• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III RE-KREASI KEHIDUPAN MELALUI TEATER

B. Menjalani Kehidupan Dua Dunia

2. Melampaui Keseharian Melalui Teater

Pada bagian sebelumnya, dunia keseharian yang dijalani oleh para aktor saya tempatkan sebagai dunia yang merepresi, sebagaimana pemaknaan tersebut berpijak pada pemikiran Lacan bahwa ketika subjek memasuki tatanan simbolik (dalam hal ini bermasyarakat) maka subjek harus rela mengikuti aturan main (bahasa) yang berlaku. Lacan mengatakan bahwa bahasa merupakan satu-satunya jalan bagi subjek untuk mengartikulasikan hasratnya, sekaligus merepresi subjek atas segala batasan yang ada pada bahasa135. Namun bukan berarti batasan bahasa tersebut tidak bisa dilewati; selalu ada celah, void, sebagaimana bahasa tersebut dilahirkan atas hasrat, atas lack yang diderita oleh bahasa (Liyan); atas sublimasi. Paradoksnya, jalan untuk melewati batasan tersebut, kata Lacan, adalah dengan melalui sublimasi136.

135

Lihat tahapan pembentukan subjek pada fase simbolik: Kesel, 2009: 23, Homer, 2005: 43.

136

Material penandaan (bisa dipahami sebagai batasan) tidak bisa sepenuhnya memberikan objek pemenuhan kepada subjek sehingga subjek harus mencari objek lain. Lihat Kesel, 2009: 170-171).

Dari data yang telah dianalisis pada bagian sebelumnya, beberapa poin yang menjadi batasan atau lack dari realitas sosial yang hadir dalam keseharian subjek (relasi subjek) meliputi, pertama, penilaian masyarakat terhadap teater; dari segi ekonomi, teater (lebih spesifik lagi adalah aktor teater) bukanlah pilihan untuk menggantungkan hidup karena, kedua, teater tidak memiliki infrastruktur dan pasar yang memadai sebagaimana hal ini saya lihat sebagai konstruksi sosial. Ketiga, dalam hal tubuh, konstruksi sosial telah sedemikian rupa memberi batasan pada tubuh sehingga tubuh memiliki pola-pola identitasnya; kecenderungannya. Keempat, realitas sosial memberikan segudang wacana tentang isu-isu sosial, politik, pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, dan segala macam aspek kehidupan yang dialami oleh masyarakat; fenomena-fenomena yang menyimpang atau tidak sesuai dengan ideal baik (etika). Fenomena ini menandakan adanya lack dalam realitas sosial dan sedikit banyak fenomena ini dialami oleh para aktor dalam menjalani keseharian. Namun demikian, lack dalam realitas sosial atau keseharian tersebut justru menginspirasi atau mendorong aktor untuk melakukan sesuatu melalui teater.

Melihat pada empat poin tersebut, khususnya pada poin pertama dan kedua, ketika keseharian terbaca sebagai batasan bagi subjek (para aktor) sekaligus batasan bagi teater, justru ketika subjek (para aktor) memilih untuk menjalani proses teater, mereka malah tampak mencari masalah (meminjam istilah Tony Broer). Hal ini berbanding terbalik dengan teori Lacan yang meyatakan bahwa pada dasarnya karakter manusia adalah perversif137 (polymorfus-perverse) kecuali jika teater ternyata memberikan pemenuhan sekaligus kenikmatan. Kesenangan dan kenikmatan ini merupakan sesuatu yang membuat mereka senantiasa kangen untuk selalu berproses, kangen untuk bermain

137

Bisa juga diartikan sebagai makhluk pencari kenikmatan; subjek yang bergerak atas prinsip kenikmatan. Lihat Kesel, 2009: 14.

di panggung. Sehingga proses berteater atau proses keaktoran merupakan proses mencari kenikmatan melalui jalan yang menyakitkan dengan hasil jouissance (kesenangan dan kesakitan yang melebur menjadi satu; pleasure and pain138). Dalam hal ini, terkait dengan poin pertama dan kedua, teater merupakan aktivitas yang lebih dari sekedar mencari uang. Bahkan untuk menciptakan teater, sebagaimana dikatakan oleh Tony Broer, tak jarang pelaku teater mengeluarkan biaya banyak.

