ABSTRAK
Aktor merupakan jantung dari pertunjukan teater. Tak jarang para aktor teater melakukan serangkaian proses yang berat dan panjang hanya untuk mementaskan pertunjukan yang berdurasi kurang dari dua jam. Biasanya mereka juga mengorbankan banyak hal untuk proses yang sedang di tempuh. Jika dinilai dengan uang yang mereka dapatkan sebagai honor pentas, jelas penghasilan tersebut tidak setimpal. Bahkan, mereka kadang-kadang tidak mendapat uang atau justru malah nombok. Namun demikian, mereka tetap berteater.
Fenomena tersebut mendorong saya untuk melakukan penelitian ini. Seiring dengan proses penarasian data dan analisis, ditemukan bahwa ada tiga hal mendasar yang membuat para aktor tetap berteater, yakni kesenangan, pengetahuan, dan keyakinan. Tentunya ketiga hal ini merupakan modal bagi mereka untuk terus survive baik dalam berteater atau menjalani kehidupan sehari-hari.
Secara keseluruhan, fenomena tersebut dianalisa dengan menggunakan perspektif psikoanalisa Lacanian. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, ditemukan bahwa hasrat para aktor (selain bahwa pada dasarnya ingin hadir di depan penonton/liyan) muncul atas pengalaman mereka berhadapan dengan das Ding/kekosongan dibalik teks atau wacana-wacana yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari (kekosongan dibalik material penandaan di dunia simbolik). Hasrat ini sekaligus menjadi dorongan bagi mereka untuk menempuh proses penciptaan yang berawal dari identifikasi (memaknai symptom) hingga proses penciptaan penanda-penanda baru (sinthome). Pengalaman yang ditempuh aktor dalam proses penciptaan hingga pementasan merupakan pengalaman sublimasi.
ABSTRACT
Actors are the heart of the theatre performance. They do hard and long process and sometimes they sacrifice a lot of things to create less than two hours performance theatre in common. Comparing to the amount of money they got as fee, clearly that income is unequal and even they sometimes do not get any money. On the other hand, they used their own money quite often for the performance needs instead of obtaining money. However, they still again and again create theatre performance.
This phenomenon forces me to do this research. In accordance to the process of narating the data and analysis, I find out three fundamental things that keep actors continually in theatre process, those are pleasure, knowledge, and faith. Certainly, those things are their capital to survive in both theatre or everyday life.
Over all, those phenomenon are analyzed by using Lacanian psychoanalysis. Based
from the analysis, it is found that the actors’ desire (besides the fact that their basic
desire is to present in front of audiences/other) stemp from their experiences seeing das Ding/the void of texts or discourses they face in everyday life (the void behind the material signification of the simbolic world). This desire becomes drive for them to go through the process which is began from identification (understanding their symptom) to the creating process of new signifiers (sinthome). The actors’ process creating the
performance theatre is sublimation experience.
TEATRIKALISASI KEHIDUPAN:
STUDI TENTANG PENGALAMAN 7 AKTOR TEATER
YOGYAKARTA DALAM MENCIPTA SINTHOME
DI DUNIA PANGGUNG DAN KESEHARIAN
Tesis
Untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Magister Humaniora (M. Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma
Oleh:
Doni Agung Setiawan 116322010
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma
KATA PENGANTAR
Jalan keaktoran yang telah saya tekuni hingga saat ini pada akhirnya mengantarkan saya pada proses yang lain; yakni sebuah proses (yang tak kalah gawat dengan proses teater) untuk menuliskan kembali pengalaman-pengalaman para aktor teater dalam meyakini dan menjalani teater mereka masing-masing.
Proses penulisan ini tak sanggup saya lakukan seorang diri; ada banyak pihak yang baik secara langsung atau tidak langgung turut berkontribusi dalam proses penulisan tesis ini. Untuk itu dalam kata pengantar ini, pertama-tama saya mengucapkan banyak terimakasih kepada para aktor yang telah meluangkan waktunya untuk menceritakan pengalaman-pengalaman mereka; Gunawan Maryanto,Tony Broer, Untung Basuki, Sutohir, Andika Ananda, Nunung Deni Puspita, dan Tita Dian Wulan Sari.
Ucapan terimakasih sebesar-besarnya saya tujukan kepada Bapak St. Sunardi selaku guru sekaligus sutradara yang menyutradarai saya dalam penulisan tesis ini; terimakasih banyak atas petunjuk, pengetahuan dan kesabarannya dalam membimbing ketidaktahuan saya ini.
Juga kepada Romo Banar (yang telah membuat saya masuk IRB), Mbak Desi (yang ikut-ikutan mumet dengan nasib saya), Romo Beny, dan para dosen IRB lain yang tak tersebutkan namanya, saya mengucapkan banyak sekali terimakasih atas segala pengetahuan yang dibagikan kepada saya.
Terimakasih banyak kepada kawan-kawan tercinta, Tj, Gedheg, Agathon, Lamser, Muji, Arham, Frans, Vini, Ani, Zuhdi, Padmo, dan tentu saja banyak yang tak tersebut namanya atas kehidupan dan kebingungan yang warna-warni.
Terimakasih banyak kepada Teater Seriboe Djendela dan Teater Garasi yang menjadi pintu masuk bagi saya untuk memasuki dunia fantasi ini.
Terimakasih secara khusus saya persembahkan kepada Untuk Bapak-Ibuk (yang tak henti-henti berdo’a buat saya agar cepat lulus), Mbak Yu, Kang Mas, dan Lintang
Wahyu atas segala dukungan yang telah diberikan kepada saya dalam menjalani proses kehidupan ini. Juga, untuk belahan jiwaku, Novita Budi Lestari yang entah bagaimana caranya selalu membuatku hidup berkali-kali (aku yakin kita akan hidup berkali-kali).
ABSTRAK
Aktor merupakan jantung dari pertunjukan teater. Tak jarang para aktor teater melakukan serangkaian proses yang berat dan panjang hanya untuk mementaskan pertunjukan yang berdurasi kurang dari dua jam. Biasanya mereka juga mengorbankan banyak hal untuk proses yang sedang di tempuh. Jika dinilai dengan uang yang mereka dapatkan sebagai honor pentas, jelas penghasilan tersebut tidak setimpal. Bahkan, mereka kadang-kadang tidak mendapat uang atau justru malah nombok. Namun demikian, mereka tetap berteater.
Fenomena tersebut mendorong saya untuk melakukan penelitian ini. Seiring dengan proses penarasian data dan analisis, ditemukan bahwa ada tiga hal mendasar yang membuat para aktor tetap berteater, yakni kesenangan, pengetahuan, dan keyakinan. Tentunya ketiga hal ini merupakan modal bagi mereka untuk terus survive baik dalam berteater atau menjalani kehidupan sehari-hari.
Secara keseluruhan, fenomena tersebut dianalisa dengan menggunakan perspektif psikoanalisa Lacanian. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, ditemukan bahwa hasrat para aktor (selain bahwa pada dasarnya ingin hadir di depan penonton/liyan) muncul atas pengalaman mereka berhadapan dengan das Ding/kekosongan dibalik teks atau wacana-wacana yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari (kekosongan dibalik material penandaan di dunia simbolik). Hasrat ini sekaligus menjadi dorongan bagi mereka untuk menempuh proses penciptaan yang berawal dari identifikasi (memaknai symptom) hingga proses penciptaan penanda-penanda baru (sinthome). Pengalaman yang ditempuh aktor dalam proses penciptaan hingga pementasan merupakan pengalaman sublimasi.
ABSTRACT
Actors are the heart of the theatre performance. They do hard and long process and sometimes they sacrifice a lot of things to create less than two hours performance theatre in common. Comparing to the amount of money they got as fee, clearly that income is unequal and even they sometimes do not get any money. On the other hand, they used their own money quite often for the performance needs instead of obtaining money. However, they still again and again create theatre performance.
This phenomenon forces me to do this research. In accordance to the process of narating the data and analysis, I find out three fundamental things that keep actors continually in theatre process, those are pleasure, knowledge, and faith. Certainly, those things are their capital to survive in both theatre or everyday life.
