya jalan adalah menjual tanah-tanah yang mereka miliki.

Kelebihan bentuk hak untuk rakyat: 3. Hak akses tanpa kepemilikan:

Jika kepemilikan tetap pada Negara, ini mengurangi risiko akulumasi tanah orang per orang atau perusahaan besar.

4. Hak kepemilikan:

Sementara jika hak kepemilikan diberikan pada orang per orang, maka ini merupakan hak asasi (human rights), ada di dalam konstitusi kita. Itu bisa juga dimanfaatkan, dimiliki dan dikelola maupun diwariskan. Bagi orang miskin juga bisa dijadikan sebagai tambahan modal. Ini akan menambah digniti atau posisi sosial di lingkungan tempat tinggal mereka.

Amanat UUD 1945, ada akses langsung dan akses tidak langsung. Akses langsung dijelaskan dalam UUPA melalui program land reform atau reforma agraria.

Mengenai reforma agraria dan tata kelola kehutanan, situasi saat ini memang akses atas tanah dan sumber daya agraria (meskipun sudah ada) jumlahnya masih sangat terbatas. Misalnya di wilayah hutan ada skema hutan kemasyarakatan, hutan desa, dan lain-lain. Di wilayah kebun ada skema PIR, inti plasma, koperasi. Di tanah pertanian ada program reforma agraria (PPAN).

Dari sekitar 190 juta ha hutan di daratan di Indonesia, 2/3 adalah tanah dalam kawasan hutan. Mayoritas sudah dibebani hak, ada hak pakai, HPH, HTI. Sisa daratan lain (1/3-nya) adalah tanah milik maupun tanah pertanian yang juga sudah sangat terbatas. Jadi peluang untuk distribusi dan redistribusi tanah sangat kecil kepada masyarakat miskin.

(26)

terpisah-pisah), tidak ada koordinasi. Ini juga diperparah dengan desentralisasi, jika di tingkat horizontal level pusat ada masalah ternyata di “bawahnya” secara vertikal ada masalah juga dengan Pemerintah Daerah yang mempunyai kewenangan sendiri untuk memberikan hak pemanfaatan tanah yang ada di daerahnya. Sementara itu rakyat menjadi tidak memiliki akses yang memadai pada tanahnya.

Reforma agraria kehutanan terus terang sangat menarik, karena dalam dokumen BPN tentang reforma agrarian tahun 2006, disebutkan bahwa dalam rangka melaksanakan reforma agraria Presiden RI melalui peraturan pemerintah akan mengeluarkan aturan yang menetapkan, menyatakan melepaskan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 8,15 juta ha di 17 provinsi di Indonesia. Kemudian menyatakan status tanah tersebut menjadi tanah Negara (di bawah kekuasaan langsung Negara) dan mengalokasikannya sebagai obyek reforma agrarian, sekaligus memberikan kewenangan khusus kepada kepala BPN untuk mengelola areal tersebut.

Reforma agraria yang diajukan tahun 2006/2007 itu mengasumsikan ada sekitar 11 juta ha lahan yang bisa diredistribusikan dan 8,15 juta ha ada di kehutanan. Hal ini saya “ambil” dari dokumen BPN yang tidak di-publish, tetapi kita bisa cari di BPN mengenai pelaksanaan reforma agraria. Dokumen ini merupakan dokumen yang disusun sebagai pelaksanaan program reforma agraria. Sayangnya kita tidak bisa menelusuri beberapa data termasuk data penentuan 11 juta ha dan 8,15 juta ha ini dari mana. Pada akhirnya, ini tidak mendapat respon yang memadai dari kehutanan sendiri. Apakah kehutanan bisa melepaskan kawasan seluas itu untuk diredistribusi? Hal ini masih menjadi pertanyaan dalam pelaksanaan reforma agraria hingga kini. Pada akhirnya BPN hanya bisa melakukan apa yang berada di bawah kewenangannya, yaitu menetapkan sekitar 3 juta ha tanah terlantar yang bisa diredistribusi. Jadi sudah tidak lagi mengutak-atik yang 8,15 juta ha, melainkan beralih pada 3 juta ha tanah terlantar. Akhirnya dikeluarkan PP No. 11 tahun 2010.

Ada beberapa hal, misalnya: kenapa program reforma agraria dicanangkan oleh Pak SBY, kemudian terhambat. Sebetulnya ini klise, ada resisten di sektoral, belum adanya hukum yang memadai, tidak adanya koordinasi. Meskipun ada rotasi lokal, tetapi sifatnya sangat temporer tergantung pimpinan daerah. Ada aspek politis, aspek struktural, program-program, solusi-solusi yang diberikan misalnya hak atas hutan kemasyarakatan. Bentuk reforma agraria sendiri sebetulnya tidak menyelesaikan masalah-masalah konflik agraria. Jadi ia hanya menegakkan symptom (gejala) konflik, ketika ada konflik diberikan akses tetapi sebetulnya permasalahannya belum terselesaikan. Karena “akarnya” justru berada pada pengakuan akan hak masyarakat.

(27)

1. Menjamin kepastian akses rakyat atas tanahà ini menjadi penting namun meskipun aksesnya sudah ada tetapi seringkali tidak mencukupi, misalnya luasan tanah tidak mencukupi. Bisa kita lihat pada praktek pelaksanaan PPAN di beberapa daerah misalnya di Cilacap, pada akhirnya lahan yang diredistribusi hanya sekitar 200 m2/kepala keluarga. Hal itu jelas sangat tidak mencukupi untuk pemenuhan kehidupan mereka. Ini yang terjadi di pedesaan, apalagi di perkotaan.

2. Mencairkan sektoralisme.

3. Memastikan bahwa akses harus diawali dan diikuti dengan koordinasi antar instansi, tidak hanya instansi pelaksananya saja.

Kami dengan teman-teman juga mencoba mendorong penyempurnaan rencana PP Reforma Agraria, sayangnya hingga kini tidak jelas nasibnya dan bahkan dimasukkan di dalam RUU Pertanahan.

