• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tata Kelola Kawasan untuk

Dalam dokumen Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan (Halaman 89-95)

Mendukung KPH1

Oleh: Dodik Ridho Nurochmat

Pusat kajian Strategis dan Politik Pertanian, Institut Pertanian Bogor Jika kita review sama-sama, ada perbedaan pengertian yang sangat mendasar tentang penguasaan hutan, pengurusan hutan, pengelolaan hutan dan pemanfaatan hutan. Konstitusi kita mengamanatkan penguasaan hutan dan sumber daya alam yang lain itu dikuasai oleh Negara. Tetapi kemudian dalam pengertian UU 41 tahun 1999 penguasaan hutan itu direduksi menjadi pengurusan hutan sebagaimana yang kita bangun sekarang.

Cakupan penguasaan hutan bukan termasuk sumber daya alam yang dikuasai oleh Negara digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Tadi dalam diskusi di awal agak rancu juga sebenarnya. Rakyat itu agak berbeda dengan masyarakat. Saya kira sosiolog lebih paham itu. Kalau orang Papua itu lebih wise: kalau desa adat itu punya rakyat; desa dinas punya masyarakat; gereja punya jemaat.

Kalau kita bicara demokrasi dan sebagainya ada konteks equality. Kemudian di dalam penguasaan hutan, sumber daya hutan dan sumber daya alam yang ada di dalamnya dikuasai Negara dalam konteks untuk kemakmuran rakyat. Ada konteks equality di situ.

Bagaimana pengurusan hutan dan kepemilikan hutan? Status hutan Negara yang tidak dibebani hak itu diurus oleh Negara, jadi pengurusan hutan. Kalau bicara UU 41 dibandingkan dengan UU 5 tahun 1967, hutan semakin sedikit karena ada terminologi pengurusan hutan, ‘hutan makin kurus’. Tetapi tidak otomatis hutan Negara itu adalah aset atau kekayaan Negara. Ini yang berbahaya, tahun lalu kalau tidak salah Kementerian Kehutanan ditanya/ditantang: apakah hutan menjadi aset Negara atau tidak? Kalau aset Negara, Bapak punya satu printer rusak saja itu harus ada pemusnahan aset dan itu harus menggunakan azas-azas pengelolaan kekayaan Negara. Ini rumit sekali. Diberikan HKm, itu hutan Negara-HKm, maka ia harus masuk PNBP. Itu yang terjadi.

Di Negara kita ‘biasa’ sesuatu yang sudah berjalan baik tapi dianggap takut menyalahi aturan, maka lebih baik berjalan tidak baik tapi sesuai dengan aturan. Banyak sekali seperti itu.

Hutan hak itu memiliki alas hak dan hutan adat sesuai dengan uji materi MK itu dipisahkan dari hutan Negara. Sebetulnya UU kehutanan ini kita sudah prediksi sejak lama. Sejak tahun 2006 saya ikut mengawal rancangan revisi UU yang kita sadari itu sudah sangat compang-camping. Tetapi karena usulan berasal dari DPD, hasilnya seperti kita ketahui bersama, Alhamdulillah tiga kali uji materi dan tiga kali kalah. Ini yang terjadi, dan ini merupakan konsekuensi, baik legitimasi maupun legalitas yang sangat signifikan dan harus kita perhatikan.

Jadi masalah tenurial tidak hanya terkait dengan masalah penguasaan lahan dan sumber daya alam, tetapi juga meliputi permasalahan akses pengelolaan sumber daya alam. Masalah tenurial akan terus ada sepanjang hidup dan kehidupan manusia selama dia masih tergantung pada lahan. Sebetulnya yang bisa kita ikhtiarkan itu bukan menyelesaikan masalah tenurial tetapi mengatasi masalah tenurial. Kalau pegadaian mempunyai semboyan ”Mengatasi Masalah Tanpa Masalah”. Selama kita masih memerlukan ruang hidup, tadi Dr. Lukas menyebut dalam bukunya: lebenstraum (bahasa Jerman: ruang hidup), sehingga dicapai keselarasan.

