• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah ini bertujuan untuk mengungkapkan obyektifikasi terhadap perempuan di dalam tiga dongeng klasik Indonesia, yaitu Si Leungli, Jaka Tarub, dan Sangkuriang yang dituliskan kembali oleh Sanggar

Tumpal pada tahun 2005. Mengingat ketiga dongeng ini dikemas dalam buku cerita bergambar, maka

penelitian ini akan menganalisis teks maupun gambar-gambarnya. Hasil penelitian ini memperlihatkan

bahwa obyektifikasi terhadap perempuan di dalam ketiga dongeng klasik ini disadari atau tidak disadari

oleh penulisnya dilakukan secara konsisten dan mengarah pada pembentukan pemahaman bahwa laki-laki

berhak memaksakan kehendaknya kepada perempuan.

Pendahuluan

Makalah ini ditulis atas dasar kegalauan ketika membaca kembali tiga buku cerita anak yang sudah lama dibeli tetapi belum sempat dicermati. Ketiga buku yang merupakan daur ulang dari cerita rakyat Indonesia ini digarap dengan serius dan secara sepintas memiliki kualitas di atas rata-rata buku cerita rakyat lainnya. Diterbitkan tahun 2005 oleh Gramedia, Dongeng Klasik Indonesia merupakan upaya Sanggar Tumpal dan Gramedia untuk mengangkat cerita rakyat Indonesia menjadi cerita bergambar yang berkualitas. Secara artistik gambar-gambar yang ditampilkan memang memiliki kualitas yang menjanjikan. Akan tetapi setelah dicermati, ada beberapa hal yang menggelisahkan hati. Ketiga buku yang sempat saya beli, yaitu Si Leungli, Jaka Tarub, dan Sangkuriang, memperlihatkan relasi kuasa yang sangat tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan; dalam ketiganya perempuan diperlihatkan sebagai obyek kenikmatan dan obyek kesewenangan dan bahkan kekerasan laki-laki.

Kegalauan bertambah ketika menyadari bahwa banyak pendidik meyakini bahwa cerita rakyat merupakan cerita yang wajib diberikan kepada anak didik sebagai sarana untuk memperkenalkan nilai-nilai moral yang luhur, mencerminkan buah pikiran, kehidupan, pandangan tentang keagamaan, adat istiadat, ajaran moral dan pandangan hidup yang pernah ada dari berbagai suku di Indonesia (Karyanto, 2008) dan mengandung kearifan lokal yang sangat penting bagi keberlangsungan kebudayaan dan identitas bangsa (Maulana dan Prasetia, 2015) dan sebagai sarana untuk membangun etika bangsa yang tengah mengalami degradasi (Kristanto, 2014). Dengan alasan-alasan ini, cerita rakyat semakin dikukuhkan sebagai cerita yang patut disajikan kepada anak-anak meskipun beberapa penelitian telah menyingkapkan adanya bias gender dalam cerita rakyat (Setiawan, 2013; Sulistyarini, 2013; Novi Sitti Kussuji, 2001). Mengingat bahwa cerita rakyat dipakai untuk mereproduksi norma-norma berikut perilaku sosial budaya, termasuk di dalamnya pemahaman akan gender, pada generasi mendatang, maka tentunya penting untuk mengkaji apakah norma sosial budaya yang terkandung dalam cerita rakyat merupakan norma-norma yang masih kita pandang luhur dan patut diajarkan kepada anak-anak kita. Terkait dengan persoalan tersebut, makalah ini bertujuan untuk mengungkapkan bahwa ketiga buku dari Seri Dongeng Klasik Indonesia, yaitu Si Leungli, Jaka Tarub, dan Sangkuriang menyimpan ideologi yang merugikan citra diri perempuan karena cenderung mengukuhkan dan melegitimasi obyektifikasi terhadap perempuan. Karena ketiganya merupakan buku cerita bergambar maka kajian akan dilakukan baik terhadap teks maupun gambar. Untuk dapat mengungkapkan ideologi yang opresif ini, kajian akan mengemukakan bagaimana

1Dhita Hapsarani adalah anggota pengajar Departemen Susastra yang mengajar di Program Studi Inggris dan

Program Studi Magister Ilmu Susastra, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Minat penelitiannya seputar cerita anak, biografi dan autobiografi dan alih wahana.