Proses evaluasi, mengapa reforma agraria sulit dilaksanakan? Di level Negara masih banyak permasalahan, seperti ideologi, landasan hukum, kelembagaan. Di tingkat implementasi di masyarakat juga banyak permasalahan seperti sosialisasi, adaptasi, resistensi untuk mencapai ideal yang diinginkan oleh program reforma agraria yaitu keadilan, kesejahteraan, keberlanjutan dan harmoni.

Dari hasil kajian selama tiga tahun, kami mencoba memberikan rekomendasi. Sebetulnya ada yang “missed” dalam perencanaan pengelolaan kebijakan agraria kita, yaitu kita tidak punya desain besar tentang perencanaan pengelolaan sumber daya agraria nasional. Ini perlu dilakukan tidak hanya dari sisi ideologi, hukum dan kelembagaan, tapi kita memerlukan knowledge management yang baik. Kita perlu satu data, satu peta dan rencana yang terintegrasi, satu tujuan. Jika sudah demikian adanya (knowledge management yang baik; persepsi tidak jauh berbeda; tujuan sama) itu tentu akan lebih mudah merencanakan pengelolaan sumber daya agraria termasuk melakukan reforma agraria di bidang kehutanan.

Rekomendasi umum:

(28)

Setelah melakukan overlay dan sinkronisasi bisa menyelesaikan konflik tata batas, karena batas-batas yang overlapping akan kelihatan kalau petanya sama. Kalau petanya beda, yang overlapping tidak akan bisa terlihat.

2. Dari pemetaan dan sinkronisasi, tumpang-tindih terjadi tidak hanya di sektor-sektor agraria yang ada, seperti kehutanan, tanah, tambang, tapi juga ada desa-desa definitif yang ada di sekitar hutan atau di dalam hutan. Hal ini akan terus menimbulkan konflik kalau tidak diselesaikan.

3. Membuka kemungkinan pemanfaatan tanah di dalam kawasan kehutanan bagi pelaksanaan reforma agraria. Menambah peluang bentuk-bentuk akses, seperti social forestry, meskipun masih terlalu sedikit jumlahnya. Memberikan peluang untuk meredistribusi tanah-tanah di dalam kawasan hutan. Jika tidak dapat diredistribusi, saya rasa ada beberapa alternatif yang bisa dilakukan, misalnya tanah-tanah yang diberikan areal penggunaan lain atau tanah-tanah hutan yang tidak dapat berproduksi bisa dibagikan ke masyarakat sekitar.

4. Siknronisasi peraturan perundang-undangan yang ada. Seperti UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, UU otonomi dan peraturan-peraturan lain yang sudah ada atau yang sedang dibahas. Misalnya proses RUU Pertanahan di DPR, seringkali “missed” dengan peraturan-peraturan yang sudah ada. Seharusnya proses-proses pembahasan di DPR maupun UU yang sudah disahkan berkorelasi satu dengan yang lain.

Rekomendasi besar dari kami adalah desain perencanaan kebijakan agraria nasional: 1. Harus ada knowledge management yang baikà kita buat standar data, satu peta, satu

tujuan. Konsep-konsep mengenai hak atas tanah. Kita lihat, memang ada dua sistem yang berbeda. Jadi sistem UUPA dan sistem di kehutanan yang berbeda. Walaupun agak susah, harus dimulai dari sekarang. Knowledge management ini konsepnya disamakan dahulu mengenai hak atas tanah; hak pemanfaatan; hak akses. Pengetahuan ini kemudian diimplementasikan menjadi kebijakan.

2. Melakukan revisi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan di tingkat lokal dan nasional dengan melakukan dialog-dialog, baik dialog agraria maupun dialog kehutanan. Melakukan teknik “engagement” akan isu agraria dan reforma agraria. Mendorong teknisi dan mendorong pembuatan beberapa buku. Kemudian di tingkat meso kita melakukan pendataan atas tanah-tanah terlantar, baik di kawasan hutan maupun kawasan non-hutan. Di tingkat mikro kajian kami melihat pendataan mengenai calon penerima manfaat.

(29)

3

Memperkuat Partisipasi Warga dalam

Kebijakan Reforma Agraria untuk

Transformasi Kelola Hutan

1

Oleh: Arie Sujito

Fisipol Universitas Gajah Mada Yogyakarta

Saya akan menyampaikan suatu point kunci mengawali presentasi saya bahwa problem reforma agraria itu sebenarnya berada pada soal kepemimpinan politik. Hari ini saya membaca Harian Kompas bahwa reforma agraria akan diprioritaskan. Dalam berita tersebut disebutkan bahwa problem soal distribusi, keadilan dan kemakmuran yang Pak Sekjen sampaikan memang sampai sekarang menjadi problem serius. Ketika terjadi desentralisasi kekuasaan dari pusat ke daerah, orientasi kebijakan di dalam pengelolaan sumber daya alam belum berubah. Jadi sebenarnya antara skema tata kelola yang didesentralisasi pusat ke daerah tetapi mindset di dalam meletakkan kebijakan pembangunan itu belum di-install (belum berubah). Itu yang membuat saya yakin bahwa problem reforma agraria bukan sekedar soal teknokratis, soal ketiadaan data atau soal ketiadaan tanah yang bisa dipakai atau ketiadaan aturan. Tetapi soal konsistensi bagaimana pemerintah, DPR dan berbagai pihak yang mempunyai kepentingan membaca masalah itu secara komplit.

Persoalan konflik struktural yang terjadi di berbagai tempat, baik kasus Mesuji, kasus Bima, sengketa lahan di Kalimantan, Sulawesi, Papua, NTB dan seterusnya. Saya kira ada problem, daerah sendiri “kedodoran” untuk menjawab desentralisasi ke arah yang lebih tepat. Pak Sekjen tadi mengatakan bahwa orientasi yang terjadi saat ini adalah liberalisasi, kebijakan yang tidak kompatibel dengan visi untuk menghargai lokalitasnya. Saya ingin mengajak dan menyampaikan frame reforma agraria dalam konteks kehadiran UU Desa. Tanggal 18 Desember tahun 2013 lalu, DPR bersama pemerintah mengesahkan UU Desa. Saya waktu itu menjadi fraksi “balkon” di atas, karena saya tiga tahun mengawal UU ini.