Over all, those phenomenon are analyzed by using Lacanian psychoanalysis. Based from the analysis, it is found that the actors’ desire (besides the fact that their basic
desire is to present in front of audiences/other) stemp from their experiences seeing das Ding/the void of texts or discourses they face in everyday life (the void behind the material signification of the simbolic world). This desire becomes drive for them to go through the process which is began from identification (understanding their symptom) to the creating process of new signifiers (sinthome). The actors’ process creating the performance theatre is sublimation experience.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...i
HALAMAN PERSETUJUAN...ii
HALAMAN PENGESAHAN...iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v
KATA PENGANTAR ...vi
ABSTRAK ...vii
ABSTRACT...viii
DAFTAR ISI...ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 5
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian... 5
D. Tinjauan Pustaka ... 6
E. Kerangka Teori ... 13
1. Teori Sublimasi ... 17
2. Pengalaman Keaktoran Sebagai Pengalaman Sublim... 19
F. Metode Penelitian ... 23
G. Skema Penulisan ... 27
BAB II MELEWATI BATAS-BATAS KEHIDUPAN MELALUI TEATER ... 28
A. Perjalanan Menjadi Aktor: Perjalanan Melampaui Batasan ... 28
B. Menghayati Peran: Menjadi Orang Lain ... 41
C. Menjalani Keseharian ... 59
D. Memaknai Akting: Akting di Panggung Teater dan Panggung Keseharian ... 67
E. Teater: Antara Kesenangan, Kegelisahan, dan Kegilaan Dalam Kehidupan ... 71
BAB III RE-KREASI KEHIDUPAN MELALUI TEATER ... 82
A. Membaca Penghayatan Aktor Melalui Perspektif Teori Subjek Lacanian ... 83
2. Berpijak Pada Tubuh: Dari Subjek Hasrat Sampai Subjek Dorongan ... 95
3. Berpijak Pada Sinthome: Panggung Sublimasi ... 112
B. Menjalani Kehidupan Dua Dunia ... 124
1. Dunia Keseharian (Simbolik): Batasan Yang Menjadi Dorongan ... 125
2. Melampaui Keseharian Melalui Teater ... 135
BAB IV PENUTUP ... 148
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penelitian ini berangkat dari satu kegelisahan yang saya simpan sejak beberapa tahun
yang lalu; kenapa ada yang mau bertahan menjadi aktor teater di tengah-tengah situasi
perteateran yang kurang menjanjikan dalam hal ekonomi? Kegelisahan tersebut bermula
dari fenomena-fenomena yang saya lihat (sekaligus saya alami sendiri sebagai aktor
teater) melalui perjumpaan saya dengan orang-orang teater di Yogyakarta1, baik yang
tinggal menetap atau sementara. Kegelisahan itulah yang menuntun saya untuk mencari
tahu lebih jauh dengan melakukan penelitian ini.
Ketika melakukan observasi (pengamatan hingga terlibat dalam proses
penciptaan) dan wawancara untuk mencari data yang diperlukan dalam penelitian ini,
saya mendapatkan kenyataan-kenyataan bahwa ada juga aktor teater yang survive secara
ekonomi dengan modal keaktoran yang mereka kuasai, ada juga yang harus hidup
dengan cara selain berteater. Namun saya menemukan satu hal yang dekat sekali dengan
asumsi awal atas kegelisahan saya, yakni bahwa tujuan mereka (para aktor yang
menjadi narasumber) berteater atau menjadi aktor teater lebih dari sekedar untuk
mencari nafkah (bahkan pada awalnya bukan soal uang, melainkan karena senang).
Dari pemaparan tersebut, terlihat adanya pemenuhan lain yang didapat melalui
teater dan inilah kiranya yang membuat para aktor masih bertahan menjalani dunia
1
teater meski harus mengorbankan banyak hal demi teater yang dilakukannya.
Pemenuhan apakah yang bisa diperoleh dari teater (dalam hal ini melalui bidang
keaktoran)? Setidaknya ada tiga hal yang membuat para aktor bertahan untuk menjalani
dunia teater, yakni kesenangan, pengetahuan, dan keyakinan.
Penelitian ini, di sisi lain, merupakan suatu upaya untuk membaca salah satu
bidang yang paling sentral dalam dunia teater, yakni keaktoran. Barangkali wacana
seputar keaktoran telah banyak di bahas dan telah banyak melahirkan teori dan
buku-buku yang secara garis besar ditujukan sebagai metode penciptaan akting baik di luar
negri ataupun di Indonesia. Namun dalam lingkup akademis, terutama di Indonesia,
sejujurnya saya kesulitan untuk menemukan kajian yang secara khusus membahas
bidang keaktoran. Adapun tulisan terkait, dalam ranah akademis yang saya maksudkan
tersebut, keaktoran masih disikapi sebagai objek penciptaan (mislanya, karya tugas
akhir kuliah), yang tentu saja lain dengan mewacanakan keaktoran sebagai fenomena
budaya.
Sementara, penelitian terkait dengan teater bisa lebih banyak kita temukan. Dalam
hal ini teater dipandang sebagai teks yang bisa dianalisa dengan berbagai macam cara.
Beberapa buku teori juga telah menyediakan perangkat perspektif untuk menganalisa
teater, diantaranya adalah Theory/Theatre An Introduction (Mark Fortier, 2007),
Performance Theory (Richard Schehner, 2004), Theory for Performance Studies (Philip Auslander, 2008). Dari beberapa buku tersebut bisa dilihat bahwa untuk membaca teater
masih diperlukan perspektif lain karena teater sendiri tidak memiliki teori khusus
kecuali adalah teori/metode penciptaan. Atau sebaliknya, teater (sejalan dengan sastra)
menjadi bidang yang kaya wacana untuk penciptaan teori sosial, sebagaimana teks
Sehingga, ketika banyak kajian telah membahas fenomena teater dan
keterkaitannya dengan wacana sosial, penelitian ini sekaligus ingin saya tempatkan
sebagai kajian yang membahas fenomena pengalaman hidup aktor (jantung dari
pertunjukan teater) sebagai fenomena budaya. Merujuk pada buku yang telah ditulis
oleh Paula Saukko yang berjudul Doing Research in Cultural Studies: An Introduction
to Classical and New Methodological Approaches, mengkaji pengalaman personal adalah sesuatu yang memungkinkan untuk menguak wacana sosial yang sedang terjadi
karena bagaimanapun juga pengalaman personal merupakan konstruksi dari kehidupan
sosial2. Aktor teater adalah manusia biasa yang tak lepas dari realitas kehidupan
sosialnya sekaligus sebagai elemen terpenting teater yang ironisnya jarang sekali
diteliti.
Penelitian ini sekaligus membuat saya (belajar) melihat fenomena keaktoran
dalam teater dengan cara lain; cara yang belum pernah saya pergunakan ketika saya
berbincang-bincang dengan para pelaku teater dalam membicarakan teater terkait
dengan proses penciptaan dan pementasannya. Tentunya cara ini merupakan perspektif
teoritis yang harus saya gunakan sebagai pisau analisis, yakni perspektif psikoanalisa
Lacanian khususnya terkait dengan teori subjek dan sublimasi.
Sebagai hasil dari cara melihat fenomena keaktoran dengan perspektif
psikoanalisa, saya melihat bahwa pengalaman aktor dalam menjalani dunia teater
merupakan pengalaman sublim3. Dalam hal ini, saya ingin berpendapat bahwa bukan
hanya teks pertunjukan yang sekiranya bisa ditempatkan sebagai hal yang patut
2
Paulo Saukko dalam bukunya yang berjudul Doing Research in Cultural Studies: An
Introduction to Classical and New Methodological Approaches, Sage 2003. Lihat bab 4
halaman 74-75. 3
diapresiasi, namun pengalaman individu-individu yang terlibat di dalamnya merupakan
fenomena yang tak kalah penting untuk disikapi sebagai pengetahuan.
Untuk itu dan atas pengetahuan yang saya peroleh dari cerita-cerita para aktor
yang menjadi narasumber dalam penelitian ini, saya mengajukan satu judul sekaligus
sesuatu yang menjadi tema dalam penelitian ini, yakni Teatrikalisasi Kehidupan: Studi
Tentang Pengalaman 7 Aktor Teater Yogyakarta Dalam Mencipta Sinthome Di Dunia Panggung dan Keseharian. Alasan saya mengajukan judul tersebut sederhana; saya melihat jalan aktor adalah jalan untuk menghayati (baca: menyikapi) kehidupan.
Berdasarkan cerita-cerita para aktor, cara yang ditempuh mereka untuk menghayati
perannya di atas panggung pertunjukan berpijak dari proses mereka untuk mempelajari
kembali kehidupan sehari-hari. Namun kita bisa mempertanyakan demikian: apakah
dalam dunia keseharian para aktor juga menghayati kehidupan yang mereka jalani? Jika
iya bagaimana caranya? Apa yang menjadi ciri khas seseorang yang hidup sebagai
seniman teater sekaligus sebagai bagian dari masyarakat?
Beberapa pertanyaan tersebut sekaligus menjadi pijakan saya untuk menarasikan
dan menganalisa pengalaman para aktor dalam menjalani dunia teater dan dunia
keseharian. Namun untuk merangkumnya, saya menggunakan dua rumusan masalah
sebagai jalan untuk menelusuri fenomena kehidupan aktor teater yang akan saya
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang yang telah saya tuliskan tersebut, dua rumusan masalah di
bawah ini merupakan acuan saya dalam menyusun penelitian ini:
1. Bagaimana para aktor menghayati peran yang mereka mainkan di panggung
pertunjukan?
2. Bagaimana mereka menyikapi kehidupan dalam dunia sehari-hari dan dunia
teater?
C. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah yang dipaparkan di bagian sebelumnya, maka penelitian ini
bertujuan untuk:
1. Meneliti perkembangan pembentukan subjek seorang aktor, yaitu aktor sebagai
subjek bahasa (subject of language) dan subjek hasrat (subject of desire),
sebagai subjek dorongan (subject of drive), dan pengalaman akan sinthome
dalam panggung sublimasi. Masing-masing tahap ini bisa dikaitkan dengan
pengalaman aktor saat mendalami makna naskah sampai mencapai kenikmatan
atau kesenangan (pleasure) teks, saat seorang aktor melampaui makna dan
kenikmatan teks menuju das Ding dalam teks, dan saat seorang aktor berhasil
melahirkan penandanya sendiri (sinthome) dalam panggung sublimasi.
