• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teatrikalisasi kehidupan: studi tentang pengalaman 7 aktor teater Yogyakarta dalam mencipta sinthome di dunia panggung dan keseharian.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Teatrikalisasi kehidupan: studi tentang pengalaman 7 aktor teater Yogyakarta dalam mencipta sinthome di dunia panggung dan keseharian."

Copied!
167
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Aktor merupakan jantung dari pertunjukan teater. Tak jarang para aktor teater melakukan serangkaian proses yang berat dan panjang hanya untuk mementaskan pertunjukan yang berdurasi kurang dari dua jam. Biasanya mereka juga mengorbankan banyak hal untuk proses yang sedang di tempuh. Jika dinilai dengan uang yang mereka dapatkan sebagai honor pentas, jelas penghasilan tersebut tidak setimpal. Bahkan, mereka kadang-kadang tidak mendapat uang atau justru malah nombok. Namun demikian, mereka tetap berteater.

Fenomena tersebut mendorong saya untuk melakukan penelitian ini. Seiring dengan proses penarasian data dan analisis, ditemukan bahwa ada tiga hal mendasar yang membuat para aktor tetap berteater, yakni kesenangan, pengetahuan, dan keyakinan. Tentunya ketiga hal ini merupakan modal bagi mereka untuk terus survive baik dalam berteater atau menjalani kehidupan sehari-hari.

Secara keseluruhan, fenomena tersebut dianalisa dengan menggunakan perspektif psikoanalisa Lacanian. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, ditemukan bahwa hasrat para aktor (selain bahwa pada dasarnya ingin hadir di depan penonton/liyan) muncul atas pengalaman mereka berhadapan dengan das Ding/kekosongan dibalik teks atau wacana-wacana yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari (kekosongan dibalik material penandaan di dunia simbolik). Hasrat ini sekaligus menjadi dorongan bagi mereka untuk menempuh proses penciptaan yang berawal dari identifikasi (memaknai symptom) hingga proses penciptaan penanda-penanda baru (sinthome). Pengalaman yang ditempuh aktor dalam proses penciptaan hingga pementasan merupakan pengalaman sublimasi.

(2)

ABSTRACT

Actors are the heart of the theatre performance. They do hard and long process and sometimes they sacrifice a lot of things to create less than two hours performance theatre in common. Comparing to the amount of money they got as fee, clearly that income is unequal and even they sometimes do not get any money. On the other hand, they used their own money quite often for the performance needs instead of obtaining money. However, they still again and again create theatre performance.

This phenomenon forces me to do this research. In accordance to the process of narating the data and analysis, I find out three fundamental things that keep actors continually in theatre process, those are pleasure, knowledge, and faith. Certainly, those things are their capital to survive in both theatre or everyday life.

Over all, those phenomenon are analyzed by using Lacanian psychoanalysis. Based

from the analysis, it is found that the actors’ desire (besides the fact that their basic

desire is to present in front of audiences/other) stemp from their experiences seeing das Ding/the void of texts or discourses they face in everyday life (the void behind the material signification of the simbolic world). This desire becomes drive for them to go through the process which is began from identification (understanding their symptom) to the creating process of new signifiers (sinthome). The actors’ process creating the

performance theatre is sublimation experience.

(3)

TEATRIKALISASI KEHIDUPAN:

STUDI TENTANG PENGALAMAN 7 AKTOR TEATER

YOGYAKARTA DALAM MENCIPTA SINTHOME

DI DUNIA PANGGUNG DAN KESEHARIAN

Tesis

Untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Magister Humaniora (M. Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma

Oleh:

Doni Agung Setiawan 116322010

Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Universitas Sanata Dharma

(4)
(5)
(6)
(7)
(8)

KATA PENGANTAR

Jalan keaktoran yang telah saya tekuni hingga saat ini pada akhirnya mengantarkan saya pada proses yang lain; yakni sebuah proses (yang tak kalah gawat dengan proses teater) untuk menuliskan kembali pengalaman-pengalaman para aktor teater dalam meyakini dan menjalani teater mereka masing-masing.

Proses penulisan ini tak sanggup saya lakukan seorang diri; ada banyak pihak yang baik secara langsung atau tidak langgung turut berkontribusi dalam proses penulisan tesis ini. Untuk itu dalam kata pengantar ini, pertama-tama saya mengucapkan banyak terimakasih kepada para aktor yang telah meluangkan waktunya untuk menceritakan pengalaman-pengalaman mereka; Gunawan Maryanto,Tony Broer, Untung Basuki, Sutohir, Andika Ananda, Nunung Deni Puspita, dan Tita Dian Wulan Sari.

Ucapan terimakasih sebesar-besarnya saya tujukan kepada Bapak St. Sunardi selaku guru sekaligus sutradara yang menyutradarai saya dalam penulisan tesis ini; terimakasih banyak atas petunjuk, pengetahuan dan kesabarannya dalam membimbing ketidaktahuan saya ini.

Juga kepada Romo Banar (yang telah membuat saya masuk IRB), Mbak Desi (yang ikut-ikutan mumet dengan nasib saya), Romo Beny, dan para dosen IRB lain yang tak tersebutkan namanya, saya mengucapkan banyak sekali terimakasih atas segala pengetahuan yang dibagikan kepada saya.

Terimakasih banyak kepada kawan-kawan tercinta, Tj, Gedheg, Agathon, Lamser, Muji, Arham, Frans, Vini, Ani, Zuhdi, Padmo, dan tentu saja banyak yang tak tersebut namanya atas kehidupan dan kebingungan yang warna-warni.

Terimakasih banyak kepada Teater Seriboe Djendela dan Teater Garasi yang menjadi pintu masuk bagi saya untuk memasuki dunia fantasi ini.

Terimakasih secara khusus saya persembahkan kepada Untuk Bapak-Ibuk (yang tak henti-henti berdo’a buat saya agar cepat lulus), Mbak Yu, Kang Mas, dan Lintang

Wahyu atas segala dukungan yang telah diberikan kepada saya dalam menjalani proses kehidupan ini. Juga, untuk belahan jiwaku, Novita Budi Lestari yang entah bagaimana caranya selalu membuatku hidup berkali-kali (aku yakin kita akan hidup berkali-kali).

(9)

ABSTRAK

Aktor merupakan jantung dari pertunjukan teater. Tak jarang para aktor teater melakukan serangkaian proses yang berat dan panjang hanya untuk mementaskan pertunjukan yang berdurasi kurang dari dua jam. Biasanya mereka juga mengorbankan banyak hal untuk proses yang sedang di tempuh. Jika dinilai dengan uang yang mereka dapatkan sebagai honor pentas, jelas penghasilan tersebut tidak setimpal. Bahkan, mereka kadang-kadang tidak mendapat uang atau justru malah nombok. Namun demikian, mereka tetap berteater.

Fenomena tersebut mendorong saya untuk melakukan penelitian ini. Seiring dengan proses penarasian data dan analisis, ditemukan bahwa ada tiga hal mendasar yang membuat para aktor tetap berteater, yakni kesenangan, pengetahuan, dan keyakinan. Tentunya ketiga hal ini merupakan modal bagi mereka untuk terus survive baik dalam berteater atau menjalani kehidupan sehari-hari.

Secara keseluruhan, fenomena tersebut dianalisa dengan menggunakan perspektif psikoanalisa Lacanian. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, ditemukan bahwa hasrat para aktor (selain bahwa pada dasarnya ingin hadir di depan penonton/liyan) muncul atas pengalaman mereka berhadapan dengan das Ding/kekosongan dibalik teks atau wacana-wacana yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari (kekosongan dibalik material penandaan di dunia simbolik). Hasrat ini sekaligus menjadi dorongan bagi mereka untuk menempuh proses penciptaan yang berawal dari identifikasi (memaknai symptom) hingga proses penciptaan penanda-penanda baru (sinthome). Pengalaman yang ditempuh aktor dalam proses penciptaan hingga pementasan merupakan pengalaman sublimasi.

(10)

ABSTRACT

Actors are the heart of the theatre performance. They do hard and long process and sometimes they sacrifice a lot of things to create less than two hours performance theatre in common. Comparing to the amount of money they got as fee, clearly that income is unequal and even they sometimes do not get any money. On the other hand, they used their own money quite often for the performance needs instead of obtaining money. However, they still again and again create theatre performance.

This phenomenon forces me to do this research. In accordance to the process of narating the data and analysis, I find out three fundamental things that keep actors continually in theatre process, those are pleasure, knowledge, and faith. Certainly, those things are their capital to survive in both theatre or everyday life.

Over all, those phenomenon are analyzed by using Lacanian psychoanalysis. Based from the analysis, it is found that the actors’ desire (besides the fact that their basic

desire is to present in front of audiences/other) stemp from their experiences seeing das Ding/the void of texts or discourses they face in everyday life (the void behind the material signification of the simbolic world). This desire becomes drive for them to go through the process which is began from identification (understanding their symptom) to the creating process of new signifiers (sinthome). The actors’ process creating the performance theatre is sublimation experience.