Si Leungli, Sangkuriang, dan Jaka Tarub 91

perempuan dan laki direpresentasikan dalam ketiga teks dan bagaimana relasi kuasa antar perempuan dan laki-laki ditampilkan.

Kerangka Konsep: Kritik feminis dan obyektifikasi perempuan

Pada dasarnya kritik feminis mempersoalkan bagaimana sastra dan juga produk budaya lainnya mengukuhkan ataupun melemahkan opresi terhadap perempuan baik dari segi ekonomi, poliitik sosial mapun psikologis (Tyson, 2015, hlm. 79). Salah satu cara yang dipakai dalam melanggengkan opresi terhadap perempuan adalah dengan menerapkan “a habit of seeing” atau penggunaan sudut pandang laki-laki untuk melihat segala sesuatu seakan-akan sudut pandang laki-laki bersifat netral dan inklusif. Penerapan sudut pandang laki-laki ini mengimplikasikan bahwa sudut pandang dan pengalaman perempuan dianggap tidak berbeda dari laki-laki atau dianggap tidak penting sehingga tidak masalah jika diabaikan.

Pada kenyataannya, sudut pandang laki-laki tidaklah netral dan inklusif karena memiliki kecenderungan untuk mengobyektifikasi perempuan. Perempuan diobyektifikasi ketika ia dilihat atau diperlakukan oleh orang lain sebagai obyek, terutama dalam konteks hubungan seksual (Nussbaum, 1995, hlm: 254). Obyektifikasi seksual dengan demikian adalah pengalaman diperlakukan sebagai tubuh (atau sekumpulan anggota tubuh) yang dinilai dari segi kegunaannya bagi (atau yang dikonsumsi oleh) orang lain. Ada tiga area di mana perempuan sering diobyektifikasi. Yang pertama adalah dalam hubungan interpersonal dan pertemuan sosial. Dalam area ini perempuan lebih sering ditatap daripada laki-laki; perempuan lebih sering merasa dirinya “dilihat” karena laki-laki lebih sering menatap perempuan di tempat-tempat umum dan tatapan laki-laki sering disertai komentar yang tendensius.Yang kedua terjadi di media visual yang menampilkan hubungan interpersonal dan pertemuan sosial. Kebanyakan iklan memperlihatkan laki-laki yang sedang menatap perempuan sementara perempuan yang sedang ditatap diperlihatkan melihat ke arah lain atau tidak menyadari dirinya sedang menjadi obyek tatapan. Area ketiga adalah media visual yang menampilkan tubuh atau bagian-bagian tubuh perempuan dan menempatkan penonton pada posisi sebagai laki-laki yang menatapnya. Jadi secara umum perempuan hidup dalam budaya yang menempatkan tubuh perempuan untuk ditatap, dinilai dan diobyektifikasi. (Frederick dan Roberts, 1997)

Nusbaum menjabarkan tujuh macam ciri khas yang menandakan obyektifikasi terhadap seseorang: 1. instrumental: jika seseorang diperlakukan sebagai alat untuk memenuhi tujuan pengobyektifikasi.

2. tidak memiliki kehendak: jika seseorang diperlakukan sebagai pribadi yang tidak memiliki otonomi atau kemampuan untuk menentukan keinginannya.

3. tidak mampu bergerak: jika seseorang diperlakukan sebagai pribadi yang tidak memiliki agensi

4. dapat dipertukarkan: jika seseorang diperlakukan seakan-akan orang tersebut dapat dipertukarkan dengan obyek lainnya.

5. dapat dilukai: jika seseorang diperlakukan sebagai obyek yang dapat dilukai dan disakiti.

6. kepemilikan: jika seseorang diperlakukan sebagai sesuatu yang dapat dimiliki (dapat diperjualbelikan) 7. penyangkalan subyektifitas: jika perasaan dan pengalaman seseorang tidak dianggap penting.

