• Tidak ada hasil yang ditemukan

Telah disebutkan pada bagian awal bahwa penelitian ini berpijak dari kegelisahan (atau lebih tepatnya keheranan) atas fenomena keberadaan para pelaku teater yang tetap gigih berteater meski pada kenyataannya menjalani kehidupan sebagai (khususnya) aktor teater ‘sama halnya’ dengan mencari kesulitan. Setidaknya, hal ini bisa dilihat melalui

kisah-kisah para aktor yang telah dinarasikan dalam Bab II.

Menggunakan istilah ‘mencari kesulitan’ seperti yang telah disebutkan di awal,

pertama-tama kesulitan ini merujuk pada pasar teater yang tidak sebagus dunia film atau layar kaca. Kedua, infrastruktur atau fasilitas untuk pertunjukan teater secara umum kurang memadai. Ketiga, proses penciptaan pemeranan merupakan proses yang berat dan panjang. Dan keempat, pertunjukan teater masih kental dengan muatan kritik dan tak jarang isu-isu yang diangkat merupakan isu sosial yang sensitif. Konsekuensinya,

pertunjukan teater identik dengan ‘seruan protes’ terhadap pihak-pihak tertentu dan

kadang-kadang pertunjukan semacam ini mengundang resiko tertentu.

Proses berat yang ditempuh para aktor dengan honor yang diterima (jika diukur melalui perspektif ekonomi) tidaklah layak. Membandingkan dunia sinetron dengan dunia teater, misalnya, proses yang ditempuh dan hasil yang didapatkan oleh para aktor di dua bidang yang berbeda ini ibarat langit dan bumi. Aktor sinetron dengan kapasitas akting yang minimalis bisa memperoleh penghasilan yang mewah dan pengakuan

sebagai ‘artis’ atau ‘selebritis’ dalam masyarakat. Sementra itu, aktor teater barangkali

hanya dikenal oleh beberapa kalangan saja dan tentunya lebih sering nombok dari pada untung dalam menempuh proses penciptaan teater. Terlebih lagi, menjadi aktor teater

masih cenderung dipandang sebelah mata oleh publik. Jika diukur dengan ukuran seperti yang telah dipaparkan tersebut, mestinya dunia teater sudah tamat.

Namun hingga hari ini pertunjukan teater masih bisa ditemui dan masih sering diadakan. Aktor-aktor teater ‘tulen’ masih tetap bertahan dan disusul pula oleh para

aktor pemula (entah berapa lama bisa bertahan). Dari penelitian ini ditemukan bahwa ada tiga hal yang membuat para aktor masih bertahan dalam dunia teater; kesenangan, pengetahuan, dan keyakinan. Dengan kata lain, jikalau tiga hal tersebut kurang memadai, dunia teater mampu memberikan pemenuhan (dalam bentuk yang berbeda- beda yang tidak bisa ditemui di dunia selain teater) bagi para aktor sehingga mereka masih berteater hingga saat ini.

Dalam penelitian ini, fenomena tersebut dilihat melalui perspektif psikoanalisa. Hasilnya, pengalaman aktor menempuh proses latihan hingga pentas merupakan pengalaman sublimasi yang secara sederhana bisa diartikan sebagai pengalaman hadir tanpa represi atau pengalaman mendapatkan kenikmatan tanpa menimbulkan symptom yang bersifat patologis. Kenikmatan semacam inilah yang membuat para aktor rela menempuh proses latihan yang berat dan panjang dan tak jarang membuat mereka mengorbankan banyak hal termasuk uang (dan kadang-kadang keselamatan). Kenapa demikian? Proses teater bisa diibaratkan sebagai proses ‘penyembuhan’ atas ‘penyakit’

yang diderita para aktor ketika mereka menghadapi tekanan/(keter)batasan realitas sosial di dunia simbolik.

Hal tersebut diketahui berdasarkan analisis pada Bab III atas pengalaman para aktor dalam menjalani kehidupan di dunia teater dan dunia keseharian yang telah dinarasikan pada Bab II dengan acuan rumusan masalah yang telah dipaparkan pada Bab I. Secara garis besar, merujuk pada konsep sublimasi Lacanian, pengalaman hidup

para aktor merupakan pengalaman berhadapan dengan das Ding (kekosongan dibalik bahasa atau material penandaan di dunia simbolik).