Di satu sisi, ketika para aktor memutuskan untuk berteater, mereka sedang mencari kepuasan dalam bentuk dan dengan cara yang tak bisa ditemukan dalam keseharian. Konsekuensinya, dalam hal-hal tertentu, mereka harus berbenturan dengan pihak lain. Sebagaimana jika hal ini dikaitkan dengan poin pertama, ketika teater dinilai sebagai sesuatu yang seolah tidak bisa menghidupi pelakunya, yang dilakukan oleh Gunawan Maryanto dan Tita merupakan salah satu pembuktian; mereka berdua adalah sosok-sosok yang menggantungkan hidupnya melalui kesenian. Yang mereka lakukan, dalam hal ini, terbaca sebagai pembuktian bahwa berkesenian merupakan cara hidup yang tak harus menjadi dekil, semrawut, aneh dan lain sebagainya. Mereka memang harus bekerja ekstra keras dalam menempuh hal tersebut karena berteater bukan berarti hanya menciptakan pentas, melainkan harus juga mengajukan pemikiran mereka dalam bentuk proposal yang ditujukan kepada lembaga-lembaga tertentu yang mau membiayai seluruh proses kerja mereka. Dengan membuktikan bahwa berteater juga bisa hidup merupakan wacana tandingan (penanda baru) untuk menghapus penilaian negatif (penanda lama) yang dialamatkan kepada seniman.

Yang dilakukan oleh Tita dan Gunawan Maryanto merupakan bentuk dari sublimasi. Artinya, jalan-jalan yang mereka tempuh (sebagai seniman dalam makna

138

harafiah sebagai atau lebih luas dari seniman teater) merupakan jalan lain yang bertolak belakang dengan jalan yang menghadirkan penanda-penanda‘negatif’(dalam perspektif

tertentu) yang biasanya dikenakan oleh seniman dalam keseharian (misalnya: pakaian dekil, bau, celana robek-robek, rambut gondrong, bertato, tubuh penuh tindikan). Bukankah penanda-penanda ‘negatif’ ini konon merupakan penanda-penanda baru yang

hadir untuk memprotes batasan dalam keseharian? Bisa jadi demikian, akan tetapi ketika hal ini hanya sebatas style atau dandanan belaka (atau bahkan hanya konsumsi), style tersebut telah bergeser maknanya. Bagaimana masyarakat bisa senang nonton teater kalau senimannya mengerikan? Di balik penanda-penanda ‘negatif tersebut

merupakan kekosongan yang harus di isi dengan penanda lain agar teater dan pelakunya dimaknai dengan sudut pandang lain.

Dengan menunjukkan penanda-penanda umum (dalam hal ini merupakan style/dandanan tubuh) ketika berada di keseharian, mereka ingin menegaskan posisi mereka sebagai bagian dari dan yang bisa diterima oleh masyarakat. Lebih jauh lagi, yang terpenting dalam menjadi seniman teater adalah penanda-penanda yang mereka hadirkan di panggung pertunjukan. Dalam hal ini, penanda-penanda tersebut merupakan karya, bukan aksesoris belaka.

Melihat pada poin kedua, yakni ketika infrastruktur dan pasar bagi teater bisa dibilang kurang memadai, hal ini tidak membuat teater berhenti berdenyut. Memang aktivitas teater bisa dibaca masih sebagai usaha dalam menciptakan pasarnya. Akan tetapi ketika melihat banyaknya fenomena pertunjukan gratis, atau pertunjukan yang bisa dilihat dengan membeli tiket yang harganya terjangkau, (dan sesekali ada pertunjukan tertentu yang harga tiketnya mahal) berteater atau menjadi aktor masih jauh bisa dibilang sebagai profesi atau pekerjaan, tanpa menutup kemungkinan bahwa

kadang-kadang aktor teater juga mendapatkan honor pentas. Jika diukur dengan uang, proses dan hasil kerja mereka tidak setimpal dengan honor yang didapatkan. Hal ini memang batasan, atau represi. Namun demikian, nyatanya para aktor tidak kapok, dan justru malah kangen untuk berproses lagi. Kenapa demikian? Untuk menafsirkan hal ini, saya akan mengutip sekali lagi ungkapan yang diceritakan Gunawan Maryanto dalam bab II:

“Ya kalau aku ingin menyikapinya, dengan perasaan gitu, pengennya berteater itu masih sebagai hobi yang menyenangkan. Tapi di sisi lain kan nggak bisa seperti itu terus menerus. Ini kemudian menjadi disiplin pengetahuan yang tak jalani. Seperti sedang menempuh satu perjalanan menemukan pengetahuan dan pengalaman yang lain. Di sisi lain juga tetep, teater itu menjadi satu bentuk ekspresi. Sebagaimana orang-orang yang lain mempunyai bentuk ekspresinya sendiri-sendiri kan? Untuk melakukan sesuatu, menyampaikan sesuatu kepada yang lain, teater mejadi jalanku. Sebagai bagian dari masyarakat kan, orang ingin bercakap-cakap, ingin berbagi, ya jalannya beda-beda. Salah satu jalan ya teater.”139

Dari pemaparan tersebut, teater dapat dilihat sebagai tiga hal; objek hasrat, medium hasrat, dan ruang sublimasi. Jika teater disikapi sebagai hobi yang menyenangkan, artinya teater memberikan kesenangan tertentu bagi pelakunya; teater menjadi objek hasrat. Dan demi kesenangan, sebagaimana umumnya, orang rela untuk mengorbankan sesuatu; menjadi subjek dorongan atas hasratnya. Kemudian sebagai subjek dorongan, ia melihat teaternya tak hanya sebatas hobi yang menyenangkan (yang akan berakhir pada kekosongan), melainkan sebagai disiplin pengetahuan dan alat ekspresi untuk menyampaikan sesuatu. Pada tahap teater sebagai alat ekspresi, teater menjadi medium hasrat; aktor menemukan cara untuk menyampaikan sesuatu yang ia hadapi melalui penanda-penanda yang ia ciptakan untuk disampaikan kepada liyan. Sementara teater sebagai pengetahuan, dalam hal ini teater menjadi semacam ruang (das

139

Wawancara dengan Gunawan Maryanto pada tanggal 7 Maret 2015 di Garasi Institute of Performance, Nitiprayan, Yogyakarta.

Ding) bagi aktor untuk memandang symptom-nya dengan cara lain (yang menghasilkan pemaknaan baru).

Mengaitkan hal tersebut pada salah satu bentuk latihan, misalnya latihan tubuh, bisa ditafsirkan bahwa latihan tubuh yang dijalani oleh aktor memberikan perspektif baru bagi aktor untuk memahami tubuhnya. Hal ini bisa dilihat dengan menggunakan contoh pengalaman yang dialami oleh Tony Broer. Pada bab II telah dinarasikan secara singkat metode latihan tubuh yang dijalani oleh Tony Broer, yakni tubuh fisik, tubuh tema, dan tubuh teks. Pada latihan tubuh fisik, gagasan yang diajukan oleh Tony Broer adalah, sebagaimana hal ini juga telah disinggung pada bagian sebelumnya, melakukan segala jenis aktivitas tubuh semaksimal mungkin. Dalam hal ini tubuh dipaksa untuk beraktivitas sampai pada batasan-batasan yang dimilikinya, stamina, ketahanan, kelenturan, respon, fleksibilitas, dan lain sebagainya. Bentuk latihan tubuh ini sekaligus berdampak pada pikiran; ketika latihan semacam ini dilakukan di ruang publik, latihan tak hanya merupakan latihan tubuh, namun juga latihan mental; setidaknya untuk berani memperlihatkan dirinya dengan cara lain di depan publik, misalnya push-up di Malioboro atau berguling-guling di alun-alun (dalam situasi normal, hal seperti ini biasanya dihindari untuk dilakukan).

Jika mental aktor ikut terlatih sebagai dampak dari latihan fisik yang dilakukan di tempat-tempat umum, hal ini hanyalah poin kecil, sementara yang menjadi poin utama dalam latihan yang dilakukan oleh Tony Broer adalah menjadikan tubuh sebagai acuan perspektif; pencapaian tubuh membentuk konsepsi baru dalam pikiran aktor sebagaimana Tony Broer mengatakan demikian:

“Nah maksudnya lari jauh itu gimana itu? Itu maksudnya mau memancing

membunuh pikiran kita. Jadi hasilnya itu capeknya capek tubuh, bukan capek pikiran. Kalau capek pikiran kan: waduh, sampai malioboro jauh gini

nih... nah latihan-latihan mengabaikan pikiran itu ada di latihan-latihan gue. Ya itu dengan tujuan untuk mencapai tubuh sebagaigagasan.”140

