• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II MELEWATI BATAS-BATAS KEHIDUPAN MELALUI TEATER

A. Perjalanan Menjadi Aktor: Perjalanan Melampaui Batasan

Apa yang harus dilampaui oleh seorang aktor? Para aktor dalam penelitian ini memiliki penekanan yang kurang lebih berbeda. Perbedaan ini terletak pada jenis teater yang sedang mereka tekuni. Secara garis besar, ada tiga hal mendasar yang selalu dilatih terus menerus oleh para aktor, yakni tubuh, pikiran, dan perasaan (emosi).

Tony Broer15bersikeras untuk melatih tubuhnya setiap hari tanpa peduli apakah ia akan pentas atau tidak; latihan lebih penting dibandingkan dengan pentas. Lebih jauh dari itu, dia ingin membebaskan tubuh dari belenggu pikiran. Pada wawancara yang saya lakukan bersama Tony Broer, dia mengatakan: “Tubuh kita tidak pernah capek,

pikiran kitalah yang sebenarnya capek dan memberikan imaji atas rasa capek. Pikiran

kita adalah musuh besar saat kita sedang berlatih tubuh!”16Namun dari pernyataan itu, bukannya kemudian Tony Broer tidak pernah merasa capek. Maksud dari yang ia katakan adalah, dengan menciptakan konsepsi yang demikian, tubuh akan terpancing untuk terus-menerus melawan capek, misalnya dengan latihan lari menempuh jarak yang bisa dibilang sangat jauh untuk ukuran latihan teater. Tony Broer melanjutkan:

“Nah maksudnya lari jauh itu gimana itu? Itu maksdunya mau memancing

membunuh pikiran kita. Jadi hasilnya itu capeknya capek tubuh, bukan capek pikiran. Kalau capek pikiran kan: waduh, sampai malioboro jauh gini nih... nah latihan-latihan mengabaikan pikiran itu ada di latihan-latihan gue.

Ya itu dengan tujuan untuk mencapai tubuh sebagai gagasan.”17

Dari serangkaian latihan yang sering dia lakukan bersama dengan murid- muridnya, sebagai sebuah metode, Tony Broer membagi latihannya menjadi tiga sesi, yakni tubuh fisik, tubuh tema, dan tubuh teks. Ketiganya merupakan satu rangkaian yang sedang digeluti oleh Tony Broer untuk mewujudkan konsepsinya bahwa tubuh

15

Tony Broer adalah seorang seniman teater tubuh yang pernah belajar seni pertunjukan Butoh setelah ia keluar dari Teater Payung Hitam. Saat ini, ayah beranak satu yang beristrikan orang Jepang ini sedang menempuh disertasinya di kampus pasca sarjana ISI Yogyakarta. Gagasan teater yang saat ini sedang ia tekuni adalah teater TubuhKataTubuh, yakni pertunjukan teater tubuh yang mendapat pengaruh dari Butoh yang pernah ia pelajari. Karakter pertunjukan ini kurang lebih tak lagi mementingkan panggung konvensional sebagai tempat pentas, juga tak lagi mementingkan estetika cantik. Tony Broer tidak sepakat jika tubuh dalam pertunjukan teater digunakan sebagai media penyampai pesan karena ia meyakini bahwa tubuh itu sendiri sudah merupakan pesan.

16

Wawancara dengan Tony Broer pada tanggal 3 Agustus 2014 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta.

17

adalah gagasan; sebagai pertunjukan, tubuh bukan lagi media penyampai pesan, melainkan tubuh adalah pesan itu sendiri.

Dalam latihan tubuh fisik, Tony Broer berusaha untuk membongkar batasan- batasan fisik yang ia miliki, yakni batasan-batasan capek, batasan-batasan takut, dan batasan-batasan malu. Untuk menguji tubuhnya seringkali dia melakukan latihan di jalanan, di got, di sawah, di sungai, dan berbagai tempat lain yang jauh dari rasa nyaman bagi tubuh dalam rangka untuk melebarkan dimensi yang dimiliki oleh tubuh. Sementara tubuh tema adalah eksplorasi tubuh dengan bantuan imajinasi, misalnya tubuh kematian, tubuh hewan, tubuh perang, dsb. Selanjutnya, tubuh teks merupakan presentasi dari tubuh yang telah dilatih sedemikian rupa. Bentuk-bentuk latihan yang membekas di tubuh inilah yang dinamai Tony Broer sebagai tubuh adalah gagasan.

