• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II MELEWATI BATAS-BATAS KEHIDUPAN MELALUI TEATER

E. Teater: Antara Kesenangan, Kegelisahan, dan Kegilaan Dalam Kehidupan

membuahkan pemaknaan-pemaknaan tertentu bagi para aktor. Bagian ini merupakan bagian yang menarasikan makna teater dan kehidupan yang dialami oleh para aktor. Pemaknaan-pemaknaan ini lebih bersifat personal, tergantung dari pengalaman yang mereka dapatkan melalui proses latihan dan proses penciptaan yang mereka jalani. Secara umum, pengalaman berteater yang lakukan oleh para aktor ini bermula dari rasa senang, akan tetapi kedepannya, rasa senang ini berubah bentuk menjadi kegelisahan- kegelisahan tertentu untuk menyampaikan sesuatu melalui teater. Hasilnya kurang lebih

adalah pengetahuan, gaya hidup, dan keyakinan yang dimiliki oleh para aktor dalam menempuh kehidupan mereka masing-masing.

Jika kita membaca pengalaman Tony Broer pada bagian sebelumnya, kita mungkin akan menemui kesan bahwa ia merupakan tokoh yang unik, nyentrik, berani dan keras kepala. Namun dibalik hal tersebut, Tony Broer mempunyai keyakinan yang menjadi alasan kenapa ia berteater dengan gaya yang sedemikian rupa dan cenderung menyimpang dari bentuk-bentuk teater pada umumnya di lingkungan berkeseniannya. Tony Broer bercerita demikian:

“Pengalaman loe itu harus loe jadikan landasan hidup loe, apapun jenis

pangalamannya. Makanya pilihan dulu. Kalau loe di teater cuma sebagai apa...daripada nganggur itu kan susah juga! Nah makanya kalau gue itu pilihan. Gue kan pegawai negri juga, tapi tetep melakukan ini. Sebenernya kalau nggak melakukan ini pun hidup gue nyaman, pura-pura sok pinter aja gue kan, baca buku yang banyak, terus ngomong soal teater; gua jadi dosen, pasti orang akan nganggap kan? Tapi kan gue nggak, gue lakukan latihan juga! Kalau dilihat dari umur juga ngapain sebenernya gue capek-capek, apa sih yang gue kejar sebenernya? Ya sebenernya experience gue itu yang membuat gue sampai sekarang tetep bertahan. Sebab itu yang jadi kekuatan

gue nanti yang orang lain gak punya.”66

Dari pemaparan tersebut kita bisa melihat bahwa dalam hidupnya, pilihan atau kalau bisa dibilang kepuasan bagi Tony Broer adalah ketika ia terus melakukan pencarian; menjawab kegelisahan terbesar dalam hidupnya, yakni tubuh. “Persoalan

tubuh itu belum selesai, makanya gua terus menerus nyari, mempertanyakan kembali soal-soal tubuh yang dianggap telah selesai.”67 Di sisi lain, melihat karakternya yang nyentrik, ternyata Tony Broer telah menjadi ayah beranak satu. Istrinya bernama Noriko Komuro, seorang wanita berdarah Jepang yang ia kenal ketika ia berkolaborasi dengan

66

Wawancara dengan Tony Broer pada tanggal 3 Agustus 2014 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta.

67

Wawancara dengan Tony Broer pada tanggal 3 Agustus 2014 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta.

beberapa seniman dari Indonesia, Jepang, Filipina, dan Amerika; sebuah kolaborasi untuk pertunjukan yang persiapannya berlangsung di Jepang selama 3 bulan pada tahun 2001. Saya membayangkan bahwa jikalau Tony Broer ingin hidup enak, ia sudah memilikinya tanpa perlu repot-repot latihan yang aneh-aneh, menciptakan teater yang aneh dan susah dipahami hingga sekarang. Namun pilihan hidup memang demikian adanya, sebagaimana juga diceritakan oleh Pak Untung Basuki untuk menjawab alasan hingga kini ia masih berteater:

“Wah itu agak susah. Kalau panggilan hidup itu ya....ya sampai sekarang saya masih hidup di sana. Itu saya nggak dapat penghasilan dari teater lho. Saya berteater itu nggak tahu caranya untuk nyari duit. Ini proses Oedipus aja hampir setahun belum tahu mau pentas kapan. Apa nggak gila? Hanya orang gila yang mau kayak gini ini. Ya saya ini orang gila. Kenapa begitu? Nggak tahu, ya saya harus menjalani itu. Ini saya pentas itu berangkat dari satu alasan. Keprihatinan. Oedipus itu cerita tentang pemimpin negara yang salah. Ini maunya saya pentaskan dulu di tahun 2012, tapi belum bisa sampai sekarang, malah sudah ganti presiden. Ini saya pikir pentas Oedipus cocok, waktu itu pas presiden SBY. Itu antara 2012-2013.”68

Barangkali berteater memang soal keprihatinan: bentuk perhatian dari seseorang yang ingin memberikan sumbangan kepada kehidupan dalam bentuk teater untuk kehidupan yang lebih baik. Namun kadangkala perhatian tersebut belum tentu membuahkan hasil yang seketika. Sehingga kadang-kadang berteater itu memunculkan perasaan-perasaan tersendiri: “Saya ini ya nggak tahu mas kenapa masih berteater,“69 kata Pak Untung,“Ya ini absurd. Ya gila.”70

Akan tetapi, barangkali yang lebih mendasar, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Gunawan Maryanto, berteater merupakan kebutuhan untuk bercakap-cakap. Jika meminjam ungkapan Pak Untung, maka percakapan ini adalah percakapan yang

68

Wawancara dengan Untung Basuki pada tanggal 8 Maret 2015. 69

Wawancara dengan Untung Basuki pada tanggal 8 Maret 2015. 70

mempercakapkan kehidupan yang memprihatinkan. Melihat dari sisi lain, Gunawan Maryanto menyikapi teaternya demikian:

“Ya kalau aku ingin menyikapinya, dengan perasaan gitu, pengennya berteater itu masih sebagai hobi yang menyenangkan. Tapi di sisi lain kan nggak bisa seperti itu terus menerus. Ini kemudian menjadi disiplin pengetahuan yang tak jalani. Seperti sedang menempuh satu perjalanan menemukan pengetahuan dan pengalaman yang lain. Di sisi lain juga tetap, teater itu menjadi satu bentuk ekspresi. Sebagaimana orang-orang yang lain mempunyai bentuk ekspresinya sendiri-sendiri kan? Untuk melakukan sesuatu, menyampaikan sesuatu kepada yang lain, teater mejadi jalanku. Sebagai bagian dari masyarakat kan, orang ingin bercakap-cakap, ingin berbagi, ya jalannya beda-beda. Salah satu jalan ya teater.”71

Dengan menyikapi teater sebagai hobi yang menyenangkan, Gunawan Maryanto masih ingin tetap menjalani kehidupan yang berat di teater bukan sebagai beban, melainkan sebagai kesenangan dalam menempuh kehidupan. Meskipun saat ini Gunawan Maryanto, seperti yang telah diceritakan pada bagian sebelumnya, menggantungkan hidupnya dengan berteater. Namun pada akhirnya teater yang ditekuni Gunawan Maryanto membentuk suatu pemahaman bahwa teater merupakan salah satu bentuk pengetahuan dan sarana ekspresi yang ia butuhkan.

Bahwa berteater merupakan hal yang lebih dari sekedar kesenangan, justru menurut Andika Ananda, dia merasa bahwa akan menjadi sempit maknanya jika teater dimaknai sebagai kesenangan semata, pada praktiknya, ia mengatakan bahwa ia berteater juga karena alasan-alasan lain yang sifatnya lebih jauh dari sekedar kesenangan:

“Kalau teater itu ibaratnya perempuan mas ya, itu sayanaksir dan pedekate dulu; saya ajak ngobrol, nelfon, sambil diperhatikan, terus didekati sampai benar-benar cinta. Saya pikir cinta kan tidak berhenti di situ. Sekian tahun

71

Wawancara dengan Gunawan Maryanto pada tanggal 7 Maret 2015 di Garasi Institute of Performance, Nitiprayan, Yogyakarta.