2. Meneliti pengalaman hidup aktor teater dalam menjalani dunia keseharian dan
dunia teater dengan menempatkan dunia keseharian sebagai dunia simbolik yang
untuk mengetahui dialektika (pemaknaan) yang dilakukan oleh aktor teater atas
pengalaman hidup di dua dunia tersebut.
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian pertama yang saya sebutkan dalam tinjauan pustakan ini adalah penelitian
yang telah dilakukan oleh Airani Sasanti (satu-satunya senior saya di program studi
Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma yang menuliskan tesis tentang
teater). Judul tesis yang ia susun adalah Pementasan Bocah Bajang: Negosiasi Teater
Terhadap Media Massa Atas Makna Fenomena Ponari (2013). Dalam penelitian tersebut, salah satu narasumber yang cukup penting sekaligus juga merupakan salah
satu narasumber dalam penelitian yang saya lakukan adalah Gunawan Maryanto
(penyusun naskah sekaligus sutradara dalam pementasan teater yang diteliti oleh
Sasanti).
Dalam tesis Sasanti, poin utama yang ia teliti adalah praktik teater yang
ditempatkan sebagai media komunikasi tandingan atas dominasi media massa. Atau hal
ini juga bisa ditafsirkan sebagai respon teater terhadap fenomena sosial yang
disebarluaskan secara masal oleh media massa. Dalam penelitian itu, yang ditonjolkan
oleh Sasanti adalah wacana bahwa teater bukan hanya berfungsi sebagai tontonan,
melainkan sebagai salah satu media komunikasi (wahana pengetahuan) yang diciptakan
melalui serangkaian riset dan dibahasakan melalui estetika teater. Secara implisit,
melalui tesisnya, Sasanti seolah ingin mengatakan bahwa teater merupakan media yang
jauh lebih baik dari pada media massa untuk menyampaikan fenomena sosial
rupa setelah menempuh proses observasi dan lamanya latihan sekaligus bahasa yang
dipergunakan untuk menyampaikan teks tersebut. Namun, sebagai media komunikasi,
teater jelas kalah telak dalam hal kecepatan dan jangkauan untuk menyampaikan berita
dibandingkan media massa seperti koran atau televisi.
Sayangnya, tesis Sasanti lebih banyak membahas fenomena Ponari dari pada
menganalisa proses penciptaan dan pertunjukan yang dilakukan oleh Teater Garasi.
Tentu saja, beberapa hal terkait dengan keaktoran jarang dibicarakan dalam tesis
tersebut. Sehingga, penelitian Sasanti merupakan penelitian yang sangat jauh berbeda
dengan penelitian yang saya susun ini.
Penelitian kedua yang saya ajukan dan merupakan penelitian (yang dilakukan oleh
senior saya) yang cukup membantu saya dalam mengkonsepsikan kerangka teori Lacan.
Penelitian tersebut disusun oleh Irfan Palippui dengan judul Pengalaman Subjektifitas
Religius Lewat Haji Bawa Karaeng (2013). Meskipun objek yang diteliti oleh Irfan merupakan objek penelitian yang sangat jauh berbeda dengan penelitian yang saya
lakukan, namun demikian sebagian besar konsep teori yang digunakan kurang lebih
sama terutama yang terkait dengan konsep sublimasi. Bedanya dengan penelitian ini,
jika Irfan mengeksplorasi bentuk sublimasi religiusitas dalam dan lewat haji Bawa
Karaeng, maka saya (berdasarkan objek penelitian yang berbeda) banyak membahas
bentuk sublimasi estetis atas pengalaman aktor dalam menempuh proses latihan hingga
bermain di atas panggung pertunjukan. Persamaannya, penelitian Irfan dan penelitian
yang saya lakukan merupakan penelitian yang berbicara mengenai jalan hidup yang
ditempuh manusia untuk menciptakan penanda baru.
Penelitian ketiga (lebih tepatnya adalah buku yang ditulis berdasarkan disertasi)
Dan Teater Mini Kata (2015) yang diterbitkan oleh Galang Pustaka atas kerjasama dengan Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Yang menarik perhatian saya, tulisan
tersebut merupakan tulisan yang mengupas kehidupan Rendra yang hidup dalam dunia
teater (sebagai seniman) dan dunia keseharian (sebagai bagian dari masyarakat). Meski
fokus tulisan tersebut adalah proses kreatif Rendra, Yudiaryani sedikit banyak
mengupas kehidupan Rendra dalam keseharian dengan pertimbangan bahwa ruang
sosial Rendra merupakan sumber kreativitas Rendra dalam berkesenian.
Secara umum, tulisan tersebut membahas Rendra dan karyanya, teater Mini Kata,
melalui beberapa hal; pertama Yudiaryani membaca Rendra dan Mini Kata melalui
perspektif teoritis analisis tekstual (teks dan konteks), kedua, Rendra dan Mini Kata
dibaca sebagai produksi seni pertunjukan, ketiga, Rendra dan Mini Kata dibaca sebagai
relasi intertekstual (pertemuan antara teater yang bercita rasa Indonesia dan Amerika),
keempat, Yudiaryani membaca proses kreatif Rendra, Mini Kata, dan Bengkel Teater,
kelima dekat kaitannya dengan yang keempat, Yudiaryani membaca proses kreatif
rendra, Mini Kata, dan nomor Bip Bop, dan yang terakhir Yudiaryani menarasikan
pemaknaannya atas kehadiran Rendra dan Mini Kata dalam teater modern Indonesia.
Namun demikian, meskipun ada kemiripan dalam beberapa hal (Yudiaryani
bagaimanapun juga telah meneliti kehidupan seniman teater dalam menjalani dunia
teater dan dunia keseharian), penelitian yang saya lakukan merupakan penelitian yang
bisa dibilang jauh berbeda. Pertama, dan tentu saja, objek material yang diteliti, kedua
perspektif yang dipergunakan untuk meneliti, dan ketiga adalah fokus wacana yang
dibicarakan. Dalam hal ini, yang menjadi poin pembahasan utama dalam penelitian saya
adalah saya ingin menunjukkan bahwa pengalaman aktor teater dalam menempuh
Penelitian lain (disertasi) yang saya tinjau adalah penelitian yang dilakukan oleh
Daniel Waycott Johnston. Penelitian tersebut berjudul Active Metaphysics: Acting as
Manual Philosophy or Phenomenological Interpretations of Acting Theory (2007). Penelitian tersebut merupakan kajian filsafat dengan pendekatan fenomenologi Martin
Heidegger. Sebagaimana tertera dalam judul tersebut, penelitian Johnston dimaksudkan
untuk mewacanakan aktor sebagai wujud konkret filsuf manual atau yang ia istilahkan
sebagai manual philosophy.
Johnston menyebut aktor sebagai filsuf manual berdasarkan pada penafsirannya
yang menyatakan bahwa akting merupakan suatu cara yang bisa digunakan untuk
mengungkapkan aspek eksistensi dan being. Fokus penelitian yang dilakukan oleh
Johnston ini berangkat dari dasar pemikiran Heidegger yang tertuang dalam Being and
Time. Beberapa konsep kunci dari pemikiran Heidegger yang dipakai Johnston dalam merumuskan pemikirannya adalah konsep tentang kebenaran (truth), Dasein (Being
There), Being in the world dan Being in itself. Saya tidak menerjemahkan istilah-istilah tersebut ke dalam Bahasa Indonesia karena dalam beberapa hal, padanan kata dalam
bahasa Indonesia menurut saya mengurangi kelenturan makna istilah-istilah tersebut.
Dalam tesisnya, Johnston menganalisa pemikiran tiga tokoh teater yang paling
berpengaruh dunia, yakni Constantin Stanislavsky, Antonin Artaud, dan Bertolt Brecht
dalam rangka untuk menguji aspek kebenaran eksistensial yang diusung oleh
fenomenologi Heidegger melalui proses penciptaan akting. Johnston menegaskan
bahwa ia tak bermaksud untuk menyandingkan gagasan Heidegger dengan pencapaian
aktor, akan tetapi dengan meneliti aktor dalam menciptakan kediriannya melalui akting,
dan Being in the world. Menurut Johnston, aktor teater merupakan perwujudan dari
abstraksi pemikiran Heidegger terkait dengan kebenaran.