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...i

HALAMAN PERSETUJUAN...ii

HALAMAN PENGESAHAN...iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v

KATA PENGANTAR ...vi

ABSTRAK ...vii

ABSTRACT...viii

DAFTAR ISI...ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 5

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian... 5

D. Tinjauan Pustaka ... 6

E. Kerangka Teori ... 13

1. Teori Sublimasi ... 17

2. Pengalaman Keaktoran Sebagai Pengalaman Sublim... 19

F. Metode Penelitian ... 23

G. Skema Penulisan ... 27

BAB II MELEWATI BATAS-BATAS KEHIDUPAN MELALUI TEATER ... 28

A. Perjalanan Menjadi Aktor: Perjalanan Melampaui Batasan ... 28

B. Menghayati Peran: Menjadi Orang Lain ... 41

C. Menjalani Keseharian ... 59

D. Memaknai Akting: Akting di Panggung Teater dan Panggung Keseharian ... 67

E. Teater: Antara Kesenangan, Kegelisahan, dan Kegilaan Dalam Kehidupan ... 71

BAB III RE-KREASI KEHIDUPAN MELALUI TEATER ... 82

A. Membaca Penghayatan Aktor Melalui Perspektif Teori Subjek Lacanian ... 83

(12)

2. Berpijak Pada Tubuh: Dari Subjek Hasrat Sampai Subjek Dorongan ... 95

3. Berpijak Pada Sinthome: Panggung Sublimasi ... 112

B. Menjalani Kehidupan Dua Dunia ... 124

1. Dunia Keseharian (Simbolik): Batasan Yang Menjadi Dorongan ... 125

2. Melampaui Keseharian Melalui Teater ... 135

BAB IV PENUTUP ... 148

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penelitian ini berangkat dari satu kegelisahan yang saya simpan sejak beberapa tahun

yang lalu; kenapa ada yang mau bertahan menjadi aktor teater di tengah-tengah situasi

perteateran yang kurang menjanjikan dalam hal ekonomi? Kegelisahan tersebut bermula

dari fenomena-fenomena yang saya lihat (sekaligus saya alami sendiri sebagai aktor

teater) melalui perjumpaan saya dengan orang-orang teater di Yogyakarta1, baik yang

tinggal menetap atau sementara. Kegelisahan itulah yang menuntun saya untuk mencari

tahu lebih jauh dengan melakukan penelitian ini.

Ketika melakukan observasi (pengamatan hingga terlibat dalam proses

penciptaan) dan wawancara untuk mencari data yang diperlukan dalam penelitian ini,

saya mendapatkan kenyataan-kenyataan bahwa ada juga aktor teater yang survive secara

ekonomi dengan modal keaktoran yang mereka kuasai, ada juga yang harus hidup

dengan cara selain berteater. Namun saya menemukan satu hal yang dekat sekali dengan

asumsi awal atas kegelisahan saya, yakni bahwa tujuan mereka (para aktor yang

menjadi narasumber) berteater atau menjadi aktor teater lebih dari sekedar untuk

mencari nafkah (bahkan pada awalnya bukan soal uang, melainkan karena senang).

Dari pemaparan tersebut, terlihat adanya pemenuhan lain yang didapat melalui

teater dan inilah kiranya yang membuat para aktor masih bertahan menjalani dunia

1

(14)

teater meski harus mengorbankan banyak hal demi teater yang dilakukannya.

Pemenuhan apakah yang bisa diperoleh dari teater (dalam hal ini melalui bidang

keaktoran)? Setidaknya ada tiga hal yang membuat para aktor bertahan untuk menjalani

dunia teater, yakni kesenangan, pengetahuan, dan keyakinan.

Penelitian ini, di sisi lain, merupakan suatu upaya untuk membaca salah satu

bidang yang paling sentral dalam dunia teater, yakni keaktoran. Barangkali wacana

seputar keaktoran telah banyak di bahas dan telah banyak melahirkan teori dan

buku-buku yang secara garis besar ditujukan sebagai metode penciptaan akting baik di luar

negri ataupun di Indonesia. Namun dalam lingkup akademis, terutama di Indonesia,

sejujurnya saya kesulitan untuk menemukan kajian yang secara khusus membahas

bidang keaktoran. Adapun tulisan terkait, dalam ranah akademis yang saya maksudkan

tersebut, keaktoran masih disikapi sebagai objek penciptaan (mislanya, karya tugas

akhir kuliah), yang tentu saja lain dengan mewacanakan keaktoran sebagai fenomena

budaya.

Sementara, penelitian terkait dengan teater bisa lebih banyak kita temukan. Dalam

hal ini teater dipandang sebagai teks yang bisa dianalisa dengan berbagai macam cara.

Beberapa buku teori juga telah menyediakan perangkat perspektif untuk menganalisa

teater, diantaranya adalah Theory/Theatre An Introduction (Mark Fortier, 2007),

Performance Theory (Richard Schehner, 2004), Theory for Performance Studies (Philip Auslander, 2008). Dari beberapa buku tersebut bisa dilihat bahwa untuk membaca teater

masih diperlukan perspektif lain karena teater sendiri tidak memiliki teori khusus

kecuali adalah teori/metode penciptaan. Atau sebaliknya, teater (sejalan dengan sastra)

menjadi bidang yang kaya wacana untuk penciptaan teori sosial, sebagaimana teks

(15)

Sehingga, ketika banyak kajian telah membahas fenomena teater dan

keterkaitannya dengan wacana sosial, penelitian ini sekaligus ingin saya tempatkan

sebagai kajian yang membahas fenomena pengalaman hidup aktor (jantung dari

pertunjukan teater) sebagai fenomena budaya. Merujuk pada buku yang telah ditulis

oleh Paula Saukko yang berjudul Doing Research in Cultural Studies: An Introduction

to Classical and New Methodological Approaches, mengkaji pengalaman personal adalah sesuatu yang memungkinkan untuk menguak wacana sosial yang sedang terjadi

karena bagaimanapun juga pengalaman personal merupakan konstruksi dari kehidupan

sosial2. Aktor teater adalah manusia biasa yang tak lepas dari realitas kehidupan

sosialnya sekaligus sebagai elemen terpenting teater yang ironisnya jarang sekali

diteliti.

Penelitian ini sekaligus membuat saya (belajar) melihat fenomena keaktoran

dalam teater dengan cara lain; cara yang belum pernah saya pergunakan ketika saya

berbincang-bincang dengan para pelaku teater dalam membicarakan teater terkait

dengan proses penciptaan dan pementasannya. Tentunya cara ini merupakan perspektif

teoritis yang harus saya gunakan sebagai pisau analisis, yakni perspektif psikoanalisa

Lacanian khususnya terkait dengan teori subjek dan sublimasi.

Sebagai hasil dari cara melihat fenomena keaktoran dengan perspektif

psikoanalisa, saya melihat bahwa pengalaman aktor dalam menjalani dunia teater

merupakan pengalaman sublim3. Dalam hal ini, saya ingin berpendapat bahwa bukan

hanya teks pertunjukan yang sekiranya bisa ditempatkan sebagai hal yang patut

2

Paulo Saukko dalam bukunya yang berjudul Doing Research in Cultural Studies: An

Introduction to Classical and New Methodological Approaches, Sage 2003. Lihat bab 4

halaman 74-75. 3

(16)

diapresiasi, namun pengalaman individu-individu yang terlibat di dalamnya merupakan

fenomena yang tak kalah penting untuk disikapi sebagai pengetahuan.

Untuk itu dan atas pengetahuan yang saya peroleh dari cerita-cerita para aktor

yang menjadi narasumber dalam penelitian ini, saya mengajukan satu judul sekaligus

sesuatu yang menjadi tema dalam penelitian ini, yakni Teatrikalisasi Kehidupan: Studi

Tentang Pengalaman 7 Aktor Teater Yogyakarta Dalam Mencipta Sinthome Di Dunia Panggung dan Keseharian. Alasan saya mengajukan judul tersebut sederhana; saya melihat jalan aktor adalah jalan untuk menghayati (baca: menyikapi) kehidupan.

Berdasarkan cerita-cerita para aktor, cara yang ditempuh mereka untuk menghayati

perannya di atas panggung pertunjukan berpijak dari proses mereka untuk mempelajari

kembali kehidupan sehari-hari. Namun kita bisa mempertanyakan demikian: apakah

dalam dunia keseharian para aktor juga menghayati kehidupan yang mereka jalani? Jika

iya bagaimana caranya? Apa yang menjadi ciri khas seseorang yang hidup sebagai

seniman teater sekaligus sebagai bagian dari masyarakat?

Beberapa pertanyaan tersebut sekaligus menjadi pijakan saya untuk menarasikan

dan menganalisa pengalaman para aktor dalam menjalani dunia teater dan dunia

keseharian. Namun untuk merangkumnya, saya menggunakan dua rumusan masalah

sebagai jalan untuk menelusuri fenomena kehidupan aktor teater yang akan saya

(17)

B. Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang yang telah saya tuliskan tersebut, dua rumusan masalah di

bawah ini merupakan acuan saya dalam menyusun penelitian ini:

1. Bagaimana para aktor menghayati peran yang mereka mainkan di panggung

pertunjukan?

2. Bagaimana mereka menyikapi kehidupan dalam dunia sehari-hari dan dunia

teater?

C. Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah yang dipaparkan di bagian sebelumnya, maka penelitian ini

bertujuan untuk:

1. Meneliti perkembangan pembentukan subjek seorang aktor, yaitu aktor sebagai

subjek bahasa (subject of language) dan subjek hasrat (subject of desire),

sebagai subjek dorongan (subject of drive), dan pengalaman akan sinthome

dalam panggung sublimasi. Masing-masing tahap ini bisa dikaitkan dengan

pengalaman aktor saat mendalami makna naskah sampai mencapai kenikmatan

atau kesenangan (pleasure) teks, saat seorang aktor melampaui makna dan

kenikmatan teks menuju das Ding dalam teks, dan saat seorang aktor berhasil

melahirkan penandanya sendiri (sinthome) dalam panggung sublimasi.