Dengan kata lain, sekaligus mengaitkan hal ini dengan poin ketiga, latihan fisik yang dilakukan oleh Tony Broer adalah latihan mengabaikan pikiran yang cenderung menjadi batasan (konstruksi) bagi tubuh untuk melakukan hal diluar batasan tersebut. Dalam keseharian, tubuh memiliki tata cara (setelah ‘dinormalkan’) untuk hadir

bersama orang lain. Jika melihat hal ini dengan mengaitkan bentuk-bentuk aktivitas tubuh dalam keseharian, umumnya tubuh melakukan hal-hal seperti duduk, berdiri, berjalan, berbaring, makan, minum, bekerja, bersantai dan segala aktivitas tersebut merupakan pola dalam keseharian. Hanya pada situasi dan ruang tertentu tubuh melakukan aktivitas yang lebih, misalnya adalah dengan berolah raga, jalan-jalan ke gunung, pantai dan lain sebagainya yang hal ini merupakan aktivitas ekstra. Dalam berperilakupun demikian, tubuh memiliki tata cara yang bahkan ketika subjek melakukannya subjek telah lupa kenapa ia melakukannya dengan cara yang demikian (ketidaksadaran). Di warung makan misalnya, tidak mungkin jika kita jongkok di atas meja sambil makan. Singkat kata, keseharian telah mengkonstruksi tubuh; jangkauan aktivitas tubuh dalam sehari-hari merupakan konstruksi yang telah tertanam dalam ruang ketaksadaran subjek sejak subjek memasuki tatanan simbolik; subjek melakukannya begitu saja tanpa harus berfikir keras untuk menyadarinya, karena hal tersebut sudah biasa, sudah diluar kepala.

Berkebalikan dengan keseharian, dalam latihan teater para aktor senantiasa menyadari setiap gerak-geriknya dan merasakan tiap-tiap pergerakan tubuhnya; aktor menjadi subjek atas tubuhnya. Metode Tony Broer merupakan salah satu cara bagi aktor

140

Wawancara dengan Tony Broer pada tanggal 3 Agustus 2014 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta.

untuk kembali menyadari tubuh dan membuat konsepsi ulang atas tubuh yang telah terbentuk oleh realitas sosialnya (dalam hal ini tubuh menjadi objek hasrat sekaligus menjadi dorongan bagi subjek). Dengan demikian ketika aktor mulai mempertanyakan kembali tubuhnya (memaknai tubuh sebagai symptom), maka aktor mencoba untuk menelusuri jejak-jejak ketaksadaran yang telah tertanam dalam tubuhnya. Dalam latihan ini, tubuh merupakan objek yang ditempatkan pada das Ding. Sehingga, tubuh dimaknai dengan cara lain (misalnya melalui latihan; dalam hal ini latihan bisa disetarakan dengan jalan menuju das Ding). Pemaknaan ini menghasilkan sinthome baik untuk dipertunjukkan kepada penonton atau untuk menjalani kehidupan selanjutnya.

Kesenangan dalam keberhasilan para aktor melihat symptom dengan cara lain dengan hasil sinthome tentu lebih bernilai (setidaknya bagi para aktor) daripada uang meski tidak bisa dipungkiri para aktor membutuhkan uang untuk hidup. Namun, jika uang merupakan hal yang dijadikan tujuan utama dalam diri mereka, tentu mereka tidak akan menjadi aktor (tidak mau bersusah payah dengan menjadi aktor). Sehingga, menjadi aktor bisa dimaknai sebagai kebutuhan meski jikalau perlu mereka malah mengorbankan banyak hal lain demi yang mereka lakukan; demi kesenangan untuk, jika meminjam istilah Nunung, mendapatkan rasa hidup yang hanya bisa didapatkan di panggung pertunjukan.

Melihat poin keempat, yakni ketika realitas sehari-hari dipenuhi oleh serangkaian berita buruk yang terus menerus ditayangkan oleh media masa, ternyata para aktor juga tidak tinggal diam, mereka menafsirkan, menyusun, dan membicarakan kembali realitas (symptom) tersebut sebagai pertunjukan. Di satu sisi, wacana sosial merupakan inspirasi atau stimulus untuk penciptaan pertunjukan, namun di sisi lain, hal itu menandakan bahwa realitas sosial adalah tempat hidup yang membuat para aktor mengalami cidera

berat, sakit yang berkepanjangan yang bahkan kita barangkali tak akan pernah tahu apakah penyakit tersebut bisa disembuhkan atau tidak. Jika penyakit (symptom) ini merupakan sirkuit wacana yang terus menerus bergulir dan belum menunjukkan tanda- tanda kapan akan berhenti, maka hal ini adalah salah satu hal yang membuat Andika mengatakan, “Tidak sebatas karena senang saya berteater. Tapi ya karena saya

gelisah, karena saya sedih, karena saya marah, karena saya ingin menyampaikan sesuatu, karena saya berfikir, karena saya hidup.”141 Dengan kata lain, Andika berteater dengan cara sedemikian rupa merupakan wujud protes atas sirkulasi wacana dalam realitas sosial yang ia hadapi dan hal ini kurang lebih dialami oleh para aktor yang dihadirkan dalam penelitian ini.