Langton (2009) melengkapi ketujuh tanda ini dengan menambahkan tiga tanda lagi, yaitu

8. direduksi menjadi tubuh: jika seseorang diidentifikasi dengan tubuhnya atau bagian-bagian dari tubuhnya. 9. direduksi menjadi penampilan: jika seseorang diperlakukan berdasarkan pemapilannya.

10. Pembungkaman: jika seseorang diperlakukan seolah-olah ia tidak memiliki kemampuan untuk berbicara. Tubuh tidak hanya dikonstruksi secara biologis tetapi juga secara sosial dan budaya melalui praktik-praktik dan wacana sosial budaya (Frederick dan Roberts, 1997). Tubuh memiliki makna sosial dan makna ini membentuk pengalaman tergender. Obyektifikasi seksual terhadap perempuan memang hanya salah satu bentuk opresi yang dialami perempuan, tetapi ini merupakan satu faktor yang mengarah atau menyebabkan terjadinya berbagai opresi lainnya, mulai dari perlakuan diskriminatif terhadap perempuan di dalam pekerjaan sampai kekerasan seksual. Tidak hanya diobyektifikasi oleh tatapan laki-laki, perempuan juga dikondisikan untuk melihat perempuan lain dari sudut pandang laki-laki mengingat sudut pandang ini yang selalu dipakai dalam berbagai wacana dan media. Lebih jauh lagi, perempuan juga dikondisikan untuk melihat dirinya sendiri dengan menggunakan sudut pandang laki-laki. Hal ini disebabkan karena perempuan diyakini ditakdirkan untuk menjadi milik laki-laki atau selalu dalam penjagaan

laki-laki. (Berger, 1977) Keyakinan akan takdir ini membuat perempuan harus memperhatikan bagaimana ia dilihat atau dipandang oleh orang lain, terutama laki-laki. Kemampuannya untuk menampilkan dirinya menentukan bagaimana ia akan diperlakukan oleh laki-laki. Sementara itu perlakuan laki-laki kepada perempuan ditentukan oleh

pengamatannya terhadap bagaimana perempuan membawakan dirinya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa “Men

look at women. Women watch themselves being looked at.” (Berger, 1977, hlm. 47) Obyektifikasi perempuan dalam Si Leungli, Jaka Tarub, dan Sangkuriang

Untuk dapat mengungkapkan obyektifikasi perempuan dalam ketiga teks, maka akan diungkapkan bagaimana perempuan ditampilkan dan diperlakukan. Secara keseluruhan, ketiga tokoh perempuan dalam ketiga teks direpresentasikan sebagai obyek yang dilihat, diamati dan dinilai, ketiganya ditampilkan sebagai tokoh yang pasif dan bungkam, serta diperlakukan sebagai obyek yang dapat dimiliki dan dikuasai.

Perempuan sebagai obyek pengamatan dan penilaian

Baik Nyi Bungsu Rarang, Nawang Wulan maupun Dayang Sumbi ditampilkan sebagai obyek dari pengamatan dan penilaian laki-laki. Ketika Nyi Bungsu Rarang diperkenalkan, pembaca diajak mengikuti pengamatan dan penilaian binatang-binatang hutan terhadap tujuh gadis bersaudara yang dikenal tercantik di negeri itu. Para binatang itu mengamati di kejauhan dan menentukan siapa yang tercantik berdasarkan kriteria mereka. Kriteria kecantikan ideal meliputi kecantikan fisik dan kecantikan hati. Kecantikan fisik ditandai dengan rambut terhitam dan terpanjang, kulit terhalus dan terbersih, serta gigi terputih dan terbersih. Sementara, kecantkan hati ditandai dengan hati yang tulus dan murni yang dikontraskan dengan hati yang penuh iri dan dengki yang diwakili oleh keenam kakak Nyi Bungsu. Apa yang dilakukan para binatang ini sama seperti para juri dan penonton dalam kontes kecantikan. Gambar juga mendukung hal itu karena pembaca diposisikan pada posisi yang sama dengan binatang-binatang yang mengamati dan menilai ketujuh perempuan yang berjalan beriringan di kejauhan. Mereka ditampilkan memakai pakaian desa jaman dahulu, yaitu berkutang dan berkain dengan rambut hitam terurai.

