• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III RE-KREASI KEHIDUPAN MELALUI TEATER

A. Membaca Penghayatan Aktor Melalui Perspektif Teori Subjek Lacanian

1. Berpijak Pada Teks: Dari Subjek Makna Sampai Subjek Hasrat

Setiap orang butuh fiksi karena hanya dengan itulah manusia masih ingin bertahan dengan kehidupan, percaya dengan janji-janji; melalui fiksi kita bisa membayangkan kehidupan yang lebih baik. Fiksi menyediakan fantasi85 terkait dengan hal tersebut.

84

Marc De Kesel, Eros and Ethic: ReadingJaques Lacan’s Seminar VII translated by Sigi Jottkandt, 2009. Lihat halaman 166.

85

Buku Sean Homer yang berjudul Jaques Lacan, Routledge, 2005. Lihat halaman 86- 87. Dalam perspektif psikoanalisa, fantasi memiliki peran penting; fantasi, berbeda dengan objek a (objek penyebab hasrat), merupakan jalan bagi subjek untuk menyusun hasratnya. Fantasi dan objek a merupakan satu kolaborasi yang menyebabkan subjek menjadi subjek hasrat (desiring subject). Dengan adanya fantasi dan objek a, subjek pada akhirnya sampai pada tahap memiliki dorongan hidup (drive) yang mengarah pada sesuatu (aksi). Namun demikian, fantasi ini penting bagi subjek sebagai cara/jalan untuk mengisi kekosongan di balik objek a.

Naskah drama pun demikian, seseorang menuliskannya; menuliskan kehidupan yang ia tafsirkan, melalui tokoh-tokoh fiktif dalam cerita, untuk menceritakan duduk persoalan dan kegelisahan yang dihadapi manusia. Konon naskah yang bagus adalah naskah yang bisa mempengaruhi emosi pembaca; jika naskah itu bercerita tentang kesedihan maka pembaca akan menangis dan jika naskah itu bercerita tentang kelucuan maka pembaca akan tertawa. Tak selesai sampai di sana, naskah yang bagus konon membuat pembaca tergerak untuk melakukan sesuatu.

Relasi antara seorang aktor dengan naskah merupakan relasi yang sentral dalam proses penciptaan peran. Melalui naskah drama, aktor mencerap cerita yang dibahasakan oleh penulis naskah. Lantas bagaimana aktor menyikapi naskah drama, atau menyikapi cerita? Aktor adalah pembaca yang berbeda dengan pembaca biasa; ia tidak hanya sekedar membaca untuk mencari makna melainkan mencarikan dan menciptakan bahasa lain untuk menceritakan apa yang telah ia baca dengan penanda- penanda tubuh yang dinamai sebagai akting. Dalam hal ini, ketika aktor berhadapan dengan naskah dan memutuskan untuk mementaskan naskah tersebut, maka dia bukan lagi merupakan subjek bahasa dalam pengertian dia puas dengan naskah yang ia baca (sehingga ia tidak perlu melakukan apa-apa lagi). Sebaliknya, dalam kasus ini dan berdasarkan data yang telah saya susun, aktor menempati posisinya sebagai subjek dorongan; hasrat aktor dibangkitkan melalui naskah. Aktor mengalami pengalaman lack dari proses membaca (atau menulis ulang? akan dijelaskan dalam sub-bagian selanjutnya). Untuk melihat lebih jauh bagaimana aktor mengalami pengalaman

Terminologi umum yang bisa disandingkan dengan fantasi adalah imajinasi; cara subjek menyusun gambaran atas ketiadaan. Kesel (2009: 38) mengatakan bahwa fantasi merupakan cara subjek bertahan atas kekosongan/lack dari dunia simbolik.

menjadi subjek hasrat (desiring subject), saya akan mengutip lagi pernyataan yang dilontarkan oleh Gunawan Maryanto:

“Kalau kita ngangkat teks artinya kita berpijak pada teks dulu. Sebelum nanti ke yang lain-lain seperti observasi dan sebagainya itu yang pertama harus berpijak pada teks dulu. Jadi bedah naskah itu memang penting banget mulai dari mempelajari karakter dan hal-hal yang disampaikan di sana. Dari sana itu kan sebenarnya bisa kemana-mana, ke pengarangnya, ke kondisi sosial ketika teks itu di bangun dan konteks sosial ketika naskah itu akan di pentaskan, kan jadi banyak itu pengembangannya. Pada praktik keaktorannya memang tidak bisa berhenti di sana saja, kan itu telaah, ya telaah yang kemudian aktor kan harus menubuhkan, sehingga ada proses yang lebih jauh lagi. Ketika proses menubuhkan ini kemudian memang membutuhkan observasi; yang pertama, mencari padanan, mencari rujukan yang paling dekat lah di lingkungan kita. Mencari model; di observasi itu selain mencari data ya mencari model yang akan kita mainkan. Ya kemudian kembali lagi pada prinsip awal teater; teater itu kan tiruan. Ketika sudah menemukan modelnya kan kita melakukan peniruan-peniruan dulu. Dari tubuh, dari pelisanannya, dan sebagainya. Itu kan proses mewujudkan ide-ide yang ada dari teks itu.”86

Pengalaman Gunawan Maryanto tersebut merupakan pengalaman aktor yang menjadi subjek hasrat; dia tergerak untuk melakukan sesuatu yang lebih dari sekedar membaca untuk menemukan makna. Dengan melakukan analisis naskah, melakukan observasi, mencari refrensi, dan menempuh proses latihan, dia ingin menghadirkan pengalamannya berdialektika dengan naskah melalui akting yang ia ciptakan.

Relasi aktor dengan naskah dalam proses identifikasi awal (misalnya melalui tahapan pembacaan dan analisa naskah) merupakan relasi imajiner87; seperti halnya penonton mengidentifikasikan dirinya dengan apa yang ia tonton, dalam proses membaca naskah, aktor mengidentifikasikan dirinya dengan karakter (alter ego) dalam naskah. Pada proses identifikasi ini, aktor (biasanya selalu) mengimajinasikan dirinya

86

Wawancara dengan Gunawan Maryanto pada tanggal 7 Maret 2015 di Garasi Institute of Performance, Nitiprayan, Yogyakarta.

87

Konsepsi Lacan mengenai fase cermin ini dapat dilihat di tulisan Homer pada bab

sebagai tokoh dalam cerita; dia membayangkan dirinya mengalami peristiwa yang tertuliskan dalam naskah (terbentuklah ego imajiner) dan dalam relasi ini aktor menempati posisinya sebagai subjek hasrat (hasrat subjek dibangkitkan melalui naskah; hal ini bisa dikaitkan dengan hasrat subjek untuk menghidupkan tokoh melalui dirinya).

Di sisi lain, hasrat merupakan pengingat bahwa subjek selalu memiliki lack88. Dikaitkan dengan dunia pertunjukan, hasrat aktor salah satunya adalah untuk berdiri di atas panggung; mencari pengakuan. Tentunya pengakuan bisa merujuk pada bentuk- bentuk konkrit, misalnya ingin diakui sebagai aktor hebat. Namun hal ini tidak cukup demikian; disebut sebagai aktor hebat masih terkesan abstrak, untuk itu aktor butuh sesuatu yang konkrit; aktor harus menjadi seseorang yang lain (punya identitas lain) di atas panggung. Bagi aktor, naskah (di sisi lain) adalah jalan menuju kepanggung untuk

mengatakan siapa dirinya; “aku adalah tokoh dalam cerita”.