Masalah tenurial tidak statis, dia dinamis. Jadi pasti akan selalu ada, tidak bisa diselesaikan tapi kita bisa mengatasi masalah. Tentu saja masalah ini harus semakin sedikit. Jadi masalah dinamika tenurial pasti akan tergantung pada konteks ruang dan waktu. Ini yang harus kita garis bawahi.

Ada persoalan yang sangat mendasar, kawasan hutan banyak diidentikkan dengan hutan Negara, padahal tidak ada sama sekali. Baca UU manapun tidak ada, termasuk dalam UU Kehutanan. Kawasan hutan itu adalah hutan tetap, kawasan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan tetap (bukan menteri tetapi pemerintahà baca Pasal 1 UU Kehutanan). Kalau tata ruang menetapkan itu sebagai kawasan hutan, maka dia menjadi kawasan hutan. Kalau hutan Negara mungkin Menteri yang membidangi masalah kehutanan.

Hutan tetap bisa berupa hutan Negara, hutan hak maupun hutan adat. Kegalauan kita terhadap putusan MK 35 bahwa hutan adat terlepas dari hutan Negara kemudian khawatir disewakan kepada tambang dan sebagainya, sebetulnya tidak beralasan ketika basis berpikir kita adalah fungsi, bukan status. Karena perubahan status tidak otomatis mengubah fungsi.

Fungsi hutan melekat pada hutan Negara, hutan hak dan hutan adat. Sama dengan sawah. Yang tidak boleh adalah merubah fungsi, memperjualbelikan lahan hak (misalnya sawahà hak milik). Misalnya saya boleh memperjualbelikan sawah pada Bu Mira tetapi tidak otomatis ketika berpindah hak, kemudian Bu Mira berhak

menjual pada developer untuk membangun perumahan. Itu yang harus kita tegakkan. Jadi perubahan status tidak otomastis diikuti perubahan fungsi, oleh karena itu kita harus dorong pengakuan terhadap hak-hak masyarakat, baik masyarakat adat maupun masyarakat yang lain, baik akses maupun kepemilikan. Terhadap hutan maupun lahan yang lain. Pada saat yang bersamaan, kewajiban dan tanggung jawab juga harus ditegakkan. Kalau ada masyarakat hukum adat sudah diberikan hak, kemudian di situ tidak hanya di hutan produksi, tetapi ada di hutan lindung dan bahkan kawasan konservasi. Kawasan konservasi memang ada yang bersentuhan dengan masyarakat hukum adat seperti di Halimun-Salak, Bukit Tigapuluh, Bukit Duabelas dan sebagainya. Ketika dia sebagian besar kawasan konservasi, selama dia tidak berubah fungsinya, tidak boleh. Dia boleh memanfaatkan itu sepanjang itu sesuai dengan fungsi konservasi. Bagaimana teknisnya? Itu bisa dibicarakan lebih lanjut. Tetapi prinsipnya seperti itu, tidak boleh mengkonversi menjadi tambang dan sebagainya. Kalau melakukan pelanggaran, siapapun di Republik ini (perusahaan, masyarakat perorangan, masyarakat adat) harus berada pada hukum yang sama. Dicabut haknya misalnya, kalau dia oknum mungkin bisa dimulai dari tingkat administratif. Kalau ada unsur pidana, pidanakan, siapapun dia. Maka hukum akan tegak, tetapi sebelum tegak itu dibenahkan dulu. Jangan menegakkan hukum yang salah. Karena kegagalan kebijakan itu bisa disebabkan tiga sebab: kebijakan yang salah; implementasi yang salah; nasib kebijakan itu yang salah. Jangan sampai kalau kita di lapangan selalu mengatakan: kalau kebijakannya itu pasti baik, implementasinya yang salah. Siapa bilang? Yang celaka kalau menegakkan/ menjalankan dengan sebaik-baiknya kebijakan yang salah. Kebijakan kita perbaiki dulu, kita hargai hak-hak masyarakat dan tegakkan aturan. Jangan tegakkan aturan dulu, lalu benar atau salah urusan belakangan. Kebenaran itu adalah produk kekuasaan, beda dengan kebaikan.