Gambar 1:

Dok. Pribadi milik Tony Broer

Yang menarik dari pernyataan Tony Broer (bahwa tubuh adalah gagasan) adalah konsepsinya yang ingin melawan wacana-wacana yang sebelumnya menjadi kecenderungan dalam penciptaan teater; tubuh merupakan media penyampai pesan:

“Tubuh itu sudah gagasan. Jadi ini bukan lagi pantomim, bukan lagi tari.

Ini adalah tafsir kembali tubuh. Kenapa kok kayak gini, ya ini adalah misteri tubuh yang sebenarnya masih menyimpan persoalan, masih harus di kupas. Jadi kalau loe tadi tanya bagaimana menghadapinya ya pasti ada benturan. Ya yang gue tawarkan ini kan bertolak belakang; di sekolah, tubuh itu alat untuk menyampaikan gagasan. Tubuh selalu digunakan untuk menyampaikan gagasan. Sehingga dalam kesenian itu ada wacana bahwa

kesenian itu harus menyampaikan pesan.”18

Dalam hal tubuh, Gunawan Maryanto19 juga menekankan hal yang serupa. Dalam proses penciptaan pentas yang berjudul Waktu Batu, latihan tubuh yang ikut dijalani oleh Gunawan Maryanto merupakan latihan yang bisa dibilang ekstrim dan beresiko. Proses penciptaannya memakan waktu yang cukup pajang yakni 4 tahun yang meliputi serangkaian penelitian untuk penyusunan teks, pengujian teks, hingga proses esekusi dalam bentuk latihan. Dia bercerita:

“Sejauh ini yang paling gila-gilaan itu pas Waktu Batu; itu sampai ke gunung, sampai tinggal di Banyuwangi, sampai punya pengalaman- pengalaman yang dekat dengan kematian. Waktu itu kan di tebing, sementara kita harus memejamkan mata dan lain sebagainya, jadi memang itu resikonya cukup tinggi. Pendakiannya malam, kita sama sekali nggak tahu jalan, sejauh ini itu sih. Kalau di tingkatan tubuh ya, yang paling gila ya hampir semuanya sih, terutama yang berbasis tubuh, karena kita harus melebarkan rentang tubuh; menjelajahi dari yang daily, extra-daily, itu semua harus dijelajahi. Nah yang paling gila ya di Waktu Batu itu. Itu lama

banget latihannya. Prosesnya sendiri hampir 4 tahun kan.”20

Dalam konteks penciptaan peran yang demikian, latihan fisik yang dilakukan sedemikian rupa berbeda konteks dengan latihan-latihan untuk mempercantik bentuk tubuh, atau menciptakan gestur tubuh ‘ideal’, namun latihan-latihan tersebut mengarah

pada peningkatan kapasitas tubuh; kekuatan, kelincahan, kelenturan, keluwesan,

18

Wawancara dengan Tony Broer pada tanggal 3 Agustus 2014 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta.

19

Gunawan Maryanto adalah seorang aktor, sutradara, dan penulis yang masih aktif berkesenian di Garasi Instute of Performance (dulunya adalah Teater Garasi).

20

Wawancara dengan Gunawan Maryanto pada tanggal 7 Maret 2015 di Garasi Institute of Performance, Nitiprayan, Yogyakarta.

ketrampilan, dan lain sebagainya. Jikalau kemudian aktor memiliki tubuh yang sexy setelah mengalami latihan yang sedemikian rupa, hal itu hanyalah efek samping. Poin utamanya dalam latihan tersebut adalah untuk memperlebar dimensi jangkauan tubuh; fleksibilitas tubuh aktor memang harus dilatih dalam rangka sebagai wadah, sebagai medium, karena latar belakang sejarah kebertubuhan aktor bisa jadi sangat jauh dengan latar belakang sosial karakter yang akan dimainkan. Oleh sebab itulah, dalam rangka menciptakan kewajaran peran, tubuh aktor haruslah siap terlebih dahulu.