2. Meneliti pengalaman hidup aktor teater dalam menjalani dunia keseharian dan

dunia teater dengan menempatkan dunia keseharian sebagai dunia simbolik yang

(18)

untuk mengetahui dialektika (pemaknaan) yang dilakukan oleh aktor teater atas

pengalaman hidup di dua dunia tersebut.

D. Tinjauan Pustaka

Penelitian pertama yang saya sebutkan dalam tinjauan pustakan ini adalah penelitian

yang telah dilakukan oleh Airani Sasanti (satu-satunya senior saya di program studi

Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma yang menuliskan tesis tentang

teater). Judul tesis yang ia susun adalah Pementasan Bocah Bajang: Negosiasi Teater

Terhadap Media Massa Atas Makna Fenomena Ponari (2013). Dalam penelitian tersebut, salah satu narasumber yang cukup penting sekaligus juga merupakan salah

satu narasumber dalam penelitian yang saya lakukan adalah Gunawan Maryanto

(penyusun naskah sekaligus sutradara dalam pementasan teater yang diteliti oleh

Sasanti).

Dalam tesis Sasanti, poin utama yang ia teliti adalah praktik teater yang

ditempatkan sebagai media komunikasi tandingan atas dominasi media massa. Atau hal

ini juga bisa ditafsirkan sebagai respon teater terhadap fenomena sosial yang

disebarluaskan secara masal oleh media massa. Dalam penelitian itu, yang ditonjolkan

oleh Sasanti adalah wacana bahwa teater bukan hanya berfungsi sebagai tontonan,

melainkan sebagai salah satu media komunikasi (wahana pengetahuan) yang diciptakan

melalui serangkaian riset dan dibahasakan melalui estetika teater. Secara implisit,

melalui tesisnya, Sasanti seolah ingin mengatakan bahwa teater merupakan media yang

jauh lebih baik dari pada media massa untuk menyampaikan fenomena sosial

(19)

rupa setelah menempuh proses observasi dan lamanya latihan sekaligus bahasa yang

dipergunakan untuk menyampaikan teks tersebut. Namun, sebagai media komunikasi,

teater jelas kalah telak dalam hal kecepatan dan jangkauan untuk menyampaikan berita

dibandingkan media massa seperti koran atau televisi.

Sayangnya, tesis Sasanti lebih banyak membahas fenomena Ponari dari pada

menganalisa proses penciptaan dan pertunjukan yang dilakukan oleh Teater Garasi.

Tentu saja, beberapa hal terkait dengan keaktoran jarang dibicarakan dalam tesis

tersebut. Sehingga, penelitian Sasanti merupakan penelitian yang sangat jauh berbeda

dengan penelitian yang saya susun ini.

Penelitian kedua yang saya ajukan dan merupakan penelitian (yang dilakukan oleh

senior saya) yang cukup membantu saya dalam mengkonsepsikan kerangka teori Lacan.

Penelitian tersebut disusun oleh Irfan Palippui dengan judul Pengalaman Subjektifitas

Religius Lewat Haji Bawa Karaeng (2013). Meskipun objek yang diteliti oleh Irfan merupakan objek penelitian yang sangat jauh berbeda dengan penelitian yang saya

lakukan, namun demikian sebagian besar konsep teori yang digunakan kurang lebih

sama terutama yang terkait dengan konsep sublimasi. Bedanya dengan penelitian ini,

jika Irfan mengeksplorasi bentuk sublimasi religiusitas dalam dan lewat haji Bawa

Karaeng, maka saya (berdasarkan objek penelitian yang berbeda) banyak membahas

bentuk sublimasi estetis atas pengalaman aktor dalam menempuh proses latihan hingga

bermain di atas panggung pertunjukan. Persamaannya, penelitian Irfan dan penelitian

yang saya lakukan merupakan penelitian yang berbicara mengenai jalan hidup yang

ditempuh manusia untuk menciptakan penanda baru.

Penelitian ketiga (lebih tepatnya adalah buku yang ditulis berdasarkan disertasi)

(20)

Dan Teater Mini Kata (2015) yang diterbitkan oleh Galang Pustaka atas kerjasama dengan Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Yang menarik perhatian saya, tulisan

tersebut merupakan tulisan yang mengupas kehidupan Rendra yang hidup dalam dunia

teater (sebagai seniman) dan dunia keseharian (sebagai bagian dari masyarakat). Meski

fokus tulisan tersebut adalah proses kreatif Rendra, Yudiaryani sedikit banyak

mengupas kehidupan Rendra dalam keseharian dengan pertimbangan bahwa ruang

sosial Rendra merupakan sumber kreativitas Rendra dalam berkesenian.

Secara umum, tulisan tersebut membahas Rendra dan karyanya, teater Mini Kata,

melalui beberapa hal; pertama Yudiaryani membaca Rendra dan Mini Kata melalui

perspektif teoritis analisis tekstual (teks dan konteks), kedua, Rendra dan Mini Kata

dibaca sebagai produksi seni pertunjukan, ketiga, Rendra dan Mini Kata dibaca sebagai

relasi intertekstual (pertemuan antara teater yang bercita rasa Indonesia dan Amerika),

keempat, Yudiaryani membaca proses kreatif Rendra, Mini Kata, dan Bengkel Teater,

kelima dekat kaitannya dengan yang keempat, Yudiaryani membaca proses kreatif

rendra, Mini Kata, dan nomor Bip Bop, dan yang terakhir Yudiaryani menarasikan

pemaknaannya atas kehadiran Rendra dan Mini Kata dalam teater modern Indonesia.

Namun demikian, meskipun ada kemiripan dalam beberapa hal (Yudiaryani

bagaimanapun juga telah meneliti kehidupan seniman teater dalam menjalani dunia

teater dan dunia keseharian), penelitian yang saya lakukan merupakan penelitian yang

bisa dibilang jauh berbeda. Pertama, dan tentu saja, objek material yang diteliti, kedua

perspektif yang dipergunakan untuk meneliti, dan ketiga adalah fokus wacana yang

dibicarakan. Dalam hal ini, yang menjadi poin pembahasan utama dalam penelitian saya

adalah saya ingin menunjukkan bahwa pengalaman aktor teater dalam menempuh

(21)

Penelitian lain (disertasi) yang saya tinjau adalah penelitian yang dilakukan oleh

Daniel Waycott Johnston. Penelitian tersebut berjudul Active Metaphysics: Acting as

Manual Philosophy or Phenomenological Interpretations of Acting Theory (2007). Penelitian tersebut merupakan kajian filsafat dengan pendekatan fenomenologi Martin

Heidegger. Sebagaimana tertera dalam judul tersebut, penelitian Johnston dimaksudkan

untuk mewacanakan aktor sebagai wujud konkret filsuf manual atau yang ia istilahkan

sebagai manual philosophy.

Johnston menyebut aktor sebagai filsuf manual berdasarkan pada penafsirannya

yang menyatakan bahwa akting merupakan suatu cara yang bisa digunakan untuk

mengungkapkan aspek eksistensi dan being. Fokus penelitian yang dilakukan oleh

Johnston ini berangkat dari dasar pemikiran Heidegger yang tertuang dalam Being and

Time. Beberapa konsep kunci dari pemikiran Heidegger yang dipakai Johnston dalam merumuskan pemikirannya adalah konsep tentang kebenaran (truth), Dasein (Being

There), Being in the world dan Being in itself. Saya tidak menerjemahkan istilah-istilah tersebut ke dalam Bahasa Indonesia karena dalam beberapa hal, padanan kata dalam

bahasa Indonesia menurut saya mengurangi kelenturan makna istilah-istilah tersebut.

Dalam tesisnya, Johnston menganalisa pemikiran tiga tokoh teater yang paling

berpengaruh dunia, yakni Constantin Stanislavsky, Antonin Artaud, dan Bertolt Brecht

dalam rangka untuk menguji aspek kebenaran eksistensial yang diusung oleh

fenomenologi Heidegger melalui proses penciptaan akting. Johnston menegaskan

bahwa ia tak bermaksud untuk menyandingkan gagasan Heidegger dengan pencapaian

aktor, akan tetapi dengan meneliti aktor dalam menciptakan kediriannya melalui akting,

(22)

dan Being in the world. Menurut Johnston, aktor teater merupakan perwujudan dari

abstraksi pemikiran Heidegger terkait dengan kebenaran.

Dalam tesisnya Johnston menyebutkan bahwa aktor merupakan filsuf manual atau

dengan kata lain aktor merupakan perwujudan dari filsafat manual. Akan tetapi,

Johnston menyatakan bahwa tidak semua aktor adalah filsuf manual. Hanya aktor-aktor

yang sesuai dengan kategori ideal tiga tokoh teater tersebutlah yang layak disebut

sebagai filsuf manual. Dengan kata lain, Stanislavsky, Artaud, dan Brecht merupakan

tokoh ideal yang layak disebut sebagai filsuf manual. Cara ketiga tokoh tersebut dalam

mengkonsepsikan ideal teater, ideal aktor, dan ideal kehidupan sudah dengan sendirinya

mengantar ketiga tokoh tersebut sebagai tokoh kunci yang namanya layak disandingkan

dengan pemikir-pemikir lain di bidang ilmu sosial. Sehingga, analisis Johnston dengan

pendekatan fenomenologi Heidegger terkesan sekedar mencocokkan atau

menyetarakan; ibarat Heidegger membuat sebuah teori, sebuah abstraksi tentang

kebenaran eksistensial kemanusiaan, Stanislavsky, Artaud, dan Brecht merupakan

model yang tepat karena bidang mereka adalah bidang penciptaan akting yang kaitan

mendasarnya adalah memperlihatkan perilaku manusia dalam dunianya sendiri.