Berdasarkan teori sublimasi, perjalanan aktor dalam menempuh proses penciptaan dapat dilihat melalui tiga tahapan, yaitu aktor sebagai subjek bahasa (subject of language) dan subjek hasrat (subject of desire), sebagai subjek dorongan (subject of drive), dan pengalaman akan sinthome dalam panggung sublimasi. Masing-masing tahap ini bisa dikaitkan dengan pengalaman aktor saat mendalami makna naskah sampai mencapai kenikmatan atau kesenangan (pleasure) teks, saat seorang aktor melampaui makna dan kenikmatan teks menuju das Ding dalam teks, dan saat seorang aktor berhasil melahirkan penandanya sendiri (sinthome) dalam panggung sublimasi.

Secara keseluruhan, proses yang ditempuh oleh para aktor baik yang berpijak pada naskah drama atau gagasan-gagasan tertentu merupakan proses untuk menafsirkan symptom mereka sendiri yang tampak pada kecenderungan-kecenderungan (pola-pola gestur tubuh, batasan-batasan tubuh, pola-pola wicara, pola pikir, dan lain sebagainya) yang mereka miliki sebagai bentukan atas konstruksi sosial. Dalam hal ini, naskah atau gagasan (teks) mampu menjadi medium bagi para aktor untuk memaknai symptom mereka sendiri sebagaimana naskah atau gagasan tersebut tercipta atas symptom yang dimaknai melalui das Ding sehingga menjadi sinthome yang berfungsi untuk menutup kekosongan pada das Ding.

Hasrat aktor yang muncul atas identifikasi yang ia lakukan melalui teks justru karena aktor berhadapan dengan das Ding; aktor tidak mendapatkan pemenuhan hanya dengan membaca teks. Dengan kata lain, keindahan yang dimunculkan melalui teks mengantar aktor pada kekosongan yang ditutupi oleh keindahan tersebut. Justru karena tidak sepenuhnya mendapatkan kepenuhan atas kenikmatan teks tersebut, aktor tetap

berhasrat dan terdorong untuk melakukan sesuatu yang lebih dengan cara menempuh proses penciptaan teater; penciptaan penanda-penanda baru atas teks yang mereka hadapi.

Tak jarang para aktor harus menempuh serangkaian latihan tubuh yang cukup berat untuk pertunjukan yang akan mereka mainkan. Proses tersebut bisa disebut sebagai proses untuk melampaui batasan tubuh yang mereka miliki; dengan kata lain, menafsirkan symptom untuk dikatakan kembali sebagai sinthome. Tentunya, sinthome ini merupakan bentukan-bentukan baru atas tubuh yang mereka peroleh selama menempuh proses latihan. Sebagai contoh, dalam memerankan tokoh tertentu dalam naskah, aktor harus menempatkan perilakunya sedemikian rupa agar ia dikenali sebagai tokoh yang ia mainkan. Dengan demikian, aktor harus memahami kecenderungan- kecenderungan yang mereka miliki terlebih dahulu sebelum membiasakan perilakunya sesuai dengan perilaku tokoh yang ia bayangkan.

Seorang aktor ibaratnya melahirkan dirinya kembali melalui proses yang mereka tempuh. Namun demikian, bukan berarti bahwa ketika aktor telah mengalami banyak perubahan melalui proses latihan maka ia kehilangan identitasnya; proses latihan menjadi wahana untuk memperlebar jangkauan diri atau membebaskan diri dari represi (batasan yang tercipta atas konstruksi dunia simbolik). Dengan kata lain, semakin banyak seorang aktor melakukan proses penciptaan, maka semakin banyak pula perspektif yang mereka miliki untuk menyikapi kehidupan mereka. Proses yang ditempuh oleh para aktor dalam penciptaan teater sekaligus membuat aktor berjarak dengan kehidupan yang mereka jalani dalam dunia sehari-hari dalam pengertian bahwa kehidupan bukan sekedar sesuatu yang harus dijalani begitu saja, melainkan harus ditafsirkan dan dilampaui terus menerus.

Menjadi aktor teater tidak memiliki tujuan akhir hanya untuk pentas di panggung. Para aktor menyadari bahwa keaktoran yang mereka jalani selama ini bukanlah pekerjaan, namun lebih pada bagian dari cara hidup, cara untuk mempelajari hidup, atau, cara untuk bercakap-cakap dengan orang lain. Teater lebih menjadi kebutuhan hidup untuk berbaur bersama orang lain. Dalam hal ini teater masih menempati fungsinya sebagai cara bagi aktor untuk meneguhkan kediriannya sebagai seseorang, sekaligus sebagai bagian dari masyarakat yang tak lepas dari ikatan-ikatan emosional tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Refrensi Buku:

Artaud, Antonin. Theatre And Its Double, Tr. by Mary Caroline Richards, Grove Press, Inc., 1958.

Auslander, Philip, Theory for Performace Studies, Routledge 2008.