Menurut Gunawan Maryanto, meski aktor memainkan pementasan realis dengan ukuran kewajaran sehari-hari, aktor masih akan tetap dituntut untuk melebarkan rentang tubuhnya. Kesiapan tubuh tidak hanya sebagai wadah untuk karakter yang akan dimainkan, akan tetapi di panggung teater bagaimanapun juga seorang aktor harus melakukan segala aktivitas dengan tensi yang lebih dibandingkan dengan aktivitas di keseharian, misalnya, proyeksi suara aktor yang sedang melisankan dialognya minimal harus sampai pada penonton yang duduk di barisan paling belakang. Dengan demikian, tak heran jika latihan keaktoran membutuhkan waktu yang sangat lama.

Selain harus melampaui batasan tubuh, dalam bentuk yang berbeda, bagi Pak Untung Basuki21, seorang aktor harus mengalahkan rasa malu. Pada usianya yang tak lagi muda, Pak Untung Basuki kadang berangkat latihan sambil berteriak-teriak di jalan dalam rangka menghafalkan dialog. Beliau tak peduli jikalau ada orang lain yang terheran-heran melihat beliau bertingkah seperti itu di jalan. “Latihan teater ya siap-

siap menjadi gila,”22 kata beliau dalam wawancara yang saya lakukan. Gila dalam

21

Untung Basuki merupakan salah satu tokoh senior dalam teater Indonesia saat ini. Ia pernah berproses bersama Rendra dengan Bengkel Teaternya dan saat ini ia masih aktif menjadi pengurus Sanggar Bambu. Selain berteater, ia juga dikenal sebagai musisi, penulis puisi, dan pelukis.

22

konteks ini memang sebuah konsekuensi dari latihan teater. Bahkan bagi Pak Untung, ketika sedang dalam proses latihan penciptaan peran (sebagai Oedipus), ia menganggap bahwa latihan yang ia lakukan merupakan aktivitas yang aneh:

“Itu saya di sembarang tempat teriak-teriak. Jalan di tengah alun-alun itu saya teriak-teriak: Anak-anakku, anak-anak Katmus pendiri kota Thebes ini....kenapa kalian datang berbondong-bondong bagai demonstran? Itu sambil jalan di sana. Yang paling asyik itu kalau hujan. Pas hujan, naik motor, kan helm sudah rapet kan, nggak pake mantel itu tahan aja sih, teriak-teriak nggak ada yang tahu! Hahahaha!!! Ya itu mencari karakter ya begitu itu. Nah kalau menghapal naskah, karena memori saya cukup lemah, ini saya bawa kertas atau apalah, itu saya corat-coret dengan dialog saya, lha ini! Sampai banyak kayak gini!. Ini misalnya pas saya ke dokter tadi, ada kertas resep di lantai tak ambil aja, tak tulisi bagian belakangnya, hahahaha! Ya karena saya dengan menulis ini jadi lebih ngrasa memiliki kata-kata itu. Meresapkan ke dalam. Bahkan kalau bisa itu meniti kata demi kata. Karena

satu kata itu bisa diucapkan dengan banyak cara.”23

Gambar 2:

Pentas Dramatik Reading Oedipus Sang Raja; Pak Untung (kanan) Dok. Novita Budi Lestari24

Bagi Pak Untung, tidak mungkin seorang aktor menghayati peran tanpa merasa memiliki teks yang dimainkan. Sehingga, seorang aktor terkadang memiliki cara yang

23

Wawancara dengan Untung Basuki pada tanggal 8 Maret 2015. 24

Foto diambil pada saat pementasan dramatik reading di Beringin Soekarno Universitas Sanata Dharma pada tanggal 19 Mei 2015 pukul 15.00 WIB.

sangat personal untuk menciptakan tokoh. Jika perlu, rasa sakit ketika latihan itu harus dilawan. Untuk usianya yang tidak lagi muda, persoalan tubuh menjadi hal yang krusial. Namun semangat Pak Untung ketika berlatih kadang membuatnya lupa bahwa tubuhnya telah rentan penyakit. Mbah Tohir25 pun demikian, pada usianya yang tak kalah tua dengan Pak Untung, rasa sakit pada tubuh tak mengalahkan semangatnya untuk tetap berpsoses. Mbah tohir bercerita demikian:

“Malam itu saya jalan kaki dan jatuh diselokan. Nggak kelihatan waktu itu.

