• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan APL oleh Perkebunan Sawit

Dalam dokumen Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan (Halaman 142-146)

Pembelajaran dari Kebijakan Perubahan Peruntukan Kawasan

10.2 Pengelolaan APL oleh Perkebunan Sawit

Sejak 1986 hingga 2012 kawasan hutan yang telah dilepas menjadi kawasan bukan hutan atau APL seluas 5.775.400 ha (Tabel 2). Dari luasan tersebut, sebanyak 99% diperuntukkan bagi perkebunan, sedangkan sisanya untuk industri, pertanian pangan, peternakan, pengembangan wilayah, perikanan dan wisata. Pelepasan kawasan hutan untuk pembangunan perkebunan tersebut didominasi untuk usaha pengembangan komoditi sawit.

125 Prosiding Seminar Hasil Penelitian Reforma Agrariauntuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik

6  

Gambar 1. Tutupan lahan di dalam dan di luar kawasan hutan tahun 2011

Areal Penggunaan Lain (APL) adalah terminologi yang muncul sebagai kompromi politis untuk memberikan akses terhadap program-program pembangunan lain dan dari tekanan-tekanan eksternal seperti dinamika pertumbuhan populasi penduduk. APL juga dapat dimaknai sebagai katalisator atau katub pengaman terhadap kemungkinan munculnya konflik sosial dan kelembagaan akibat penguasaan kawasan hutan.

Namun ketika suatu wilayah ditetapkan sebagai APL, kewenangan pengelolaannya menjadi tidak jelas. Belum ada Undang-Undang yang mengatur tentang APL. APL merefleksikan masih kentalnya forestry centries, karena istilah itu hanya muncul di kalangan Kementerian Kehutanan saja. Terminologi APL hadir setelah lahirnya Undang-Undang Kehutanan. Dalam kontek ini ada problem di aspek legalitas atau de jure, walau secara de facto secara tersirat pemerintah kabupaten memiliki otoritas dalam mengeluarkan perijinan berbagai usaha, seperti perkebunan di kawasan tersebut.

Tabel 2. Luas pelepasan kawasan hutan dan peruntukannya periode 1986-2012 (dalam ribuan ha)

Tahun Luas pelepasan per jenis peruntukan Total

Industri Perkebunan Pertanian Peternakan Pengembangan wilayah Perikanan Wisata

1986   10,51       10,51

1987   312,34       312,34

1988   231,24       0,70   231,95

Tahun Luas pelepasan per jenis peruntukan Total Industri Perkebunan Pertanian Peternakan Pengembangan wilayah Perikanan Wisata

1990   290,83   0,40       291,23 1991   223,96 1,00     0,20   225,16 1992   332,86       332,86 1993   398,87       398,87 1994   257,40     17,20     274,60 1995 1,20 269,65         0,05 270,90 1996 1,35 464,81 0,02         466,19 1997 4,26 322,12   0,83 0,03   21,83 349,07 1998   384,02 0,96         384,98 1999   290,03       290,03 2000   128,79       128,79 2001   26,53       26,53 2005   88,95       88,95 2006   116,71       116,71 2007   65,81       7,86   73,67 2008   83,57       83,57 2009   228,61       228,61 2010   8,61       8,61 2011 0,34 365,92       366,26 Jan-Des 12 1,66 518,46       520,12 8,81 5.715,49 1,98 1,23 17,23 8,77 21,88 5.775,40

APL saat ini menjadi kewenangan Bupati. Dalam beberapa kasus terjadi penyalahgunaan wewenang Bupati dalam perijinan HGU kelapa sawit dan pertambangan. Beberapa Bupati memberikan ijin HGU dalam kawasan hutan. Perusahaan tersebut langsung melakukan okupasi kawasan tanpa memiliki ijin pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan. Perusahaan tersebut sudah melakukan aktivitas berdasarkan ijin yang dikeluarkan oleh Bupati. Kasus tumpang- tindih perijinan terjadi di berapa kota seperti di Barito Utara, Katingan, dan sebagainya. Perilaku mafia perijinan tersebut mengakibatkan jutaan penduduk harus menanggung kerugian dan menjadi korban bencana ekologis karena rusaknya lingkungan. Selain itu Negara dirugikan triliunan rupiah akibat tidak dibayarnya PSDH/ DR dan potensi tegakan kayu di kawasan hutan yang di tebang untuk tambang dan kebun sawit.

