• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II MELEWATI BATAS-BATAS KEHIDUPAN MELALUI TEATER

D. Memaknai Akting: Akting di Panggung Teater dan Panggung Keseharian

berperilaku? Perspektif umum cenderung menilai bahwa akting di panggung merupakan pura-pura dan tidak mewakili esensi yang sebenarnya, sebaliknya, yang mewakili esensi yang sebenarnya adalah perilaku dalam keseharian. Namun bagaimana para aktor memaknai panggung teater dan panggung keseharian? Berpijak dari konsepsi tersebut, bagian ini dimaksudkan untuk melihat pemaknaan para aktor terhadap akting yang mereka jalani.

Mbah Tohir bercerita bahwa ada dua panggung yang harus ia jalani, panggung pertama adalah kehidupan sehari-hari, dan panggung dua adalah panggung teater. Keduanya memiliki fungsi yang sama bagi Mbah Tohir, yakni sebagai ruang untuk menghadirkan diri di depan orang lain. Kehadiran inilah yang akan dinilai oleh orang lain dan hanya melaui kehadiran tersebut dengan segala bentuk perilakunya membuat seseorang memiliki makna dalam kehidupan. Sementara itu, pak Untung dalam bahasa yang berbeda mengungkapkan hal yang serupa:

“Kalau di keaktoran ya ada waktunya, kalau pas akting ya akting, kalau nggak ya nggak. Jadi sebagai aktor, kalau pas waktunya akting itu ya dijaga aktingnya, jangan berperilaku yang di luar tugasnya. Misalnya pas main jadi Oedipus, ya jadilah Oedipus, tapi kalau pas jadi Untung ya jadi Untung. Ini aktor harus bisa membedakan dan memainkan, bahkan dengan seketika. Ini metode latihan juga. Namanya latihan seketika. Jadi misalnya bangun tidur

itu jika sudah ada rencana mau apa ya segera dilakukan. Jangan kalau di panggung ada adegan nangis, itu nangis bener dan begitu keluar dia masih

nangis, ya jangan begitu.”60

Dari uraian tersebut, Pak Untung menekankan pentingnya menempatkan diri sebagai manusia. Di panggung, dalam konteks pertunjukan yang menempatkan aktor sebagai tokoh, maka ia harus menjalankan tugasnya sebagai tokoh tersebut, sebaliknya, di luar panggung, ia harus kembali menjadi seseorang yang telah dikenali oleh orang lain di sekelilingnya. Di sanalah kiranya makna bisa hadir, yakni dengan cara menghadirkan diri sebagaimana mestinya.

Mendalami keaktoran cenderung membuat para aktor memandang kehidupan sehari-hari layaknya situasi yang harus disikapi dengan cara aktor menyikapi panggung pertunjukan. Pemahaman ini merupakan efek dari memahami diri melalui latihan akting; jika sumber dari akting merupakan peristiwa keseharian, dengan kesadaran tertentu memilah dan menata ulang lagi sebagai bahasa di panggung, maka pengalaman tersebut senantiasa melekat dalam keseharian, yakni dengan menyadari dan merespon setiap peristiwa dalam keseharian layaknya latihan akting.

Akan tetapi yang khas dari keaktoran, merujuk pada cerita para aktor dalam penelitian ini, adalah pentingnya kesadaran untuk menempatkan diri dalam segala situasi. Tony Broer dalam wawancara mengatakan bahwa dalam keseharianpun sebenarnya yang dilakukan orang adalah akting, yang sama saja dengan di panggung. Tony Broer menceritakan pengalamannya ketika ia sedang ujian,“Ya ujian buat gue itu pentas juga. Gue akting. Nah gue kan dari rumah udah nyiapin naskahnya nih, udah gue hapalin gue nanti ngomong apa aja di depan pembimbing gue. Sebelum berangkat

60

gue juga udah nyiapin kostum, dandan, terus nanti di ruang sidang, gue pentas, gue juga ngrespon ruang, ngrespon penonton.”61 Yang dilakukan oleh Tony Broer, dengan memandang bahwa dalam keseharianpun ia akting, adalah dalam rangka untuk mengaplikasikan pengetahuan aktor dalam keseharian.

