• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fakultas Sastra UNTAG Surabaya

Surel: mrsupsiadji@gmail.com

Abstrak

Kajian ini berjudul “Representasi Pelacuran di Surabaya dalam Prosa Indonesia Modern”. Selain sebagai upaya

mengkonstruksi kembali pelacuran di Surabaya, kajian ini juga akan menganalisis aktivitas pelacuran dalam hubungannya dengan berbagai persoalan sosial, ekonomi, dan yang paling utama hubungan dengan politik. Novel Kembang Jepun dan Perempuan Kembang Jepun yang berlatar belakang masa kolonial dan pendudukan Jepang memungkinkan adanya hubungan antara pelacuran dengan politik: gerakan-gerakan antikolonial maupun perjuangan kemerdekaan. Demikian juga pada novel Kremil yang mengambil waktu tahun 1960-an, kemungkinan terdapat hubungan aktivitas pelacuran dengan tragedi PKI. Bumi Manusia mendeskripsikan pelacuran yang dikelola orang Cina pada masa kolonial Belanda. Sedangkan Existere karya Sinta Yudisia mengambil latar belakang kompleks pelacuran Dolly.

Kata Kunci: representasi, sastra bandingan, pelacuran, Surabaya. Latar Belakang

Kajian ini dimulai dari asumsi bahwa Surabaya sebagai sebuah kota, sebagai sebuah ruang, memiliki ciri khas dibandingkan dengan kota lainnya di Indonesia. Ditinjau dari sejarah kultural dan politik, posisi Surabaya selalu

menjadi ‘pinggiran’ dari masa ke masa. Pada masa kejayaan kerajaan Jawa, semisal Mataram, Surabaya menduduki

posisi sebagai wilayah ‘pinggiran’; pun demikian pada masa kolonial Belanda, Surabaya menjadi kota kedua setelah

Batavia (Jakarta). Oleh karena itu, Surabaya dipandang sebagai kekuatan ‘pinggiran’ yang selalu berseberangan dengan ‘pusat’, termasuk corak dan arketip budaya, serta seni dan karya sastra yang tumbuh dan berkembang.

Dalam perkembangannya, Surabaya menjadi kota yang memiliki banyak identitas yang ditandai dengan beragam penyebutan: kota pahlawan, kota kerja, kota perdagangan, dan kota lendir. Surabaya dikenal sebagai Kota Pahlawan karena peristiwa 10 November 1945. Identitas berbeda dikemukakan oleh Howard W. Dick (2002) yang mengungkap sisi lain dengan menelusuri aspek sejarah ekonomi kota yang pernah menjadi penentu perkenomian pemerintah kolonial Belanda sejak abad ke-18, masa resesi dunia di awal abad ke-20, hingga pada masa kemerdekaan yang menjadi kota kedua setelah Jakarta. Dick menyebut Surabaya sebagai kota kerja.

Pada masa kekuasaan Hindia Belanda memang terdapat dua kota yang memegang peranan penting, yaitu Batavia sebagai pusat pemerintahan, dan Surabaya sebagai kota perdagangan. Surabaya sebagai salah satu tempat yang penting pada masa kolonial dicatat von Faber dan Buitenweg (dalam Frederick, 1989:3) mengalami perkembangan fisik yang cepat. Ketika populasi kota dan makna ekonomi semakin tumbuh, pernik-pernik urbanisasi Barat berkembang pesat: pelabuhan modern, sistem pemurnian air bersih, jaringan transportasi jalur tram listrik dan jalan-jalan beraspal, serta konstruksi gedung-gedung perkantoran bagi usaha perdagangan, bank, toko barang-barang pertanian, dan bangunan pemerintahan itu kolonial.

Di masa tersebut, Tanjung Perak menjadi salah satu pelabuhan internasional. Hal ini menjadikan Surabaya sebagai kota yang multi etnis. Selain pribumi (Jawa) dan Belanda, terdapat Cina dan Arab, yang berdagang, hidup, dan membangun satu perkampungan dengan ciri khas etnisnya masing-masing. Bahkan sampai saat ini, kampung-kampung tersebut masih ada.