Namun demikian, saya menemukan hal yang menarik dari penafsiran Johnston

yang menyatakan bahwa fenomena teater, atau yang tampak di panggung merupakan

fenomena sebagaimana adanya. Peristiwa di panggung bukanlah sebuah kepalsuan atau

sekedar representasi atas kenyataan, akan tetapi adalah kenyataan itu sendiri dengan

kewajaran yang tak bisa disamakan dengan kewajaran sehari-hari.

Penelitian berikutnya yang saya jadikan tinjauan adalah penelitian yang dilakukan

oleh Marian McCurdy yang berjudul Acting and Its refusal in Theatre and Film (2014).

(23)

(dalam film dan teater) atas pemahaman-pemahaman tertentu terkait dengan akting

tersebut. Temuan sekaligus gagasan menarik yang ditegaskan (kembali) oleh McCurdy

adalah fenomena peleburan makna antara akting dengan tidak akting. Pada pemahaman

umum yang akarnya berangkat dari pemahaman tradisional terkait dengan akting adalah

pemahaman yang menyatakan bahwa akting merupakan kepalsuan; suatu tindakan yang

tidak sungguh-sungguh, tidak mewakili kenyataan, atau dengan kata lain akting adalah

kepura-puraan yang lain dengan di keseharian yang mana perilaku manusia dimaknai

sebagai yang nyata. Pemahaman tersebut berdampak pada penilaian terhadap aktor yang

pada waktu itu dianggap sebagai manusia yang berbahaya, penghasut, pendusta.

Penelitian McCurdy menggunakan data-data yang bisa dibilang baru, yakni

produksi film dan teater di era kekinian (postmodern) yang mana muncul sebuah

paradox yang menyatakan bahwa dunia keseharian, dunia yang dianggap nyata ini

merupakan dunia yang penuh kepura-puraan dan kepalsuan; simulasi. Sementara, dunia

film dan teater merupakan dunia yang dijadikan sebagai ruang untuk menemukan

kenyataan yang bahkan di dunia ini akting (tindakan yang merepresentasikan

kebohongan) merupakan hal yang dihindari.

Jika di masa lalu akting merupakan hal yang ditolak karena akting yang dilakukan

aktor merupakan profesi yang dianggap berbahaya, McCurdy melalui investigasinya

justru menemukan bahwa di era saat ini para aktor justru menolak untuk akting.

Beberapa aktor yang diteliti oleh McCurdy menyatakan bahwa ketika mereka menolak

untuk melakukan adegan-adegan tertentu, mereka memang merasa bahwa tindakan

diadegan tersebut tidak membuat mereka nyaman; membuat mereka seperti sedang

melakukan kebohongan besar yang tidak sesuai kata hati (ideologi) mereka. Penelitian

(24)

gagasan bahwa seni akting yang dipahami sebagai kepalsuan justru bermakna

sebaliknya ketika dunia sehari-hari yang pada mulanya merupakan dunia nyata kini

menjadi dunia simulasi dimana kenyataan dan representasi kenyataan merupakan hal

yang lebur dan sulit untuk dikenali lagi.

Menurut saya penelitian McCurdy merupakan penelitian yang menarik meski

masih menyisakan beberapa hal yang saya anggap sebagai celah yang belum dianalisa

secara mendalam. McCurdy tidak secara mendalam meneliti mekanisme akting yang

dilakukan oleh aktor. McCurdy cenderung lebih mengeksplorasi sejarah yang

menyatakan bahwa akting merupakan hal yang ditolak oleh banyak pihak. Dengan

demikian, McCurdy terlalu cepat untuk menyatakan bahwa akting dalam film dan teater

merupakan akting yang justru lebih nyata dibanding dengan yang ada di keseharian.

Tinjauan pustaka berikutnya adalah penelitian literatur yang dilakukan oleh

Shosana Felman dalam rangka untuk mengeksplorasi wacana kegilaan. Lantas apa

kaitan wacana kegilaan dan literatur dengan penelitian ini (yang bertujuan untuk

menggali pengetahuan dari pengalaman hidup aktor teater)? Berangkat dari pembacaan

atas penelitian Felman dalam Writing and Madness, saya menemukan kesetaraan antara

teater dengan literatur; pemain teater dengan penulis. Kesetaraan tersebut merujuk pada

retorika; cara mengatakan sesuatu; cara mengartikulasikan dunianya. Dunia teater dan

literatur adalah dunia yang kurang lebih sama, yakni dunia fiksi. Namun relevansi yang

lebih penting atas penelitian Felman dengan penelitian yang saya lakukan adalah

Felman membaca sastra dengan perspektif Lacan dan sedikit banyak saya merasa

terbantu dengan cara yang ditunjukkan Felman melalui salah satu eksplorasinya dalam

satu buah esai yang berjudul Honore de Balzac: Madness, Ideology, and the Economy

(25)

Novel. Melalui tokoh Don Quixote, Felman menemukan hubungan antara kegilaan

dengan desire dengan bahasa; kegilaan Don Quixote adalah jalan untuk mengembalikan

desire (hasrat) pada bahasa (membahasakan desire). Kegilaan Don Quixote bermula dari penghayatannya atas fiksi yang ia baca.

Membaca fiksi, membaca naskah teater, atau menonton film, jika meminjam

pemikiran Felman dalam study kasusnya terkait dengan Don Quixote, merupakan

bentuk kegilaan. Fiksi merupakan hasrat, dan fiksi adalah sumber hasrat. Jika penulis

novel menggunakan novel sebagai petualangan atas hasratnya, atau cara dia

membahasakan hasrat, bagi Don Quixote, dirinya sendirilah kendaraan hasrat. Dalam

keaktoran, melalui aktor hasrat dalam naskah diartikulasikan dalam bentuk laku: akting.

Perbedaan antara aktor dan Don Quixote, aktor memiliki terminal untuk pemberhentian,

yakni panggung. Sementara, Don Quixote membawa kegilaannya hingga akhir

hayatnya.

E. Kerangka Teori

Thus Truth draws its guarantee from somewhere other than the Reality it concerns: it draws it from Speech. Just as it is from Speech that Truth receives the mark that instates it in a fictional structure.4

Untuk menjawab rumusan masalah yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya,

penelitian ini menggunakan teori sublimasi Lacanian yang dikonseptualisasikan ulang

oleh Marc De Kesel dalam bukunya yang berjudul Eros and Ethic: Reading Jaques

Lacan’s Seminar VII yang diterjemahkan oleh Sigi Jottkandt. Melalui konsep teori ini,

4

(26)

pengalaman hidup aktor teater ditempatkan sebagai pengalaman sublim; pengalaman

subjek berhadapan dengan das Ding sebagai cara untuk melihat symptom dari sudut

pandang yang lain. Pengalaman tersebut membuat subjek bisa menghadirkan diri

kepada liyan dalam situasi yang lain melalui sinthome. Dengan kata lain, sublimasi

membuat aktor bisa melampaui represi (memaknai symptom) yang berasal dari

konstruksi dunia simbolik (dunia keseharian).

Seseorang, dalam situasi normal (jika dilihat dari perspektif psikoanalisa

Lacanian) selalu ingin hadir bersama orang lain. Kehadiran seorang dalam masyarakat;

relasi seseorang dengan orang lain dalam sebuah kehidupan bermasyarakat, selalu

dimediasi oleh bahasa, konvensi-konvensi, dan aturan main yang berlaku untuk

mewujudkan kehidupan bersama. Artinya, untuk hadir bersama dengan yang lain,

seseorang tidak bisa semena-mena dalam berperilaku; seseorang harus rela merepresi

dirinya melalui Aturan/Hukum simbolik (Hukum-Sang-Ayah) dengan segala nilai-nilai

dan norma-norma yang berlaku; tentang baik dan buruk; tentang apa yang boleh

dilakukan dan apa yang dilarang.

Terkait dengan relasi seseorang (subjek) dengan hal-hal diluar dirinya, Lacan

secara rinci menjelaskannya dalam tiga fase, yakni: fase cermin, simbolik, dan real.

Tiga fase inilah tahapan yang harus dialami seseorang untuk menjadi subjek dalam

suatu kebudayaan tertentu. Melalui tiga fase ini, subjek kehilangan otentisitasnya

sebagai binatang. Sebagai gantinya, ia menjadi subjek kebudayaan; subjek yang harus

(27)

yang ia alami) melalui sistem budaya yang telah tersedia karena ia diinginkan demikian

sejak jauh-jauh hari sebelum ia dilahirkan5.