Ketika aktor berproses dengan menggunakan naskah, maka cara aktor untuk mengidentifikasi perannya, pertama-tama, adalah dengan menyenangi naskah yang akan dimainkan sebagaimana hal ini juga diceritakan oleh Pak Untung dan Mbah Tohir. Melihat pengalaman mereka sebagai subjek dalam fase cermin, ketika subjek mengidentifikasikan dirinya dengan cermin, subjek senang dengan bayangan yang dipantulkan oleh cermin; meskipun yang dipantulkan merupakan bayangan, namun subjek merasa bahwa bayangan tersebut adalah miliknya. Kenapa subjek senang?

Karena melalui bayangan itu subjek merasa utuh; menemukan ‘aku’ (ego terbentuk).

Menyetarakan naskah dengan cermin, kesenangan dalam membaca (bercermin dengan) 88

Kesel, 2009: 3.

Atau lihat buku Dylan Evans yang berjudul An Introductory of Dictionary of Lacanian

Psychoanalysis, Taylor& Francis e-Library, 2006. Halaman 36-39. Kebutuhan subjek dipenuhi

dengan cara subjek mengatakan kebutuhannya (meminta) kepada Liyan. Namun pemenuhan ini tidak sepenuhnya memberikan kepuasan, selalu ada yang kurang (lack). Kekurangan ini melahirkan hasrat (desire).

naskah adalah ketika aktor merasa menemukan dirinya (bagian dari dirinya, misalnya pengalaman hidupnya) dalam naskah tersebut. Dengan kata lain, aktor berhasil menciptakan pemaknaannya sendiri atas proses membaca (identifikasi) yang ia lakukan. Pemaknaan ini berasal dari proses aktor menyusun kembali penanda-penanda dalam ruang ketaksadarannya; naskah menjadi medium bagi aktor untuk memaknai symptom- nya89sendiri.

Dari uraian tersebut, naskah yang menyenangkan tentunya bersifat relatif; tergantung pada hubungan aktor dengan naskah. Bisa jadi naskah Oedipus Sang Raja bukan naskah yang menyenangkan bagi Tony Broer meski naskah tersebut sangat berarti bagi Pak Untung. Naskah menimbulkan kesenangan bagi aktor sejauh naskah tersebut berkenaan dengan symptom dan mampu membuat aktor menciptakan fantasi; naskah mampu menyeret aktor pada lack yang ia miliki (lack atas dunia simbolik) sebagaimana naskah tersebut juga ditulis berdasarkan lack penulis naskah. Naskah menjadi medium bagi aktor untuk berhadapan dengan das Ding (kekosongan di balik naskah).

Meminjam pemaparan Lacan melalui puisi-puisi sublim para courtly lovers90, kiranya naskah drama bisa disetarakan sekaligus ditempatkan sebagai wacana histeris;

89

Evans, 2006: 205. Sebagaimana Freud, Lacan mengatakan bahwa symptom merupakan formasi ketidaksadaran. Pada tahun 1953 Lacan mengatakan bahwa symptom merupakan signifier. Selanjutnya, symptom dimaknai sebagai signifikasi, lalu metafor, dan pada tahun 1962, symptom didefinisikan sebagai sesuatu yang tak bisa ditafsirkan sebagaimana

symptom itu merupakan pure jouissance yang telah terepresi ketika subjek memasuki tatanan

simbolik.

Sunardi menafsirkan symptom sebagai hal yang serupa; penanda yang tidak bisa begitu saja ditafsirkan. Meskipun symptom ini berwujud penanda yang berasal dari tatanan simbolik, namun symptom ini memiliki hubungan khusus dengan dunia Real. Jika subjek mendapatkan

jouissance dalam dunia simbolik melalui symptom (represi), maka symptom berubah nama

menjadi sinthome ketika subjek mendapatkan kenikmatan yang berasal dari dunia Real melalui sublimasi (Handout perkuliahan yang ditulis oleh St. Sunardi).

