• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II MELEWATI BATAS-BATAS KEHIDUPAN MELALUI TEATER

B. Menghayati Peran: Menjadi Orang Lain

Dalam pengertian yang umum, menjadi aktor identik menjadi karakter yang lain, atau orang lain sesuai dengan tokoh dalam teks/naskah yang dijadikan pijakan. Sederhananya, akting identik dengan aksi pura-pura, atau perilaku yang tidak mewakili

38

Wawancara dengan Gunawan Maryanto pada tanggal 7 Maret 2015 di Garasi Institute of Performance, Nitiprayan, Yogyakarta.

esensi yang sebenarnya. Lantas bagaimana para aktor menyikapi peran yang dimainkannya?

Semua usaha yang dilakukan para aktor melalui latihan berujung pada penghayatan atas dirinya yang akan hadir dalam bentuk pementasan. Mereka mengatakan bahwa akting tidak mungkin berhasil dilakukan dengan baik tanpa didasari oleh kejujuran. Bagi aktor teater tubuh seperti Tony Broer, atau teater yang berbasis naskah seperti yang dijalani oleh Mbah Tohir dan Pak Untung Basuki, atau keduanya seperti yang dilakukan oleh narasumber lainnya, panggung teater menjadi tempat untuk mempresentasikan pencapaian; aksi sekaligus akting.

Pentas yang dilakukan oleh Mbah Tohir belakangan ini merupakan implementasi dari pengalaman-pengalaman masa lalunya pentas di berbagai tempat. Maksudnya, Mbah Tohir tidak lagi mempedulikan pakem-pakem tertentu dalam menyikapi naskah. Satu-satunya senjata utama ketika harus pentas adalah keaktoran yang telah dia miliki:

“Saya memang merespon ruang dan waktu. Memang akhir-akhir ini saya pentas ya mengandalkan ruang dan waktu, sudah nggak pake panggung prosenium lagi. Jadi yang ada di naskah itu saya terjang itu ruang dan

waktu. Dengan akting saja saya memanfaatkan itu semua.”39

Bentuk-bentuk pementasan yang merespon ruang dan waktu, sebagai contoh, Mbah Tohir tidak pernah menciptakan konsep ruang yang pasti dalam pertunjukan, misalnya, yang berjudul Mat Kasir. Di berbagai macam tempat yang berbeda, naskah tersebut dimainkan Mbah Tohir dengan ruang yang seadanya. Dalam hal ini, bukan berarti Mbah Tohir tidak mempedulikan estetika, akan tetapi cara yang ia tempuh merupakan cara-cara yang tak lagi tergantung pada ukuran estetika ideal yang

39

Wawancara dengan Mbah Tohir pada tanggal 5 Maret 2015 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta.

menempatkan pertunjukan pada panggung konvensional. Gambar di bawah ini merupakan dokumentasi pentas Mbah Tohir yang berjudul Mat Kasir yang dipentaskan di belakang kantin Universitas Sanata Dharma pada tanggal 30 Juni 2014:

Gambar 4:

Dok. Agaton Hutama (Teater Seriboe Djendela)

Bagi Mbah Tohir, teks harus jadi miliknya. Lebih jauh lagi, dalam menciptakan pertunjukan teater, tak jarang teks yang dibawakan oleh Mbah Tohir bercampur dengan subjektivitasnya sebagai aktor. Dalam menciptakan pertunjukan, antara teks dengan kedirian Mbah Tohir tidak lagi merupakan entitas yang berdiri sendiri-sendiri. Teks acuan dan pengalaman hidup Mbah Tohir sebelum berkenalan dengan teks tersebut melebur menjadi satu: menjadi sebuah teks baru. Hanya dengan cara itu Mbah Tohir merasa bisa menghidupkan dirinya sebagai tokoh di atas panggung. Mbah Tohir bercerita:

“Kalau akhir-akhir ini saya nggak pake naskah. Dulu saya masih pakai. Kalau Bang Broer itu menyebut saya sebagai teater kehidupan; jadi peristiwanya ya mengalir saja lewat kata-kata saya, lewat tubuh, karena pengalaman saya berlatih itu sudah mejadi milik saya, dan keluar begitu saja. Hingga akhirnya ketika saya pentas sekarang ini, saya tidak mau dimainkan tokoh, tapi saya memainkan tokoh. Tokoh itu kan yang ada di depan, dan saya waktu di panggung, itu ya di belakang tokoh, yang

memainkan, yang mengendalikan dengan kesadaran penuh. Jadi ini bukan bisa menjadi tokoh, dalam keaktoran, bagi saya, ya saya harus bisa merasakan tokoh. Teater bagi saya ya itu, naskahnya adalah kehidupan. Sehingga improvisasi itu jadi penting. Maksudnya, kesadaran tadi itu lho, saya kan pernah juga main, harusnya dialognya begini, tapi mulut itu kok mblibet pengucapannya, sehingga waktu itu (waktu dia pentas) kesalahan itu ya saya mainkan, dengan semua perbendaharaan akting yang saya miliki, dengan kesadaran, mengolah yang salah dipanggung dalam bentuk improvisasi. Ya itu ada respon, spontanitas, dan improvisasi. Nah yang tadi itu (merujuk pada ceritanya ketika ia mengalami kecelakaan) begitu saya selesai main, saya kembali lagi merasakan sakit yang luar biasa.”40

Terkait dengan naskah, tiap-tiap aktor kadangkala mempunyai cara tersendiri untuk menyikapinya. Terkadang cara-cara tersebut memiliki kemiripan meski ada pula bedanya. Bisa jadi perbedaan ini dikarenakan oleh paham atau ideal tertentu yang dijadikan pedoman aktor. Sebagai contoh, berbeda dengan Mbah Tohir, Gunawan Maryanto bercerita demikian:

“Kalau kita ngangkat teks artinya kita berpijak pada teks dulu. Sebelum

nanti ke yang lain-lain seperti observasi dan sebagainya itu yang pertama harus berpijak pada teks dulu. Jadi bedah naskah itu memang penting banget mulai dari mempelajari karakter dan hal-hal yang disampaikan di sana. Dari sana itu kan sebenarnya bisa kemana-mana, ke pengarangnya, ke kondisi sosial ketika teks itu di bangun dan konteks sosial ketika naskah itu akan di pentaskan, kan jadi banyak itu pengembangannya. Pada praktik keaktorannya memang tidak bisa berhenti di sana saja, kan itu telaah, ya telaah yang kemudian aktor kan harus menubuhkan, sehingga ada proses yang lebih jauh lagi. Ketika proses menubuhkan ini kemudian memang membutuhkan observasi; yang pertama, mencari padanan, mencari rujukan yang paling dekat lah di lingkungan kita. Mencari model; di observasi itu selain mencari data ya mencari model yang akan kita mainkan. Ya kemudian kembali lagi pada prinsip awal teater; teater itu kan tiruan. Ketika sudah menemukan modelnya kan kita melakukan peniruan-peniruan dulu. Dari tubuh, dari pelisanannya, dan sebagainya. Itu kan proses mewujudkan ide-ide yang ada dari teks itu.”41

40

Wawancara dengan Mbah Tohir pada tanggal 5 Maret 2015 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta.

41

Wawancara dengan Gunawan Maryanto pada tanggal 7 Maret 2015 di Garasi Institute of Performance, Nitiprayan, Yogyakarta.

Bagi Gunawan Maryanto, teks merupakan hal benar-benar menjadi acuan dan sebisa mungkin, sebagai aktor, Gunawan Maryanto berproses untuk mewujudkan ide- ide yang ada dalam teks/naskah tersebut. Menghayati peran setara artinya dengan mewujudkan ide yang ada dalam naskah yang prosesnya kurang lebih seperti yang dikatakan oleh Gunawan Maryanto. Sementara, bagi Mbah Tohir, jika ia mengatakan bahwa akhir-akhir ini ketika pentas ia tidak menggunakan naskah tertentu, artinya ia lebih mengutamakan improvisasi daripada harus melakukan akting (menafsirkan akting) seketat dengan yang tertulis dalam naskah.