Dalam tesisnya Johnston menyebutkan bahwa aktor merupakan filsuf manual atau
dengan kata lain aktor merupakan perwujudan dari filsafat manual. Akan tetapi,
Johnston menyatakan bahwa tidak semua aktor adalah filsuf manual. Hanya aktor-aktor
yang sesuai dengan kategori ideal tiga tokoh teater tersebutlah yang layak disebut
sebagai filsuf manual. Dengan kata lain, Stanislavsky, Artaud, dan Brecht merupakan
tokoh ideal yang layak disebut sebagai filsuf manual. Cara ketiga tokoh tersebut dalam
mengkonsepsikan ideal teater, ideal aktor, dan ideal kehidupan sudah dengan sendirinya
mengantar ketiga tokoh tersebut sebagai tokoh kunci yang namanya layak disandingkan
dengan pemikir-pemikir lain di bidang ilmu sosial. Sehingga, analisis Johnston dengan
pendekatan fenomenologi Heidegger terkesan sekedar mencocokkan atau
menyetarakan; ibarat Heidegger membuat sebuah teori, sebuah abstraksi tentang
kebenaran eksistensial kemanusiaan, Stanislavsky, Artaud, dan Brecht merupakan
model yang tepat karena bidang mereka adalah bidang penciptaan akting yang kaitan
mendasarnya adalah memperlihatkan perilaku manusia dalam dunianya sendiri.
Namun demikian, saya menemukan hal yang menarik dari penafsiran Johnston
yang menyatakan bahwa fenomena teater, atau yang tampak di panggung merupakan
fenomena sebagaimana adanya. Peristiwa di panggung bukanlah sebuah kepalsuan atau
sekedar representasi atas kenyataan, akan tetapi adalah kenyataan itu sendiri dengan
kewajaran yang tak bisa disamakan dengan kewajaran sehari-hari.
Penelitian berikutnya yang saya jadikan tinjauan adalah penelitian yang dilakukan
oleh Marian McCurdy yang berjudul Acting and Its refusal in Theatre and Film (2014).
(dalam film dan teater) atas pemahaman-pemahaman tertentu terkait dengan akting
tersebut. Temuan sekaligus gagasan menarik yang ditegaskan (kembali) oleh McCurdy
adalah fenomena peleburan makna antara akting dengan tidak akting. Pada pemahaman
umum yang akarnya berangkat dari pemahaman tradisional terkait dengan akting adalah
pemahaman yang menyatakan bahwa akting merupakan kepalsuan; suatu tindakan yang
tidak sungguh-sungguh, tidak mewakili kenyataan, atau dengan kata lain akting adalah
kepura-puraan yang lain dengan di keseharian yang mana perilaku manusia dimaknai
sebagai yang nyata. Pemahaman tersebut berdampak pada penilaian terhadap aktor yang
pada waktu itu dianggap sebagai manusia yang berbahaya, penghasut, pendusta.
Penelitian McCurdy menggunakan data-data yang bisa dibilang baru, yakni
produksi film dan teater di era kekinian (postmodern) yang mana muncul sebuah
paradox yang menyatakan bahwa dunia keseharian, dunia yang dianggap nyata ini
merupakan dunia yang penuh kepura-puraan dan kepalsuan; simulasi. Sementara, dunia
film dan teater merupakan dunia yang dijadikan sebagai ruang untuk menemukan
kenyataan yang bahkan di dunia ini akting (tindakan yang merepresentasikan
kebohongan) merupakan hal yang dihindari.
Jika di masa lalu akting merupakan hal yang ditolak karena akting yang dilakukan
aktor merupakan profesi yang dianggap berbahaya, McCurdy melalui investigasinya
justru menemukan bahwa di era saat ini para aktor justru menolak untuk akting.
Beberapa aktor yang diteliti oleh McCurdy menyatakan bahwa ketika mereka menolak
untuk melakukan adegan-adegan tertentu, mereka memang merasa bahwa tindakan
diadegan tersebut tidak membuat mereka nyaman; membuat mereka seperti sedang
melakukan kebohongan besar yang tidak sesuai kata hati (ideologi) mereka. Penelitian
gagasan bahwa seni akting yang dipahami sebagai kepalsuan justru bermakna
sebaliknya ketika dunia sehari-hari yang pada mulanya merupakan dunia nyata kini
menjadi dunia simulasi dimana kenyataan dan representasi kenyataan merupakan hal
yang lebur dan sulit untuk dikenali lagi.
Menurut saya penelitian McCurdy merupakan penelitian yang menarik meski
masih menyisakan beberapa hal yang saya anggap sebagai celah yang belum dianalisa
secara mendalam. McCurdy tidak secara mendalam meneliti mekanisme akting yang
dilakukan oleh aktor. McCurdy cenderung lebih mengeksplorasi sejarah yang
menyatakan bahwa akting merupakan hal yang ditolak oleh banyak pihak. Dengan
demikian, McCurdy terlalu cepat untuk menyatakan bahwa akting dalam film dan teater
merupakan akting yang justru lebih nyata dibanding dengan yang ada di keseharian.
Tinjauan pustaka berikutnya adalah penelitian literatur yang dilakukan oleh
Shosana Felman dalam rangka untuk mengeksplorasi wacana kegilaan. Lantas apa
kaitan wacana kegilaan dan literatur dengan penelitian ini (yang bertujuan untuk
menggali pengetahuan dari pengalaman hidup aktor teater)? Berangkat dari pembacaan
atas penelitian Felman dalam Writing and Madness, saya menemukan kesetaraan antara
teater dengan literatur; pemain teater dengan penulis. Kesetaraan tersebut merujuk pada
retorika; cara mengatakan sesuatu; cara mengartikulasikan dunianya. Dunia teater dan
literatur adalah dunia yang kurang lebih sama, yakni dunia fiksi. Namun relevansi yang
lebih penting atas penelitian Felman dengan penelitian yang saya lakukan adalah
Felman membaca sastra dengan perspektif Lacan dan sedikit banyak saya merasa
terbantu dengan cara yang ditunjukkan Felman melalui salah satu eksplorasinya dalam
satu buah esai yang berjudul Honore de Balzac: Madness, Ideology, and the Economy
Novel. Melalui tokoh Don Quixote, Felman menemukan hubungan antara kegilaan
dengan desire dengan bahasa; kegilaan Don Quixote adalah jalan untuk mengembalikan
desire (hasrat) pada bahasa (membahasakan desire). Kegilaan Don Quixote bermula dari penghayatannya atas fiksi yang ia baca.
Membaca fiksi, membaca naskah teater, atau menonton film, jika meminjam
pemikiran Felman dalam study kasusnya terkait dengan Don Quixote, merupakan
bentuk kegilaan. Fiksi merupakan hasrat, dan fiksi adalah sumber hasrat. Jika penulis
novel menggunakan novel sebagai petualangan atas hasratnya, atau cara dia
membahasakan hasrat, bagi Don Quixote, dirinya sendirilah kendaraan hasrat. Dalam
keaktoran, melalui aktor hasrat dalam naskah diartikulasikan dalam bentuk laku: akting.
Perbedaan antara aktor dan Don Quixote, aktor memiliki terminal untuk pemberhentian,
yakni panggung. Sementara, Don Quixote membawa kegilaannya hingga akhir
hayatnya.
E. Kerangka Teori
Thus Truth draws its guarantee from somewhere other than the Reality it concerns: it draws it from Speech. Just as it is from Speech that Truth receives the mark that instates it in a fictional structure.4
Untuk menjawab rumusan masalah yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya,
penelitian ini menggunakan teori sublimasi Lacanian yang dikonseptualisasikan ulang
oleh Marc De Kesel dalam bukunya yang berjudul Eros and Ethic: Reading Jaques
Lacan’s Seminar VII yang diterjemahkan oleh Sigi Jottkandt. Melalui konsep teori ini,
4
pengalaman hidup aktor teater ditempatkan sebagai pengalaman sublim; pengalaman
subjek berhadapan dengan das Ding sebagai cara untuk melihat symptom dari sudut
pandang yang lain. Pengalaman tersebut membuat subjek bisa menghadirkan diri
kepada liyan dalam situasi yang lain melalui sinthome. Dengan kata lain, sublimasi
membuat aktor bisa melampaui represi (memaknai symptom) yang berasal dari
konstruksi dunia simbolik (dunia keseharian).
Seseorang, dalam situasi normal (jika dilihat dari perspektif psikoanalisa
Lacanian) selalu ingin hadir bersama orang lain. Kehadiran seorang dalam masyarakat;
relasi seseorang dengan orang lain dalam sebuah kehidupan bermasyarakat, selalu
dimediasi oleh bahasa, konvensi-konvensi, dan aturan main yang berlaku untuk
mewujudkan kehidupan bersama. Artinya, untuk hadir bersama dengan yang lain,
seseorang tidak bisa semena-mena dalam berperilaku; seseorang harus rela merepresi
dirinya melalui Aturan/Hukum simbolik (Hukum-Sang-Ayah) dengan segala nilai-nilai
dan norma-norma yang berlaku; tentang baik dan buruk; tentang apa yang boleh
dilakukan dan apa yang dilarang.
Terkait dengan relasi seseorang (subjek) dengan hal-hal diluar dirinya, Lacan
secara rinci menjelaskannya dalam tiga fase, yakni: fase cermin, simbolik, dan real.
Tiga fase inilah tahapan yang harus dialami seseorang untuk menjadi subjek dalam
suatu kebudayaan tertentu. Melalui tiga fase ini, subjek kehilangan otentisitasnya
sebagai binatang. Sebagai gantinya, ia menjadi subjek kebudayaan; subjek yang harus
yang ia alami) melalui sistem budaya yang telah tersedia karena ia diinginkan demikian
sejak jauh-jauh hari sebelum ia dilahirkan5.