90

karakter dasar dari sublimasi estetis. Lacan mendefinisikan sublimasi sebagai “elevation of an object to the dignity of das Ding,”91 yang kurang lebih hal ini berkenaan dengan relasi antara subjek, objek hasrat, dan dengan dunia Real (das Ding). Jika definisi Lacan tersebut diartikan sebagai jalan yang ditempuh oleh subjek untuk mengelevasi atau menghadirkan objek hasrat (yang berhubungan dengan jouissance) pada das Ding/the Thing (sesuatu yang melampaui bahasa/ kekosongan), hal ini karena subjek ingin menutup kekosongan pada das Ding.

Secara garis besar, dalam puisi para courtly lovers, objek yang dielevasi (sebagai penanda baru dalam puisi) adalah The Lady; objek hasrat92 yang tak pernah dimiliki sehingga subjek mengalami pengalaman luka atau lack93. The Lady menempati posisi sebagai das Ding melalui kata-kata (puisi) yang menggambarkan kecantikan atau mengekspresikan kekaguman penyair pada the Lady. Bisa jadi puisi tersebut terlalu berlebihan (atau malah minus) dalam menggambarkan kecantikan the Lady sehingga bisa dikatakan bahwa kecantikan atau keindahan bahasa puisi itu menutupi keadaan yang sesungguhnya.

Dalam situasi ini, penyair menempati posisi sebagai subjek histeris; dia tetap tidak mendapatkan the Lady (berjarak dengan das Ding sehingga hasratnya tetap menyala)

91

Ibid, 2009: 179. 92

Lihat tulisan Bruce Fink, 1997: 51-53.

Menurut Lacan, hasrat manusia tidak memiliki objek, akan tetapi ada suatu objek yang

dapat membangkitkan hasrat manusia, yaitu objek a (objek penyebab hasrat; hasrat liyan/other’s

desire ). Namun demikian, objek a bukanlah objek material (yang hadir melalui sistem penandaan), melainkan sesuatu dibalik penanda. Yang menjadi poin penting dalam hal ini, fungsi dari objek a adalah sebagai sesuatu yang diandaikan dapat memberikan pemenuhan. Sebab itulah, objek a menjadi objek penyebab hasrat. Tragisnya, subjek hanya bisa memperoleh objek material dan tidak pernah sampai pada sesuatu dibalik objek material itu (objek a) sehingga subjek selamanya merasa kurang dengan segala material penandaan yang ia miliki.

93

Kesel, 2009: 180. The Lady menempati posisinya sebagai das Ding selain karena tak terjamah juga karena the Lady yang membuat subjek terus bergerak sebagai desiring subject. Puisi-puisi yang menggambarkan the Lady melalui penataan kata-kata membuat the Lady terselubungi oleh keindahan sehingga the Lady itu sendiri tetap menjadi misteri sekaligus menjadi penanda utama.

sekaligus, ketika menulis puisi (sinthome), ia telah berhasil memaknai kegagalannya (melihat symptom atau rasa sakitnya dari sudut pandang lain) dan melakukan transversing of fantasy (menyelamatkan diri dari pengalaman traumatis dengan melalui fantasi). Posisi ini sekaligus dialamatkan (oleh Lacan) kepada seniman yang menciptakan penanda-penanda estetis (karya seni) sebagai cara untuk menggambarkan kekosongan yang mereka hadapi; menutup kekosongan dengan keindahan.

Pengalaman luka bisa disejajarkan dengan lack atau tidak mendapatkan pemenuhan. Dalam kisah courtly love, menghubungkan lack dengan cinta penyair (cinta ditafsirkan sebagai bentuk dorongan libidinal yang menghendaki jouissance sebagai pemenuhan) kepada sang Lady, yang didapat oleh sang penyair adalah (sebut saja) kekecewaan. Namun, belum tentu kekecewaan ini menenggelamkan subjek dalam represi. Sebaliknya, emosi-emosi histeris ini merupakan sumber energi (dorongan) kreatif yang yang bisa dialihkan dalam bentuk karya seni94. Emosi-emosi histeris ini bisa saja tidak berangkat dari persoalan cinta; lebih dari itu, ketika dibaca berdasarkan relasi subjek dengan objek hasratnya dan sejauh relasi tersebut menghadirkan pengalaman luka (jouissance yang terepresi), maka masih ada kemungkinan bagi subjek untuk mengespresikan lukanya (memaknai symptom) melalui penanda-penanda estetis; salah satunya adalah naskah.