Setara dengan yang dikatakan Tony Broer, Andika juga mengatakan bahwa yang bernilai dari seorang aktor dalam keseharian justru adalah penghayatannya. Dalam proses keaktoran, seorang aktor latihan untuk menghayati perannya. Berangkat dari hal tersebut, bagi Andika, semestinya aktor juga bisa menghayati keseharianya, melakukan segala aktivitasnya bersama orang lain dengan cara yang sama, dengan kesenangan yang sama sebagaimana aktor menyenangi latihannya. Sehingga, latihan teater bagi Andika bisa di mana saja: di sawah, di kantor, di pasar, di rumah, dan bahkan di kamar mandi. Masing-masing ruang memberikan kesempatan bagi aktor untuk menghayatinya. Konsepsi tersebut, sebagaimana telah dikatakan oleh Tony Broer dan Andika, menjadi laku bagi Tita untuk menjalani keseharian. “Hal ini adalah soal kebiasaan”62, kata Tita, bahwa untuk menjalani keseharian, rasanya akan hambar jika tidak didasari dengan perasaan-perasaan tertentu. “Terutama adalah rasa senang,”63 kata Tita, “Ketika aku harus menjalani sesuatu yang aku senangi terlebih dahulu, ya aku akan

mengupayakannya dengan maksimal.”64 Keseharian yang dijalani Tita merupakan pilihannya, sama halnya dengan misalnya ketika ia berproses teater, sehingga dirinya

61

Wawancara dengan Tony Broer pada tanggal 3 Agustus 2014 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta.

62

Wawancara dengan Tita pada tanggal 24 Juni 2014 di Padepokan Seni Bagong Kussudihardja

63

Ibid.

64

Wawancara dengan Tita pada tanggal 24 Juni 2014 di Padepokan Seni Bagong Kussudihardja

yang telah berlatih keaktoran bisa diaplikasikan tidak hanya di panggung, melainkan di aktivitas lainnya.“Proses teater dan keseharian itu berhubungan kok.”65

Namun demikian, tentunya ada hal yang berbeda antara panggung teater dengan keseharian. Perbedaan antara panggung teater dengan panggung keseharian, menurut Gunawan Maryanto, adalah tujuan dan tensinya. Ia berpendapat bahwa mode latihan keaktoran adalah mengaktifkan diri dengan cara mengaktifkan segala inderanya. Di panggung, aktor tidak boleh hanyut dalam suasana. Aktor harus bisa berenang dan justru menciptakan suasana. Hal inilah yang membedakan kehidupan panggung dengan kehidupan keseharian. Di panggung, ibaratnya, aktor tidak boleh mengalir begitu saja lantas tenggelam. Sementara, dalam keseharian, situasinya seringkali menempatakan kehidupan seolah mengalir begitu saja. Demikian pun setelah peristiwa teater dihadirkan; selalu ada yang membekas baik pada pelakunya maupun penontonnya. Pengalaman inilah, seperti yang diutarakan Gunawan Maryanto, yang sedikit banyak mempengaruhi cara hidup baik pelaku ataupun penonton untuk memandang kehidupan setelahnya.

Tensi dalam melakukan suatu aksi terletak pada kesadaran. Para aktor mengatakan bahwa kesadaran yang digunakan dalam melakukan aksi di panggung teater merupakan kesadaran untuk melakukan sesuatu dengan dilandasi perasaan-perasaan yang jujur. Berpura-pura justru akan mengurangi mutu pertunjukan, sebagaimana hal ini juga dinyatakan oleh Gunawan Maryanto. Berpura-pura atau melakukan sesuatu dengan setengah hati justru akan menjadi soal di panggung pertunjukan, namun barangkali tidak di keseharian. Aksi kecil yang dilakukan dipanggung bukan berarti aksi yang bisa disepelekan. Setidaknya, penonton akan memperhatikan aksi tersebut. Sementara, dalam

65

keseharian hal ini bukanlah sesuatu yang perlu diberi perhatian lebih. Persoalan aksi inilah yang biasanya dibongkar oleh para aktor dalam proses penciptaan akting mereka. Hal ini menjadi wajar jika aktor, sebagaimana Tony Broer terus menerus melakukannya, sering mempertanyakan kembali tentang bagaimana berjalan kaki? Apa motivasi berjalan kaki? Mau kemana? Bagaimana caranya? Bagaimaa temponya? Bagaimana duduk? Bagaimana berbicara? Dsb. Para aktor harus melatih kembali hal- hal yang dalam keseharian menjadi hal yang sepele dengan asumsi bahwa apa yang mereka lakukan akan terbaca sebagai tanda.

Dalam hal ini, bagi para aktor, teater dan keseharian merupakan dua hal yang berbeda akan tetapi saling berhubungan satu sama lain. Proses penciptaan teater selalu berpijak pada pengalaman hidup senimannya menafsirkan kehidupan. Dalam ruang yang sempit, keseharian merupakan sumber gagasan yang utama. Dan setelahnya, proses berteater menjadi bekal untuk memandang dan menjalani kehidupan keseharian.

E. Teater: Antara Kesenangan, Kegelisahan, dan Kegilaan Dalam Kehidupan