Dunia imajiner dalam teori Lacan juga disebut sebagai dunia cermin (fase
cermin); fase ini dimulai pertama-tama ketika sang anak memahami dirinya melalui
gambaran yang dipantulkan oleh cermin (atau sesuatu yang bersifat merefleksikan,
misalnya wajah ibunya). Fase cermin ini merupakan pengantar bagi anak untuk
memasuki dunia penandaan karena pada fase ini setidaknya sang anak sudah bisa
‘melihat’ dan mengidentifikasi diri (mengenali diri dengan cara berelasi dengan sesuatu
di luar dirinya). Mengandaikan sang anak berhadapan dengan cermin sebenarnya, maka
sang anak melihat bayangan dirinya melalui cermin; bayangan itu menimbulkan
pemaknaan atas dirinya (ego terbentuk, sang anak tahu siapa dirinya; “aku adalah
bayangan di cermin”). Mengandaikan bahwa cermin adalah orang lain, misalnya adalah
ibunya atau apa yang dikatakan ibunya, maka konsekuensinya adalah sang anak tahu
siapa dirinya: “aku adalah bagian dari ibuku, aku adalah kesenangan ibuku, aku adalah
anak ibuku, dsb.” Fase ini terus berlangsung dalam kehidupan subjek; subjek tidak
pernah selesai dalam mengidentifikasikan dirinya sebagaimana identifikasi tersebut
merupakan kepalsuan; bayangan di cermin hanya merupakan bayangan, ilusi, atau
sesuatu yang bukan benar-benar dirinya (sebatas sesuatu yang dikatakan liyan)6.
Dunia simbolik, di sisi lain, merupakan dunia yang terbentuk oleh sistem
penandaan atau relasi penandaan. Dalam arti luas, dunia simbolik ini bisa dipahami
sebagai kebudayaan, dunia material, dunia bahasa, dunia penandaan, atau dengan kata
lain, dunia yang menghadirkan subjek dalam relasi penandaan beserta
hukum-5
Konsepsi tersebut berdasarkan pembacaan atas penafsiran Hommer dalam membaca Lacan. Sean Hommer dalam bukunya yang berjudul Jaques Lacan, Taylor & Francis e-Library, 2005.
6
hukumnya. Dalam arti lain, dunia simbolik merupakan dunia yang membuat subjek bisa
mengartikulasikan hasratnya sekaligus dunia yang memberi batasan bagi subjek untuk
memperoleh kenikmatan atas hasratnya; dunia simbolik inilah yang bisa memberikan
pemenuhan dan kepuasan bagi subjek, namun di dunia ini subjek tidak mengalami
kepuasan yang sepenuhnya (terbatas(i)/terepresi).
Sedangkan dunia Real (das Ding/the Thing) adalah dunia yang ada tapi tidak ada;
kekosongan (hanya karena subjek belum tahu bagaimana mengatakannya dan tidak akan
pernah sepenuhnya bisa mengatakannya). Dimaknai demikian karena dunia ini
diandaikan berada dibalik bahasa atau dunia yang tertutupi oleh dunia simbolik (dunia
simbolik selalu berusaha membahasakan dunia ini, namun bahasa ini menjadi penutup
atau mengisyaratkan sesuatu dibalik tutup itu). Sekalinya subjek membuka tutup
bahasa, yang ditemui subjek hanyalah kekosongan. Di dunia yang kosong inilah subjek
kembali melihat dunia simboliknya (symptom-nya atau masa lalunya) dengan cara yang
lain. Dengan demikian subjek mampu menciptakan pemaknaan baru atas masa lalunya;
makna ini tak lain adalah sinthome (cara/bahasa yang dipinjam dari dunia simbolik
untuk mengatakan pengalaman subjek ketika berhadapan dengan di dunia Real dan
memandang kehidupannya dengan cara lain)7. Sehingga, dunia Real tetap kosong dan
sinthome menjadi penutup baru (bahasa/penanda baru) atas kekosongan dunia Real.
Ketiga fase pembentukan subjek tersebut hadir sebagai/dalam kebudayaan.
Sebagaimana subjek dan kebudayaan merupakan satu bagian yang utuh (tak ada subjek
tanpa kebudayaan dan sebaliknya) maka tak hanya kebudayaan yang serta merta
membentuk subjek; ada kalanya subjek bisa merubah kebudayaan (ketika subjek
membuka kekosongan yang ditutupi oleh material kebudayaan dan mengisi kekosongan
7
itu dengan penanda baru). Dalam praktiknya, kebudayaan tidak pernah berhenti di satu
titik. Kebudayaan senantiasa berkembang dengan segala perubahan aspeknya. Bagi
Lacan, perubahan ini (dan mula-mulanya sebelum ada perubahan) hanya mungkin
terjadi melalui sublimasi; peristiwa subjek membuka tabir bahasa (melewati batasan
bahasa), melihat kekosongan (berhadapan dengan das Ding), dan mengisi kekosongan
itu dengan penanda baru (sinthome)8. Lebih jauh terkait teori sublimasi dalam kaitannya dengan penelitian ini akan saya uraikan pada bagian selanjutnya.
1. Sublimasi
Sejalan dengan Freud, Lacan mengatakan bahwa kebudayaan terbentuk dan
berkembang dari proses sublimasi dengan tiga karakter; histeris (seni), obsesif (agama),
dan paranoia (pengetahuan). Namun apa pengertian dari sublimasi itu sendiri? Lacan
mengatakan (dengan cara yang sukar dipahami) bahwa sublimasi (berpijak dari relasi
objek) adalah to elevate the object to the dignity of Thing9. Salah satu kata kunci dari definisi tersebut adalah Thing yang merujuk pada das Ding atau the Real (kekosongan).
Sublimasi bisa dilihat dari konsepsi Lacan terkait relasi objek; definisi to elevate
the object to the dignity of Thing (untuk mengelevasi objek pada kehormatan Thing) menandai adanya subjek, objek (dalam dunia simbolik) dan Thing/das Ding yang saling
berelasi. Hal ini bisa dipahami lebih jelas dengan melihat teori subjek Lacan; dinamika
subjek ketika berada dalam dunia imajiner (dunia identifikasi), dunia simbolik (dunia
bahasa), dan dunia Real (dunia di luar bahasa).
8
Marc De Kesel dalam bukunya yang berjudulEros and Ethic: Reading Jaques Lacan’s Seminar VII Tr. by Sigi Jottkandt, State University Of New York: Sunny Press, 2009. Lihat
halaman 166. 9
Dunia simbolik menjamin pemenuhan bagi subjek dalam bentuk kenikmatan yang
bersifat represi; subjek memperoleh kenikmatan jika mau mengikuti
Hukum-Sang-Ayah. Atau, subjek memperoleh kenikmatan tetapi terbatas karena di dunia ini subjek
menemukan bahwa Liyan (yang diharapkan mampu memberikan kepuasan penuh)
ternyata juga memiliki lack. Dunia simbolik ini merupakan sebuah dilema; di satu sisi
hanya dunia ini yang mampu menjamin pemenuhan atau menyediakan objek hasrat bagi
subjek, namun pemenuhan yang didapat tidak benar-benar memuaskan sehingga subjek
tetap menjadi subjek hasrat. Terlebih lagi, dunia simbolik ini selalu dikuasai oleh
Hukum-Sang-Ayah yang merepresi subjek. Represi ini melahirkan symptom; penanda
yang sulit ditafsirkan sekaligus penanda yang menandai jouissance yang terepresi.
Represi ini membuat subjek mengalami neurosis patologis hanya jika subjek tak bisa
menafsirkan dan membahasakan symptomnya sendiri.10
Dunia Real hadir sebagai ‘intervensi’ atas dunia simbolik; karena dunia Real ini
merupakan kekosongan yang telah diisi/ditutupi oleh dunia simbolik, maka dunia Real
seolah-olah selalu memberontak pada keterbatasan bahasa dalam membahasakan dunia
Real ini. Dunia simbolik, alih-alih ingin membahasakan dunia Real, justru malah menutupi dunia Real karena keterbatasan yang dimiliki oleh dunia simbolik itu sendiri.
Satu-satunya jalan untuk menuju dunia Real adalah symptom. Dengan kata lain,
symptom yang terbentuk oleh represi dunia simbolik merupakan pintu bagi subjek untuk memasuki dunia Real; untuk mencari kenikmatan (atau sesuatu yang diduga dapat
memberikan kenikmatan penuh) dibalik tutup dunia simbolik. Namun begitu subjek
berhadapan dengan das Ding, yang ditemui subjek hanyalah kekosongan. Dalam situasi
10
Merujuk pada handout perkuliahan yang ditulis oleh St.Sunardi. Lihat juga tulisan
inilah subjek mampu melihat symptom dengan cara lain dan situasi ini menyediakan dua
kemungkinan; subjek mengalami pengalaman traumatis, atau subjek mengalami
pemenuhan tanpa pengalaman traumatis. Pemenuhan non-patologis ini terjadi jika
subjek mampu memaknai symptom dan melakukan transversing of fantasy11(mengatasi trauma atas kekosongan dunia Real) dengan hasil sinthome atau penanda baru untuk
menutup kekosongan dunia Real.