Kiranya naskah atau teks yang membangkitkan rasa senang (pleasure) adalah naskah yang seperti diuraikan tersebut; naskah menandai adanya kedalaman pengalaman hidup seseorang yang diukur dari penderitaannya dan barangkali penderitaan tersebut mewakili pengalaman banyak orang. Karya seni dalam hal ini bisa dilihat sebagai cara untuk memaknai penderitaan dengan cara lain. Hal ini bisa

94

dipertemukan dengan pengalaman para aktor ketika mereka menyusun naskah mereka sendiri untuk dipentaskan.

Mengambil cerita Tita dan Andika yang telah dinarasikan dalam bab II, ketika Tita berproses untuk pertunjukan yang berjudul Sangkar Madu, proses tersebut berangkat dari keinginan untuk mencari tahu kehidupan para Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Naskah disusun berdasarkan hasil wawancara para pelaku teater dengan narasumber (TKI). Sebagian naskah berupa narasi, sebagian lain merupakan cerita- cerita narasumber yang dituliskan (verbatim). Sementara itu, proses Andika dalam menyusun naskah di proses Panji Amabar Pasir berbeda dengan pengalaman Tita. Naskah Panji Amabar Pasir ditulis (lebih tepatnya dijadikan acuan) berdasarkan improvisasi yang dihasilkan oleh para aktornya. Improvisasi tersebut direkam dan ditelaah sebelum akhirnya dibekukan menjadi dialog. Secara garis besar, teks tersebut merupakan teks yang berbicara tentang kehidupan pahit satu keluarga yang bertransmigrasi dari Jawa ke Kalimantan dan dalam teks tersebut, Andika berperan sebagai Ayah.

Dari dua proses penciptaan naskah yang berbeda tersebut, dalam praktiknya naskah tetap menempati posisinya sebagai yang (pertama-tama) diidentifikasi oleh aktor. Naskah menjadi sumber peristiwa, atau fiksi yang dijadikan pegangan dalam penciptaan. Ada jarak yang harus ditempuh aktor untuk mendekati tokoh dalam naskah yang sedang dihadapinya. Jika merujuk pada, naskah Sangkar Madu yang dimainkan oleh Tita, pertama-tama, hasrat yang diartikulasikan dalam naskah tersebut tentu bukan milik Tita, meski pada awal proses tersebut Tita bersama rekan-rekan lainnya berhasrat untuk mementaskan wacana-wacana di seputaran kehidupan TKI. Hasrat aktor pada mulanya adalah mencari sesuatu untuk diartikulasikan di panggung karena tidak

mungkin aktor hanya memiliki modal hasrat untuk pentas. Sehingga, pada tahap selanjutnya aktor harus memiliki objek hasrat. Tita menggunakan teks orang lain sebagai objek hasratnya; objek penciptaan.