Dari dua hal yang berbeda tersebut, setidaknya ada benang merah yang mempertemukan keduanya, yakni bahwa akting bertujuan untuk menyampaikan sesuatu kepada penonton. Lebih dari itu, aktor harus berusaha meyakinkan penonton atas apa yang ia katakan di atas panggung. Artinya, ketika berada di panggung, poin pentingnya dalam hal ini adalah bukan pada yang dikatakan, melainkan bagaimana cara mengatakan hal tersebut (baca: menyampaikan teks). Sehingga, ketika ditarik ke wilayah intensitas aksi, seorang aktor harus merasakan sungguh-sungguh atas apa yang ia lakukan sehingga penanda-penanda yang dimunculkan melalui tubuhnya mampu meyakinkan penonton. Bahkan emosi-emosi tertentu yang mewakili aksi tersebut harus dihadirkan dengan jujur dan sungguh-sungguh demi mencapai kewajaran. Dengan demikian fungsi aktor sebagai bahasa akan terwujud; aktor harus bisa meyakinkan penonton. Terkait dengan hal tersebut, Gunawan Maryanto mengatakan:

“Ya di panggung itu banyak orang bilang seolah-olah, berpura-pura, tetapi tetap, aku juga sepakat bahwa akting itu, agar ia tampak wajar ya ia harus jujur. Akting yang jujur. Memang yang di kejar itu behaviour, itu yang dikejar. Bagaimana perilakunya, lalu penonton itu juga teryakinkan atas aksi yang dilakukan di atas panggung itu. Karena orang juga bisa ngrasa ini jujur

atau enggak lho. Itu kerasa lho, orang itu pura-pura atau enggak itu kerasa. Jadi tetep, sama, itu yang dikejar selain kewajaran ya kejujuran.”42

Mengaitkan hal tersebut dengan wacana bahwa menghayati peran yang dimainkan oleh aktor identik dengan menjadi tokoh tersebut, lantas bagaimana aktor menyikapi pembaharuan dalam dirinya sebagai penghayatan? Lebih jauh lagi, sebagai tokoh di dalam panggung, bagaimana aktor menghayati perannya? Gunawan Maryanto menegaskan pentingnya kelenturan emosional yang harus dimiliki oleh aktor. Dengan ini, artinya aktor mampu menakar dan menuang emosinya dalam setiap lakunya di panggung. Kelenturan ini juga merupakan bentuk kesadaran yang telah dilatih aktor terkait dengan bentuk aksi dan muatan emosi yang mengisi bentuk aksi tersebut. Jika menghayati peran kemudian dikatakan sebagai menjadi orang lain, hal ini tidak sepenuhnya tepat demikian. Yang dilakukan aktor adalah membuat bahasa baru melalui tubuhnya sehingga ia tampak sebagai orang lain. Sementara dalam tataran psikologis, tidak ada yang hilang dari karakter sehari-hari aktor. Tidak hilang melainkan bertambah sebagaimana Gunawan Maryanto mengatakan demikian:

“Setiap kali melakukan satu proses itu kita nambah. Entah pengalaman atau pengetahuan. Semua orang lain juga seperti itu, mendapat pengalaman baru, pengetahuan baru, tentu saja akan berpengaruh pada kehidupan setelahnya. Bukan hanya di keaktoran. Tapi memang dalam keaktoran agak berbeda, mediumnya kan tubuh dan perasaannya. Nah persoalannya ketika kita menghayati sesuatu, ketika kemampuan kita untuk lentur secara emosi itu jika nggak terlatih ya emang susah. Untuk menghayati sesuatu dan lepas dari situ itu kan butuh waktu. Sebenarnya aktor itu kan punya periode itu kan, pertama memasuki karakter, kedua tinggal di dalam karakter, dan yang

ketiga itu meninggalkan karakter.”43

42

Wawancara dengan Gunawan Maryanto pada tanggal 7 Maret 2015 di Garasi Institute of Performance, Nitiprayan, Yogyakarta.

43

Wawancara dengan Gunawan Maryanto pada tanggal 7 Maret 2015 di Garasi Institute of Performance, Nitiprayan, Yogyakarta..

Sebagai contoh dari pemaparan Gunawan Maryanto, kita bisa membaca kisahnya ketika memerankan tokoh Hamm dalam naskah End Game44:

“Di prosesEnd Game itu sebenarnya pentas atas permintaan Salihara, teater Garasi diminta untuk mementaskan kembali End Game yang pernah dipentaskan garasi sebelumnya. Aku sama Theo sama teman-teman baru Garasi itu, dalam prosesnya, sebagai pelapis, sebagai tim B istilahnya, sementara tim A itu ya yang main di End Game yang pertama. Sehingga kami prosesnya nonton dulu tim A, Yudi sama mas Whani. Karena sebagai pelapis, artinya kami harus siap kapan saja digunakan sebagai lawan main untuk tim A, kadang saya main sama mas Whani, kadang Theo juga sama Yudi. Nah, biar ini mendukung tim A, artinya ketika menciptakan peran, kami harus mendekati permainan tim A. Kalau aku ya pas mainin Hamm pada akhirnya berusaha semirip mungkin dengan Yudi, prosesnya menggunakan pendekatan yang dipakai Yudi. Sehingga bisa dikatakan sebagai re-enactment kan. Lalu dalam prosesnya, akhirnya tim B ini juga menjadi pertunjukan sendiri, aku main sama Theo. Mulainya dari re- enactment sampai kemudian akhirnya kami yang tim B ini mempunyai ritme sendiri dalam memainkannya. Kan tidak mungkin juga kan meniru semirip mungkin, lha bentuk tubuhnya saja sudah berbeda. Ya akhirnya hasil proses tim B juga layak dijadikan pentas sendiri karena memiliki keunikan sendiri. [...] Rasanya berada di panggung itu ya sama saja sebenarnya. Apa ya? ya aktor itu kan menyampaikan teks, sama kayak kita ngobrol sekarang ini. Ya barangkali tensinya, sekaligus caranya. Mungkin cara inilah yang melahirkan tensi. Di panggung itu kan extra daily, melakukan sesuatu dengan cara yang berbeda dengan di keseharian,

sehingga pasti tensinya akan berbeda.”45

Bahkan, untuk pertunjukan yang prosesnya berawal dari re-enactment (peniruan yang bertujuan untuk dihadirkan kembali) pun, pengalaman Gunawan Maryanto pada akhirnya akan mengantar dirinya pada penghayatan tokoh yang sifatnya individual. Dan untuk persoalan penghayatan, atau mengalami pengalaman di atas panggung, bagi Gunawan Maryanto rasanya pun tak jauh berbeda ketika ia berada dalam keseharian. Namun Gunawan Maryanto menyebutkan bahwa yang membuat pengalaman berada di

44

Pertunjukan ini diselenggarakan di Salihara pada tanggal 30 Juni 2013 pukul 16.00 WIB.

45

Wawancara dengan Gunawan Maryanto pada tanggal 5 Juni 2015 di Garasi Institute of Performance, Nitiprayan, Yogyakarta.

panggung menjadi berbeda adalah soal cara dan tensinya. Artinya, di atas panggung aktor menyadari posisinya sebagai tokoh yang memiliki karakter yang berbeda dengan dirinya sehari-hari. Maka aktor harus menggunakan penanda kehadiran yang lain, yang asalnya adalah dari penafsirannya atas tokoh yang ia mainkan. Sebagai Hamm, yang pada prosesnya Gunawan Maryanto melihat dan meniru penanda-penanda yang dimunculkan oleh Yudi Ahmad Tajudin, pada akhirnya ia berhasil menciptakan penanda-penandanya sendiri yang memiliki kekhasan yang berbeda dengan penanda- penanda yang dimunculkan oleh Yudi.

Gambar 5:

Gunawan Maryanto (duduk) memerankan Hamm. Dok. Teater Garasi

Tetapi salah satu hal lain yang membantu aktor dalam menghayati peran adalah pengetahuannya atas teks: tentang apa dan kepada siapa teks tersebut akan di sampaikan. Sehingga, menemukan relevansi teks terhadap situasi sosial menjadi hal penting yang perlu dipikirkan karena bagaimanapun juga hal ini akan mempengaruhi keyakinan aktor dalam menyampaikan teks kepada penonton dan keyakinan ini membuat aktor percaya diri ketika tampil di atas panggung. Terkait dengan hal ini, Gunawan Maryanto bercerita:

“Ketika memainkanEnd Game, saat itu kami berbicara lagi sebenarnya soal relevansi mementaskan naskah ini. Dulu yang pas pentas ini dipentaskan pertama kalinya juga kami memikirkan relevansinya. Tapi menurutku