pacaran bahkan sudah menikah, istilah cinta itu mungkin sudah nggak ada. Istilah seneng itu mungkin nggak ada. Aku berteater itu karena seneng kah? Karena apa ya? Ya seneng tapi juga gelisah. Macam-macam, tapi justru di situ. Tidak sebatas karena senang saya berteater. Tapi ya karena saya gelisah, karena saya sedih, karena saya marah, karena saya ingin menyampaikan sesuatu, karena saya berfikir, karena saya hidup. Bukan karena senang. Akan menjadi sempit kalau begitu. Aku berteater karena senang kok! Iya po? Bagi saya nggak semata-mata itu kok. Ya kan sudah hampir dari separuh umur saya kan saya berteater. Jadi mungkin sudah melewati fase itu, bahwa pertanyaan berteater karena senang itu bukan lagi pertanyaan yang perlu saya jawab. Kamu senang? Nggak saya jawab, tapi

saya yakin secara personal untuk saya jalani.”72

Ada kesenangan, ada kegelisahan, ada kesedihan yang melebur menjadi satu seperti yang dimaknai Andika dengan mengibaratkan teater sebagai perempuan yang ia cintai. Sebagai praktiknya, ia merasa bahwa teater tidak hanya memberikan sesuatu pada Andika, akan tetapi sebagai gantinya, ia harus memberikan sesuatu kepada teater sebagai sumbangan pemikiran. Tak jarang Andika harus mengorbankan sesuatu untuk proses penciptaan teater dalam situasi budaya yang didominasi oleh pasar. Kerja teater dimaknai andika sebagai sesuatu yang tidak berakhir di panggung saja dan kerja ini berbeda konteksnya sebagai pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Kerja teater memiliki banyak turunan, bagi Andika, salah satunya dalam bentuk latihan dan latihan ini bukan semata-mata untuk pentas, melainkan untuk hidup.

Akan tetapi dibalik ungkapan-ungkapan yang dilontarkan oleh para aktor tersebut, ada keyakinan-keyakinan tertentu yang membuat mereka tetap bertahan di teater, yakni keyakinan bahwa teater berguna bukan hanya bagi mereka yang telah berproses, melainkan bagi orang lain. “Berteater itu berguna untuk pembentukan karakter,”73ujar Mbah Tohir dan hal ini juga diakui oleh para aktor lain. Berguna dalam hal ini berarti

72

Wawancara dengan Andika pada tanggal 20 Juni 2014 73

Wawancara dengan Mbah Tohir pada tanggal 5 Maret 2015 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta.

baik. Namun apakah makna ‘baik’ jika dikaitkan dengan bisa memerankan banyak

karakter? Bagaimana kemudian mereka berhadapan dengan masyarakat? Manfaat pembentukan karakter dalam hal ini bukan berarti menjadi tokoh lain lantas menggunakannya untuk membohongi orang lain. Mbah Tohir menegaskan;

“Di teater itu dilatih. Orang biar jadi pinter, misalnya kita dilatih untuk

berperan menjadi tokoh baik, atau tokoh jahat, dari situ kita kan mendapat pengetahuan, yang membuat kita kemudian bisa memilih, mana yang terbaik untuk kehidupan kita. Teater membuat orang jadi cerdas dan punya karakter. Bisa paham sesuatu juga bisa dipahami orang lain. Di teater itu kita harus jujur. Dalam memainkan peran nggak bisa kita bohong. Nggak jadi. Sehingga orang berteater itu orang yang dilatih untuk jujur

sebenarnya.”74

Dari ujaran Mbah Tohir, dia memberikan contoh konkrit bagaimana latihan teater bisa membentuk karakter yang bisa berinteraksi dengan sesama. Mbah Tohir bercerita bahwa di suatu sekolah, ada seorang anak yang diwajibkan ikut teater karena bagian dari mata pelajaran. Sebelumnya, anak tersebut merupakan anak yang susah berinteraksi meskipun ia memiliki kecerdasan di atas teman-temannya. Lantas, melalui proses teater, pada akhirnya anak tersebut terpaksa belajar berinteraksi hingga kemudian anak tersebut menemukan cara dan menyenangi pengalamannya berinteraksi dengan orang lain.