(30)

Perdebatannya hari ini menjelang pemilu adalah seolah-olah soal “bagi-bagi duit” Rp 1,2 miliar. Substansi mengenai UU Desa bukan hanya soal itu. Hari ini ada klaim dari salah satu partai bahwa akan mendapat Rp 1 miliar. Siapapun presidennya nanti APBN akan mengalokasikan dana untuk desa Rp 800 juta-1,2 miliar, itu berdasarkan porsi. Mengapa ini terjadi? Kita tidak sekedar pada soal itu tetapi apa hubungannya dengan reforma agraria.

Pertama, dalam UU Desa, posisi desa itu sekarang diakui sebagai entitas yang bukan sub kabupaten/kota, tetapi bagian dari NKRI. Itu yang disebut azas rekognisi. Karena pengakuan itu berdasarkan pasal 18b ayat (2), maka desa atau entitas masyarakat punya hak untuk menerima sumber daya itu. Debat seperti ini sebetulnya sangat filosofis soal kebijakan, tapi lagi-lagi orang tidak memahami, tapi hanya sekedar “apa bisa desa mengelola resources seperti itu?” Selalu begitu. Saya agak jengkel karena di Indonesia, semua argumen soal peraturan berhenti dan terdistorsi hanya soal implementasi, padahal sesunguhnya di balik itu punya makna yang cukup besar.

Kedua, sekarang desa itu ditempatkan sebagai subyek dalam pengambilan keputusan strategis di tingkatnya. Kritik Pak Sekjen mengatakan bahwa “otonomi daerah tidak mampu menciptakan kemakmuran”, iya karena dibajak oleh elit-elit lokal. Bupati sebagain besar di Indonesia (tidak semua), kelakuannya mengeksploitasi sumber daya alam dan dia memfasilitasi praktik eksploitasi tanpa mengubah paradigma. Dengan demikian terjadi elite capture, dan pembajakan demokrasi lokal itu yang membuat tidak ada hubungan desentralisasi dengan pemerataan. Jika isu tanah akan dipahami sebagai bagian dari komitmen politik, itu “nggak nyampe”. Apalagi beberapa daerah yang masih kuat entisitas, isu tanah tadi melekat di dalam entisitas itu.

Ketiga, sekarang ini karena desa diakui, kita tahu problem reforma agraria ini kaitannya dengan orang-orang desa. Sebesar 75% orang tinggal di desa, saya pernah tanya dengan orang BPN “berapa tanah yang terekam di BPN?”, “sekitar 30%”. Maka saya yakin, kehutanan ini bukan sekali ini bicara soal reforma agraria, “cuma selalu mentok”. UU desa ini akan berbenturan dengan sektor lain, seperti migas dan kehutanan. Kalau misalnya Kementerian Kehutanan punya komitmen soal ini, maka memang harus “nyambung” dengan UU lain.

(31)

punya Musrenbang, siapa yang tidak tahu Musrenbang itu teorinya demokratis pendekatannya partisipatif, politis dan teknokrasi? Tapi dari studi kami di berbagai tempat, ketiganya itu disconnect. Keinginan DPRD pasti berbeda dengan Dinas, keinginan Dinas berbeda dengan usulan rakyat termasuk menjadi prioritas. Soal hutan rakyat, soal aset dan sebagainya, tidak pernah masuk dalam Musrembang, karena itu “dunia” yang lain dan bahkan ‘abu-abu’. Itu adalah diskoneksi yang pertama. Diskoneksi yang kedua, itu pembangunan di daerah, mengapa tidak ada hubungannya dengan kesejahteraan? Karena memang antar sektor nggak nyambung, antara pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan seterunya punya indikator-indikator yang berbeda. Memecahkan problem kemiskinan juga tidak sama. Yang ketiga, antara perencanaan dan penganggaran itu tidak sama. Usulannya: a) Nanti penganggaran bias; b) Maka pendekatan ini, menurut saya dari studi kami mengatakan seluruh argumen teknokrasi dalam perencanaan partisipatif di daerah untuk menjawab problem-problem rakyat, soal sumber daya alam itu tidak menjawab masalah-masalah.

Oleh karena itu saya hanya ingin menyambungkan saja komitmen Kementerian Kehutanan untuk menata ulang tentang reforma agraria. Bagaimana dikerangkakan, didialogkan dengan UU Desa sekarang dan mendudukkan desa itu sebagai subyek pembangunan.

Maaf saja saya kira kalau presiden itu punya komitmen yang besar kepada rakyat, harusnya reforma agraria menjadi prioritas. Ini sengketa lahan di mana-mana, pidatonya pasti stabilitas politik, disintegrasi. Bagaimana mungkin tidak ada ancaman disintegrasi? Resources tidak merata. Saya sebagai seorang sosiolog mengatakan diskrusus kita tentang policy nasional itu tidak merepresentasi kelompok-kelompok marginal. Akibatnya apa? Moralitas kelompok pinggiran, ya kenekatan itu karena nggak ada yang bisa dipertahankan. Kalau kita melakukan tindakan anarki soal klaim sumber daya alam, itu bukan berarti mereka tidak bermoral dalam pengertian hitam-putih. Lebih baik dia berani mati daripada hidup di dalam proses marginalisasi. Saya tiga bulan yang lalu, waktu menyusun UU Desa ini ke Sumatera Utara dialog dengan warga di daerah Deli Serdang. Para petani yang selama ini bentrok soal pengelolaan lahan sawit, itu problemnya sebetulnya adalah pengakuan mereka yang memanfaatkan resources tidak ada. Dan ketika mereka sudah lama memanfaatkan itu, tiba-tiba pengusahanya memerintahkan mereka untuk pergi dengan cara-cara kekerasan dan ketika digugat dan diproses secara hukum, seolah-olah hak untuk mengelola sumber daya alam masih dimiliki oleh pengusaha, padahal sudah habis, jadi rakyat tidakpunya informasi soal seperti itu, taunya mereka harus mengalah.