Kawasan hutan di luar tiga fungsi tadi disebut Areal Penggunaan Lain (APL). Kita orang kehutanan kalau komunikasi dengan pihak lain seringkali kurang nyaman karena terminologi APL; KBNK (Kawasan Budidaya Non Kehutanan). Mindset selalu status, padahal tata ruang itu mindset-nya harus fungsi.

Oleh karena itu setelah ada uji materi MK, status hutan ada hutan Negara, hutan hak dan hutan adat. Kawasan hutan Negara adalah suatu kebetulan dan menjadi mitos. Sebetulnya tidak memiliki landasan hukum sama sekali. Fungsi hutan tidak melekat pada kawasan hutan sebagai hutan Negara tetapi kawasan hutan sebagai hutan tetap. Saya mendapat laporan dari kawan-kawan Baplan untuk Jawa Tengah, itu hutan hak sudah dimasukkan sebagai kawasan hutan dengan Perda. Itu bagus, tetapi harus ada ‘kemasan’ yang harus dilihat. Mana yang jadi kawasan hutan. Sama dengan pertanian, kawasan budidaya pertanian itu tidak harus dimiliki dan diurus oleh Kementerian Pertanian. Memang ada dualisme administratur pertanahan. Kalau saya mengusulkan kementerian sektoral itu mengurus sektoral, Menteri Kehutanan bukan Menteri

Kawasan Hutan, Menteri Pertanian bukan Mneteri Budidaya Pertanian/Kawasan Pertanian. Sedangkan pengurusan lahan di seluruh penjuru dunia memang harus ada otoritas tunggal penguasaan, sehingga tidak menjadi NKRI (Negara Kehutanan Republik Indonesia) lagi. Terkadang kita harus introspeksi juga.

Bagaimana kawasan hutan dalam perspektif rencana tata ruang? Status kawasan hutan dalam tata ruang sebetulnya sama dengan kawasan budidaya pertanian, kawasan pemukiman, kawasan perindustrian. Semestinya kita menempatkan rencana tata ruang wilayah sebagai konsep tunggal dalam penataan ruang. Masalahnya sampai saat ini ada dua administrator, ada Kementerian Kehutanan dan ada DPR. Ini yang secara teknis menyulitkan.