Kaki saya kena cor-coran got. Bengkak. Saya nggak bisa jalan. Itu pas di semarang, habis baca geguritan, saya dipanggil panitia, terus jatuh. Yang paling berkesan bagi saya karena waktu itu bisa menjadi salah satu pembuktian pengalaman. Kalau sekedar masuk angin, asam urat, itu sudah biasa saya atasi. Tapi kalau jatuh saya nggak bisa gerak. Waktu itu yang saya pikirkan adalah pentas saya: bagaimana pentas saya nanti? Akhirnya saya ditolong oleh kawan-kawan teater di Semarang, pijet refleksi, bisa jalan tapi harus pake krek. Nah pentas di Tegal, Pekalongan, itu saya pake krek. Nah itu yang paling menarik bagi saya. Ujian keaktoran saya ya di situ. Pas pentas, awalnya saya masih pake krek, untuk baca puisi, kidung jula-juli. Lalu pas saya main, akhirnya krek saya taruh, dan saya bisa jalan. Nah kan si peran yang saya mainkan tidak sakit. Saya jadi itu dengan kesadaran tokoh, saya bisa jalan dan tidak merasa sakit. Tapi ada juga kekawatiran, makanya saya jaga-jaga, krek saya bawa masuk buat jadi properti sekalian. Nah itu siasat aktor. Sekalian saya menjadikan peristiwa jatuh itu bagian

dari cerita.”26

Entah karena sugesti atau bukan, tapi pengalaman tersebut merupakan pengalaman yang mengherankan bagi Mbah Tohir sehingga ia mengatakan bahwa pengalaman tersebut merupakan ujian keaktoran baginya yang telah berteater selama puluhan tahun. Di luar panggung beliau sakit dan tidak bisa jalan, tapi begitu masuk ke dalam panggung, berdasarkan keyakinan bahwa ia adalah tokoh lain yang tidak sakit,

25

Nama aslinya adalah Sutohir. Ia berasal dari Surabaya dan di sanalah sebelum ia memutuskan untuk menjadi aktor monolog dan menghabiskan hidupnya untuk pentas dari satu kota ke kota lain, ia pernah bergabung dengan kelompok Srimulat dan dikenal sebagai Tohir Drakula (karena sering memerankan tokoh dracula).

26

Wawancara dengan Mbah Tohir pada tanggal 5 Maret 2015 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta.

maka ia berhasil melampaui rasa sakitnya dan bisa bermain sebagai sosok yang jauh dari kenyataan bahwa mbah Tohir malam itu sedang bengkak kakinya.

Usaha untuk melampaui batasan diri ini juga ditempuh oleh beberapa aktor muda seperti Andika Ananda27, Tita Dian Wulan Sari28 dan Nunung Deni Puspita Sari29. Mereka juga memiliki pengalaman yang hampir serupa dalam menjalani proses keaktoran mereka; rela membongkar batasan-batasan diri yang dimiliki sebagai manusia. Secara umur dan pengalaman, para aktor muda ini memang pernah belajar pada aktor-aktor senior yang telah terlebih dahulu menjalani kehidupan sebagai seniman. Dalam keaktoran yang mereka tempuh, usaha untuk melampaui batasan diri ini diistilahkan juga sebagai membongkar diri; membongkar tubuh, membongkar emosi, dan membongkar intelektualitas. Maksud dari istilah membongkar adalah menelusuri, memahami, dan menyadari kembali sejarah diri (segala aspek yang membentuk karakter diri) untuk kemudian merentangkan jangkauan karakter dirinya. Pada prakteknya, proses keaktoran selalu meninggalkan bekas pengalaman dan pengetahuan. Tak jarang pengetahuan yang telah didapat ini kedepannya menjadi hal yang dilampaui lagi.

Bagi Andika, proses penciptaan akting bersama Teater Kalanari (dulunya adalah teater Teku) dengan teks KINTIR merupakan proses yang sangat berpengaruh dalam konsepsi berteaternya kelak. Proses tersebut merupakan proses yang dimulai dari nol. Andika dan teman-temannya pergi ke suatu desa, hidup bersama dengan mereka, lantas

27

Andika Ananda adalah salah satu aktor teater muda yang masih aktif berteater sejak tahun 2005. Saat ini ia menjadi salah satu pengurus Teater Kalanari.

28

Ia akrab dipanggil dengan nama Tita. Pengalamannya berteater pertama kalinya adalah ketika ia tergabung sebagai perserta Actor Studio yang diselenggarakan oleh Teater garasi pada tahun 2007. Sejak saat itu ia jatuh cinta dengan seni pertunjukan dan aktif menjadi aktor dengan cara ikut bergabung pada proses-proses yang diciptakan oleh rekan-rekannya.