(32)

untuk menemukan kembali aset-aset mereka yang hilang. Dalam UU ini ada pasal-pasal yang khusus. Saya mengawal dengan Pansus luar biasa dan meyakinkan DPRD dan DPR waktu itu, aset desa itu banyak yang hilang. Hilangnya itu tidak jelas, tiba-tiba ini tanahnya desa tiba-tiba-tiba-tiba “dicaplok” kabupaten padahal sudah punya mereka, dan konflik di berbagai tempat klaim-kalim lahan itu. Pertanyaannya adalah, apa yang bisa dijawab seperti ini? Apakah konflik terus dan mendapat perlawanan terus dari rakyat? Kalau misalnya para pengusaha itu membayar preman, atau Negara membayar aparat untuk menghancurkan mereka, pasti publik tidak akan sulit menilai di mana Negara ini memposisikan diri.

UU Desa ini menempatkan agar aset-aset desa yang selama ini hilang, dikembalikan. Dalam waktu dua tahun desa harus bersama kabupaten dan BPN mengidentifikasi aset-aset desa yang selama ini dimiliki tetapi tidak dipakai lagi oleh kabupaten. Aset yang dikuasai oleh kabupaten atau pemerintah pusat yang masih digunakan untuk fasilitas umum tidak boleh diambil oleh desa, tapi yang tidak berfungsi, kabupaten dan pemerintah mengembalikan kepada desa. Tanah seperti miliknya bengkok (di desa), dulu jaman orde baru memang diminta oleh kabupaten. Kalau sekarang dipakai untuk puskesmas tidak apa-apa karena masih untuk fasilitas umum, tetapi misalnya untuk kantor partai atau yang sudah tidak berfungsi untuk dijadikan kantor koperasi. Yang tidak berfungsi wajib hukumnya dikembalikan kepada desa.

Sebetulnya kalau UU Desa itu konsisten dibaca secara utuh untuk mengembalikan soal kedaulatan dan hak-hak masyarakat desa yang selama ini dihilangkan terutama menyangkut sumber daya alam, ini adalah bagian dari upaya untuk reforma agrarian, sekalipun UU ini belum detail. Nanti kita bisa lihat misalnya Kementerian Kehutanan bisa mengidentifikasi peralihan hak tanah yang selama ini ada, karena memang sebagian besar tidak teridentifikasi dengan baik. Saya dapat data dari LBH, banyak rakyat sekarang ditangkapi gara-gara sekedar mengambil kayu kecil. Sekarang ini “keras-keras” menjelang pemilu di beberapa tempat. Kenapa seperti ini terus-menerus? Kalau terus-menerus seperti itu maka tidak ada lagi sebetulnya rekognisi soal social capital yang mereka harus hargai. Saya membayangkan percuma pemimpin-pemimpin kita itu punya pidato tentang integrasi nasional kalau pengurusan redistribusi ini selalu melindungi pengusaha yang jahat dan tidak melindungi rakyat yang memang secara obyektif mereka butuh perlindungan.

(33)

segera “dipecahkan”, membuat road map yang cukup jelas maka itu bisa memaksa kabupaten/kota untuk membuat terobosan-terobosan baru. Saya lihat bupati-bupati banyak sekali yang royal, mereka mengeluarkan duit begitu banyak, jual tanah/asetnya kepada penggusaha untuk kepentingan Pilkada. Menurut saya ini tidak fair. Pada akhirnya banyak sekali eksploitasi sumber daya alam dan mineral oleh kelompok-kelompok bahkan perkebunan, dengan keuntungan tidak akan kembali kepada masyarakat tetapi justru hanya menguntungkan sekelompok elit.

Maka pertanyaan besar yang dapat kita tarik secara makro, kalau rakyat selama ini begitu loyal ikut pemilu, merekalah yang mensubsidi demokrasi, tanpa rakyat petani tidak mungkin demokrasi itu “hidup”. Coba dicek, angka golput sebagian adalah orang-orang kota. Tetapi seberapa besar sebetulnya subsidi Negara pada mereka yang loyal pada demokrasi?

Tantangan kita sekarang adalah, bagaimana menata ulang dengan road map. Datanya berapa? Yang miskin dan tanah-tanah yang dikuasai oleh Negara, tanah yang dikuasai oleh pengusaha. Kuncinya menurut saya adalah pemimpin poltik. Tanpa komitmen politik, data “sehebat” apapun percuma, karena faktanya debat di Indonesia itu hanya debat teknokratik. Soal demokrasi juga begitu. Orang bicara terus tentang DPT, untuk apa juga selama lima tahun tidak dibenahi? Tiap lima tahun juga diulang kesalahan-kesalahan yang sama. Besok, lima tahun lagi jangan sampai mengulang debat reforma agraria gara-gara tidak ada data. Itu omong kosong. Menurut saya ini penting untuk kita karena kalau sekali ada komitmen politik dan itu diikuti, saya rasa seorang presiden bisa memerintahkan bupati-bupatinya. Dengan kewenangan otonomi kabupaten, tapi secara relatif dia punya hak punya otoritas untuk melakukan percepatan reforma agraria ini.

Saya yakin reforma agraria ini bisa dilakukan dengan baik sebagai prioritas salah satu agenda reformasi. Kita tidak akan risau dan galau soal disintegrasi nasional. Tetapi sebaliknya selama reforma agraria ini terus “menggantung”, ketegangan antara kelompok-kelompok pengusaha, kemudian masyarakat dan Negara “dibiarkan” maka premanisme selalu muncul.

Pertanyaan yang penting: apakah rakyat bisa mendapatkan akses berdemokrasi atau tidak?

(34)
(35)

4

Reforma Agraria:

Isu yang Tak Berujung

1

Oleh: Lukas R. Wibowo

Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan

Pada hari ini saya akan bicara mengenai topik dengan judul Reforma Agraria: Isu yang tak berujung. Mengapa tidak berujung? Dalam bayangan saya isu ini bisa diketahui ujungnya kalau kita mau. Tapi persoalannya adalah bahwa saat ini reforma agraria masih menjadi isu. Seiring dengan sekumpulan isu-isu yang lain seperti isu sosial, isu krisis pangan dan isu ekologi.