Gambar 1 Gambar 2

Selain diamati dan dinilai oleh binatang hutan, Nyi Bungsu juga diamati dan dinilai oleh Pangeran Anom yang sedang mencari putri yang dilihatnya dalam mimpi. Baik teks maupun gambar, Nyi Bungsu ditampilkan sebagai obyek yang diamati. Sebagai obyek, Nyi Bungsu bersikap pasif dan tidak menyadari kalau dirinya sedang diamati. Teks

menyatakan secara gamblang bahwa “[s]edikit pun Nyi Bungsu Rarang tidak menyadari, bahwa dirinya tengah

diamati. Gambar memperlihatkan bagaimana pandangan Pangeran yang melekat pada Nyi Bungsu sementara mata Nyi Bungsu diperlihatkan melihat ke arah lain seakan-akan tidak menyadari menjadi obyek tatapan atau menghindar dari tatapan laki-laki.

Cerita Jaka Tarub sudah sangat jelas menempatkan perempuan sebagai obyek pengamatan dan penilaian laki-laki. Cerita rakyat ini dikisahkan berulang-ulang sehingga pencerita maupun pendengarnya kehilangan kesadaran bahwa sebenarnya cerita ini membenarkan atau menganggap wajar kalau laki-laki mengintip perempuan yang sedang mandi. Narator tidak menganggap hal ini sebagai hal yang mengganggu atau memalukan karena sudut pandang yang dipakai adalah sudut pandang laki-laki. Perempuan dalam cerita ini seperti Nyi Bungsu, ditampilkan tak sadar kalau sedang dijadikan obyek pengamatan.

Dalam mengamati, terjadi penilaian sehingga Jaka Tarub menentukan bahwa yang tercantik adalah yang bungsu. Kriteria Jaka Tarub berbeda dari kriteria para binatang hutan; Jaka Tarub lebih menonjolkan sensualitas tubuh perempuan seperti halnya Sangkuriang yang amnesia mengintip ibunya, Dayang Sumbi. Jaka Tarub menilai Nawang

Si Leungli, Sangkuriang, dan Jaka Tarub 93

Wulan dari raut wajah yang “halus dan sangat jelita,” “tubuhnya molek tanpa cacat cela,” “halus gerakannya.” “manis senyumannya,” “lentik bulu matanya,” “merah bibirnya,” dan “tajam lirikannya.” (Jaka Tarub, hlm 20). Sementara

bagian-bagian tubuh Dayang Sumbi yang dinilai Sangkuriang adalah bibir yang ranum dan senyuman yang terlampau indah. Nawang Wulan dan Dayang Sumbi dinilai berdasarkan bagian-bagian tubuh mereka dan dijadikan obyek kenikmatan oleh Jaka Tarub dan Sangkuriang yang membandingkan keindahan tubuh sebagai “[p]emandangan yang

terlampau indah.” Teks dan gambar memosisikan pembaca (anak-anak) sebagai Jaka Tarub dan Sangkuriang sehingga

menginternalisasi sudut pandang dan perilaku laki-laki dalam mengamati dan menilai perempuan.

Gambar 3 Gambar 4

Gaya ilustrasi untuk Jaka Tarub sama seperti Si Leungli. Bidadari diperlihatkan memakai kemben dan kain dengan selendang seperti burung merak sebagai baju kah-yangannya. Tubuh perempuan ditampilkan semampai, langsing, lembut dan gemulai. Ketika Nawang Wulan harus hidup seperti manusia, ia diberi pakaian desa berupa kebaya yang melekat di badan memperlihatkan kelangsingan dan lekuk tubuhnya. Karena gambarnya bersifat dekoratif, kesan sensualitasnya tidak kuat seperti ilustrasi untuk Sangkuriang yang memakai gaya realisme.