Dunia imajiner dalam teori Lacan juga disebut sebagai dunia cermin (fase

cermin); fase ini dimulai pertama-tama ketika sang anak memahami dirinya melalui

gambaran yang dipantulkan oleh cermin (atau sesuatu yang bersifat merefleksikan,

misalnya wajah ibunya). Fase cermin ini merupakan pengantar bagi anak untuk

memasuki dunia penandaan karena pada fase ini setidaknya sang anak sudah bisa

‘melihat’ dan mengidentifikasi diri (mengenali diri dengan cara berelasi dengan sesuatu

di luar dirinya). Mengandaikan sang anak berhadapan dengan cermin sebenarnya, maka

sang anak melihat bayangan dirinya melalui cermin; bayangan itu menimbulkan

pemaknaan atas dirinya (ego terbentuk, sang anak tahu siapa dirinya; “aku adalah

bayangan di cermin”). Mengandaikan bahwa cermin adalah orang lain, misalnya adalah

ibunya atau apa yang dikatakan ibunya, maka konsekuensinya adalah sang anak tahu

siapa dirinya: “aku adalah bagian dari ibuku, aku adalah kesenangan ibuku, aku adalah

anak ibuku, dsb.” Fase ini terus berlangsung dalam kehidupan subjek; subjek tidak

pernah selesai dalam mengidentifikasikan dirinya sebagaimana identifikasi tersebut

merupakan kepalsuan; bayangan di cermin hanya merupakan bayangan, ilusi, atau

sesuatu yang bukan benar-benar dirinya (sebatas sesuatu yang dikatakan liyan)6.

Dunia simbolik, di sisi lain, merupakan dunia yang terbentuk oleh sistem

penandaan atau relasi penandaan. Dalam arti luas, dunia simbolik ini bisa dipahami

sebagai kebudayaan, dunia material, dunia bahasa, dunia penandaan, atau dengan kata

lain, dunia yang menghadirkan subjek dalam relasi penandaan beserta

hukum-5

Konsepsi tersebut berdasarkan pembacaan atas penafsiran Hommer dalam membaca Lacan. Sean Hommer dalam bukunya yang berjudul Jaques Lacan, Taylor & Francis e-Library, 2005.

6

(28)

hukumnya. Dalam arti lain, dunia simbolik merupakan dunia yang membuat subjek bisa

mengartikulasikan hasratnya sekaligus dunia yang memberi batasan bagi subjek untuk

memperoleh kenikmatan atas hasratnya; dunia simbolik inilah yang bisa memberikan

pemenuhan dan kepuasan bagi subjek, namun di dunia ini subjek tidak mengalami

kepuasan yang sepenuhnya (terbatas(i)/terepresi).

Sedangkan dunia Real (das Ding/the Thing) adalah dunia yang ada tapi tidak ada;

kekosongan (hanya karena subjek belum tahu bagaimana mengatakannya dan tidak akan

pernah sepenuhnya bisa mengatakannya). Dimaknai demikian karena dunia ini

diandaikan berada dibalik bahasa atau dunia yang tertutupi oleh dunia simbolik (dunia

simbolik selalu berusaha membahasakan dunia ini, namun bahasa ini menjadi penutup

atau mengisyaratkan sesuatu dibalik tutup itu). Sekalinya subjek membuka tutup

bahasa, yang ditemui subjek hanyalah kekosongan. Di dunia yang kosong inilah subjek

kembali melihat dunia simboliknya (symptom-nya atau masa lalunya) dengan cara yang

lain. Dengan demikian subjek mampu menciptakan pemaknaan baru atas masa lalunya;

makna ini tak lain adalah sinthome (cara/bahasa yang dipinjam dari dunia simbolik

untuk mengatakan pengalaman subjek ketika berhadapan dengan di dunia Real dan

memandang kehidupannya dengan cara lain)7. Sehingga, dunia Real tetap kosong dan

sinthome menjadi penutup baru (bahasa/penanda baru) atas kekosongan dunia Real.

Ketiga fase pembentukan subjek tersebut hadir sebagai/dalam kebudayaan.

Sebagaimana subjek dan kebudayaan merupakan satu bagian yang utuh (tak ada subjek

tanpa kebudayaan dan sebaliknya) maka tak hanya kebudayaan yang serta merta

membentuk subjek; ada kalanya subjek bisa merubah kebudayaan (ketika subjek

membuka kekosongan yang ditutupi oleh material kebudayaan dan mengisi kekosongan

7

(29)

itu dengan penanda baru). Dalam praktiknya, kebudayaan tidak pernah berhenti di satu

titik. Kebudayaan senantiasa berkembang dengan segala perubahan aspeknya. Bagi

Lacan, perubahan ini (dan mula-mulanya sebelum ada perubahan) hanya mungkin

terjadi melalui sublimasi; peristiwa subjek membuka tabir bahasa (melewati batasan

bahasa), melihat kekosongan (berhadapan dengan das Ding), dan mengisi kekosongan

itu dengan penanda baru (sinthome)8. Lebih jauh terkait teori sublimasi dalam kaitannya dengan penelitian ini akan saya uraikan pada bagian selanjutnya.

1. Sublimasi

Sejalan dengan Freud, Lacan mengatakan bahwa kebudayaan terbentuk dan

berkembang dari proses sublimasi dengan tiga karakter; histeris (seni), obsesif (agama),

dan paranoia (pengetahuan). Namun apa pengertian dari sublimasi itu sendiri? Lacan

mengatakan (dengan cara yang sukar dipahami) bahwa sublimasi (berpijak dari relasi

objek) adalah to elevate the object to the dignity of Thing9. Salah satu kata kunci dari definisi tersebut adalah Thing yang merujuk pada das Ding atau the Real (kekosongan).

Sublimasi bisa dilihat dari konsepsi Lacan terkait relasi objek; definisi to elevate

the object to the dignity of Thing (untuk mengelevasi objek pada kehormatan Thing) menandai adanya subjek, objek (dalam dunia simbolik) dan Thing/das Ding yang saling

berelasi. Hal ini bisa dipahami lebih jelas dengan melihat teori subjek Lacan; dinamika

subjek ketika berada dalam dunia imajiner (dunia identifikasi), dunia simbolik (dunia

bahasa), dan dunia Real (dunia di luar bahasa).

8

Marc De Kesel dalam bukunya yang berjudulEros and Ethic: Reading Jaques Lacan’s Seminar VII Tr. by Sigi Jottkandt, State University Of New York: Sunny Press, 2009. Lihat

halaman 166. 9

(30)

Dunia simbolik menjamin pemenuhan bagi subjek dalam bentuk kenikmatan yang

bersifat represi; subjek memperoleh kenikmatan jika mau mengikuti

Hukum-Sang-Ayah. Atau, subjek memperoleh kenikmatan tetapi terbatas karena di dunia ini subjek

menemukan bahwa Liyan (yang diharapkan mampu memberikan kepuasan penuh)

ternyata juga memiliki lack. Dunia simbolik ini merupakan sebuah dilema; di satu sisi

hanya dunia ini yang mampu menjamin pemenuhan atau menyediakan objek hasrat bagi

subjek, namun pemenuhan yang didapat tidak benar-benar memuaskan sehingga subjek

tetap menjadi subjek hasrat. Terlebih lagi, dunia simbolik ini selalu dikuasai oleh

Hukum-Sang-Ayah yang merepresi subjek. Represi ini melahirkan symptom; penanda

yang sulit ditafsirkan sekaligus penanda yang menandai jouissance yang terepresi.

Represi ini membuat subjek mengalami neurosis patologis hanya jika subjek tak bisa

menafsirkan dan membahasakan symptomnya sendiri.10

Dunia Real hadir sebagai ‘intervensi’ atas dunia simbolik; karena dunia Real ini

merupakan kekosongan yang telah diisi/ditutupi oleh dunia simbolik, maka dunia Real

seolah-olah selalu memberontak pada keterbatasan bahasa dalam membahasakan dunia

Real ini. Dunia simbolik, alih-alih ingin membahasakan dunia Real, justru malah menutupi dunia Real karena keterbatasan yang dimiliki oleh dunia simbolik itu sendiri.

Satu-satunya jalan untuk menuju dunia Real adalah symptom. Dengan kata lain,

symptom yang terbentuk oleh represi dunia simbolik merupakan pintu bagi subjek untuk memasuki dunia Real; untuk mencari kenikmatan (atau sesuatu yang diduga dapat

memberikan kenikmatan penuh) dibalik tutup dunia simbolik. Namun begitu subjek

berhadapan dengan das Ding, yang ditemui subjek hanyalah kekosongan. Dalam situasi

10

Merujuk pada handout perkuliahan yang ditulis oleh St.Sunardi. Lihat juga tulisan

(31)

inilah subjek mampu melihat symptom dengan cara lain dan situasi ini menyediakan dua

kemungkinan; subjek mengalami pengalaman traumatis, atau subjek mengalami

pemenuhan tanpa pengalaman traumatis. Pemenuhan non-patologis ini terjadi jika

subjek mampu memaknai symptom dan melakukan transversing of fantasy11(mengatasi trauma atas kekosongan dunia Real) dengan hasil sinthome atau penanda baru untuk

menutup kekosongan dunia Real.

Dengan demikian, untuk mengelevasi objek pada tingkatan das Ding bisa

dipahami sebagai proses yang ditempuh subjek untuk memaknai symptom menjadi

sinthome dan menggunakan sinthome untuk menutup kekosongan pada das Ding. Dengan demikian, subjek mendapatkan kenikmatan tanpa represi, sekaligus tetap

berjarak pada dunia Real. Justru dengan adanya jarak tersebut maka hasrat subjek tidak

padam sehingga subjek tetap memiliki dorongan untuk menempuh kehidupannya

(dengan cara yang lebih segar setelah melalui pengalaman sublim).

