• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka Pikir dan Analisis Penyelesaian Konflik Tenurial

Dalam dokumen Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan (Halaman 112-116)

Reforma Agraria Sektor Kehutanan Melalui Pengembangan Konsep Desa

8.2 Kerangka Pikir dan Analisis Penyelesaian Konflik Tenurial

Munculnya pemikiran tentang konsep Desa Hutan dilatarbelakangi oleh kenyataan (fakta) di lapangan bahwa kawasan hutan telah banyak digarap oleh masyarakat setempat, bahkan sudah tidak lagi terlihat kumpulan pohon atau hutan sebagaimana kita bayangkan tentang hutan. Hal tersebut terjadi karena selama ini faktor penduduk tidak pernah diperhitungkan dalam mengurus dan mengelola hutan dan kawasan hutan. Selain itu, semangat pelaksanaan kebijakan perundangan kehutanan sejak UU Pokok Kehutanan No. 5 Tahun 1967 adalah penguasaan, pengurusan dan pengelolaan hutan di Indonesia hanya semata-mata untuk tujuan ekonomi dengan subyek sasarannya pengusaha (pemodal).

Meskipun dalam teorinya semua pejabat kehutanan mengatakan tentang konsep hutan lestari dari sisi ekologis, ekonomi dan sosial budaya, kenyataannya tanggung jawab penguasaan dan pengelolaan hutan lebih banyak diberikan kepada pengusaha untuk mengambil potensi hasil hutan berupa kayu ataupun non-kayu. Membicarakan hutan dan kawasan hutan yang melibatkan peran-serta masyarakat secara total hanya slogan dan tidak menjadi arus pemikiran utama para pemegang kebijakan kehutanan. Di pihak lain, proses otorisasi wewenang dan tanggung jawab pengelolaan hutan atau kawasan hutan masih secara total berada di pundak Kementerian Kehutanan di Jakarta. Gubernur dan Bupati tidak memiliki wewenang soal tanggung jawab terhadap hutan. Asumsi pemikiran ini terbukti dengan lahirnya Putusan MK No. 35 tahun 2012 tentang Hutan Adat dan Putusan MK No. 45 tahun 2010 tentang Kawasan Hutan, yang menunjukkan bahwa memang otoritas tunggal penguasaan hutan berada di pusat. Hal ini disebabkan terutama karena sejak awal penguasaan hutan lebih berkonotasi untuk kepentingan ekonomi, sementara aspek kelestarian ekologis dan sosial budaya hanya sekedar slogan dan kurang serius. Kalaupun ada, hanya dalam wacana, tidak menjadi nafas dan ruh kebijakan di Kementerian Kehutanan.

Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan (2013) menjelaskan bahwa penyebarann alokasi penguasaan dan pengusahaan (pengelolaan) hutan dan kawasan hutan adalah: untuk sasaran pengusaha terdiri dari hutan alam dalam bentuk pemegang ijin (IUPHHK atau HPH) seluas 5,314 juta hektar, Hutan Tanaman Industri (ijin HTI) seluas 6,519 juta hektar, restorasi ekosistem untuk rehabilitasi oleh perusahaan penggiat restorasi seluas 2,817 juta hektar. Bentuk Hutan Produksi Konversi (HPK) yang lebih banyak dialokasikan untuk swasta perkebunan, tambang, pemukiman/transmigrasi seluas 13,44 juta hektar (di 23 propinsi) dan areal yang sudah dialokasikan untuk moratorium dalam bentuk hutan primer dan hutan gambut seluas 8,17 juta hektar. Untuk kepentingan subyek dan sasaran penguasaan dan pengelolaan oleh masyarakat dalam bentuk Hutan Desa dan Hutan Kemasyarakatan relatif sangat kecil yaitu seluas 0,675 juta hektar. Rincian alokasi penggunaan kawasan hutan di atas dapat dilihat pada Gambar 1.

Untuk mendorong strategi penguatan kelembagaan penguasaan dan pengelolaan ke depan, salah satunya adalah melalui terobosan dengan mendukung kelembagaan konsep Hutan Desa. Terobosan ini pada prinsipnya adalah menampung dinamika yang tumbuh di lapangan, kaitannya dengan fakta bahwa sudah merebaknya okupasi kawasan hutan oleh masyarakat setempat sebagai dasar pembuatan kebijakan reforma agraria di sektor kehutahan yang disebut Forest Tenure Reform.

Adanya aturan perundangan dan peraturan-peraturan di bawahnya sebagai kebijakan publik, ternyata dihambat oleh batasan kita tentang publik. Publik selama ini dibatasi hanya untuk pengusaha yang memohon ijin, sedangkan masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar kawasan hutan hutan luput dari perhatian pemegang

kebijakan publik. Kuatnya sinyal birokratisasi di setiap kementerian menyebabkan kecenderungan fanatik sektoralisme bahwa setiap UU menjadi fokus dan kepedulian masing-masing. Istilah koordinasi antar sektor sejak masa reformasi hampir menemui jalan buntu. Untuk itu, koordinasi antar sektor merupakan prioritas kebijakan dan program pemerintahan Jokowi-JK tahun 2014-2019. Koordinansi selama ini dibangun tidak dalam konteks penyelesaian permasalahan dan kondisi dinamik di masyarakat. Banyak kasus konflik tenurial lahan dan kawasan hutan seperti kasus Mesuji, Taman Nasional Tesso Nilo, Hambalang, Jonggol dan lain-lain menunjukkan bahwa kebijakan publik di sektor kehutanan tidak menyentuh hirarki di bawahnya seperti Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota sampai ke tingkat Desa dan masyarakat.