Berpijak pada pemaparan-pemaparan tersebut, mengaitkan proses keaktoran

sebagai jalan untuk hidup dengan cara lebih dari ‘normalnya’ orang hidup sehari-hari,

proses keaktoran merupakan sublimasi; aktor terus menerus melatih dirinya (tubuh, pikiran, perasaan) untuk memperlebar dimensi diri, membebaskan kecederungan- kecenderungan tubuh dari represi keseharian dan konstruksi sosial untuk dihadirkan di panggung pertunjukan. Dalam proses tersebut seorang aktor memposisikan dirinya untuk belajar kembali menjadi manusia dengan mengidentifikasi kehidupannya melalui proses latihan; belajar menjadi manusia dengan melihat sejarah kehidupannya (symptom) melalui sudut pandang lain (Nama-Sang-Ayah lain). Hal ini dilakukan oleh aktor karena karya (sinthome) seorang aktor adalah dirinya; tubuh-pikiran-perasaannya.

Melihat bahwa karya aktor adalah dirinya sendiri, hal itu sebagaimana ia adalah subjek yang lack; yang ingin menutupi kekurangan pada dirinya dengan melahirkan dirinya kembali terus menerus melalui berbagai macam proses untuk menggali

141

pengetahuan dan menguasai pengetahuan tersebut untuk menciptakan berbagai macam pementasan; berbagai macam bentuk diri (karakter) yang mungkin untuk dicapai. Proses yang ditempuh aktor untuk memiliki berbagai macam karakter ini dengan sendirinya mengantar aktor pada bentuk sublimasi estetis sebagaimana akting dan teater merupakan karya seni (sebagian besar telah dibahas pada sub-bab pertama). Aktor menjadi subjek histeris dalam pengertian ia menimbulkan lack bagi liyan sekaligus ia adalah subjek yang lack ketika berhadapan dengan das Ding. Lack inilah yang membuat aktor terus menerus menjadi subjek hasrat, misalnya terus menerus berhasrat untuk menciptakan berbagai macam karakter manusia dan terus menerus mencari pengakuan atas pencapaiannya.

Dari pemaparan tersebut, lantas bagaimana peran dan posisi teater terhadap kebudayaan? Mengkerucutkan dengan konteks penelitian ini sekaligus merujuk pada poin keempat (lack realitas sosial) yang telah disebutkan di awal, apa peran dan posisi aktor teater dalam wacana kebudayaan? Mengaitkan karakter sublimasi estetis yang diajukan oleh Lacan (yang diilustrasikan melalui courtly Love) dengan posisi aktor yang berelasi dengan objek hasratnya dalam proses penciptaan hingga menuju pentas, dalam hal ini aktor sebagai subjek pelaku teater sekaligus bagian dari masyarakat mengalami kekecewaan atas perjumpaannya dengan realitas sosialnya, kekecewaan ini bisa jadi karena subjek tak mendapatkan apa yang ia inginkan terjadi dalam realitas sosial. Fenomena ini bisa dilihat dari penanda-penanda yag dimunculkan melalui pentas teater, yakni penanda-penanda yang mengkritik realitas sosial (bisa dilihat pada bab II dan analisa bab ini di bagian pertama). Baik dalam pertunjukan yang menggunakan naskah (drama) ataupun tidak (hanya teks atau gagasan), penanda-penanda yang dihasilkan selalu merujuk pada peristiwa kehidupan manusia. Contoh yang paling mudah bisa kita

temui pada pertunjukan yang dipentaskan Pak Untung Basuki, yakni Oedipus Sang Raja.