Tentunya cara yang ditempuh oleh masing-masing subjek untuk menghadapi das

Ding tidak bisa disamakan. Pengalaman yang berbeda ini menghasilkan kebaruan dalam kebudayaan yang bisa dilihat melalui tiga hal; seni (sublimasi estetis), agama (sublimasi

religius), dan ilmu pengetahuan (sublimasi sains)12. Masing-masing karakter sublimasi

ini menghasilkan berbagai macam penanda baru yang membuat kebudayaan tidak

berhenti di satu titik.

2. Pengalaman Keaktoran Sebagai Pengalaman Sublim

Teater merupakan sebuah fenomena yang berubah dari masa ke masa melalui tiga

bentuk sublimasi yang dikonsepsikan oleh Lacan (estetis, religius, sains). Teater pada

11

Merujuk pada handout perkuliahan yang ditulis oleh St.Sunardi. 12

(32)

mulanya merupakan sebuah ritual dalam prosesi keagamaan, lantas dalam

perkembangannya, teater berdiri sebagai karya seni yang tidak semata-mata bertujuan

untuk menciptakan estetika, namun juga melahirkan pengetahuan atas kehidupan

(menciptakan perubahan sosial misalnya dalam bentuk teater yang lebih aplikatif13).

Keaktoran dalam hal ini dipandang sebagai jalan berkesenian dengan hasil akting

sebagai karya seninya. Sejalan dengan teater (sebagai wacana estetis/ sublimasi estetis),

pengalaman keaktoran ini lebih tepat ditempatkan sebagai sublimasi estetis. Akting

merupakan sinthome yang ditulis aktor melalui tubuhnya (sebagai subjek dorongan)

ketika aktor berhadapan dengan kekosongan. Proses ini bisa dilihat dari perkembangan

aktor sebagai subjek bahasa menuju subjek hasrat hingga menjadi subjek dorongan.

Untuk itu, pertama-tama perlu dilihat terlebih dahulu objek hasrat aktor yang membuat

dirinya menjadi subjek hasrat dan subjek dorongan.

Hasrat aktor semestinya adalah pentas; berdiri di atas panggung dan mencari

pengakuan (dilihat, diapresiasi, dimaknai oleh penonton) dengan melakukan akting.

Pada umumnya proses yang ditempuh aktor untuk menciptakan karya berpijak pada teks

atau naskah. Teks menjadi objek penciptaan (objek hasrat) bagi aktor. Dalam proses

awal identifikasi ini (ketika aktor berelasi dengan teks), aktor menjadi subjek bahasa

dengan menyenangi teks terlebih dahulu. Dengan demikian, teks bisa berfungsi sebagai

medium bagi subjek untuk berfantasi dan melihat (menikmati) symptomnya sendiri;

melihat masa lalu subjek yang berkenaan dengan (dan dibangkitkan oleh) teks.

Dalam pertunjukan yang berbasis naskah drama atau karya sastra misalnya, teks

tersebut merupakan sinthome penulis (hasil memaknai symptom atau menafsirkan

13

Lihat tulisan Monica Prendergast & Juliana Saxton dalam buku yang berjudul Applied

(33)

kehidupannya ketika berhadapan dengan das Ding) yang bisa disejajarkan dalam

puisi-puisi courtly lovers14 yang dirujuk Lacan sebagai model sublimasi estetis. Teks ini

merupakan ‘kecantikan’ yang dipergunakan untuk menutup das Ding. Ketika aktor

berhadapan dengan teks semacam ini, ada dua kemungkinan, pertama aktor puas

sebagai subjek bahasa, kedua aktor mengalami pengalaman lack sehingga menjadi

subjek hasrat (desiring subject). Teks bisa menjadi jalan bagi aktor untuk berhadapan

dengan das Ding (sebagaimana dialami oleh penulis) sejauh membaca itu sendiri bisa

disejajarkan dengan menulis; membaca merupakan proses menyusun kembali

penanda-penanda yang ada dalam struktur ketaksadaran subjek. Sehingga, membaca teks bisa

disejajarkan dengan melihat das Ding yang ditutupi oleh teks tersebut.

Posisi aktor sebagai subjek hasrat adalah ketika dalam proses membaca, aktor

tidak puas hanya dengan membaca; ia tergerak (menjadi subjek dorongan) untuk

mengatakan apa yang ia baca melalui bahasanya sendiri, yakni akting. Proses ini

merupakan proses aktor mencarikan bahasa baru atau bahasa pengganti naskah. Jalan

yang ditempuh aktor pada umumnya adalah melatih tubuh, emosi, dan pikiran (bisa

dilihat dalam buku-buku yang menjelaskan metode-metode untuk menjadi aktor).

Namun demikian, pada fase ini objek hasrat aktor telah bergeser; tubuh menjadi objek

hasrat pengganti naskah karena dalam akting, tubuh merupakan bahasa utama.

Berangkat dari pemahaman bahwa latihan tubuh bisa dimaknai sebagai

memperlebar jangkauan tubuh atau membongkar kembali kecenderungan tubuh atas

konstruksi budaya, maka latihan ini bisa disejajarkan dengan pengalaman sublim;

mengelevasi tubuh pada level das Ding. Pertama-tama, tubuh dilihat sebagai symptom.

Latihan tubuh bisa dilihat sebagai jalan aktor memaknai kembali tubuhnya dan

14

(34)

menyikapinya dengan cara baru. Dengan demikian aktor mampu untuk menyituasikan

tubuhnya dalam situasi yang lain, misalnya menyituasikan perilakunya menurut

karakter-karakter tertentu (berdasarkan model-model yang ia temukan dalam

kehidupannnya). Latihan-latihan dan eksplorasi yang dilakukan aktor nantinya akan

menjadi sinthome sekaligus sebagai pijakan untuk dihadirkan di panggung pertunjukan.

Melihat teater sebagai karya seni, pertunjukan teater menempatkan aktor sebagai

subjek sekaligus objek yang hadir di depan penonton. Jika pelukis mengisi kekosongan

das Ding dengan lukisan, pemusik dengan tatanan bunyi, penyair dengan kata-kata, maka dalam teater kekosongan das Ding diisi dengan kehadiran aktor sebagai bahasa

utama (atau keindahan sebagaimana semua jenis karya karya seni identik dengan istilah

tersebut). Bagi aktor sendiri, panggung teater merupakan dunia untuk menghadirkan

dirinya dengan cara lain. Kadangkala perilaku aktor di panggung lebih menarik daripada

teks yang mereka sampaikan. Panggung teater mampu memberikan kenikmatan dengan

cara melarang aktor terpaku pada teks; aktor justru dipersilahkan menjadi subjek atas

tubuhnya (diberi kebebasan untuk melakukan improvisasi; merespon segala situasi yang

barangkali belum pernah ada saat latihan). Dengan demikian, panggung teater ini

mampu memberikan kenikmatan pada subjek tanpa melalui represi.

Secara keseluruhan, proses yang ditempuh para aktor sejak berhadapan dengan

naskah hingga meninggalkan panggung pertunjukan merupakan pengalaman yang

membekas dan memberikan kebaruan bagi mereka sendiri (khususnya) dan orang lain

(umumnya) untuk menempuh kehidupan setelahnya. Setidaknya, bagi aktor,

pengalaman menempuh proses penciptaan teater membuat hidup mereka berjarak

dengan dunia keseharian (dalam artian mereka memiliki cara untuk tidak begitu saja

(35)

dengan dunia Real (sehingga mereka tetap menjadi desiring subject tanpa harus

mengalami trauma dan represi). Selama para aktor tetap berproses, teater menjadi

medium bagi mereka untuk terus-menerus memaknai symptom mereka, terus menerus

melampaui batas-batas yang mereka miliki sebagai manusia karena dengan cara itulah

mereka berdialektika dengan kehidupan yang mereka hadapi; tidak sebatas sebagai

subjek bahasa melainkan sebagai subjek atas tubuh mereka sendiri.

F. Metode Penelitian

Sebagaimana telah dijelaskan di bagian latar belakang, penelitian ini merupakan

penelitian pengalaman hidup para aktor teater di Yogyakarta. Dua hal yang menjadi

fokus dalam penelitian ini adalah, pertama meneliti pengalaman aktor teater dalam

proses penciptaan pertunjukan, dan kedua meneliti pengalaman aktor teater dalam

menyikapi kehidupan sehari-hari.

Penelitian ini secara formal saya mulai sejak tahun 2013, dan selesai pada tahun

2015. Pemilihan narasumber dan proses wawancara saya lakukan pada pertengahan

tahun 2014 hingga bulan Juni 2015. Namun saya tidak merasa terlalu menyia-nyiakan

waktu sejak 2013 hingga pertengahan tahun (Mei) 2014 karena pada waktu itu saya

terlibat beberapa proses dengan beberapa narasumber penelitian ini dan saya memaknai

keterlibatan saya dalam proses tersebut sebagai salah satu bentuk metode observasi.

Namun, secara non-formal, data yang saya peroleh dalam penelitian ini

merupakan pengetahuan yang saya dapat sejak lama. Perkenalan saya dengan keaktoran

dan teater dimulai sejak tahun 2005; pada waktu itu saya mulai tinggal di Yogyakarta

(36)

dan berproses bersama Gunawan Maryanto dan Tita Dian Wulan Sari selama kurang

lebih 7 bulan di program Actor Studio yang diselenggarakan oleh Teater Garasi. Tahun

2010 saya berkenalan dan berproses bersama Nunung Deni Puspita Sari di Padepokan

Seni Bagong Kussudihardja yang berlanjut hingga tahun 2012. Pada awal tahun 2014,

saya bertemu dengan Andika Ananda dan melakukan sebuah proses penciptaan

bersama. Melalui proses tersebut saya juga sempat bertemu dan kenal secara lebih dekat

dengan Tony Broer (sosok yang sebelum itu saya pandang sebagai sosok yang angker

dan menyeramkan). Dan pertengahan tahun 2014 itu akhirnya saya ikut latihan bersama

Tony Broer sebagai ‘modus’ untuk mencari data sekaligus mengobati penasaran saya

atas apa kata orang:“Kalau mau dihajar fisiknya ya ikut latihan sama Bang Broer!”. Di

tahun ini pula saya berkenalan dengan Mbah Tohir, sosok tua yang tak pernah menyerah

dalam berteater. Dan pada tahun 2015, akhirnya saya sowan pada salah satu legenda

yang tersisa dari Bengkel Teater Rendra, yakni Bapak Untung Basuki.