Namun pembahasan tentang Surabaya seolah tidak akan komplit jika tidak membicarakan pelacuran yang

ada di kota tersebut. Surabaya juga ada yang menyebut sebagai ‘Kota Lendir’ karena dikenal memiliki kawasan

pelacuran terbesar di Asia Tenggara. Di Surabaya, pelacuran menyebar di seluruh kota: Dolly yang hanya berjarak 1,5 KM dari jantung kota, Kremil di wilayah utara, Moroseneng di bagian barat, dan Pulo Wonokromo di selatan.

Aktivitas pelacuran juga berjalan liar di berbagai tempat: makam Kembang Kuning, jalan Diponegoro, monumen Bambu Runcing.

Sebagai sebuah kota yang memiliki pelabuhan besar, pertumbuhan kota Surabaya dipengaruhi oleh aktivitas pelacuran. Purnomo dan Siregar (1984:8) mengatakan bahwa konon pertumbuhan kota selalu diawali dengan pelacuran. Kedatangan pelaut bahari bukan untuk urusan bisnis saja, tetapi juga mencari pengalaman seksual yang disinggahinya. Makin menyenangkan pengalaman yang diperoleh, makin sering pula pelaut singgah, sehingga kemudian menumbuhkan suatu kota dengan segala macam perlengkapannya. Pendapat ini bisa dibuktikan dengan melihat bahwa pada mulanya para pelacur beroperasi di daerah pesisir. Sejarah Bangunrejo di Surabaya, Kramat Tunggak di Jakarta, dan lain-lainnya tampaknya membenarkan pendapat ini.

Di Surabaya, menurut Widodo (2002:113) para pelacur menerapkan strategi menjemput bola. Para pelacur naik ke atas kapal yang tengah merapat di Tanjung Perak. Peristiwa ini dibiarkan oleh kapten kapal karena pertimbangan para ABK (Anak Buah Kapal) dapat dihindarkan dari kebiasaan mabuk-mabukan di tempar-tempat pelacuran di daratan. Selain itu, juga untuk memenuhi nafsu birahi yang tertahan selama berbulan-bulan di tengah lautan. Dijelaskan pula bahwa pelacuran di Surabaya telah ada sejak tahun 1864, tepatnya di Kampung Bandaran. Pada tahun 1866 di lokalisasi tersebut tercatat ada 228 orang wanita pelacur di bawah pengawasan 18 orang germo.

Dalam kaitannya dengan karya sastra, Surabaya sering ditampilkan sebagai ruang penceritaan dengan potensi permasalahan yang beragam. Jika dilihat dari latar waktu penceritaan, prosa Indonesia modern mendeskripsikan Surabaya mulai dari masa kolonial Belanda, pendudukan Jepang, kemerdekaan, bahkan kekinian. Surabaya seolah merupakan target pembacaan dan bahan yang tidak pernah habis bagi sastrawan. Beberapa prosa Indonesia modern tersebut antara lain: Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, Mencari Sarang Angin dan Kremil karya Suparto Brata, Rafilus karya Budi Darma, Surabaya karya Idrus, Nyai Wonokromo karya Mayon Sutrisno, Kembang Jepun karya Remy Sylado, Perempuan Kembang Jepun karya Lan Fang, Keroncong Cinta karya Ahmad Faisal, Surabaya Jhony karya Sony Karsono, dan Existere karya Sinta Yudisia. Hal ini menjukkan bahwa Surabaya memiliki posisi penting dalam sejarah Indonesia, juga memliki ciri khas yang berbeda sebagai sebuah kota, baik secara identitas maupun kultural.

Kajian tentang Surabaya, tentang pelacuran, tenang Surabaya dalam sastra memang telah banyak dilakukan, namun kajian tentang representasi pelacuran dalam prosa Indonesia modern masih sedikit ditemukan. Pembahasan tentang pelacuran dalam karya sastra seringkali mengangkat persoalan hubungan antara perempuan (pelacur) dengan

berbagai sistem yang memposisikannya sebagai korban. Annisa (2014) menganalisis catatan perjalanan “Permata

Dalam Lumpur: Merangkul Anak-anak Pelacur Dari Lokalisasi Dolly” melalui aspek kekerasan perempuan (pelacur).

Lebih dari itu, pelacuran merupakan persoalan yang menyimpan potensi ‘pembacaan’ yang beragam mulai

dari pergulatan penghuninya, kesejarahannya, maupun benturannya dengan persoalan lain—dengan ruang dan karakter kota, ekonomi, dan sejarah Indonesia. Oleh karena itu, kajian ini akan terfokus pada persoalan pelacuran di Surabaya yang direpresentasikan dalam prosa (novel) Indonesia modern. Novel-novel objek material kajian ini akan menjadi data primer dalam mengkonstruksi pelcauran di Surabaya dari waktu ke waktu.