Gambar 5 Gambar 6

Ilustrasi untuk Sangkuriang sangat menonjolkan sensualitas tubuh perempuan yang tampak dari sudut mana tubuh perempuan disoroti dan pose yang dipilih. Gambar 5 memperlihatkan bagaimana tubuh Dayang Sumbi dieksploitasi dengan menonjolkan bagian punggung dan dadanya. Teks mengatakan bahwa Dayang Sumbi kelelahan karena lama menenunnya dan ia menelungkup di atas alat tenunnya, tetapi gambar memperlihatkan Dayang Sumbi meregangkan tubuhnya sambil duduk sehingga dadanya tampak membusung. Walaupun pelukisnya selalu melihat Dayang Sumbi dari belakang, tetapi pose-pose yang dipilih adalah pose-pose yang sensual. Gambar 6 memperlihatkan bagaimana Dayang Sumbi memperbaiki rambutnya dengan kedua tangannya sehingga kembali dadanya terbuka dan bokongnya menonjol. Pose ini sebetulnya tidak sesuai dengan konteksnya karena saat itu Sangkuriang yang belum kehilangan memori memberikan bungkusan berisi hati Tumang yang disangka Dayang Sumbi sebagai hati rusa. Sensualitas tubuh perempuan berulang-ulang dimunculkan, juga ketika teksnya mengisahkan hubungan ibu dan anak. Dengan pose seperti itu, Dayang Sumbi tidak dimunculkan dengan figur seorang ibu bagi Sangkuriang, tetapi obyek seksualitas bagi ilustrator dan pembacanya.

Selain ditampilkan sebagai obyek bagi ilustrator dan pembaca, dalam teksnya, Dayang Sumbi telah diposisikan sebagai obyek dari sejak awal diperkenalkan kepada pembaca, seperti halnya Nyi Bungsu dan Nawang Wulan. Dayang Sumbi yang dilahirkan karena titisan dewi yang dihukum menjadi babi tanpa sengaja meminum air seni Raja,

digambarkan sebagai “gadis yang molek” (Sangkuriang, hlm. 15) dan memiliki ketrampilan menenun yang luar biasa.

diamati tidak menyadarinya karena hanya memunggungi Raja dan Permaisuri (lihat Gambar 7). Raja dan Permaisuri diperlihatkan mengangkat tinggi kain hasil tenunan Dayang Sumbi. Ini menunjukkan pengakuan dan apresiasi atas kesempurnaan Dayang Sumbi sebagai perempuan karena menguasai “ilmu-ilmu yang harus dikuasai wanita.” (Sangkuriang, hlm. 15)

Gambar 7

Secara umum, ketiga teks memosisikan perempuan sebagai obyek yang dilihat, diamati dan dinilai oleh laki-laki. Perempuan dinilai berdasarkan tubuh dan bagian-bagian tubuhnya tidak hanya oleh teks, tetapi juga oleh gambar-gambarnya. Pembaca diposisikan sebagai pengamat dan penilai yang menginternalisasi tatapan laki-laki terhadap tubuh perempuan.

Perempuan diperlakukan sebagai obyek kekuasaan dan kesewenangan

Perempuan dalam ketiga teks ini juga diperlakukan sebagai obyek kekuasaan dan kesewenangan laki.laki. Nyi Bungsu Rarang menjadi obyek kekuasaan dan kesewenangan Pangeran Anom melalui tipu daya dan pemaksaan kehendak dengan memanfaatkan perbedaan status sosial. Tipu daya dilakukan Pangeran dengan meminta Nyi Bungsu mengambilkan buah dari pohon berdaun emas jelmaan Si Leungli. Ketika Bungsu menyerahkan buah itu, tangannya digenggam erat dan Pangeran langsung melamarnya. Genggaman tangan itu tidak dilepaskan meskipun Nyi Bungsu memintanya untuk dilepaskan. Ada beberapa poin yang menarik untuk diperhatikan pada bagian ini. Pertama, narator memakai fokalisasi internal dari Bungsu untuk memperlihatkan perasaan terganggunya akibat perbuatan Pangeran