Nama-nama yang telah saya sebutkan adalah nama-nama para aktor yang berbaik

hati mau menjadi narasumber dalam penelitian ini. Kecuali Mbah Tohir dan Pak Untung

Basuki, para aktor lain adalah para aktor yang (semoga) saya kenal dengan baik; saya

kenal tidak sebatas melalui obrolan, melainkan bersama-sama dalam proses

bersakit-sakit dahulu sebelum pentas kemudian.

Data primer yang menjadi objek penelitian ini adalah data-data yang saya peroleh

melalui wawancara. Pada tahun 2014, saya melakukan wawancara kepada Tita Dian

Wulan Sari, Nunung Deni Puspita Sari, Andika Ananda, dan Tony Broer dan pada

tahun 2015 saya melakukan wawancara dengan Mbah Tohir (Sutohir), Pak Untung

Basuki, dan (akhirnya) Gunawan Maryanto (seseorang yang berhasil dengan baik

(37)

hingga saat ini). Di samping itu, teks-teks lain yang menjadi pelengkap dan menjadi

bekal untuk membuat narasi merupakan catatan-catatan observasi yang saya peroleh

baik dengan cara mengikuti proses latihan ataupun berdasarkan pengamatan atas proses

yang ditempuh oleh para narasumber.

Pemilihan nama-nama para aktor tersebut sebagai narasumber dalam penelitian ini

berdasarkan ketertarikan saya atas gagasan, semangat, dan sepak terjang mereka di

dunia teater. Tiga aktor seperti Mbah Tohir, Untung Basuki, dan Tony Broer merupakan

aktor yang bisa dibilang telah banyak makan asam garam di dunia teater (saya

kategorikan sebagai angkatan lama). Sementara tiga aktor lain seperti Tita Dian Wulan

Sari, Nunung Deni Puspita Sari, dan Andika Ananda merupakan angkatan muda yang

telah berteater cukup lama dan belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti berteater.

Justru hingga saat ini, mereka masih bersemangat untuk melakukan berbagai macam

penciptaan teater. Gunawan Maryanto, di sisi lain, jika dilihat dari segi umur merupakan

tokoh yang berada di antara angkatan lama dan angkatan muda; ia kenal baik dengan

pendahulunya sekaligus dekat dengan para pelaku muda. Dalam penelitian ini, sosok

Gunawan Maryanto merupakan salah satu mata kunci yang memberikan banyak

informasi mengenai teater khususnya dalam bidang keaktoran.

Kenapa saya tidak memilih tokoh-tokoh lain yang notabene memiliki nama besar

dan telah ‘sukses’ berteater untuk menjadi narasumber dalam penelitian ini? Tokoh

-tokoh besar dan bisa dibilang sukses dalam berteater barangkali tidak diragukan lagi

telah mengunyah segudang pengalaman dan pengetahuan sehingga mereka berhasil dan

bertahan atau malah ada yang menjadi penyokong perteateran di Yogyakarta. Namun

demikian, saya lebih tertarik untuk meneliti orang-orang yang di mata saya

(38)

Tentunya saya juga mempertimbangkan hal lain, yakni di mata saya para aktor yang

menjadi narasumber dalam penelitian ini merupakan orang-orang yang hidupnya

sederhana (jika dilihat dari perspektif ekonomi). Justru karena itulah saya menangkap

gairah hidup yang luar biasa ketika mereka berteater: membuat karya yang ‘bukan

bertujuan sebagai mata pencaharian’ meskipun pada praktiknya kadang-kadang mereka

mendapatkan honor sekedarnya.

Tentunya banyak sekali aktor di Yogyakarta yang memiliki kategori seperti yang

telah saya paparkan tersebut. Akan tetapi, sebagai batasan saya hanya memilih beberapa

aktor (dari angkatan tua, angkatan muda, dan di antara kedua angkatan tersebut) yang

saya kira cukup sebagai model dan informan untuk menunjukkan bahwa teater bukan

semata-mata media hiburan, informasi, dan kritik, melainkan sebagai media yang

penting untuk membentuk subjek sebagaimana fokus dalam penelitian ini adalah

meneliti pengalaman aktor sebagai pengalaman sublimasi; pengalaman subjek yang tak

mau begitu saja menjadi subjek bahasa, melainkan subjek yang terus menerus

berdialektika dengan bahasa.

Adapun jenis data yang saya narasikan dalam bab dua adalah verbatim wawancara

(yang saya rekam dengan media recorder), foto (yang saya dapatkan dari koleksi para

aktor dan fotografer lain yang telah saya sebutkan namanya dalam narasi), dan refleksi

atas segala pengetahuan yang saya peroleh selama kurang lebih 9 tahun sebagai pelaku

teater (aktor, sutradara, pendamping sekaligus pelatih di UKM Teater Seriboe Djendela

Universitas Sanata Dharma, dan penata artistik).

Dari seluruh data yang berhasil dikumpulkan saya narasikan dalam bab II.

Data-data tersebut saya pilah dan pilih berdasarkan rumusan masalah yang saya jadikan acuan

(39)

analisis dengan menggunakan perspektif psikoanalisa Lacanian terkait dengan teori

subjek dan sublimasi dengan tahap-tahap analisa seperti yang telah saya paparkan pada

bagian kerangka teori.

G. Skema Penelitian

Penelitian ini dibagi menjadi empat bab. Bab I dalam penelitian ini berisikan

pendahuluan yang melingkupi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,

tinjauan pustaka, kerangka teoritis, metode penelitian dan skema penelitian.

Bab II menarasikan pengalaman berteater para aktor dalam menyikapi dan

menghayati teater mereka masing-masing. Bab II ini dinarasikan menjadi lima sub-bab;

yakni 1. Perjalanan Menjadi Aktor: Perjalanan Melampaui Batasan, 2. Menghayati

Peran: Menjadi Orang Lain, 3. Menjalani Keseharian, 4. Memaknai Akting: Akting di

Panggung Teater dan Panggung Keseharian dan 5. Teater: Antara Kesenangan,

Kegelisahan, dan Kegilaan Dalam Kehidupan.

Bab III merupakan analisis dari data yang telah dinarasikan dalam bab II. Analisis

yang dilakukan dalam bab III ini secara garis besar menempatkan pengalaman aktor

sebagai pengalaman sublim menurut perspektif Lacan. Bab III ini dibagi menjadi dua

sub-bab, yaitu 1. Membaca Penghayatan Aktor Melalui Perspektif Teori Subjek

Lacanian, 2. Menjalani Kehidupan Dua Dunia. Bab IV merupakan penutup dari

(40)

BAB II

MELEWATI BATAS-BATAS KEHIDUPAN DENGAN

TEATER

Bab II ini menarasikan pengalaman-pengalaman hidup para aktor yang menjadi

narasumber dalam penelitian ini. Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan

dalam bab I, pengalaman-pengalaman yang dinarasikan dalam bab ini mencangkup

pengalaman latihan, pengalaman pentas dan pengalaman hidup dalam bermasyarakat.

Singkat kata, pengalaman-pengalaman yang dinarasikan dalam bab ini merupakan

pengalaman sublim yang akan dianalisis lebih jauh dalam bab III.

Pengalaman-pengalaman para aktor di bab ini dinarasikan dalam beberapa bagian;

bagian pertama menarasikan proses yang ditempuh para aktor dalam menjalani latihan,

bagian kedua menarasikan pengalaman para aktor ketika berada di atas panggung,

bagian ketiga menarasikan cerita para aktor ketika mereka menjalani dunia keseharian,

bagian keempat menarasikan konsepsi para aktor terhadap keaktoran yang mereka

jalani, dan bagian kelima menarasikan pemaknaan para aktor terhadap teater yang

mereka jalani.

A. Perjalanan Menjadi Aktor: Perjalanan Melampaui Batasan

Apa yang harus dilampaui oleh seorang aktor? Para aktor dalam penelitian ini memiliki

penekanan yang kurang lebih berbeda. Perbedaan ini terletak pada jenis teater yang

sedang mereka tekuni. Secara garis besar, ada tiga hal mendasar yang selalu dilatih terus

(41)

Tony Broer15bersikeras untuk melatih tubuhnya setiap hari tanpa peduli apakah ia

akan pentas atau tidak; latihan lebih penting dibandingkan dengan pentas. Lebih jauh

dari itu, dia ingin membebaskan tubuh dari belenggu pikiran. Pada wawancara yang

saya lakukan bersama Tony Broer, dia mengatakan: “Tubuh kita tidak pernah capek,

pikiran kitalah yang sebenarnya capek dan memberikan imaji atas rasa capek. Pikiran

kita adalah musuh besar saat kita sedang berlatih tubuh!”16Namun dari pernyataan itu, bukannya kemudian Tony Broer tidak pernah merasa capek. Maksud dari yang ia

katakan adalah, dengan menciptakan konsepsi yang demikian, tubuh akan terpancing

untuk terus-menerus melawan capek, misalnya dengan latihan lari menempuh jarak

yang bisa dibilang sangat jauh untuk ukuran latihan teater. Tony Broer melanjutkan:

“Nah maksudnya lari jauh itu gimana itu? Itu maksdunya mau memancing

membunuh pikiran kita. Jadi hasilnya itu capeknya capek tubuh, bukan capek pikiran. Kalau capek pikiran kan: waduh, sampai malioboro jauh gini nih... nah latihan-latihan mengabaikan pikiran itu ada di latihan-latihan gue.