Dari deretan karya sastra tersebut, terdapat lima novel yang menceritakan tentang pelacuran di Surabaya dengan porsi yang berbeda-beda. Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer (cetakan ke-16 tahun 2010, Lentera Dipantara), Kremil (2002, Pustaka Pelajar), Kembang Jepun karya Remy Sylado (cetakan ke-2 tahun 2003, Gramedia), Perempuan Kembang Jepun karya Lan Fang (2008, Gramedia), dan Existere karya Sinta Yudisia (2010, Lingkar Pena Publishing House). Kelima novel tersebut dipandang dapat mewakili penggambaran pelacuran di Surabaya, baik dari segi isi maupun tawaran estetika.

Kelima novel tersebut juga mempresentasikan ‘cara pandang’ sastrawan dari generasi ke generasi. Bumi

Manusia karya Pramoedya Ananta Toer (1925) mendeskripsikan dengan porsi yang sangat minim tentang pelacuran yang dikelola orang Cina pada masa kolonial Belanda; Kremil karya Suparto Brata (1932) mengkisahkan aktivitas pelacuran di lokalisasi Kremil di tahun 1960-an; Kembang Jepun karya Remy Sylado (1945) mendeskripsikan tentang Shinju, pelacuran Jepang, pada tahun 1930-an; Perempuan Kembang Jepun karya Lan Fang (1970) juga menggunakan latar pelacuran Kembang Jepun tahun 1940-an; dan Existere karya Sinta Yudisia (1974) mengambil latar belakang kompleks pelacuran Dolly.

Selain sebagai upaya mengkontruksi kembali pelacuran di Surabaya, kajian ini juga akan menganalisis aktivitas pelacuran dalam hubungannya dengan berbagai persoalan sosial, ekonomi, dan yang paling utama hubungan dengan politik. Novel Kembang Jepun dan Perempuan Kembang Jepun yang berlatar belakang masa kolonial dan pendudukan Jepang memungkinkan adanya hubungan antara pelacuran dengan politik: gerakan-gerakan antikolonial maupun perjuangan kemerdekaan. Demikian juga pada novel Kremil yang mengambil waktu tahun 1960-an, kemungkin terdapat hubungan aktivitas pelacuran dengan tragedi PKI.

Landasan Teori A. Representasi

Representasi menghubungkan dua hal, yaitu antara yang dipresentasikan dengan yang mempresentasikan. Hubungan keduanya dapat merujuk ataupun tidak tidak merujuk pada keberadaan realitas secara langsung. Hal ini jelaskan oleh Cavallaro (2004:71) sebagai berikut

Sebuah representasi hanya mewakili lantaran ditafsirkan dan pada akhirnya mewakili apa pun yang sanggup memberi kesan—artinya, representasi mempunyai pototensi muatan representasional yang tak terbatas. Konsep representasi juga erat dihubungkan dengan konsep pengulangan (repetition): bisa dikemukakan bahwa kata, misalnya, adalah representasi yang hanya memperoleh makna dari sejumlah hal yang mungkin diulang—yakni, digunakan kembali dalam konteks-konteks yang berbeda.

Dengan demikian, representasi ditandai dengan dua pendekatan, yaitu mimetik dan anti-mimetik. Pendekatan mimetik merupakan gagasan bahwa ide merefleksikan dunia luar—sebagaimana konsep pengulangan (repetition). Pendekatan ini menandakan citra pikiran sebagai alat yang pada dasarnya pasif. Sedangkan pendekatan anti-mimetik merupakan gagasan bahwa ide memancarkan cahaya sendiri pada objek yang dilihatnya. Pendekatan anti-mimetik menandakan citra pikiran sebagai kekuatan yang bersifat aktif.

Representasi dengan pendekatan mimetik atau dengan konsep pengulangan (repetition) menginginkan adanya akurasi dan objektivitas pada dunia yang dihadirkan kembali. Untuk pendekatan ini, Cavallaro (2004:73) menjelaskan bahwa ketika realisme mekenankan kepalsuan representasi, tujuan utamanya adalah untuk memaksakan dirinya sebagai sebuah penggambaran dunia objektif dan transparan atas nama stabilitas ideologi. Pesan terpenting yang hendak disampaikan adalah bahwa realitas bersifat tidak berubah-ubah (unchanging), sehingga sesuatu menjadi tidak terbentuk (unmade).