Sebenarnya secara sederhana, reforma agraria didefinisikan sebagai penataan terhadap struktur penguasaan maupun kepemilikan lahan, terutama bagi masyarakat yang tidak mempunyai lahan. Kalau kita amati, banyak negara-negara yang secara konsisten melakukan itu. Namun kita tetap menempatkan reforma agraria sebagai isu di level terendah.

Pada saat ini ada kecenderungan bahwa terjadi proses yang namanya de-landreformisasi dan guremisasi petani dan pertanian. Ini adalah gambaran mengenai posisi reforma agraria dalam konteks konfigurasi wacana pembangunan nasional, di mana reforma agraria ini masih belum masuk isu konflik. Yang masuk dalam isu konflik adalah isu korupsi, konflik politik dan macam-macam. Juga belum masuk kedalam agregat, ini menjadi problem tersendiri.

Ini semua terkait juga dengan peningkatan pembangunan yang kita lakukan, yang menempatkan paradigma pertumbuhan ekonomi yang tinggi sebagai paradigma. Konsekuensi dari model peningkatan pembangunan ini kalau menurut “hukum keterbatasan”, jika penduduk naik, maka carrying capacity (daya dukung lingkungan) akan turun. Dampak selanjutnya adalah produksi sumber daya alam juga akan menurun. Akhirnya akan terjadi gap antara kebutuhan akan SDA dengan carrying capacity.

(36)

Kemudian yang terjadi adalah masalah lingkungan akan muncul, termasuk konflik yang dihubungkan antara kelangkaan SDA, termasuk ketimpangan penguasaan sumber daya alam dan juga ada penindasan SDA sebagai pelengkap dan SDA sebagai sumber sosial.

Kita lihat lokasi-lokasi masyarakat adat. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya ada persoalan penindasan tadi. Ini adalah gambaran tentang konflik agraria yang terjadi, di mana sejak tahun 2004 hingga tahun 2013 telah terjadi banyak kasus. Ada sekitar 900 lebih kasus konflik dan obyek yang disengketakan pun cukup luas, lebih dari 3 juta hektar.

Ini menggambarkan tentang relasi antara pertumbuhan ekonomi (yang tadi Pak Sekjen membahas secara detail) dengan ketimpangan sosial. Data ini menunjukkan bahwa tesis tentang pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tidak selalu diikuti dengan tingkat kesejahteraan yang tinggi pula. Kalau kita lihat dari tingginya rasio sejak jaman Orde Baru hanya sekitar 0,32. Tapi pasca Orde Baru justru meningkat, secara ekonomi pertumbuhan semakin meningkat. Kalau sekarang ini orang banyak yang mengatakan “enak jaman ku tho”, itu sebetulnya menunjukkan frustasi dari masyarakat terhadap kondisi ekonomi dan politik. Mereka menginginkan/mengharapkan/ membayangkan ada romantisme baru seperti yang dulu terjadi pada jaman Orde Baru.

Fakta lain menunjukkan bahwa penduduk miskin secara nasional ada sekitar 28 juta (menurut ukuran BPS), tapi menurut World Bank jauh lebih besar, sekitar 5/6 kali lipat. Dari jumlah ini ada sekitar 17 juta penduduk miskin pedesaan; 90% dari penduduk miskin itu tidak menganggur, mereka mengaku kerja keras tapi masalahnya mereka tetap miskin. Ini yang menjadi problem. Ada problem keterbatasan akses masyarakat terhadap sumber daya alam, terutama tanah.

(37)

Poin yang ingin saya katakan di sini adalah bahwa perambahan itu bukanlah permasalahan ekonomi semata tetapi ini karena perebutan atas kontrol administratif dan politik, yang melibatkan bukan hanya warga tapi juga antar institusi lembaga daerah dan pusat. Ini adalah peta perambahan, di mana masyarakat merambah sampai ke kawasan konservasi. Dan ini adalah dampaknya, kerugiannya sungguh fantastis. Total kerugian sejak diberlakukan otonomi daerah lebih dari Rp 200 triliun.

kebijakan ini sudah dijalankan oleh Kementerian Kehutanan, di mana ada reforma agraria, ada akses reform dan aset reform. Akses reform ini skemanya adalah HKm, hutan desa dan HTR. Targetnya adalah masyarakat desa hutan yang terkait dengan land distribution. Sebenarnya masih dipertanyakan juga apakah mungkin ini by design atau mungkin karena tekanan-tekanan yang ada? Pelepasan kawasan hutan merupakan instrumen-instrumen yang sebenarnya masuk dalam skema land distribution. Targetnya adalah perusahaan perkebunan dan masyarakat desa hutan, termasuk perambah. Problemnya adalah, kebanyakan dari obyek yang ‘dilepas’ selama ini dikuasai oleh para pemodal. Ini menjadi problem dan ini terkait dengan kebijakan daerah juga.

Pertanyaannya kemudian adalah: efektifkah kebijakan selama ini? Saya pikir belum efektif karena indikatornya adalah konflik lahan di mana-mana. Kemudian masyarakat desa hutan yang masuk kategori miskin masih cukup banyak. Ini data tahun 2006 sebenarnya. Tahun 2004 lalu mungkin lebih banyak dari 10 juta. Pengelolaan hutan jauh dari keadilan masyarakat. Ini yang terkait dengan kondisi akses dalam konflik pengelolaan hutan di mana para pemodal besar masih menguasai. Coba kita lihat dari porsinya. Kalau HKM, CBFM masih sekitar 2%, sementara kalau pengusaha menguasai lebih banyak.

(38)

Pertanyaan besar kemudian adalah, perlukah kita mempertahankan kawasan hutan seluas lebih dari 136 juta hektar atau mungkin menguranginya? Sebenarnya Kemenhut juga responsif, sekarang ada peraturan baru tentang pembatasan ijin usaha pemanfaatan hutan (P 8 tahun 2014), maksimum satu perusahaan/holding hanya 50.000 ha luasannya. Ini adalah langkah-langkah strategis yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan. Persoalannya nanti di tingkat implementasi, bagaimana kita bisa mengawasi, supaya masayarakat bisa benar-benar mengontrol agar berjalan dengan baik.