Ungkapan Mbah Tohir ini merupakan suatu mode pembelajaran teater dalam arti yang lebih luas dari sekedar untuk penciptaan pentas. Jika salah satu efek dari latihan teater ini adalah untuk membentuk karakter yang bisa berinteraksi dengan orang lain, artinya latihan teater semestinya merupakan praktik yang dibutuhkan kebudayaan; interaksi antar manusia.

74

Wawancara dengan Mbah Tohir pada tanggal 5 Maret 2015 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta.

Sebagai narasumber yang paling tua dalam penelitian ini, Mbah Tohir merupakan aktor monolog yang hidupnya berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain. Pengembaraannya ini merupakan pilihan hidupnya meskipun hal tersebut terkesan sebagai kehidupan yang serba sulit.“Jika mau saya sudah jadi selebritis Srimulat mas. Lha saya yang ikut membangun, menulis naskah, juga menyutradarai. Tapi kan nggak

saya lakukan.”75 Kemudian Mbah Tohir memilih untuk bermain monolog dan menjalani kehidupan yang sedemikian rupa seorang diri. “Ya ini latihan saya sebagai aktor mas,”ujarnya,“Untuk mencari kesempurnaan saya sebagai manusia.”76Menurut cerita yang disampaikan Mbah Tohir, Tony Broer pernah mengatakan kepadanya bahwa teaternya (teater Mbah Tohir) merupakan teater kehidupan, karena pada prakteknya, Mbah Tohir membawa teaternya sampai pada kehidupan kesehariannya.

Pilihan Mbah Tohir untuk menjadi dirinya yang seperti sekarang ini bisa dibilang merupakan pengalaman yang melawan mainstream ketika banyak orang saat ini yang berlomba-lomba untuk menjadi selebritis. Pada umumnya, pilihan hidup semacam ini cenderung dianggap sebagai pilihan yang tidak realistis. Namun Mbah Tohir senang menjalaninya dan menganggap bahwa pilihannya merupakan jalan yang baik untuk ia tempuh sebagai cara untuk memperoleh kesempurnaan hidup hingga akhir hayatnya nanti. Mbah Tohir sangat menyadari bahwa yang dilakukannya tidak akan mengantarkannya pada kesempurnaan karena beliau percaya bahwa kesempurnaan hanya milik tuhan dan manusia hanya bisa berusaha untuk melakukan hal yang terbaik.

Ungkapan Mbah Tohir tersebut menciptakan kesan bahwa ada sisi spiritual yang ia yakini dari berteater. Hal yang mirip juga diungkapkan oleh Andika, teater bukanlah

75

Wawancara dengan Mbah Tohir pada tanggal 5 Maret 2015 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta..

76

agama, namun dengan berteater Andika merasa mendapat pencerahan hidup dari segi spiritualitas. Andika bercerita bahwa dulu ia merupakan seseorang yang jarang beribadah, namun dalam proses kedepannya, melalui teater, Andika mengakui bahwa teater telah memberikan hal yang sifatnya spiritual yang bersifat abstrak yang sulit untuk ia jelaskan namun ia meyakininya. Demikian cerita Andika:

“Kalau saya nggak melihat teater seperti agama. Karena bagi saya kalau

teater dianalogikan menjadi sebuah agama itu menjadi sesuatu yang salah. Menurut saya. Tapi ini mungkin konteksnya berhubungan dengan keimanan saya. Nggak tahu kalau di agama lain. Teater ya teater, agama ya agama. Gampangnya gini, karena saya Islam, waktunya sholat ya harus sholat. Meskipun saya belum lama melakukannya. Saya dulu juga orang nakal, wis ora tau sholat. Tapi itu dulu, sekarang itu saya memandang teater ya teater, agama ya agama, dan keduanya itu bagian dari hidup saya. Dan teater itu juga berkait dengan agama saya, dengan keimanan saya. Agama juga begitu, karena ada kaitannya dengan...saya nggak berani ngomong gimana ndak seperti sombong, tapi bagi saya teater memberikan pengaruh pada saya di wilayah spiritualitas. Dan itu bukan janji teater, melainkan itu kegunaan teater bagi saya. Ya melalui latihan-latihan apapun itu, membaca naskah, berhubungan dengan masyarakat, berbagai macam pesan yang saya dapat dari latihan, dari naskah, dari pentas, bagi saya semua proses latihan teater itu memberikan stimulus bagi saya tentang spiritualitas. Ya kalau berbicara konkrit itu nggak ada wujudnya, tapi saya meyakini hal itu. Kontribusi teater ada di situ, untuk membuat saya sadar, membuat saya yakin. Teater mempunyai peran itu. Bagi saya itu ada, meskipun ada orang-orang tertentu yang meyakini teater itu sebagai agama. Berteater itu juga masuk surga. Ya itu nggak apa-apa, terserah. Tapi kalau saya, dalam konteks keimanan saya, itu terpisah antara agama dan teater karena keduanya mempunyai paradigmanya masing-masing. Tapi kalau apakah teater itu ada hubungannya dengan agama ya bagi saya ada. Saya yakin spiritualitas seseorang itu berpengaruh pada karyanya kok. Spiritualitas orang itu pasti sedikit banyak ada di karyanya. Bahkan kebodohan, kedangkalan, kejelian itu pasti terepresentasikan melalui karya seseorang. Nah tadi kalau soal cita- cita yang diinginkan dari teater, untuk sekarang ini saya nggak menginginkan apa-apa. Karena teater bagi saya sudah memberikan banyak hal pada saya. Nah kalau saya kemudian saya latihan, saya proses lagi, dan saya mendapatkan sesuatu, ya itu yang patut saya syukuri. Bagi saya teater itu memberikan banyak hal bagi saya. Tuhan memberikan hal tersebut

melalui teater.”77

77

Berbeda ungkapan dengan mbah Tohir dan Andika, Nunung memaknai teaternya sebagai energi yang menjadi sumber bagi kehidupannya. Baik dalam hal menciptakan proses pertunjukan ataupun sebagai penonton, Nunung merasa bahwa teater adalah energi positif yang membuatnya merasa ingin bergerak dan menciptakan sesuatu. Tita, dekat dengan yang diungkapkan Nunung, merasa bahwa dengan berteater, ia terdorong

untuk memaksakan dirinya berkreativitas. “Teater adalah energi kreatif untuk hidup dan mengkreatifi kehidupan”78 ujarnya. Dengan teater, mereka merasa hidup. Karena:

Teater adalah rasa hidup.”79 Kata Nunung. Namun rasa hidup yang bagaimanakah? Nunung bercerita:

“Di panggung itu rasanya gimana ya? Aku nggak tahu tapi selalu begitu;

kayak meluap-luap. Rasane ki urip banget, aku seolah merasakan aliran energi ya dari penonton, ya dari situasi yang terbangun di panggung. Kamu sering lihat aku kan kalau sebelum pentas itu aku selalu mual-mual, pengen muntah, bolak-balik di kamar mandi. Ada ketegangan yang entah gimana karena semua yang aku lakukan di proses akan dipertaruhkan saat itu

juga.”80

Sementara bagi Tita, dengan mengatakan bahwa teater merupakan energi kreatif untuk hidup dan teater merupakan cara untuk membuat kreatifitas kehidupan, teater bagi Tita merupakan sesuatu yang mendorong Tita untuk selalu berfikir lebih dan berbuat lebih. Kerena teater, hal itu membuat Tita menjadi harus untuk melakukannya. Namun harus dalam hal ini berbeda dengan harus yang bersifat menekan (mematuhi hukum, misalnya), melainkan keharusan karena suatu keinginan yang mendesak. Tita bercerita:

“Kalau di teater, aku nggak bisa tinggal diam begitu saja. Aku harus melakukan sesuatu. Sebagai aktor kan kita menafsirkan, menciptakan, nah ini yang selalu aku jadikan pegangan. Aktor itu seniman, dan seniman itu harus kreatif. Kalau nggak gitu aku ngrasa nggak memberi kontribusi pada

78

Wawancara dengan Tita pada tanggal 24 Juni 2014 di Padepokan Seni Bagong Kussudihardja