Secara teknis, pelepasan status ini berbahaya. Secara filosofis memang baik, tetapi secara teknis pelepasan status kawasan ini cukup berbahaya. Di dalam rencana kehutanan tingkat nasional RKTN 2011 disebutkan ada 17,9 juta hektar yang siap dilepas untuk APL. Saya tidak setuju kalau kemudian ada tambahan pelepasan lagi. Bukan masalah pelepasannya, tetapi kalau terjadi pelepasan hutan siapa yang mendapatkan? Pernahkan masyarakat kecil mendapatkan akses terhadap pelepasan kawasan? Tidak pernah. Setidaknya saya belum pernah dengar. Pasti yang mendapatkan akses pelepasan kawasan hutan adalah korporasi. Oleh karena itu dengan sangat menyesal saya harus sampaikan bahwa sisanya itu tetap dalam kawasan hutan tetapi harus ada akses pemanfaatan yang seluas-luasnya. Dalam bentuk apa? Dalam bentuk ijin usaha pemanfaatan hutan (mahzab dalam UU Kehutanan). Harus ada kebesaran jiwa bagi kita semua bahwa pemanfaatan hutan itu bukan berarti semua hasil hutan bukan kayu hanya gondorukem/terpentin. Tadi Pak Sekjen sudah menyampaikan bahwa di China bisa seperti itu. Jangan takut untuk mengatakan “kopi hutan, teh hutan, cokelat hutan, dan sebagainya” sepanjang itu tidak menyalahi fungsi keruangan. Ada perubahan cara berpikir yang sangat berbeda dalam memandang perambahan. Tadi disebutkan (mohon maaf) Mas Lukas, saya kurang sepakat kalau hanya menghitung kerugian akibat perambahan. Sebetulnya kita punya banyak sekali keuntungan akibat perambahan. Seminggu yang lalu saya ada rapat tentang revisi peraturan, Salah satu direktur dalam kehutanan yang sangat open mind mengatakan “coba hitung kopi yang dihasilkan dari hutan lindung di Lampung, berapa kira-kira?” ternyata ketika kita hitung secara kasar nilainya per tahun Rp 1,8 triliun, yang di Lampung saja tanpa campur tangan pemerintah sama sekali. Apalagi kalau di China yang jalan di hutan dibuat pakai semen, itu berapa? Kalau di China jelas masuknya. Kalau kita nggak jelas masuknya, PDB kehutanan bukan, PDB pertanian bukan. Kalau di China justru difasilitasi, dibikinkan pabrik pengolahan kopi, teh. Kemudian mengundang kita, bule-bule simposium menunjukkan inilah forestry. Walaupun seperti perambahan, tetapi tidak ada yang berani membantah karena China punya standing position. Itu mempunyai premium price tanpa pakai sertifikasi. Karena apa?

Namanya menjadi green tea, green coffee, ini bukan dari kebun lho, ini kopi hutan, ini teh hutan. Itulah saya pikir-pikir kenapa kita disuruh belajar sampai negeri China.

Saya kira yang paling penting adalah mempertahankan fungsi kawasan hutan. Kenapa? Karena kita tidak pernah galau. Kementerian Kehutanan dengan data resmi (bisa dicek, mungkin berubah sedikit), kawasan hutan yang tidak berhutan itu 43 juta hektar. Tapi kita tenang saja, selama statusnya masih kawasan hutan, masih nggak masalah. Walaupun kenyataannya di lapangan menjadi lapangan sepakbola, menjadi desa. Saya rasa ini kegalauan yang nyata. Fungsinya harus kita kembalikan, status bisa siapa saja. Bisa hutan adat, bisa perorangan, sepanjang fungsinya tetap, tidak masalah. Bahkan hutan lindung di Himalaya (saya pernah ke sana) ada seperti ‘Bapak Asuh’. di Gunung Walat (tempat penelitian IPB) ada pendopo village, ada tempat foto yang ada semacam ‘Hutan Asuh’. Tapi ke depan tren-nya banyak perusahaan, perorangan yang punya hutan untuk kebanggaan/pride untuk outbond, sepanjang ia tidak menyalahi fungsi, mengapa tidak? Daripada di klaim sebagai hutan Negara tapi kenyataannya compang-camping. Ini yang menjadi masalah.

Tadi kita bicara masalah kemiskinan dan segala macam. Memang masalahnya sulit. Tidak bisa kita selesaikan dalam bincang-bincang ini. IAAC saja mungkin tidak bisa, apalagi di sini. Kita ini hidup dalam mitos. Memang kita ‘luas’ tetapi unfortunatelylebenstraum tadi tidak dimaknai sebagai lahan. Tenure itu lahan, belum bisa kita hidup di laut. Masalahnya Indonesia itu sebagian besar laut. Bukan tidak bermanfaat tapi dalam konteks keruangan, kita hanya 192 juta hektar. Sementara jumlah penduduk Indonesia saat ini sebanyak 244 juta, mungkin sekarang sudah 247 juta. Kalau misalnya kita bagi seluruh ruangan di Indonesia ke dalam jumlah kepala, maka tidak sampai satu hektar, hanya 0,8 hektar. Kalau kita bicara lebih spesifik ke pertanian, sekitar 0,3 hektar. Lebih sempit lagi ke tanaman pangan, hanya 400 m2.