Boal, Augusto. Theatre Of The Oppressed, Tr. by Charles A. and Maria-Odilia Leal McBride and Emily Fryer, Pluto Press, 2008.

Evans, Dylan. An Introductory Dictionary of Lacanian Psychoanalysis, Taylor & Francis e-Library, 2006.

Felman, Shoshana. The Scandal Of The Speaking Body: Don Juan with J.L. Austin, or Seduction in Two Languages, Tr. by Cornell University Press, Standford University Press, the Board of Trustees of the Leland Stanford Junior University, 2002.

Felman, Shoshana, Writing And Madness (Literature/Philosophy/Psychoanalysis), Tr. by Martha Noel Evans, Brian Massumi, and author, Standford University Press Palo Alto California, the Board of Trustees of the Leland Stanford Junior University, 2003.

Fortier, Marx, Theory/Theatre An Introduction, Taylor & Francis e-Library, 2007. Fraleigh, Sondra and Nakamura, Tamah. Hijikata Tatsumi And Ohno Kazuo. Routledge,

270 Madison Ave, New York, 2006. Harrop, John. Acting, Taylor & Francis e-Library, 2005.

Harrop, John dan Epstein, Sabin R. Acting With Style, Third Edition, Allyn&Bacon, 2000.

Haryono, Edi (penyusun). Menonton Bengkel Teater Rendra, Penerbit Kepel Press, 2005.

Hatley, Barbara, dkk. Seni Pertunjukan Indonesia Paska Orde Baru, Universitas Sanata Dharma Press, 2014.

Hommer, Sean, Jaques Lacan, Taylor & Francis e-Library, 2005.

Fink, Bruce. A Clinical Introduction To Lacanian Psychoanalysis (Theory and Technique), London, England: Harvard University Press, 1997. Kesel, Marc De. Eros and Ethic: Reading Jaques Lacan’s Seminar VIITr. by Sigi

Jottkandt, State University Of New York: Sunny Press, 2009.

Lacan, Jacques. ECRITS: The First Complete Edition In English, Tr. By Bruce Fink in collaboration with Heloise Fink and Russell Grigg, W. W. Norton & Company, Inc. 2006.

Oscar G. Brockett, The Theatre an introduction, Holt, Rinehart and Winston, Inc 1964 Pluth, Ed.Signifiers and Act: Freedom In Lacan’s Theory of TheSubject, State

University of New York Press, Albany, 2007.

Prendergast, Monica & Saxton, Juliana. Applied Theatre, Intellect Ltd, 2009. Cohen, Robert. Theatre; Brief Edition, Mayfield Publishing Company 1983.

Saukko, Paulo. Doing Research in Cultural Studies: An Introduction to Classical an New Methodological Approaches, Sage 2003.

Schechner, Richard. Performance Theory, Taylor & Francis e-Library, 2004.

Stanislavski, Constantin, Membangun Tokoh, Tr. B. Verry Handayani, Dina Octaviani, dan Tri Wahyuni. Kepustakaan Populer Gramedia 2008.

Sunardi, ST. Estetika Kenikmatan Tekstual, Emansipasi Teks Lewat Tubuh, dalam Vodka dan Birahi Seorang Nabi, Jalasutra 2012.

Synott, Anthony. The Body Social; Symbolism, Self, and Society, Routledge, 1993. Verhaeghe, P. Beyond Gender: From Subject to Drive, New York: Other Press, 2001. Yudiaryani. WS Rendra Dan Teater Mini Kata, Galang Pustaka 2015.

Zizek, Slavoj. The Sublime Object Of Ideology, London: Verso, 1989.

Tesis

Johnston, Daniel Waycott. Active Metaphysics: Acting as Manual Philosophy or

Phenomenological Interpretations of Acting Theory, Department of Performance Studies, University of Sydney, 2007.

McCurdy, Marian. Acting and Its refusal in Theatre and Film, Theatre & Film Studies, University of Canterbury 2014.

Palippui, Irfan. Pengalaman Subjektifitas Religius Lewat Haji Bawa Karaeng, Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, 2013. Sasanti, Airani, Pementasan Bocah Bajang: Negosiasi Teater Terhadap Media Massa

Atas Makna Fenomena Ponari, Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, 2013.

Windarto, Anicetus. Simulasi (Gosip) Infotainment Dalam Retorika Image (Keaiban) Selebritis, Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2013.

Catatan Perkuliahan

Handout kuliah psikoanalisa yang disusun oleh St. Sunardi dalam perkuliahan di program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma

Web/Blog Internet

http://endgame.teatergarasi.org/ http://sangkarmadu.tumblr.com/ http://teatergarasi.org/?p=366&lang=id