Sementara, pada konteks yang berbeda, Andika dengan naskah yang ia ciptakan sendiri, mula-mula berhasrat untuk mementaskan sesuatu, dan sesuatu itu menjadi objek hasrat; teks yang akan dipentaskan. Lantas dengan melakukan improvisasi secara bersama-sama, Andika dan rekan-rekannya pada akhirnya berhasil menciptakan teks sebagai acuan. Teks tersebut (dengan segala macam wacana yang tersirat di dalamnya) meski awalnya berasal dari hasrat mereka untuk mengatakan sesuatu, tapi kemudian teks tersebut menandai kehadiran hasrat liyan (kehidupan orang lain) yang berjarak dengan kehidupan mereka sendiri (berjarak dalam hal ini, teks tersebut berisi wacana yang mewakili kehidupan orang lain. Dalam konteks penciptaan naskah Panji Amabar Pasir, wacana yang digulirkan dalam naskah tersebut adalah kehidupan keluarga yang bertransmigrasi; dalam naskah tersebut digambarkan peristiwa menyedihkan yang dialami oleh orang-orang yang bertransmigrasi). Sehingga, teks tersebut harus diperlakukan dengan pola-pola penciptaan tertentu (yang kurang lebih mirip dengan yang telah dikatakan oleh Gunawan Maryanto) sampai pada akhirnya teks tersebut menjadi objek hasrat (objek penciptaan) yang mereka hadirkan di panggung.

Lantas dari mana, misalnya, asal muasal wacana yang muncul dari improvisasi yang dilakukan Andika bersama rekan-rekannya? Ruang latihan memberikan stimulus kepada mereka untuk mengingat peristiwa-peristiwa yang pernah mereka saksikan, dan entah karena suatu kebetulan atau tidak, teks yang dimunculkan (dari improvisasi) tersebut kemudian merujuk pada kehidupan warga transmigran. Dalam hal ini, teks lahir dari ketidaksadaran (symptom; wacana-wacana yang menumpuk dalam ingatan; masa

lalu; jouissance yang terepresi) aktor yang dihadirkan kembali melalui penanda- penanda baru (sinthome95).

Menghubungkan dengan pemaparan tersebut, jika melihat pengalaman Tita atau Andika, sebagai contoh, ketika mereka berproses menyusun naskah untuk pentas, bisa dibilang mereka sama sekali tidak memiliki urusan khusus atau memiliki keterkaitan langsung antara kehidupan mereka dengan kehidupan naskah yang mereka susun. Namun proses tersebut mengantarkan mereka pada ikatan-ikatan emosional tertentu; mereka merasa seolah-olah memiliki pengalaman histeris dari kehidupan tokoh yang dirujuk sebagai naskah. Merujuk pada naskah atau kehidupan tokoh (objek hasrat) yang mereka mainkan, aktor diajak untuk melihat (dan memiliki) lack dari objek hasrat tersebut. Di sisi lain, objek yang mereka ciptakan (melalui bahasa naskah) justru membuat objek tersebut menempati posisi das Ding (yang tidak lagi tampak karena ditutupi oleh bahasa). Sehingga, objek yang mereka angkat melalui naskah pada akhirnya merupakan penanda-penanda baru (sinthome) sebagai hasil dari memaknai symptom.

Ketika naskah sudah mulai berbicara dengan penanda-penanda baru, dalam hal ini naskah merupakan bentuk dari sublimasi. Efeknya, di satu sisi, melalui naskah, sesuatu yang dibicarakan hadir dengan cara yang segar. Mengambil contoh lain melalui pengalaman Pak Untung yang ingin mengkritik pemimpin negara yang salah dengan menggunakan naskah Oedipus Sang Raja, tentu cara yang ditempuh Pak Untung ini berbeda dengan pengalaman Tita dan Andika. Pak Untung melihat symptom naskah setara dengan symptom-nya sendiri sebagaimana symptom tersebut ada karena lack dari

95

Kesel, 2009: 192. Sinthome merupakan invasi struktur simbolik dari jouissance subjek; sinthome hadir dalam bentuk penanda-penanda baru dalam dunia simbolik.

dunia simbolik. Di satu sisi, pengalaman Pak Untung bisa disejajarkan dengan pengalaman Sophocles ketika ia menutup das Ding dengan naskah Oedipus dalam konteks Pak Untung ingin juga membicarakan kekosongan pemimpin negaranya melalui Oedipus.