Paradigma di atas harus diubah, yang tadinya lebih bersifat top-down,

kebijakan yang memusat, kuatnya sektoralisme di masing-masing kementerian, terbatasnya ruang publik bagi masyarakat, menjadi lebih bersifat bottom-up, lebih serius membangun semangat desentralisasi, meningkatnya kerjasama dan koordinansi antar sektor dan masyarakat sebagai penopang tanggung jawab terhadap hutan tempat mereka tinggal dan masyarakat tidak lagi menjadi musuh utama pengelolaan hutan (common enemy).

Keseriusan mendobrak kebekuan reformasi birokrasi dan demokratisasi serta keinginan untuk membangun keadilan bagi semua komponen bangsa sudah terlihat pada Kabinet Jokowi-JK dengan digabungnya Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta dibentuknya Kementerian Desa, Pembangunan Desa Tertinggal dan Transmigrasi dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Adanya empat kementerian ini merupakan terobosan untuk mengurai kebekuan reformasi birokrasi dan macetnya desentralisasi. Kementerian-kementerian tersebut, Pemerintah Propinsi

HA 14% RE 8% HTI/HTR 18% HD/HKm 2% MORA-TORIUM 22% HPK 36%

Gambar 1. Distribusi alokasi lahan untuk berbagai subjek dan sasaran dalam pe-nguasaan dan pengelolaan kawasan hutan (Ditjen Bina Usaha Kehutanan, 2013)

dan Pemerintah Kabupaten/Kota diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan di lapangan dalam kaitannya dengan lahan, kawasan hutan dan kesejahteraan rakyat yang dihambat oleh kepentingan ego-sektoral dan fanatisme pusat-daerah. Undang- Undang seperti UU Pokok Agraria 1960, UU No 41/1999 tentang Kehutanan, UU No 18/2014 Perkebunan, UU No 12/1992 tentang Budidaya Tanaman, UU No. 13/2010 tentang Hortikultura, UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian, UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, UU No. 16/2014 tentang Desa dan terakhir UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah sudah memadai, akan tetapi koordinasi antar sektor di kementerian dan antar pusat-daerah harus dilaksanakan secara serius.

Ini merupakan realisasi gaya kepemimpinan “blusukan” Jokowi yang merupakan nilai tambah. Jargon kerakyatan bukan sekedar wacana karena birokrasi saat ini sudah terbawa arus politis dibandingkan sebagai profesionalis. Tidak ada masalah dengan penggabungan Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup karena selama ini pembangunan kehutanan yang dikerjakan oleh Kementerian Kehutanan tidak dibatasi hanya di dalam kawasan hutan, tetapi kawasn non-hutan juga seperti lahan kritis (usahatani) dan areal daerah aliran sungai (DAS). Dengan penggabungan ini, kebekuan birokrasi dan ego-sektoral sudah saatnya diruntuhkan karena sudah pasti banyak pemborosan dan bahkan masih rawannya praktik gratifikasi yang disinyalir dari hasil kajian KPK dalam proses perijinan di sektor kehutanan dan sektor lingkungan hidup.

Pendekatan analisis penyelesaian masalah tenurial di dalam kawasan hutan dilakukan dengan sharing pendapat antar para pihak yang terkait dengan konflik tenurial dengan mengisi kuesioner, seperti Dinas Kehutanan Propinsi Lampung, Dinas Kehutanan Kabupaten Lampung Selatan, Dinas Perkebunan Propinsi Lampung, Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Kantor KPH terkait, Kepala Desa dan Kecamatan terkait, perwakilan petani (Kelompok Tani Hutan), perwakilan UPT Kementerian Kehutanan (BPDAS, Balai TNBB, BKSDA, BPKH dan BISHH). Materi atau aspek utama yang diukur dalam kajian ini meliputi: aspek ekologi/konservasi (biofisik), aspek kelembagaan, aspek ekonomi dan aspek sosial budaya. Dari masing-masing aspek tersebut diturunkan beberapa kriteria penting berupa pernyataan-pernyataan/pendapat dari responden dalam melaksanakan tugas dan fungsinya pengelolaan hutan atau kawasan hutan. Terhadap aspek dan kriteria tersebut dilakukan pembobotan dengan skala nilai 1, 2, 3, dan 4. Nilai 1 berarti sangat tidak setuju/tidak menndukung, 2 berarti setuju, 3 berarti tidak setuju dan 4 berarti sangat tidak setuju. Dari data yang diperoleh dapat diketahui aspek dan kriteria mana yang memiliki tingkat prioritas tinggi dalam konteks penyelesaian tenurial di dalam kawasan hutan KPH tersebut, juga tentang bentuk Desa Hutan yang dikehendaki dilihat dari sisi bio-fisik, kelembagaan, ekonomi dan sosial budaya.

Dalam dokumen Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan (Halaman 112-116)