Keinginan Pak Untung untuk mementaskan Oedipus Sang Raja terkait dengan pandangannya atas kondisi pemerintahan di Indonesia yang tidak memiliki pemimpin yang cakap. Hubungannya dengan naskah tersebut, Pak Untung menafsirkan bahwa Oedipus merupakan contoh pemimpin yang salah, namun berani mengakui kesalahannya dan berani menanggung akibat dari kesalahannya. Melihat fenomena yang ganjil dalam pemerintahan Indonesia, Pak Untung terusik untuk mengkritik sesuatu yang baginya salah dalam pemerintahan (dalam hal ini adalah pemimpin negara; waktu itu Indonesia masih dipimpin oleh Susilo Bambang Yudhoyono). Cara yang ditempuh oleh Pak Untung adalah dengan mementaskan naskah Oedipus Sang Raja (meski pentas tersebut terjadi setelah pergantian presiden).

Mengaitkan hal ini dengan konsep Lacan mengenai sublimasi estetis, contoh yang digunakan Lacan adalah puisi-puisi yang dituliskan oleh para courtly lovers yang jatuh cinta kepada the Lady. Secara garis besar, puisi-puisi itu ditulis sebagai ekspresi cinta para courtly lovers yang gagal mendapatkan objek cintanya, yakni the Lady. Dengan puisi-puisi itulah para courtly lovers mengobati pengalaman lukanya sekaligus cara untuk menceritakan pengalaman cintanya atas the Lady kepada orang lain. Dampak puisi-puisi tersebut pada konteks jaman saat itu, Lady (baca: perempuan) menempati posisi yang lebih dari sebelumnya (naik derajadnya), lebih jauh, perempuan yang ditempatkan sebagai pihak yang pasif justru malah membuat subjek (laki-laki) bergerak. Peristiwa ini sedikit banyak mempengaruhi budaya Eropa dalam konteks perubahan cara pandang terhadap perempuan142. Berpijak pada contoh tersebut, jika dikaitkan

142

dengan pengalaman Pak Untung, maka pertanyaannya adalah bentuk cinta (jika cinta ditempatkan sebagai dorongan) yang bagaimanakan atau kepada siapakah yang dihadirkan dengan mementaskan naskah Oedipus Sang Raja?

Oedipus adalah raja yang begitu mencintai negaranya beserta seluruh rakyatnya, hanya saja ia menjadi seorang raja di tempat yang salah. Sementara Pak Untung, ia adalah seseorang yang begitu mencintai negaranya (negara yang dibayangkan sebagai pengayom masyarakat, yang jika perlu mesti dibela hingga titik darah penghabisan sebagaimana hal tersebut konon dilakukan oleh para leluhur), hanya saja ia mempunyai pemimpin negara yang salah. Sebagai seorang seniman teater, jika dikaitkan dengan keinginannya untuk membela negaranya, tentu senjata yang dimiliki Pak Untung bukanlah pedang, bukan pula peluru atau bom buklir, melainkan pentas teater.

Apakah perjuangan melalui teater atau kesenian ada efeknya? Barangkali kita bisa melihat kembali sosok W.S Rendra yang berani mengkritik pemerintah melalui teater ketika media-media lain tidak berani bersuara. Hal ini bukan tanpa resiko, sebagai gantinya Rendra dikejar-kejar dan diteror oleh orang-orang yang konon merupakan orang-orang suruhan presiden Soeharto143. Yang menarik dari peristiwa tersebut tentu bukan hanya pada karyanya, melainkan semangat senimannya untuk berbuat sesuatu; barangkali yang menginspirasi adalah cara yang ia lakukan, yakni keberaniannya melewati batasan-batasan tertentu, menguak kekosongan dibalik batasan tersebut, dan mengisinya dengan penanda baru.

Pengalaman menempuh proses penciptaan melalui teater tentunya membuat aktor hadir kembali dalam kehidupan sehari-hari (dunia simbolik) dengan cara yang berbeda.

143

Lihat kumpulan tulisan yang disusun oleh Edi Haryono dalam bukunya yang berjudul Menonton Bengkel Teater Rendra, Penerbit Kepel Press, 2005. Lihat bagian kata pengantar.

Mengapa demikian? Proses berteater membuahkan pengalaman/pengetahuan dan bahkan keyakinan baru. Dalam hal akting, sebagaimana telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, pengetahuan yang diperoleh para aktor melalui proses latihan yang mereka tempuh membuat mereka tidak hanyut dalam keseharian melainkan berjarak. Akting menjadi bentuk pengetahuan yang fungsinya tak hanya untuk kepentingan pentas melainkan untuk hal-hal lain dalam keseharian, misalnya untuk menyikapi peran dan posisi mereka dalam hidup di keseharian atau bahkan untuk meyakini dan menghayati kehidupan yang telah mereka jalani.

BAB IV