Terkait dengan kelembagaan KPH di tingkat tapak, cukup ‘cut’ hanya untuk meningkatkan efektivitas atau efisiensi pengelolaan hutan, atau justru untuk meningkatkan kontrol Negara atas hutan? Atau mungkin KPH justru bisa menjadi bagian penting dalam proses transformasi agraria. Ini yang menjadi tanda tanya besar bagi kita. Kalau bagi saya, KPH harusnya bisa menjadi bagian dari proses.

Terkait dengan pelepasan kawasan, dalam pelepasan kawasan sesuai dengan Pasal 19 UU 41, ada Timdu. Timdu mempunyai kewenangan scientific untuk menentukan lahan itu bisa dilepas atau tidak. Kalau menurut saya secara moral Timdu harus ditingkatkan kapasitasnya. Tidak hanya sekedar melepaskan bahwa ini layak atau tidak secara scientific, tapi juga harus bisa menentukan siapa yang harusnya menerima. Harus ada perubahan, tidak hanya sekedar itu. Ini merupakan tanggung jawab moral yang besar. Kalau hanya sekedar layak atau tidak, kemudian yang terjadi adalah kawasan akhirnya ‘jatuh’ pada pengusaha-pengusaha besar, ada konsentrasi penguasaan kawasan yang terjadi.

Perlukah kita membentuk semacam Badan untuk mengatasi sektoralisme? Kalau di REDD sudah ada Badan tersendiri, tetapi kalau di reforma agraria belum ada. Ini masalah krusial yang bisa saja harus ada Badan yang mampu melampaui kewenangan sektor, yang bisa mengorganisasikan, mensinergikan menjadi tatanan kita.

(39)

5

Pengukuran

Good Forest Governance

Indonesia

1

Oleh: Sulistya Ekawati, Haryatno Dwiprabowo, Fentie Y. Salaka, & Sylviani

Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan

5.1 Pendahuluan

Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai hutan tropis terbesar di dunia. Luas hutan Indonesia menduduki peringkat ketiga setelah hutan tropis Brazil dan Zaire, yaitu 109,96 juta hektar. Keberadaan hutan di Indonesia tersebut memberikan manfaat ekonomi (kontribusi pada pendapatan negara, kesejahteraan masyarakat, penyerapan tenaga kerja), sosial (knowledge wisdom, kepercayaan, adat) dan manfaat ekologi (penyerap karbon, pengendali banjir, kesuburan tanah, keindahan alam). Manfaat hutan yang besar tersebut tidak hanya berskala lokal, regional dan nasional saja, tetapi jangkauannya sudah global. Tidak mengherankan bila ada tuntutan untuk menjaga kelestarian hutan tropis di Indonesia semakin menguat. Hal itulah yang mendorong Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 26% dengan biaya sendiri dan 41% dengan dukungan pembiayaan dari luar negeri.

Hutan harus dikelola agar lestari. Dari sisi teknis sudah banyak dikembangkan teknik silvikultur, mulai dari perbenihan sampai pemanenan, bahkan pengolahannya. Kelestarian hutan ternyata tidak bisa didekati dari aspek teknis semata, sampai akhirnya muncul kesadaran bahwa Sustainable Forest Management (SFM) sangat tergantung pada kondisi pemungkin yaitu kebijakan, hukum dan institusi, yang semuanya itu tercakup dalam tata kepemerintahan atau tata kelola hutan yang baik (good forest governance).

Forest governance didefinisikan sebagai proses, mekanisme dan tata cara yang melibatkan nilai, power, kewenangan, hak dan kewajiban dalam pengelolaan sumber

(40)

daya hutan melalui interaksi pemerintah, masyarakat dan dunia usaha, baik informal maupun formal, dalam skala lokal, nasional maupun global agar hutan lestari dan masyarakat sejahtera. Tata kelola hutan yang baik sangat tergantung pada konteks. Meskipun unsur-unsur penting tata-kelola bersifat umum, tapi pada dasarnya tata kelola juga spesifik, tergantung karakteristik sumber daya hutan dan masyarakatnya (Mayers et al., 2005).

Sampai saat ini belum ada model aplikatif good forestry governance di Indonesia yang seara resmi dijadikan acuan oleh pemerintah (Kementerian Kehutanan) untuk mengukur kinerja pengelolaan hutan, padahal banyak pihak sudah menginisiasi untuk menyusun metode yang terkait dengan governance pengelolaan hutan. Beberapa metode yang ada adalah: 1) FAO (2011), 2) World Bank (2009), 3) WRI (2009), 4) Meyer et al. (2005), 5) LSM Kemitraan (2011) dan 6) UNDP, kerjasama dengan Kementerian Kehutanan, UKP4, Bappenas yang disponsori oleh UNREDD Global Programme (2012).

Beberapa tools yang ada belum secara komprehensif mengukur mengelolaan hutan secara menyeluruh, mulai dari tata hutan, penyusunan rencana pengelolaan hutan, rehabilitasi/reklamasi hutan, pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan, perlindungan hutan serta konservasi alam. Selain itu, indikator yang sudah ada lebih menitikberatkan pada tujuan pengukuran untuk mendapatkan angka atau indek atau pengkelasan warna untuk menunjukkan kinerja suatu institusi. Saran atau tindak lanjut untuk perbaikan tata kelola belum banyak mendapat perhatian, sehingga tidak jelas rekomendasi yang dihasilkan untuk perbaikan tata kelola ke depan. Untuk mengisi kekosongan tersebut, metode yang menggambarkan kriteria dan indikator kemajuan forest governance ini disusun.

Tools ini dibangun lebih sederhana dan implementatif sehingga bisa dipakai oleh semua pihak, khususnya pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mengukur kemajuan tata kelola hutan yang ada di wilayahnya. Selama ini pemerintah pusat belum menyiapkan instrumen untuk mengukur kinerja pengelolaan hutan di daerah, padahal sebagian besar pengelolaan hutan (hutan lindung dan hutan produksi) diserahkan kewenangannya kepada pemerintah kabupaten (KPH).

5.2 Tujuan

Tujuan dari penyusunan tools ini adalah:

1. Untuk mengukur kinerja tata kelola hutan di level Pemerintah Kabupaten dan KPH.

(41)

5.3 Pengguna (

User

)

Pengguna (user) dari tools ini adalah: Kementerian Kehutanan, Dinas Kehutanan Provinsi/Kabupaten dan KPH.