Dengan demikian, untuk mengelevasi objek pada tingkatan das Ding bisa
dipahami sebagai proses yang ditempuh subjek untuk memaknai symptom menjadi
sinthome dan menggunakan sinthome untuk menutup kekosongan pada das Ding. Dengan demikian, subjek mendapatkan kenikmatan tanpa represi, sekaligus tetap
berjarak pada dunia Real. Justru dengan adanya jarak tersebut maka hasrat subjek tidak
padam sehingga subjek tetap memiliki dorongan untuk menempuh kehidupannya
(dengan cara yang lebih segar setelah melalui pengalaman sublim).
Tentunya cara yang ditempuh oleh masing-masing subjek untuk menghadapi das
Ding tidak bisa disamakan. Pengalaman yang berbeda ini menghasilkan kebaruan dalam kebudayaan yang bisa dilihat melalui tiga hal; seni (sublimasi estetis), agama (sublimasi
religius), dan ilmu pengetahuan (sublimasi sains)12. Masing-masing karakter sublimasi
ini menghasilkan berbagai macam penanda baru yang membuat kebudayaan tidak
berhenti di satu titik.
2. Pengalaman Keaktoran Sebagai Pengalaman Sublim
Teater merupakan sebuah fenomena yang berubah dari masa ke masa melalui tiga
bentuk sublimasi yang dikonsepsikan oleh Lacan (estetis, religius, sains). Teater pada
11
Merujuk pada handout perkuliahan yang ditulis oleh St.Sunardi. 12
mulanya merupakan sebuah ritual dalam prosesi keagamaan, lantas dalam
perkembangannya, teater berdiri sebagai karya seni yang tidak semata-mata bertujuan
untuk menciptakan estetika, namun juga melahirkan pengetahuan atas kehidupan
(menciptakan perubahan sosial misalnya dalam bentuk teater yang lebih aplikatif13).
Keaktoran dalam hal ini dipandang sebagai jalan berkesenian dengan hasil akting
sebagai karya seninya. Sejalan dengan teater (sebagai wacana estetis/ sublimasi estetis),
pengalaman keaktoran ini lebih tepat ditempatkan sebagai sublimasi estetis. Akting
merupakan sinthome yang ditulis aktor melalui tubuhnya (sebagai subjek dorongan)
ketika aktor berhadapan dengan kekosongan. Proses ini bisa dilihat dari perkembangan
aktor sebagai subjek bahasa menuju subjek hasrat hingga menjadi subjek dorongan.
Untuk itu, pertama-tama perlu dilihat terlebih dahulu objek hasrat aktor yang membuat
dirinya menjadi subjek hasrat dan subjek dorongan.
Hasrat aktor semestinya adalah pentas; berdiri di atas panggung dan mencari
pengakuan (dilihat, diapresiasi, dimaknai oleh penonton) dengan melakukan akting.
Pada umumnya proses yang ditempuh aktor untuk menciptakan karya berpijak pada teks
atau naskah. Teks menjadi objek penciptaan (objek hasrat) bagi aktor. Dalam proses
awal identifikasi ini (ketika aktor berelasi dengan teks), aktor menjadi subjek bahasa
dengan menyenangi teks terlebih dahulu. Dengan demikian, teks bisa berfungsi sebagai
medium bagi subjek untuk berfantasi dan melihat (menikmati) symptomnya sendiri;
melihat masa lalu subjek yang berkenaan dengan (dan dibangkitkan oleh) teks.
Dalam pertunjukan yang berbasis naskah drama atau karya sastra misalnya, teks
tersebut merupakan sinthome penulis (hasil memaknai symptom atau menafsirkan
13
Lihat tulisan Monica Prendergast & Juliana Saxton dalam buku yang berjudul Applied
kehidupannya ketika berhadapan dengan das Ding) yang bisa disejajarkan dalam
puisi-puisi courtly lovers14 yang dirujuk Lacan sebagai model sublimasi estetis. Teks ini
merupakan ‘kecantikan’ yang dipergunakan untuk menutup das Ding. Ketika aktor
berhadapan dengan teks semacam ini, ada dua kemungkinan, pertama aktor puas
sebagai subjek bahasa, kedua aktor mengalami pengalaman lack sehingga menjadi
subjek hasrat (desiring subject). Teks bisa menjadi jalan bagi aktor untuk berhadapan
dengan das Ding (sebagaimana dialami oleh penulis) sejauh membaca itu sendiri bisa
disejajarkan dengan menulis; membaca merupakan proses menyusun kembali
penanda-penanda yang ada dalam struktur ketaksadaran subjek. Sehingga, membaca teks bisa
disejajarkan dengan melihat das Ding yang ditutupi oleh teks tersebut.
Posisi aktor sebagai subjek hasrat adalah ketika dalam proses membaca, aktor
tidak puas hanya dengan membaca; ia tergerak (menjadi subjek dorongan) untuk
mengatakan apa yang ia baca melalui bahasanya sendiri, yakni akting. Proses ini
merupakan proses aktor mencarikan bahasa baru atau bahasa pengganti naskah. Jalan
yang ditempuh aktor pada umumnya adalah melatih tubuh, emosi, dan pikiran (bisa
dilihat dalam buku-buku yang menjelaskan metode-metode untuk menjadi aktor).
Namun demikian, pada fase ini objek hasrat aktor telah bergeser; tubuh menjadi objek
hasrat pengganti naskah karena dalam akting, tubuh merupakan bahasa utama.
Berangkat dari pemahaman bahwa latihan tubuh bisa dimaknai sebagai
memperlebar jangkauan tubuh atau membongkar kembali kecenderungan tubuh atas
konstruksi budaya, maka latihan ini bisa disejajarkan dengan pengalaman sublim;
mengelevasi tubuh pada level das Ding. Pertama-tama, tubuh dilihat sebagai symptom.
Latihan tubuh bisa dilihat sebagai jalan aktor memaknai kembali tubuhnya dan
14
menyikapinya dengan cara baru. Dengan demikian aktor mampu untuk menyituasikan
tubuhnya dalam situasi yang lain, misalnya menyituasikan perilakunya menurut
karakter-karakter tertentu (berdasarkan model-model yang ia temukan dalam
kehidupannnya). Latihan-latihan dan eksplorasi yang dilakukan aktor nantinya akan
menjadi sinthome sekaligus sebagai pijakan untuk dihadirkan di panggung pertunjukan.
Melihat teater sebagai karya seni, pertunjukan teater menempatkan aktor sebagai
subjek sekaligus objek yang hadir di depan penonton. Jika pelukis mengisi kekosongan
das Ding dengan lukisan, pemusik dengan tatanan bunyi, penyair dengan kata-kata, maka dalam teater kekosongan das Ding diisi dengan kehadiran aktor sebagai bahasa
utama (atau keindahan sebagaimana semua jenis karya karya seni identik dengan istilah
tersebut). Bagi aktor sendiri, panggung teater merupakan dunia untuk menghadirkan
dirinya dengan cara lain. Kadangkala perilaku aktor di panggung lebih menarik daripada
teks yang mereka sampaikan. Panggung teater mampu memberikan kenikmatan dengan
cara melarang aktor terpaku pada teks; aktor justru dipersilahkan menjadi subjek atas
tubuhnya (diberi kebebasan untuk melakukan improvisasi; merespon segala situasi yang
barangkali belum pernah ada saat latihan). Dengan demikian, panggung teater ini
mampu memberikan kenikmatan pada subjek tanpa melalui represi.
Secara keseluruhan, proses yang ditempuh para aktor sejak berhadapan dengan
naskah hingga meninggalkan panggung pertunjukan merupakan pengalaman yang
membekas dan memberikan kebaruan bagi mereka sendiri (khususnya) dan orang lain
(umumnya) untuk menempuh kehidupan setelahnya. Setidaknya, bagi aktor,
pengalaman menempuh proses penciptaan teater membuat hidup mereka berjarak
dengan dunia keseharian (dalam artian mereka memiliki cara untuk tidak begitu saja
dengan dunia Real (sehingga mereka tetap menjadi desiring subject tanpa harus
mengalami trauma dan represi). Selama para aktor tetap berproses, teater menjadi
medium bagi mereka untuk terus-menerus memaknai symptom mereka, terus menerus
melampaui batas-batas yang mereka miliki sebagai manusia karena dengan cara itulah
mereka berdialektika dengan kehidupan yang mereka hadapi; tidak sebatas sebagai
subjek bahasa melainkan sebagai subjek atas tubuh mereka sendiri.
F. Metode Penelitian
Sebagaimana telah dijelaskan di bagian latar belakang, penelitian ini merupakan
penelitian pengalaman hidup para aktor teater di Yogyakarta. Dua hal yang menjadi
fokus dalam penelitian ini adalah, pertama meneliti pengalaman aktor teater dalam
proses penciptaan pertunjukan, dan kedua meneliti pengalaman aktor teater dalam
menyikapi kehidupan sehari-hari.