29

Ibu beranak satu ini masih rajin berteater meski sehari-hari ia harus membagi waktunya untuk mengajar sebagai guru Honorer di SD Tumbuh Jetis dan menjalankan beberapa program Padepokan Seni Bagong Kussudihardja.

menciptakan sebuah teks pertunjukan tentang kehidupan (sekaligus bersama dengan) masyarakat yang mereka datangi. Pemahaman Andika sebagai pelaku teater muda merupakan pemahaman yang mencoba untuk melampaui konsepsi berkesenian yang cenderung menempatkan karya pertunjukan di panggung konvensional. Sementara yang dilakukan Andika dan teman-temannya merupakan hal yang bisa dibilang meninggalkan panggung konvensional. Andika bercerita bahwa konsepsi ini sedikit banyak terinspirasi dari kegilaan Tony Broer dalam melawan batasan estetika yang menurutnya merupakan kecenderungan pelaku teater modern Indonesia yang menempatkan estetika berteater Barat sebagai ukuran ideal. Bagi Tony Broer, juga Andika dan teman-temannya, kecenderungan ini harus diatasi dalam konteks kekinian sebagai strategi berteater di Indonesia kedepannya, salah satunya dengan membawa teater ke ruang-ruang yang lebih memiliki fleksibilitas. Andika bercerita demikian:

“Sederhananya kami melihat teater, saya terutama, akhirnya tidak terbatas

pada panggung. Kedua, proses pertunjukan itu bukan semata-mata kami ciptakan gitu, bukan semata-mata hasil eksplorasi kami sebagai awak pentas, tapi itu juga berkait dengan interaksi penonton. Jadi misalnya antara kami dengan anak-anak sana, kami membantu petani menyirami tanaman sawi, berinteraksi dengan tetangga sebelah dimana tempat kami nanti pentas, itu mewarnai teks-teks kami dan juga masuk ke dalam teks. Sadar atau tidak, teks Kintir itu merupakan hasil penciptaan kami dan orang-orang di sekitar area pentas dan latihan dan bagi saya hal itu merupakan hal yang sangat berharga. Sampai hari ini bahkan saya kenal baik dan masih berhubungan dengan orang-orang di sekitar situ. Bagi saya itu merupakan

sebuah bonus yang lebih dari sekedar pentas.”30

Proses yang demikian tersebut masih dilakukan dalam penciptaan teater Andika bersama Teater Kalanari seperti misalnya dalam proses Panji Amabar Pasir dan Kapai- Kapai Atawa Gayuh. Dalam proses penciptaan pertunjukan Panji Amabar Pasir, proses yang ditempuh Andika berjalan selama satu bulan, setiap hari, dari jam 3 sore hingga

30

jam 10 malam. Proses tersebut dilakukan di pinggir sawah, guest house yang belum jadi dan tempat pembuatan batu bata di Nitiprayan Yogyakarta. Teks tersebut diciptakan melalui improvisasi yang dilakukan oleh para aktornya. Yang unik dari proses tersebut adalah tidak ada teks yang pasti dan harus dihafalkan oleh aktornya dalam berdialog. Seluruh rangkaian dialog tergantung kepekaan aktor terhadap lawan main, ruang, dan suasana pada waktu itu. Sehingga ketika proses ataupun pentas yang dilakukan selama dua hari tersebut, bentuk pertunjukan dan bahkan dialognya tidak pernah sama.

Gambar 3:

Andika (bawah) dalam Panji Amabar Pasir. Dok. Teater Kalanari31

Sedikit berbeda dengan Andika yang berusaha untuk menembus batasan estetika penciptaan teater, di sisi lain, menembus batasan pikiran menjadi tantangan bagi Nunung Deni Puspita Sari. Berbeda bentuk dengan yang dimaksud dengan Tony Broer, dalam praktik berteaternya, Nunung bercerita bahwa pentas yang paling berkesan baginya adalah ketika ia berproses bersama anak-anak jalanan. Awalnya ia merasa tidak yakin jika ia akan mampu menempuhnya. Hanya atas dasar keinginan dan kepercayaan bahwa berteater merupakan pengalaman yang penting bagi dirinya dan anak-anak

31

Pertunjukan diselenggarakan pada 29-30 November 2013 pada pukul 19.30 WIB. di OmahKebon Guest House Nitiprayan, Bantul.

jalanan yang ia dampingi, Nunung harus berfikir dan bekerja keras untuk bisa mewujudkannya.