Anom. Narator menceritakan bahwa Bungsu merasa “genggaman tangan sang ksatria terasa menganggu” dan ia “merasa sangat malu.” Ia menegur pangeran dan meminta agar tangannya dilepaskan karena perbuatan itu “sama sekali tidak sopan.” (Si Leungli, hlm. 61) Perasaan malu Nyi Bungsu akibat perbuatan tidak sopan Pangeran

memperlihatkan adanya kesadaran dalam diri Nyi Bungsu bahwa ia telah diperlakukan sebagai obyek yang membuatnya merasa tidak berharga dan tidak berdaya sehingga menimbulkan perasaan malu. (Fredricson & Roberts, 1997) Perasaan malu ini sebenarnya mengekspresikan tekanan yang dialami Nyi Bungsu. Sampai sejauh ini narator sepertinya memberi kesempatan pada pembaca untuk dapat menyelami perasaan teropresi Nyi Bungsu.

Kedua, narator memakai fokalisasi internal dari Pangeran ketika mendengar teguran Bungsu agar ia melepaskan

genggamannya. Dalam pandangan Pangeran, “[d]ia sama sekali tidak menyangka lamarannya ditolak dengan serta merta” dan “Putri bukan hanya mencerca, bahkan kini sudah mulai meronta!” (Si Leungli, hlm. 61) Narator

memperlihatkan adanya distorsi dalam pandangan Pangeran terhadap reaksi Bungsu terhadap perlakuannya. Distorsi ini mengungkapkan bahwa Pangeran tidak pernah membayangkan adanya kemungkinan lamarannya ditolak perempuan yang diingininya. Ia tidak hanya tidak siap menerima penolakan, ia tidak memberi ruang bagi penolakan itu sendiri. Keterangan selanjutnya memperlihatkan beroperasinya relasi kekuasaan yang tidak seimbang dan narator justru memperlihatkan pemihakan kepada perlakuan yang sewenang-wenang dari Pangeran dengan memberikan

pembenaran atas perlakuan Pangeran yang “tetap mempererat genggaman.” Penjelasan narator mengatakan bahwa “[d]ia telah mencari putri dengan berbagai upaya. Kini pun putri harus didapat dengan segala daya.” (Si Leungli, hlm.

61). Di sini kehendak perempuan yang sempat dimunculkan di atas, tidak dianggap penting sehingga tidak masalah jika diabaikan dan dikorbankan. Yang penting adalah tercapainya kehendak laki-laki.

Si Leungli, Sangkuriang, dan Jaka Tarub 95

Ketiga, Pangeran Anom yang sejak awal diperkenalkan sebagai pangeran yang bijak dan berjiwa ksatria ini memakai kekuasaannya sebagai anak raja untuk memaksakan kehendaknya memperistri Nyi Bungsu. Pengisahan peristiwa ini memperlihatkan bias gender narator. “Maka Pangeran Anom segera bersabda dengan penuh wibawa, ‘Nyi Bungsu

Rarang! Aku adalah calon rajamu! Kuperintahkan engkau untuk menjadi istriku!’” (Si Leungli, hlm 61) Bias gender

itu sangat nyata terlihat dari keterangan yang diberikan narator untuk menjelaskan bagaimana Pangeran memanfaatkan otoritasnya untuk mendapatkan apa yang dia inginkan serta dari penggunaan tanda seru untuk setiap kalimat Pangeran.

Di samping itu, pilihan frasa “bersabda dengan penuh wibawa” menempatkan Pangeran pada posisi yang jauh lebih tinggi daripada Nyi Bungsu karena kata “sabda” dipakai untuk menekankan wibawa raja. Narator membenarkan tindakan ini dan tidak memandangnya sebagai suatu pelanggaran terhadap subyektifitas Bungsu. Dengan “bersabda”,

Pangeran membungkam kehendak Bungsu, memaksakan kehendaknya pada Bungsu serta menempatkan Bungsu sebagai obyek yang harus menerima apapun yang diminta darinya, obyek yang tidak punya hak untuk berkehendak. Dari segi kelas sosial, Nyi Bungsu sudah dikonstruksi sebagai pihak yang lemah karena ia yatim piatu dan seorang buruh tani. Penempatan perempuan pada posisi yang lemah ini menonjolkan obyektifikasi terhadapnya. Yang lebih mengganggu adalah upaya narator memberikan pembenaran akan perlakuan Pangeran sebagai hal yang lazim di jamannya.