pribadi naskah ini tetap ada relevansinya dengan kehidupan sekarang. Ya kan naskah End Game itu, peristiwanya di dalam bunker atau ruang entahlah kerena tidak terlalu dijelaskan. Sementara di luar bunker itu adalah ruang yang sudah menjadi seperti neraka. Hamm itu orang yang merindukan dunia luar sebelum menjadi neraka, merindukan tatanan yang baik kan. Sementara mereka bertahan dalam bunker entah sampai kapan. Hubungan tentang luar- dan dalam ini tak pikir selalu ada relevansinya hingga konteks sekarang. Apa lagi karakter itu, Hamm dan Clove, sebenarnya kan bisa ditafsirkan sebagai palu dan paku (paku payung yang bentuknya menyerupai cengkeh) kan. Hamm itu selalu menindas Clove, Clove itu juga menggemaskan; tau kalau ditindas tapi juga tetap melakukan karena ia merasa membutuhkan Hamm, sehingga teks ini juga tentang relasi. Tak pikir sampai sekarangpun

relasi seperti Hamm dan Clove masih relevan dengan situasi saat ini.”46

Relevansi teks dengan realitas sosial merupakan benang merah yang mengantarkan cerita pada penafsiran penonton. Sehingga ketika Gunawan Maryanto (dan rekan-rekan dalam timnya) menafsirkan End Game, sekaligus mereka mempunyai bayangan atas kepada siapa naskah tersebut akan disajikan. Hal ini juga merupakan hal penting yang dialami oleh Tita ketika ia berproses dalam pementasan yang berjudul Sangkar Madu47. Dalam proses tersebut, Tita bersama timnya bertujuan untuk mementaskah kisah-kisah yang dialami oleh Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang tinggal di desa Jangkaran, Congot, Kulonprogo. Relevansi dengan situasi sosial jelas, waktu itu TKI banyak dibicarakan oleh media masa dan sebagai pelaku teater, mereka tergelitik untuk merespon berita-berita yang ditayangkan oleh media masa dengan meneliti lebih jauh kehidupan TKI dan mementaskannya dengan media teater. Mengaitkan hal ini dengan keaktoran, khususnya soal penghayatan karakter, Tita mengaku dalam prosesnya ia lebih mudah untuk memainkannya karena ia menggunakan naskah dan model akting yang nyata (bukan tokoh fiktif). Tita bercerita demikian:

46

Wawancara dengan Gunawan Maryanto pada tanggal 5 Juni 2015 di Garasi Institute of Performance, Nitiprayan, Yogyakarta.

47

“Itu aku sebagai perempuan namanya mbak yanti, umurnya itu sekitar 25an,

sekitar itulah. Dia pernah kerja di Taiwan sekitar 4 tahun, terus sekarang sudah menikah dan punya anak satu. Dia tinggal di Jangkaran. Nah aku berperan sebagai dia saat dia menceritakan kisahnya ke kami. Cara menghayatinya itu enak karena objeknya sangat riil. Jadi aku bisa meniru secara langsung, lewat pengamatan, rekaman vidio dan audio. Jadi aku meniru benar-benar suaranya, gestur tubuhnya, cara berpakaiannya, dari ujung rambut sampai ujung kaki, cara dia mainin rambut, cara dia mainin bibir, apa yang menjadi ciri khasnya dia itu aku tiru. Terus kalau penghayatannya, kalau soal rasa kemudian, empati yang pasti. Itu kalau aku ngrasain situasinya dia ya bisa lah, ya sedihnya, senengnya, itu yang tak

coba kurasakan.”48

Terkait dengan penghayatan kerakter, Tita menceritakan bahwa penghayatan yang ia lakukan benar-benar mengandalkan teknik keaktoran. Dalam hal ini, penghayatan

tokoh atau memainkan karakter tidak sama dengan ‘benar-benar’ menjadi tokoh yang

dimainkan. Dalam hal ini, Tita memainkan penanda-penanda yang dalam prosesnya ia latih dan ia biasakan dalam tubuhnya. Tita bercerita:

“Jadi di pentas itu aku mainin dua karakter, sebagai aku yang menceritakan

dia, juga sebagai dia yang bercerita sendiri. Nah asiknya itu, ketika bermain dua karakter, itu aku bener-bener memakai teknik, jadi nggak semata-mata merasa berubah gitu nggak, tapi itu teknik keaktoran. Jadi untuk membedakannya, itu Mbak Yanti kan biasanya rambutnya terurai, kemudian kalau jadi aku ya rambutku tak iket, biar jadi penanda yang beda. Terus juga gaya bicara itu bisa membedakan. Jadi itu secara sadar sampai nggak sadar, aku malah ngamatin diriku sendiri dan juga dia untuk urusan produksi aktingnya. Aku pun ketika memerankan diriku sendiri di panggung harus akting kan, nggak bisa juga aku menjadi aku yang seperti biasanya. Nah di proses itu kadang-kadang sampai sempat terbawa, misalnya ada teman yang bilang, “Kok kamu seperti mbak Yanti sih!”. Bahkan kadang juga terbawa perasaan. Itu muncul di ending, ada adegan yang sebenarnya aku nggak nyaman ketika harus menjadi aku yang mengungkapkan bahwa TKI itu kena HIV aids. Aku nggak tega mengatakannya, ya seperti kayak mengungkapkan aib sendiri. Tapi sebagai aktor aku mau nggak mau harus

melakukannya, karena pertunjukan ini berbasis data.”49

48

Wawancara dengan Tita pada tanggal 5 Juni 2015 di Padepokan Seni Bagong Kussudihardja

49

Dari cerita tersebut, kita bisa melihat bahwa dalam proses menyesuaikan tubuh dengan karakter baru seringkali dilakukan aktor hingga ke keseharian, sampai bisa jadi orang-orang di sekitar aktor tersebut kadang-kadang berkomentar seperti yang dialami oleh Tita. Kedekatan Tita dengan Objek material penciptaannya bahkan sampai memunculkan empati atau perasaan-perasaan tertentu seperti yang dialami oleh Tita, sehingga selain soal teknik, perasaan juga memiliki andil besar dalam proses menghayati peran.

Gambar 2:

Tita (berdiri) dalam pertunjukan Sangkar Madu Dok. Teater Garasi

Hampir mirip dengan pengalaman Tita, ketika Andika berproses untuk pertunjukan Panji Amabar Pasir, naskah yang dipentaskan merupakan naskah yang diciptakan oleh para aktornya ketika sedang improvisasi. Bedanya, naskah Andika tidak menggunakan model nyata, melainkan imajinasi. Dalam proses tersebut, latihan yang dilakukan Andika juga merupakan tempat untuk pentas nantinya, yakni di sebuah Guest House yang belum jadi yang bersebelahan dengan sawah dan tempat pembuatan batu bata di Nitiprayan Yogyakarta. Ketiga ruangan tersebut menjadi tempat latihan sekaligus tempat pertunjukan.

Teks yang mencul berdasar pada respon aktor terhadap ruang ketika mereka melakukan improvisasi. Ide dasarnya memang telah dimiliki oleh Sutradara, yakni cerita tentang seorang anak kecil yang ingin belajar menari tari topeng Panji, sementara dalam prosesnya, muncul peristiwa (dari improvisasi yang dilakukan aktor-aktornya) bahwa si anak kemudian harus ikut orang tuanya transmigrasi ke Kalimantan sehingga ia tidak bisa lagi berlatih dengan gurunya yang tinggal di Jawa. Dengan latar ruang berupa sawah yang menjadi ruang dominan, teks tersebut melahirkan peristiwa sosial dengan latar belakang agraris. Singkat cerita, ketika sekeluarga tersebut pindah ke Kalimantan, mereka harus mengalami kegagalan berkali-kali dalam mengolah sawah karena tanah Kalimantan berbeda dengan Jawa. Sehingga, sekeluarga tersebut merasa dibohongi oleh pemerintah yang mejanjikan kemakmuran ketika mereka mau bertransmigrasi.

Gambar 7:

Andika (kanan, berdiri). Dokumentasi pribadi Andika Ananda.

Tentu saja teks yang berasal dari improvisasi tersebut tak lepas dari wacana- wacana yang pernah di dengar oleh para aktornya terkait persoalan transmigrasi. Yang

menarik, teks ini berasal dari imajinasi aktor yang muncul ketika mereka melakukan improvisasi. Kurang lebih selama sebulan dan setiap hari mereka berlatih selama kurang lebih enam jam, akhirnya Andika dan teman-teman aktornya berhasil memainkan teks yang mereka susun sendiri dalam pertemuan mereka dengan ruang dan stimulus dari sutradara. Untuk menghayatinya, meskipun naskah tersebut berasal dari improvisasi, akan tetapi pada akhirnya Andika harus mencari model untuk memerankan tokoh Bapak. Karena setiap hari mereka berinteraksi dalam dan dengan ruang latihan, pada pentasnya Andika tidak menemukan kesulitan karena merasa telah menubuh dengan