Lantas bagaimana dengan bentuk-bentuk pertunjukan seperti yang dilakukan oleh Tony Broer? Apakah ada naskahnya? Bagaimana naskahnya? Bagi Tony Broer, naskah dalam pertunjukan adalah tubuhnya sendiri. Konsep ini berangkat dari pemahaman Tony Broer bahwa tubuh sudah merupakan gagasan. Jika di dalam naskah terdapat gagasan atau ide-ide yang akan diterjemahkan melalui akting, maka ketika Tony Broer mengatakan bahwa tubuh adalah gagasan, maka tubuh adalah naskah. Yang dilakukan Tony Broer dalam menyikapi tubuh sebagai naskah adalah dengan melatih tubuhnya terus menerus. Lebih jauh, ketika tubuh bertemu dengan ruang-ruang tertentu, tubuh memiliki caranya sendiri untuk berinteraksi dengan ruang tersebut; tubuh beridentifikasi dengan ruang. Hal ini kurang lebih setara dengan yang dilakukan Andika ketika melakukan improvisasi bersama rekan-rekannya lalu melahirkan naskah. Hanya saja, perbedaan hasil capaian dari proses yang ditempuh Andika dengan proses yang dijalani Tony Broer adalah soal bahasa; Tony Broer menggunakan visual tubuhnya sebagai bahasa utama.

Improvisasi tubuh yang dilakukan oleh Tony Broer adalah pertemuan langsung antara tubuh dengan ruang dan situasi yang terbangun pada waktu itu membuat dia menyusun sendiri narasi tubuhnya. Tentu narasi tubuh ini susah terbaca; tidak seperti bahasa verbal yang diucapkan melalui dialog. Sehingga, ketika dia pentas, bisa jadi penonton tidak paham, tapi penonton bisa mengenali ekspresi-ekspresi tubuhnya.

Konsekuensinya, pertunjukan tersebut membuka peluang untuk ditafsirkan dengan berbagai kemungkinan cara.

Yang unik dari naskah tubuh Tony Broer ini adalah bahwa proses yang ia tempuh merupakan proses membuka sekaligus menutup das Ding tubuh. Membuka dalam hal ini Tony Broer menelanjangi tubuhnya dari penanda-penanda simbolik (konstruksi sosial yang melekat pada tubuh), misalnya; ia tak mau menjadikan tubuhnya sebagai media penyampai pesan melainkan tubuh adalah pesan itu sendiri. Sementara menutup dalam hal ini Tony Broer menghadirkan penderitaan tubuhnya yang berinteraksi langsung dengan ruang; ketika tubuh bergerak atas ‘ketelanjangannya’ sekaligus tubuh

itu menutup das Ding dengan sisi buruk, sisi kelam, dan penderitaan manusia yang

ingin lepas dari ‘kecantikan’ yang menutupinya.

Merujuk pada pemaparan-pemaparan tersebut, naskah di satu sisi merupakan

‘keindahan’ yang menutup kekosongan das Ding. Keindahan tersebut hadir melalui rangkaian penanda bahasa yag digunakan penulis untuk memaknai symptom-nya setelah ia melihat kekosongan (das Ding) di balik objek a (objek membuat penulis menjadi subjek hasrat dan subjek yang terdorong untuk bergerak menuju das Ding. Sementara itu, aktor melihat naskah mula-mula adalah sebagai objek a (kecantikan yang ditampilkan melalui penanda-penanda estetis). Objek a diandaikan mampu memberikan pemuasan bagi aktor, namun yang terjadi justru sebaliknya; aktor hanya menemukan kekosongan dibalik objek a. Sehingga, aktor tetap menjadi subjek yang mengalami lack dan tetap menjadi subjek hasrat. Hanya dengan cara itulah subjek memiliki gairah hidup dan terus menerus terdorong untuk melakukan sesuatu; mengisi kekosongan dengan penanda-penanda baru.

2. Berpijak Pada Tubuh: Dari Subjek Hasrat Sampai Subjek Dorongan