Setelah SK pelepasan kawasan hutan diterbitkan, Kementerian Kehutanan tidak lagi mengurusi APL. Kementerian Kehutanan hanya mempunyai kewenangan untuk

melakukan evaluasi pemenuhan kewajiban pemegang SP3KH yakni menyelesaikan tata batas dan mengamankan tata batas saja. Fakta di lapangan, tidak ada instansi yang mengevaluasi kawasan hutan yang telah dilepas (APL). Kawasan APL tersebut menjadi kewenangan Bupati selaku kepala daerah yang memiki kekuasaan atas wilayah teritorial yang ada di kabupatennya.

Kewenangan pengurusan terhadap kawasan hutan yang dilepas menjadi penting terkait dengan fakta pada areal perkebunan terdapat areal HCVF yang memiliki nilai penting. Jika Kementerian Kehutanan selama ini juga mengurusi hutan hak, tidak berlebihan jika ke depan Kementerian Kehutanan juga mengurusi HCFV di luar kawasan. Saat ini tidak ada pihak pemerintahan yang secara formal memonitor dan mengelola APL dengan HCV tinggi. Aturan perundang-undangan yang ada perlu di-review ulang agar ada kejelasan pengelola kawasan HCV di APL.

Di sisi lain ada beberapa perkebunan kelapa sawit yang pro lingkungan. Mereka tidak mengelola kawasan HCVF (habitat flora/fauna langka yang dilindungi tertentu, lahan gambut, kanan-kiri sungai) dalam pengelolaan kebun sawitnya. Pada kawasan konservasi tersebut perusahaan perkebunan sawit yang baik tidak melakukan land clearing untuk penanaman sawit. Perusahaan perkebunan harus mengeluarkan biaya untuk menjaga dan mengelola kawasan konservasi tersebut, akhirnya kawasan HCVF dikembalikan kepada Bupati setempat. Oleh Bupati setempat, kawasan HCVF dikeluarkan ijin konsesi baru kepada perusahaan perkebunan lain yang lebih kecil dan tidak pro lingkungan, akibatnya kawasan HCVF tersebut akhirnya dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit.

Kebijakan yang ada selama ini juga tidak mendukung bagi perusahaan kelapa sawit untuk mengkonservasi kawasan HCVF di wilayah konsesinya. Sebagai contoh sebuah perusahaan sawit mendapat ijin seluas 1.000 ha. Ternyata dari 1.000 ha tersebut, 300 ha merupakan kawasan HCVF, sehingga perusahaan tersebut hanya menanami sawit seluas 700 ha. Tetapi yang terjadi perusahaan tersebut tetap dikenai pajak seluas 1.000 ha dan mempunyai kewajiban untuk mengelola kawasan HCFV seluas 300 ha. Pengelolaan kawasan HCFV tersebut menjadi beban perusahaan karena jika tidak dikelola akan dirambah oleh masyarakat sekitarnya. Seharusnya ada insentif dari pemerintah untuk mengelola kawasan HCVF di luar kawasan hutan.

Kementerian Pertanian sudah mengeluarkan peraturan No. 19/Permentan/ OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia yang mengatur tentang penanaman pada lahan gambut, pelestarian biodiversity, identifikasi dan perlindungan kawasan HCVF dan mitigasi emisi GRK. Perusahaan perkebunan kelapa sawit dalam waktu paling lambat tanggal 3 Desember 2014 harus sudah melaksanakan usaha kebun sesuai dengan ketentuan peraturan ini. Namun

sayang sanksi yang diberlakukan jika ada yang melanggar hanya sebatas penurunan kelas kebun.

Di sisi lain, banyak kawasan hutan yang ditelantarkan oleh pemegang ijin (perusahaan). Contoh kasus di Kalimantan Barat tercatat ada 9-10 perusahaan HTI yang tidak aktif. Kondisi ini sangat disayangkan oleh para pemangku di daerah, karena kawasan hutan yang secara de jure hak pengelolaannya diberikan kepada perusahaan, tetapi secara de facto menjadi open acces sehingga banyak dirambah oleh masyarakat. Dinas Kehutanan di daerah tidak bisa melakukan kegiatan pengelolaan hutan (seperti rehabilitasi, perlindungan hutan, pemanfaatan hutan) di wilayah terebut karena secara de jure kewenangan pengelolaan hutan menjadi kewajiban pemegang ijin (perusahaan). Kementerian Kehutanan tidak memberikan sanksi pencabutan terhadap HTI/HPH yang tidak aktif tersebut.

10.3 Pembelajaran Masa Lalu (Kebijakan Perubahan

Dalam dokumen Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan (Halaman 142-146)