“Pada zaman itu, perintah raja adalah perintah yang tak dapat dibantah....mutlak adanya. Mengikuti

perintah adalah wajib hukumnya. Seorang raja memiliki kekuasaan penuh. Apapun kata raja, rakyat harus patuh. Bila ada yang berani melanggar, hukuman beratlah yang terganjar.” (hlm 61)

Meskipun tujuannya adalah menjelaskan tentang kondisi yang berbeda dari jaman sekarang, tetapi penjelasan ini terkesan membenarkan tindakan pangeran yang memakai kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya. Ia justru menempatkan Pangeran sebagai penguasa dan Nyi Bungsu sebagai rakyat yang harus tunduk pada penguasa. Penolakan berarti pemberontakan dan itu membawa hukuman. Dengan pemosisian seperti ini, narator menghilangkan agensi dan subyektifitas Nyi Bungsu. Kehendaknya sama sekali diabaikan demi memuaskan kehendak Pangeran. Respon Nyi Bungsu selanjutnya memberikan gambaran mengenai opresi yang dialami tetapi juga upaya untuk

menutupinya. Bungsu dijelaskan menjadi pucat pasi dan “menjatuhkan diri menghaturkan sembah serta berkata, ‘Menolak hamba tak bijak. Menerima pun hamba tak layak.’” (Si Leungli, hlm 61) Perkataan Bungsu ini

memperlihatkan bahwa ia tidak diberi pilihan selain menerima dengan takut. Namun, dalam keadaan yang teropresi seperti ini, Bungsu ditampilkan mencoba menutupinya dengan memberikan pembenaran akan keputusannya tunduk

pada Pangeran. Pembenaran itu berupa citra yang positif tentang Pangeran bahwa “[n]ama Putra Mahkota Pangeran

Anom telah mengharum ke mana-mana. Bijak hatinya. Ksatria wataknya.” (Si Leungli, hlm. 61). Penekanan pada citra positif seperti ini menandakan bahwa bagi narator tindakan opresif Pangeran terhadap perempuan merupakan tindakan yang bijak dan ksatria.

Peristiwa yang memperlihatkan kekerasan pada perempuan ini tidak ditampilkan dalam gambar sehingga dapat dikatakan bahwa gambar mencoba menghilangkan unsur kekerasan itu. Yang ditampilkan adalah hasil akhirnya, Pangeran memboyong Nyi Bungsu di atas kudanya dan berjalan di bawah pelangi dan diiringi oleh para binatang hutan yang sama seperti di awal cerita. Gambaran dari visualnya justru menekankan harmonisasi antara kedua tokoh dan alam semesta, yang diwakili oleh si Leungli yang telah berubah menjadi pohon berdaun emas.

Dalam Jaka Tarub, kesewenangan laki-laki diperlihatkan melalui tipu daya Jaka Tarub terhadap Nawang Wulan.

Penjelasannya sama seperti Pangeran Anom, “Jaka Tarub memikirkan berbagai muslihat. Hatinya telah telanjur

terpikat. Jiwanya telah telanjur tertambat. Bagaimanapun caranya, sang bungsu bidadari Nawang Wulan harus

didapat!” (Jaka Tarub, hlm. 24) Kutipan ini menegaskan bahwa laki-laki harus mendapatkan apa yang diinginkannya

dengan cara apapun sementara perempuan ditempatkan sebagai obyek yang ingin dimiliki dan dikuasai. Pada akhirnya Nawang Wulan dapat dikuasai seperti halnya Nyi Bungsu walaupun akhir dari cerita Jaka Tarub berbeda dari Si Leungli karena Jaka Tarub harus menerima hukuman atas tipu muslihat dan ketidakpercayaannya pada Nawang Wulan.

Keinginan Jaka Tarub untuk mengetahui misteri Nawang Wulan yang membuat dia mengintip apa yang dimasak istrinya, dapat diinterpretasikan sebagai keinginannya untuk menguasai Nawang Wulan seutuhnya. Dalam hal ini,

Dokumen terkait