5.4 Kerangka Kerja

Tools ini disusun dengan menggunakan kerangka kerja yang terdiri dari dua komponen dan lima isu. Kerangka kerja/framework diartikan sebagai kerangka konseptual yang mencakup komponen, isu dan prinsip yang mendefinisikan tata kelola kehutanan yang baik.

Komponen adalah dasar/elemen dalam tata kelola atau faktor penting yang mempengaruhi tata kelola kehutanan. Dalam kerangka kerja ini, tata kelola hutan dilihat dari dua sisi yaitu: 1) kebijakan/program dan 2) implementasinya. Kebijakan di sini mengacu pada pendapat Wilson (2006), yang mendefinisikan kebijakan publik sebagai tindakan-tindakan, tujuan-tujuan, dan pernyataan-pernyataan pemerintah mengenai masalah-masalah tertentu, langkah-langkah yang telah/sedang diambil dan penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh pemerintah mengenai apa yang telah terjadi. Bentuk kongkrit dari kebijakan tertuang dalam program. Kerangka kerja yang disusun ingin melihat gap antara kebijakan/program dan implementasinya, apakah kebijakannya sudah bagus tetapi implementasinya yang buruk atau sebaliknya atau keduanya yang buruk. Pemisahan dua komponen tersebut akan memudahkan untuk merumuskan perbaikan tata kelola kehutanan ke depan.

Pemilihan isu dirumuskan berdasarkan permasalahan yang saat ini dihadapi kehutanan. Permasalahan tersebut dikelompokkan dengan merujuk pada aspek pengelolaan hutan, karena tujuan tools ini adalah untuk mengukur indeks penerapan good forest governance di daerah. Isu yang dinilai adalah:

1. Pemantapan kawasan hutan, terdiri dari 3 bagian yaitu: tata batas kawasan hutan, pembangunan KPH dan tenurial.

2. Rehabilitasi dan reklamasi hutan, terdiri dari 3 bagian yaitu: rehabilitasi/reklamasi di hutan produksi, rehabilitasi/reklamasi di hutan lindung dan rehabilitasi/ reklamasi di hutan konservasi.

3. Perlindungan hutan, terdiri dari 3 bagian yaitu: penanganan illegal logging, pengendalian perambahan dan pencegahan kebakaran hutan.

(42)

5. Konservasi keanekaragaman hayati, terdiri dari 2 bagian yaitu: konservasi flora dan konservasi fauna.

Prinsip merupakan ukuran untuk mencapai kondisi minimal agar tata kelola kehutanan berjalan baik. Dari berbagai review literatur dikenal banyak sekali prinsip tata kelola hutan yang baik. Prinsip yang melandasi tata pemerintahan yang baik sangat bervariasi antar institusi dan pakar yang ada, namun ada sejumlah prinsip yang dianggap sebagai prinsip-prinsip utama yang melandasi good governance, yaitu: 1) akuntabilitas, 2) transparansi, dan 3) partisipasi masyarakat. Prinsip-prinsip yang ada tersebut kemudian diaplikasikan di sektor kehutanan, dipilih enam prinsip yang relevan untuk sektor kehutanan.

5.4.1 Transparansi

Transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau keterbukaan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan dan pelaksanaannya. Prinsip ini memiliki dua aspek, yaitu: 1) komunikasi publik oleh pemerintah, dan 2) hak masyarakat terhadap akses informasi. Perlu diingat bahwa keterbukaan membawa konsekuensi adanya kontrol yang berlebihan dari masyarakat dan bahkan oleh media massa. Karena itu, kewajiban akan keterbukaan harus diimbangi dengan nilai pembatasan, yang mencakup kriteria yang jelas dari para aparat publik tentang jenis informasi apa saja yang mereka berikan dan pada siapa informasi tersebut diberikan.

5.4.2 Partisipasi

(43)

5.4.3 Akuntabilitas

Akuntabilitas publik adalah prinsip yang menjamin bahwa setiap kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka oleh pelaku kepada pihak-pihak yang terkena dampak penerapan kebijakan.

5.4.4 Koordinasi

Koordinasi adalah prinsip yang mengedepankan proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan pada satuan-satuan yang terpisah (bagian/departemen atau tingkat pemerintahan atau sektor) untuk mencapai tujuan bersama.

5.4.5 Profesionalisme dan Kompetensi

Profesionalisme dan kompetensi adalah kemampuan dan kualifikasi seseorang/ lembaga yang menyangkut kepandaian, keterampilan, kemahiran dan pengalaman untuk menjalankan perkerjaan sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya. Kerangka kerja pengukuran good forest governance yang disusun dapat dilihat pada Gambar 1.

Selanjutnya masing-masing prinsip dan isu tersebut dijabarkan menjadi kriteria. Kriteria adalah standar untuk menilai/mengetahui apakah kemajuan yang dicapai memenuhi prinsip. Indikator merupakan sesuatu yang lebih khusus untuk menilai kriteria. Indikator dapat menggambarkan dan/atau mengukur sub komponen pemerintahan pada saat tertentu serta dapat memantau perubahan sub komponen dari waktu ke waktu, apakah perubahan tersebut posistif atau negatif. Indikator bisa berupa atribut kuantitatif, kualitatif atau deskriptif. Untuk menilai indikator disusunlah verifier, yang merupakan data atau informasi yang diperlukan untuk menilai indikator.