Penelitian ini secara formal saya mulai sejak tahun 2013, dan selesai pada tahun
2015. Pemilihan narasumber dan proses wawancara saya lakukan pada pertengahan
tahun 2014 hingga bulan Juni 2015. Namun saya tidak merasa terlalu menyia-nyiakan
waktu sejak 2013 hingga pertengahan tahun (Mei) 2014 karena pada waktu itu saya
terlibat beberapa proses dengan beberapa narasumber penelitian ini dan saya memaknai
keterlibatan saya dalam proses tersebut sebagai salah satu bentuk metode observasi.
Namun, secara non-formal, data yang saya peroleh dalam penelitian ini
merupakan pengetahuan yang saya dapat sejak lama. Perkenalan saya dengan keaktoran
dan teater dimulai sejak tahun 2005; pada waktu itu saya mulai tinggal di Yogyakarta
dan berproses bersama Gunawan Maryanto dan Tita Dian Wulan Sari selama kurang
lebih 7 bulan di program Actor Studio yang diselenggarakan oleh Teater Garasi. Tahun
2010 saya berkenalan dan berproses bersama Nunung Deni Puspita Sari di Padepokan
Seni Bagong Kussudihardja yang berlanjut hingga tahun 2012. Pada awal tahun 2014,
saya bertemu dengan Andika Ananda dan melakukan sebuah proses penciptaan
bersama. Melalui proses tersebut saya juga sempat bertemu dan kenal secara lebih dekat
dengan Tony Broer (sosok yang sebelum itu saya pandang sebagai sosok yang angker
dan menyeramkan). Dan pertengahan tahun 2014 itu akhirnya saya ikut latihan bersama
Tony Broer sebagai ‘modus’ untuk mencari data sekaligus mengobati penasaran saya
atas apa kata orang:“Kalau mau dihajar fisiknya ya ikut latihan sama Bang Broer!”. Di
tahun ini pula saya berkenalan dengan Mbah Tohir, sosok tua yang tak pernah menyerah
dalam berteater. Dan pada tahun 2015, akhirnya saya sowan pada salah satu legenda
yang tersisa dari Bengkel Teater Rendra, yakni Bapak Untung Basuki.
Nama-nama yang telah saya sebutkan adalah nama-nama para aktor yang berbaik
hati mau menjadi narasumber dalam penelitian ini. Kecuali Mbah Tohir dan Pak Untung
Basuki, para aktor lain adalah para aktor yang (semoga) saya kenal dengan baik; saya
kenal tidak sebatas melalui obrolan, melainkan bersama-sama dalam proses
bersakit-sakit dahulu sebelum pentas kemudian.
Data primer yang menjadi objek penelitian ini adalah data-data yang saya peroleh
melalui wawancara. Pada tahun 2014, saya melakukan wawancara kepada Tita Dian
Wulan Sari, Nunung Deni Puspita Sari, Andika Ananda, dan Tony Broer dan pada
tahun 2015 saya melakukan wawancara dengan Mbah Tohir (Sutohir), Pak Untung
Basuki, dan (akhirnya) Gunawan Maryanto (seseorang yang berhasil dengan baik
hingga saat ini). Di samping itu, teks-teks lain yang menjadi pelengkap dan menjadi
bekal untuk membuat narasi merupakan catatan-catatan observasi yang saya peroleh
baik dengan cara mengikuti proses latihan ataupun berdasarkan pengamatan atas proses
yang ditempuh oleh para narasumber.
Pemilihan nama-nama para aktor tersebut sebagai narasumber dalam penelitian ini
berdasarkan ketertarikan saya atas gagasan, semangat, dan sepak terjang mereka di
dunia teater. Tiga aktor seperti Mbah Tohir, Untung Basuki, dan Tony Broer merupakan
aktor yang bisa dibilang telah banyak makan asam garam di dunia teater (saya
kategorikan sebagai angkatan lama). Sementara tiga aktor lain seperti Tita Dian Wulan
Sari, Nunung Deni Puspita Sari, dan Andika Ananda merupakan angkatan muda yang
telah berteater cukup lama dan belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti berteater.
Justru hingga saat ini, mereka masih bersemangat untuk melakukan berbagai macam
penciptaan teater. Gunawan Maryanto, di sisi lain, jika dilihat dari segi umur merupakan
tokoh yang berada di antara angkatan lama dan angkatan muda; ia kenal baik dengan
pendahulunya sekaligus dekat dengan para pelaku muda. Dalam penelitian ini, sosok
Gunawan Maryanto merupakan salah satu mata kunci yang memberikan banyak
informasi mengenai teater khususnya dalam bidang keaktoran.
Kenapa saya tidak memilih tokoh-tokoh lain yang notabene memiliki nama besar
dan telah ‘sukses’ berteater untuk menjadi narasumber dalam penelitian ini? Tokoh
-tokoh besar dan bisa dibilang sukses dalam berteater barangkali tidak diragukan lagi
telah mengunyah segudang pengalaman dan pengetahuan sehingga mereka berhasil dan
bertahan atau malah ada yang menjadi penyokong perteateran di Yogyakarta. Namun
demikian, saya lebih tertarik untuk meneliti orang-orang yang di mata saya
Tentunya saya juga mempertimbangkan hal lain, yakni di mata saya para aktor yang
menjadi narasumber dalam penelitian ini merupakan orang-orang yang hidupnya
sederhana (jika dilihat dari perspektif ekonomi). Justru karena itulah saya menangkap
gairah hidup yang luar biasa ketika mereka berteater: membuat karya yang ‘bukan
bertujuan sebagai mata pencaharian’ meskipun pada praktiknya kadang-kadang mereka
mendapatkan honor sekedarnya.
Tentunya banyak sekali aktor di Yogyakarta yang memiliki kategori seperti yang
telah saya paparkan tersebut. Akan tetapi, sebagai batasan saya hanya memilih beberapa
aktor (dari angkatan tua, angkatan muda, dan di antara kedua angkatan tersebut) yang
saya kira cukup sebagai model dan informan untuk menunjukkan bahwa teater bukan
semata-mata media hiburan, informasi, dan kritik, melainkan sebagai media yang
penting untuk membentuk subjek sebagaimana fokus dalam penelitian ini adalah
meneliti pengalaman aktor sebagai pengalaman sublimasi; pengalaman subjek yang tak
mau begitu saja menjadi subjek bahasa, melainkan subjek yang terus menerus
berdialektika dengan bahasa.
Adapun jenis data yang saya narasikan dalam bab dua adalah verbatim wawancara
(yang saya rekam dengan media recorder), foto (yang saya dapatkan dari koleksi para
aktor dan fotografer lain yang telah saya sebutkan namanya dalam narasi), dan refleksi
atas segala pengetahuan yang saya peroleh selama kurang lebih 9 tahun sebagai pelaku
teater (aktor, sutradara, pendamping sekaligus pelatih di UKM Teater Seriboe Djendela
Universitas Sanata Dharma, dan penata artistik).
Dari seluruh data yang berhasil dikumpulkan saya narasikan dalam bab II.
Data-data tersebut saya pilah dan pilih berdasarkan rumusan masalah yang saya jadikan acuan
analisis dengan menggunakan perspektif psikoanalisa Lacanian terkait dengan teori
subjek dan sublimasi dengan tahap-tahap analisa seperti yang telah saya paparkan pada
bagian kerangka teori.
G. Skema Penelitian
Penelitian ini dibagi menjadi empat bab. Bab I dalam penelitian ini berisikan
pendahuluan yang melingkupi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,
tinjauan pustaka, kerangka teoritis, metode penelitian dan skema penelitian.
Bab II menarasikan pengalaman berteater para aktor dalam menyikapi dan
menghayati teater mereka masing-masing. Bab II ini dinarasikan menjadi lima sub-bab;
yakni 1. Perjalanan Menjadi Aktor: Perjalanan Melampaui Batasan, 2. Menghayati
Peran: Menjadi Orang Lain, 3. Menjalani Keseharian, 4. Memaknai Akting: Akting di
Panggung Teater dan Panggung Keseharian dan 5. Teater: Antara Kesenangan,
Kegelisahan, dan Kegilaan Dalam Kehidupan.
Bab III merupakan analisis dari data yang telah dinarasikan dalam bab II. Analisis
yang dilakukan dalam bab III ini secara garis besar menempatkan pengalaman aktor
sebagai pengalaman sublim menurut perspektif Lacan. Bab III ini dibagi menjadi dua
sub-bab, yaitu 1. Membaca Penghayatan Aktor Melalui Perspektif Teori Subjek
Lacanian, 2. Menjalani Kehidupan Dua Dunia. Bab IV merupakan penutup dari
BAB II
MELEWATI BATAS-BATAS KEHIDUPAN DENGAN
TEATER
Bab II ini menarasikan pengalaman-pengalaman hidup para aktor yang menjadi
narasumber dalam penelitian ini. Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan
dalam bab I, pengalaman-pengalaman yang dinarasikan dalam bab ini mencangkup
pengalaman latihan, pengalaman pentas dan pengalaman hidup dalam bermasyarakat.
Singkat kata, pengalaman-pengalaman yang dinarasikan dalam bab ini merupakan
pengalaman sublim yang akan dianalisis lebih jauh dalam bab III.