Kalau kita lihat di luar negeri, 40 hektar/kepala keluarga itu dibilang petani miskin. Jangan dipersulit petani kita. Sudah lahannya sempit, nggak ada subsidi, disaingi oleh produk impor, akses sulit. Ini yang menurut saya harus kita pikirkan dengan dewasa. Konsep KPH yang ideal itu tidak seragam. Tidak ada seragamisasi. Termasuk desa dan sebagainya. Ada beberapa hal yang saya sempat tulis sebelum UU Desa, judulnya Voting Desentralisasi Pemerintahan Desa. Di lapangan kita katakan pemberian kewenangan terhadap desa itu tidak selalu disikapi dengan gembira. Di Sumbar ada inisiatif mendelegasikan/mendesentralisasikan sekitar 120 kewenangan oleh kabupaten ke desa. Tapi ternyata desanya nggak sanggup. Masalahnya di dalam sistem perundang-undangan kita ada sistem devolusi kewenangan, tapi tidak ada sistem untuk mengembalikan kewenangan. Wali Nagarinya tanya “Pak ini kalau kami tidak sanggup bagaimana caranya mengembalikan kewenangan?” Barangkali saya perlu dicerahkan juga. Kita juga keliru dengan memberikan kewenangan pada entitas yang memang tidak memiliki kapasitas untuk itu.

Ada hutan Negara dan ada non-hutan Negara. Ini kan kawasan hutan sebetulnya. Bagaimana tugas KPH dalam proses revisi PP 44 tentang perencanaan kehutanan? Fungsinya sesuai dengan Kemendagri 61, isinya hanya koordinasi, integrasi dan sinkronisasi. Ketika kawasan hutan berada di dalam hutan milik dan hutan adat, tetap ada, sama seperti sawah, tidak bisa lepas tangan siapapun pemiliknya. Supaya efektif lihat yang bawah itu, jadi rasionalitasnya harus ada peraturannya dan pelaksanaannya. Saya ingin coba kita kritisi KPH itu seolah-olah solusi masalah dari segala masalah di kehutanan. Apakah kemudian KPH itu bisa menyelesaikan masalah? Secara filosofis, KPH itu membagi habis semua kawasan hutan dalam wilayah-wilayah pengelolaan yang accessible untuk pengawasan dan sebagainya. Tetapi kalau kita lihat jumlah KPH yang dicanangkan kehutanan (coba tolong dikoreksi) kalau tidak salah 600 KPH. Kalau wilayah hutan ini kita bagi ke dalam 600 KPH, saya hitung luasannya sekitar 216.000 hektar. Kemudian apakah setelah organisasi, peraturan dan pelaksanaannya mampu membawa secara efektif? Kalau di kebun itu mudah hitungannya, satu kepala itu 5 hektar. Saya tidak tahu kalau di kehutanan, mungkin bisa 10 hektar atau lebih (bisa ditanya ke Perum Perhutani). Coba kita bagi, kalau 215.000 dibagi 10 itu sekitar 21.000. Untuk KPH perlu karyawan sekitar 21.000. Okelah setengahnya saja 11.000, mungkin nggak satu KPH mengangkat 11.000 karyawan supaya betul-betul hutan itu dikelola dengan baik, bukan hanya pengelolaan di atas kertas.

Kesimpulan:

4. Sistem tenurial kehutanan berbasis status kawasan “Hutan Negara” saat ini memiliki legitimasi yang semakin lemah dan sandaran legalitas yang rapuh. 5. Rekonstruksi sistem tenurial kehutanan yang mengedepankan fungsi hutan

7

Membumikan Reforma Agraria di

Dalam dokumen Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan (Halaman 89-95)