5.5 Pengumpulan Data

5.5.1 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah:

1. Pengumpulan data sekunder yang terkait dengan isu-isu kehutanan yang akan diukur. 2. Wawancara dengan stakeholders (Kementerian Kehutanan dan Dinas Kehutanan

Provinsi), dunia usaha (HPH/HTI) dan LSM untuk mengukur kemajuan GFG. Wawancara diarahkan untuk mengisi kuesioner yang telah disediakan (Lampiran 1). 3. Focus group discussion dengan stakeholders (Kementerian Kehutanan, dunia usaha

(44)

Isu

Komponen Kebijakan/

program Implementasi

Pemantapan kawasan hutan - Tata batas kawasan hutan - Pembangunan KPH - Tenurial

Indikator Indikator

Rehabilitasi dan reklamasi hutan

- Rehabilitasi/reklamasi di hutan produksi - Rehabilitasi/reklamasi di hutan lindung - Rehabilitasi/reklamasi di hutan konservasi

Indikator Indikator

Perlindungan hutan

- Penanganan illegal logging - Pengendalian perambahan - Pencegahan kebakaran hutan

Indikator Indikator

Pemanfaatan hutan

- Pemanfaatan kawasan hutan - Pemanfaatan kayu

- Pemanfaatan HHBK - Pemanfaatan jasa lingkungan

Indikator Indikator

Konservasi keanekaragaman hayati - Konservasi satwa

- Konservasi fauna

Indikator Indikator

Gambar 1.

Kerangka kerja pengukuran good forest governance Indonesia

Kuesioner berupa blanko isian yang berisi pertanyaan, jawabannya berupa skor/ angka(scoring). Skoring dipilih untuk menilai persepsi responden yang terkait dengan pengelolaan hutan berdasarkan: a) dokumen kebijakan/program dan b) implementasi kebijakan tersebut di lapangan. Responden diminta untuk menilai dengan cara memilih kategori yang ada. Kategori tersebut menggambarkan skor, yang dimulai dari skor paling rendah dengan nilai 1 (sangat tidak baik) sampai skor paling tinggi dengan nilai 7 (baik sekali). Pemilihan skor dilakukan dengan memperhatikan kriteria, indikator dan verifier yang ada, sehingga responden tidak terjebak dalam subyektivitas dalam memberikan penilaian. Kategori penilaian dan skor dapat dilihat pada Tabel 1.

Selain data kuantitatif berupa skoring, untuk verifikasi data juga sangat disarankan penggalian informasi kualitatif berupa informasi/data untuk menggali informasi yang lebih mendalam kepada responden. Contoh kuesioner berisi pertanyaan yang sifatnya kualitatif bisa dilihat pada Lampiran 2. Kuesioner kualitatif ini sangat terbuka untuk

(45)

dikembangkan sendiri oleh enumerator. Data kualitatif yang terkumpul akan sangat membantu untuk memverifikasi data kuantitatif (skoring) yang diperoleh.

5.5.2 E. Analisis Data

Data yang terkumpul dibuat matrik, seperti terlihat pada Lampiran 3. Data yang terkumpul dibuat indeks untuk menggambarkan kemajuan good forest governance. Indeks good forest governance dibagi menjadi tiga kelas, yaitu baik, sedang dan buruk, dengan perincian sebagai berikut: 1. Baik = 4,80-7,00

2. Sedang = 2,40-4,79 3. Buruk = 0,00-2,39

Daftar Pustaka

Cooke, B. & Kothari, U. (2004). The case for participation as tyrany. In Cooke, B. and Kothari, U. (eds), Participation: the new tyranny? London, UK: Zed Books Ltd.

FAO. (2011). Framework for assessing and monitoring forest governance. Diunduh dari http://www.fao.org/docrep/014/i2227e/i2227e00.pdf. [26 Januari 2012]. Kemitraan. (2011). Partnership Governance Index: an overview. Diunduh dari www.

partnership.go.id

Meyer et al. (2005). The pyramid. A dianostic and planning tools for forest governance. World Bank dan WWF.

Situmorang, A.W., Nababan, A., Kartodihardjo, H., Khatarina, J., Santosa, M.A., Safitri, M., Suprihanto, …, & Sunaryo. 2012. Indeks tata kelola hutan, lahan dan REDD+ di Indonesia. UNDP dan UNREDD Programm.

Wilson, R. (2006). Policy Analysis as Policy Advice. In Michael Moran, Martin Rein, dan Robert (eds), The Oxford Handbook of Public Policy. New York: Oxford University Press.

World Bank. (2009). Roots for good forest outcome: An analytical framework for governance reform.

WRI. (2009). The governance of forest toolkit (Version 1): A draft framework of indicators for assessing governance of forest initiative. The Governance of Forest Initiative.

Tabel 1.

Kategori dan skor yang

digunakan

Kategori Skor Sangat tidak baik 1

Tidak baik 2

Kurang baik 3

Cukup 4

Baik 5

Sangat baik 6

Gambar

Gambar 1. Kerangka kerja pengukuran good forest governance Indonesia
Tabel 1. Kategori dan skor yang
Gambar 1. Tipologi kondisi penguasaan lahan hutan Negara
Gambar 1. Distribusi alokasi lahan untuk berbagai subjek dan sasaran dalam pe-nguasaan dan pengelolaan kawasan hutan (Ditjen Bina Usaha Kehutanan, 2013)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kementerian Keuangan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Kementerian Dalam Negeri melakukan pemantauan dan evaluasi atas laporan penggunaan Dana Bagi Hasil Sumber Daya

Produksi hidrogen menggunakan energi surya dengan menggunakan air sebagai bahan baku dasar adalah teknologi masa depan yang harus terus dilakukan penelitian yang lebih

Setelah mengetahui hasil laju konsumsi bahan bakar bensin pada genset bensin baik single- fuel dan dual-fuel dengan gas produser hasil gasifikasi kayu Gamal dan kayu

Penelitian ini dilakukan di laboratorium Operasi Teknik Kimia Program Studi Teknik Kimia Universitas Lambung Mangkurat, dengan proses utama yakni proses ekstraksi

Berdasarkan uraian di atas, dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah nila i guna dan keunggulan dari serat kelapa sawit, dengan cara dikembangkan sebagai

Penelitian dilakukan untuk melihat pengaruh dari yaitu variasi temperatur ambient pada temperatur 27 o C – 28,5 o C, temperatur mesophilic pada temperatur 35 o C,

Logam iridium yang memiliki sifat inert, dapat bereaksi dengan asam, termasuk aqua Logam iridium yang memiliki sifat inert, dapat bereaksi dengan asam, termasuk aqua regia

• Tahun 1187 Saladin berhasil merebut Jerusalem dan kota-kota lain dari kekuasaan pasukan Salib.... Resurgence