Pengalaman-pengalaman para aktor di bab ini dinarasikan dalam beberapa bagian;
bagian pertama menarasikan proses yang ditempuh para aktor dalam menjalani latihan,
bagian kedua menarasikan pengalaman para aktor ketika berada di atas panggung,
bagian ketiga menarasikan cerita para aktor ketika mereka menjalani dunia keseharian,
bagian keempat menarasikan konsepsi para aktor terhadap keaktoran yang mereka
jalani, dan bagian kelima menarasikan pemaknaan para aktor terhadap teater yang
mereka jalani.
A. Perjalanan Menjadi Aktor: Perjalanan Melampaui Batasan
Apa yang harus dilampaui oleh seorang aktor? Para aktor dalam penelitian ini memiliki
penekanan yang kurang lebih berbeda. Perbedaan ini terletak pada jenis teater yang
sedang mereka tekuni. Secara garis besar, ada tiga hal mendasar yang selalu dilatih terus
Tony Broer15bersikeras untuk melatih tubuhnya setiap hari tanpa peduli apakah ia
akan pentas atau tidak; latihan lebih penting dibandingkan dengan pentas. Lebih jauh
dari itu, dia ingin membebaskan tubuh dari belenggu pikiran. Pada wawancara yang
saya lakukan bersama Tony Broer, dia mengatakan: “Tubuh kita tidak pernah capek,
pikiran kitalah yang sebenarnya capek dan memberikan imaji atas rasa capek. Pikiran
kita adalah musuh besar saat kita sedang berlatih tubuh!”16Namun dari pernyataan itu, bukannya kemudian Tony Broer tidak pernah merasa capek. Maksud dari yang ia
katakan adalah, dengan menciptakan konsepsi yang demikian, tubuh akan terpancing
untuk terus-menerus melawan capek, misalnya dengan latihan lari menempuh jarak
yang bisa dibilang sangat jauh untuk ukuran latihan teater. Tony Broer melanjutkan:
“Nah maksudnya lari jauh itu gimana itu? Itu maksdunya mau memancing
membunuh pikiran kita. Jadi hasilnya itu capeknya capek tubuh, bukan capek pikiran. Kalau capek pikiran kan: waduh, sampai malioboro jauh gini nih... nah latihan-latihan mengabaikan pikiran itu ada di latihan-latihan gue.
Ya itu dengan tujuan untuk mencapai tubuh sebagai gagasan.”17
Dari serangkaian latihan yang sering dia lakukan bersama dengan
murid-muridnya, sebagai sebuah metode, Tony Broer membagi latihannya menjadi tiga sesi,
yakni tubuh fisik, tubuh tema, dan tubuh teks. Ketiganya merupakan satu rangkaian
yang sedang digeluti oleh Tony Broer untuk mewujudkan konsepsinya bahwa tubuh
15
adalah gagasan; sebagai pertunjukan, tubuh bukan lagi media penyampai pesan,
melainkan tubuh adalah pesan itu sendiri.
Dalam latihan tubuh fisik, Tony Broer berusaha untuk membongkar
batasan-batasan fisik yang ia miliki, yakni batasan-batasan-batasan-batasan capek, batasan-batasan-batasan-batasan takut, dan
batasan-batasan malu. Untuk menguji tubuhnya seringkali dia melakukan latihan di
jalanan, di got, di sawah, di sungai, dan berbagai tempat lain yang jauh dari rasa
nyaman bagi tubuh dalam rangka untuk melebarkan dimensi yang dimiliki oleh tubuh.
Sementara tubuh tema adalah eksplorasi tubuh dengan bantuan imajinasi, misalnya
tubuh kematian, tubuh hewan, tubuh perang, dsb. Selanjutnya, tubuh teks merupakan
presentasi dari tubuh yang telah dilatih sedemikian rupa. Bentuk-bentuk latihan yang
membekas di tubuh inilah yang dinamai Tony Broer sebagai tubuh adalah gagasan.
Gambar 1:
Dok. Pribadi milik Tony Broer
Yang menarik dari pernyataan Tony Broer (bahwa tubuh adalah gagasan) adalah
konsepsinya yang ingin melawan wacana-wacana yang sebelumnya menjadi
“Tubuh itu sudah gagasan. Jadi ini bukan lagi pantomim, bukan lagi tari.
Ini adalah tafsir kembali tubuh. Kenapa kok kayak gini, ya ini adalah misteri tubuh yang sebenarnya masih menyimpan persoalan, masih harus di kupas. Jadi kalau loe tadi tanya bagaimana menghadapinya ya pasti ada benturan. Ya yang gue tawarkan ini kan bertolak belakang; di sekolah, tubuh itu alat untuk menyampaikan gagasan. Tubuh selalu digunakan untuk menyampaikan gagasan. Sehingga dalam kesenian itu ada wacana bahwa
kesenian itu harus menyampaikan pesan.”18
Dalam hal tubuh, Gunawan Maryanto19 juga menekankan hal yang serupa. Dalam
proses penciptaan pentas yang berjudul Waktu Batu, latihan tubuh yang ikut dijalani
oleh Gunawan Maryanto merupakan latihan yang bisa dibilang ekstrim dan beresiko.
Proses penciptaannya memakan waktu yang cukup pajang yakni 4 tahun yang meliputi
serangkaian penelitian untuk penyusunan teks, pengujian teks, hingga proses esekusi
dalam bentuk latihan. Dia bercerita:
“Sejauh ini yang paling gila-gilaan itu pas Waktu Batu; itu sampai ke gunung, sampai tinggal di Banyuwangi, sampai punya pengalaman-pengalaman yang dekat dengan kematian. Waktu itu kan di tebing, sementara kita harus memejamkan mata dan lain sebagainya, jadi memang itu resikonya cukup tinggi. Pendakiannya malam, kita sama sekali nggak tahu jalan, sejauh ini itu sih. Kalau di tingkatan tubuh ya, yang paling gila ya hampir semuanya sih, terutama yang berbasis tubuh, karena kita harus melebarkan rentang tubuh; menjelajahi dari yang daily, extra-daily, itu semua harus dijelajahi. Nah yang paling gila ya di Waktu Batu itu. Itu lama
banget latihannya. Prosesnya sendiri hampir 4 tahun kan.”20
Dalam konteks penciptaan peran yang demikian, latihan fisik yang dilakukan
sedemikian rupa berbeda konteks dengan latihan-latihan untuk mempercantik bentuk
tubuh, atau menciptakan gestur tubuh ‘ideal’, namun latihan-latihan tersebut mengarah
pada peningkatan kapasitas tubuh; kekuatan, kelincahan, kelenturan, keluwesan,
18
Wawancara dengan Tony Broer pada tanggal 3 Agustus 2014 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta.
19
Gunawan Maryanto adalah seorang aktor, sutradara, dan penulis yang masih aktif berkesenian di Garasi Instute of Performance (dulunya adalah Teater Garasi).
20
ketrampilan, dan lain sebagainya. Jikalau kemudian aktor memiliki tubuh yang sexy
setelah mengalami latihan yang sedemikian rupa, hal itu hanyalah efek samping. Poin
utamanya dalam latihan tersebut adalah untuk memperlebar dimensi jangkauan tubuh;
fleksibilitas tubuh aktor memang harus dilatih dalam rangka sebagai wadah, sebagai
medium, karena latar belakang sejarah kebertubuhan aktor bisa jadi sangat jauh dengan
latar belakang sosial karakter yang akan dimainkan. Oleh sebab itulah, dalam rangka
menciptakan kewajaran peran, tubuh aktor haruslah siap terlebih dahulu.
Menurut Gunawan Maryanto, meski aktor memainkan pementasan realis dengan
ukuran kewajaran sehari-hari, aktor masih akan tetap dituntut untuk melebarkan rentang
tubuhnya. Kesiapan tubuh tidak hanya sebagai wadah untuk karakter yang akan
dimainkan, akan tetapi di panggung teater bagaimanapun juga seorang aktor harus
melakukan segala aktivitas dengan tensi yang lebih dibandingkan dengan aktivitas di
keseharian, misalnya, proyeksi suara aktor yang sedang melisankan dialognya minimal
harus sampai pada penonton yang duduk di barisan paling belakang. Dengan demikian,
tak heran jika latihan keaktoran membutuhkan waktu yang sangat lama.
Selain harus melampaui batasan tubuh, dalam bentuk yang berbeda, bagi Pak
Untung Basuki21, seorang aktor harus mengalahkan rasa malu. Pada usianya yang tak
lagi muda, Pak Untung Basuki kadang berangkat latihan sambil berteriak-teriak di jalan
dalam rangka menghafalkan dialog. Beliau tak peduli jikalau ada orang lain yang
terheran-heran melihat beliau bertingkah seperti itu di jalan. “Latihan teater ya siap
-siap menjadi gila,”22 kata beliau dalam wawancara yang saya lakukan. Gila dalam
21
Untung Basuki merupakan salah satu tokoh senior dalam teater Indonesia saat ini. Ia pernah berproses bersama Rendra dengan Bengkel Teaternya dan saat ini ia masih aktif menjadi pengurus Sanggar Bambu. Selain berteater, ia juga dikenal sebagai musisi, penulis puisi, dan pelukis.
22