79

Wawancara dengan Nunung pada tanggal 26 Juni 2014 80

orang lain. Kalau aku lihat pentas atau karya seni gitu dan aku merasa mendapat inspirasi, maka ketika aku harus berproses, ya gimana caranya supaya orang lain nanti mendapat inspirasi dari apa yang aku lakukan. Nah kalau teater kan yang ditampilkan adalah peristiwa kehidupan, jadi bagiku itu adalah kehidupan yang harus dikreatifi. Kalau pakai istilah kita di padepokan ya teater adalah energi kreatif untuk hidup dan mengkreatifi

kehidupan.”81

Melihat berbagai pemaknaan atas teater dari cerita-cerita para aktor tersebut, dari berbagai macam versinya, bisa diartikan bahwa masing-masing pemaknaan tersebut tak lepas dari relasi aktor dengan teater dan kehidupan yang mereka alami. Semua pemaknaan tersebut bersifat personal dan cenderung mengarah pada hal baik yang ditempuh melalui teater. Pemaknaan teater dalam konteks yang lebih luas diutarakan oleh Gunawan Maryanto selaku aktor sekaligus seseorang yang sangat familiar dengan dunia penelitian teater. Ketika saya melontarkan pertanyaan yang terkait dengan perkembangan teater saat ini, Gunawan Maryanto bercerita demikian:

“Ya memang berkembang. Tumbuh. kalau dulu teater itu kayak upacara,

lalu menjadi media lakon, ini kita bisa melihat teater tradisi, masyarakatnya sudah tahu ceritanya, yang mungkin sudah berulang-ulang, tapi mereka masih membutuhkan itu sebagai wahana, untuk berkumpul, untuk meneguhkan: Oo...aku masih orang jawa lho dengan melihat wayang. Meskipun ia tidak memperhatikan ceritanya, tapi dengan datang ke situ, dia masih mengikatkan diri dengan suatu kelompok masyarakat tertentu. Fungsi itu masih dan berkembang. Dalam arti kalau dulu itu masih menjadi reriyungan, untuk meneguhkan ikatan-ikatan yang lebih emosional, tapi untuk perkembangannya teater kan menjadi satu wahana untuk bercakap- cakap, diskusi, untuk mengungkapkan kenyataan-kenyataan hari ini, kan

gitu.”82

Berteater memang tak lepas dari kebutuhan untuk berbaur bersama orang lain; meneguhkan ikatan emosional, jika meminjam istilah Gunawan Maryanto atau srawung

81

Wawancara dengan Tita pada tanggal 24 Juni 2014 di Padepokan Seni Bagong Kussudihardja

82

Wawancara dengan Gunawan Maryanto pada tanggal 7 Maret 2015 di Garasi Institute of Performance, Nitiprayan, Yogyakarta.

jika memakai cerita Mbah Tohir. Dalam praktiknya memang demikian, seorang aktor harus belajar berbicara, menyampaikan sesuatu, memikirkan sesuatu; dengan sendirinya berteater tak lain adalah belajar berkehidupan. Lebih dalam dari hal itu; mengakali kehidupan, sebagaimana yang dikatakan Tita bahwa teater memberikan energi kreatif untuk hidup, mengkreatifi kehidupan.

Jika melihat pemaknaan-pemaknaan yang telah diceritakan oleh para aktor tersebut, kiranya kita bisa melihat bahwa berteater merupakan pendekatan yang penting untuk menjalani kehidupan. Berbekal mempelajari kehidupan untuk kemudian ditampilkan di atas panggung, minimal hal itu berdampak pada diri aktor sendiri, sebagaimana dikatakan Gunawan Maryanto, setiap kali proses artinya ada yang bertambah pada diri aktor. Artinya dia tidak membeku pada satu pencapaian, melainkan terus beranjak, terus bergerak untuk melampaui yang telah ia capai sebagai manusia seperti kata Mbah Tohir, berteater untuk menyempurnakan kemanusiaan dan setidaknya, seperti kata Nunung, berteater untuk mendapatkan rasa hidup; senang, sedih, marah, gelisah, takut, cemas yang melebur menjadi satu, yang dikatakan oleh Andika sebagai cinta.