Ya itu dengan tujuan untuk mencapai tubuh sebagai gagasan.”17

Dari serangkaian latihan yang sering dia lakukan bersama dengan

murid-muridnya, sebagai sebuah metode, Tony Broer membagi latihannya menjadi tiga sesi,

yakni tubuh fisik, tubuh tema, dan tubuh teks. Ketiganya merupakan satu rangkaian

yang sedang digeluti oleh Tony Broer untuk mewujudkan konsepsinya bahwa tubuh

15

(42)

adalah gagasan; sebagai pertunjukan, tubuh bukan lagi media penyampai pesan,

melainkan tubuh adalah pesan itu sendiri.

Dalam latihan tubuh fisik, Tony Broer berusaha untuk membongkar

batasan-batasan fisik yang ia miliki, yakni batasan-batasan-batasan-batasan capek, batasan-batasan-batasan-batasan takut, dan

batasan-batasan malu. Untuk menguji tubuhnya seringkali dia melakukan latihan di

jalanan, di got, di sawah, di sungai, dan berbagai tempat lain yang jauh dari rasa

nyaman bagi tubuh dalam rangka untuk melebarkan dimensi yang dimiliki oleh tubuh.

Sementara tubuh tema adalah eksplorasi tubuh dengan bantuan imajinasi, misalnya

tubuh kematian, tubuh hewan, tubuh perang, dsb. Selanjutnya, tubuh teks merupakan

presentasi dari tubuh yang telah dilatih sedemikian rupa. Bentuk-bentuk latihan yang

membekas di tubuh inilah yang dinamai Tony Broer sebagai tubuh adalah gagasan.

Gambar 1:

Dok. Pribadi milik Tony Broer

Yang menarik dari pernyataan Tony Broer (bahwa tubuh adalah gagasan) adalah

konsepsinya yang ingin melawan wacana-wacana yang sebelumnya menjadi

(43)

“Tubuh itu sudah gagasan. Jadi ini bukan lagi pantomim, bukan lagi tari.

Ini adalah tafsir kembali tubuh. Kenapa kok kayak gini, ya ini adalah misteri tubuh yang sebenarnya masih menyimpan persoalan, masih harus di kupas. Jadi kalau loe tadi tanya bagaimana menghadapinya ya pasti ada benturan. Ya yang gue tawarkan ini kan bertolak belakang; di sekolah, tubuh itu alat untuk menyampaikan gagasan. Tubuh selalu digunakan untuk menyampaikan gagasan. Sehingga dalam kesenian itu ada wacana bahwa

kesenian itu harus menyampaikan pesan.”18

Dalam hal tubuh, Gunawan Maryanto19 juga menekankan hal yang serupa. Dalam

proses penciptaan pentas yang berjudul Waktu Batu, latihan tubuh yang ikut dijalani

oleh Gunawan Maryanto merupakan latihan yang bisa dibilang ekstrim dan beresiko.

Proses penciptaannya memakan waktu yang cukup pajang yakni 4 tahun yang meliputi

serangkaian penelitian untuk penyusunan teks, pengujian teks, hingga proses esekusi

dalam bentuk latihan. Dia bercerita:

“Sejauh ini yang paling gila-gilaan itu pas Waktu Batu; itu sampai ke gunung, sampai tinggal di Banyuwangi, sampai punya pengalaman-pengalaman yang dekat dengan kematian. Waktu itu kan di tebing, sementara kita harus memejamkan mata dan lain sebagainya, jadi memang itu resikonya cukup tinggi. Pendakiannya malam, kita sama sekali nggak tahu jalan, sejauh ini itu sih. Kalau di tingkatan tubuh ya, yang paling gila ya hampir semuanya sih, terutama yang berbasis tubuh, karena kita harus melebarkan rentang tubuh; menjelajahi dari yang daily, extra-daily, itu semua harus dijelajahi. Nah yang paling gila ya di Waktu Batu itu. Itu lama

banget latihannya. Prosesnya sendiri hampir 4 tahun kan.”20

Dalam konteks penciptaan peran yang demikian, latihan fisik yang dilakukan

sedemikian rupa berbeda konteks dengan latihan-latihan untuk mempercantik bentuk

tubuh, atau menciptakan gestur tubuh ‘ideal’, namun latihan-latihan tersebut mengarah

pada peningkatan kapasitas tubuh; kekuatan, kelincahan, kelenturan, keluwesan,

18

Wawancara dengan Tony Broer pada tanggal 3 Agustus 2014 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta.

19

Gunawan Maryanto adalah seorang aktor, sutradara, dan penulis yang masih aktif berkesenian di Garasi Instute of Performance (dulunya adalah Teater Garasi).

20

(44)

ketrampilan, dan lain sebagainya. Jikalau kemudian aktor memiliki tubuh yang sexy

setelah mengalami latihan yang sedemikian rupa, hal itu hanyalah efek samping. Poin

utamanya dalam latihan tersebut adalah untuk memperlebar dimensi jangkauan tubuh;

fleksibilitas tubuh aktor memang harus dilatih dalam rangka sebagai wadah, sebagai

medium, karena latar belakang sejarah kebertubuhan aktor bisa jadi sangat jauh dengan

latar belakang sosial karakter yang akan dimainkan. Oleh sebab itulah, dalam rangka

menciptakan kewajaran peran, tubuh aktor haruslah siap terlebih dahulu.

Menurut Gunawan Maryanto, meski aktor memainkan pementasan realis dengan

ukuran kewajaran sehari-hari, aktor masih akan tetap dituntut untuk melebarkan rentang

tubuhnya. Kesiapan tubuh tidak hanya sebagai wadah untuk karakter yang akan

dimainkan, akan tetapi di panggung teater bagaimanapun juga seorang aktor harus

melakukan segala aktivitas dengan tensi yang lebih dibandingkan dengan aktivitas di

keseharian, misalnya, proyeksi suara aktor yang sedang melisankan dialognya minimal

harus sampai pada penonton yang duduk di barisan paling belakang. Dengan demikian,

tak heran jika latihan keaktoran membutuhkan waktu yang sangat lama.

Selain harus melampaui batasan tubuh, dalam bentuk yang berbeda, bagi Pak

Untung Basuki21, seorang aktor harus mengalahkan rasa malu. Pada usianya yang tak

lagi muda, Pak Untung Basuki kadang berangkat latihan sambil berteriak-teriak di jalan

dalam rangka menghafalkan dialog. Beliau tak peduli jikalau ada orang lain yang

terheran-heran melihat beliau bertingkah seperti itu di jalan. “Latihan teater ya siap

-siap menjadi gila,”22 kata beliau dalam wawancara yang saya lakukan. Gila dalam

21

Untung Basuki merupakan salah satu tokoh senior dalam teater Indonesia saat ini. Ia pernah berproses bersama Rendra dengan Bengkel Teaternya dan saat ini ia masih aktif menjadi pengurus Sanggar Bambu. Selain berteater, ia juga dikenal sebagai musisi, penulis puisi, dan pelukis.

22

Gambar

Gambar 1:Dok. Pribadi milik Tony Broer
Pentas Dramatik Reading Oedipus Sang Raja; Pak Untung (kanan) Dok. Novita Budi LestariGambar 2:24
Andika (bawah) dalamGambar 3: Panji Amabar Pasir. Dok. Teater Kalanari31
Gambar 4:Dok. Agaton Hutama (Teater Seriboe Djendela)
+6

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kawasan wisata Danau Linouw Tomohon Sulawesi Utara berada pada strategi pertumbuhan konsentrasi melalui integrasi vertikal atau pada

Berdasarkan hasil wawancara diatas dan observasi dilapangan bahwa dalam penyaluran komunikasi berupa informasi dan penjelasan kepada pasien emergency dilakukan dengan

Anda tidak perlu menggali atau menembok tanah untuk membuat kolam, tetapi cukup dengan membuat kerangka dari kayu, lalu menutupnya dengan plastik atau terpal, alhasil kolam sudah

Identifikasi senyawa golongan tanin penotolan ekstrak etil asetat konsentrasi 25000 µg/ml pada KLT menggunakan fase diam silika gel F254 dan fase gerak n-heksan : etil asetat

Pertama, hu- kuman mati atau tembak mati, apabila ko- rupsi ini dilakukan dalam jumlah yang besar (al-sarîqah al-qubrâ) yang dapat mengakibat- kan terganggunya

mengakibatkan waktu pengembalian biaya investasi tidak dapat mencapai target yang direncanakan yaitu pada tanggal 10 Oktober 2009 dan periode pengembalian dengan

Menurut tafsiran kami hakekat keeratannya itu mungkin peralihan hak yang abadi, yaitu apabila dalam jual gadai sipemilik tanah semula tidak mampu (tidak sanggup) untuk