Hal yang sampai saat ini ditekuni oleh Nunung adalah berproses dengan orang yang belum mengenal teater. Hal ini merupakan tantangan baginya yang harus dilampaui. “Berteater dengan orang teater itu, meski sulit, tapi lebih mudah dijalani,

berbeda dengan orang yang belum pernah dilatih teater. Ini membuatku harus bekerja

ekstra.”32 Nunung membedakan proses berkeseniannya menjadi dua hal, pertama adalah berkesenian dengan seniman, dan kedua adalah berkesenian dengan orang yang belum memiliki latar belakang berkesenian. Ketika berproses bersama seniman lain, bagi Nunung proses itu merupakan kesempatan baginya untuk menimba ilmu, secara teknik, kemudian ilmu itu harus ia bagikan kepada orang lain dengan cara berproses bersama33.

Bagi Tita Dian Wulandari, berteater merupakan usahanya untuk menyempurnakan yang kurang pada dirinya. Perjumpaannya dengan proses teater pertamakalinya adalah di Teater Garasi dan disanalah Tita menemukan konsepsi bahwa berteater itu merupakan cara untuk membentuk karakter, baik dari segi fisik, emosi, dan intelektual. Berteater bagi Tita merupakan sebuah tantangan sekaligus kesempatan. Tantangan ketika ia harus bernegosiasi dengan keluarganya yang menginginkan ia untuk tidak menjadi seniman (karena seniman memiliki kesan tidak punya masa depan), sementara kesempatan ketika ia melihat peluang untuk membuktikan bahwa ia bisa hidup dengan berkesenian34.

32

Wawancara dengan Nunung pada tanggal 26 Juni 2014 33

Ibid.

34

Wawancara dengan Tita pada tanggal 24 Juni 2014 di Padepokan Seni Bagong Kussudihardja

Perjalanan Tita menjadi aktor merupakan perjalanan melawan stigma buruk yang dialamatkan pada seniman teater. Artinya, teater bagi Tita bukan sekedar hobi atau

kesenangan, melainkan sebuah pembuktian bahwa ia bisa menjadi ‘orang’ dengan jalan

teater. Dengan demikian, totalitas menjadi hal yang ia utamakan dalam berteater. Baik dalam keadaan hujan, panas, tengah malam, atau bahkan dalam kondisi sakit, selagi ia bisa berdiri dan berjalan, ia tetap datang latihan35.

Apa saja aspek-aspek yang dituju oleh aktor melalui latihan? Jika dipetakan, secara umum para aktor sebagai narasumber penelitian ini mengatakan bahwa yang hendak dilebarkan sebagai jangkauannya meliputi tubuh, emosi, dan intelektual. Sebagai capaian ideal, sebagai aktor, jikalau bisa mereka harus bisa menguasai segala hal. Tidak menutup kemungkinan seorang aktor harus belajar silat, belajar tari, belajar musik, berbicara, meditasi, akrobatik, pantomim, dan lain sebagainya. Aktor harus juga mengenal baik konsep ruang dan pencahayaan untuk mengukur efek apa saja yang bisa dijadikan kemungkinan aksi.

Untuk melatih kepekaan, semua narasumber sepakat bahwa aktor semestinya menyerap sebanyak mungkin kebudayaan lain yang asing darinya. Semakin banyak aktor berada pada berbagai macam tempat, berinteraksi dengan berbagai macam orang, maka kepekaan dan intelektualitasnya juga bertambah. Hal ini bukan semata-mata untuk pengetahuan saja, melainkan sebagai modal untuk penciptaan. Sebagai stimulus berfikir, aktor juga harus mau mengetahui berbagai macam bentuk wacana. Garis besarnya, semakin rumit dan semakin sulit aktor melatih dirinya, maka semakin mudah ia menciptakan akting.

35

Wawancara dengan Tita pada tanggal 24 Juni 2014 di Padepokan Seni Bagong Kussudihardja.

Dengan demikian, seperti yang diyakini Mbah Tohir, belajar keaktoran itu seperti