Sedangkan pendekatan anti-mimetik justru melihat bahwa pemahaman terhadap representasi sebagai refleksi atas sebuah realitas yang ada sebelumnya (pre-existing reality) dapat menyesatkan (Cavallaro, 2004:71). Representasi dipahami sebagai sebuah tafsiran, sebuah persepsi. Cara-cara merepresentasikan ruang tidak mencerminkan realitas ruang itu sendiri melainkan persepsi-persepsi kultural mengenai ruang (Cavallaro, 2004:77). Setiap representasi bisa didekati sebagai sebuah teks, atau sebuah sistem tanda (Cavallaro, 2004:75).

B. Sastra Bandingan

Pada hakikatnya, sastra bandingan didasari pada adanya persamaan dan perbedaan dalam karya sastra. Adanya persamaan dan perbedaan itu kemudian memunculkan studi untuk membandingkan dan atau mencari sebab-sebab timbulnya persamaan dan perbedaan tersebut. Nama sastra bandingan berasal dari seri antologi Prancis yang terbit pada tahun 1986 dengan judul Cours de Litterature Comparee (Bassnett, 1993:12). Sedangkan menurut Darma (2003:8) pada awalnya, studi sastra bandingan berasal dari studi bandingan ilmu pengetahuan, kemudian lahir studi bandingan agama, baru kemudian lahir studi sastra bandingan. Dalam perkembangannya, sastra bandingan menjadi pendekatan dalam ilmu sastra yang tidak menghasilkan teori sendiri (Damono, 2005:3).

Persoalan persamaan dan perbedaan dalam penelitian sastra bandingan awalnya mencakup pada kajian sastra yang berbeda negara. Remak (1991:1) menyatakan bahwa sastra bandingan adalah kajian sastra di luar batas-batas sebuah negara dan kajian hubungan di antara sastra dengan bidang ilmu serta kepercayaan yang lain, seperti seni (misalnya seni lukis, seni ukir, seni bina, dan seni musik), filsafat, sejarah, dan sains sosial (misalnya politik, ekonomi, sosiologi), sains, agama, dan lain-lain. Sastra banding mensyaratkan adanya perbedaan, baik budaya, genre, maupun disiplin ilmu pengetahuan.

Namun seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, muncul kritik atas pandangan Remak. Nada (dalam Damono, 2005:4) menjelaskan bahwa sastra bandingan pada akhirnya juga akan membandingkan antara perpindahan sastra dari satu daerah ke daerah yang lain, hal yang menyangkut segi tematik dan stilistik seperti tipe, diksi, dan gaya. Lebih jauh Damono (2005:7) menegaskan bahwa tidaklah benar jika dikatakan bahwa sastra bandingan sekedar mempertentangkan dua sastra dari dua negara atau bangsa, tetapi lebih merupakan suatu metode untuk memperluas pendekatan atas sastra suatu bangsa saja. Hal ini diutarakan lantaran penelitian sastra bandingan mempunyai tujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih baik tentang kecenderungan dan gerakan yang terjadi di berbagai bangsa dan Negara.

Dengan demikian, dalam sastra bandingan tidak ada batasan ataupun patokan khusus terhadap karya sastra yang dapat dijadikan objek material. Prinsip terpenting sastra bandingan adanya dua buah atau lebih karya yang diperbandingkan.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Melalui metode ini peneliti menentukan dan mengembangkan fokus tertentu, yaitu representasi pelacuran di Surabaya dalam prosa Indonesia modern (Bumi Manusia, Kremil, Kembang Jepun, Perempuan Kembang Jepun, dan Existere). Dipilih cara kerja kualitatif karena

penelitian ini memiliki karakteristik participant observation, yaitu peneliti memasuki dunia data yang ditelitinya, memahami dan terus menerus menyistematikkan tentang objek yang ditelitinya.

Pembahasan

I. Representasi Ruang dan Tokoh Pelacur dalam Prosa Indonesia Modern A. Bumi Manusia: Pelacuran Cina pada Masa Kolonial

Novel Bumi Manusia tidak banyak mengkisahkan tentang pelacuran di Surabaya. Dengan memakai latar waktu akhir tahun 1890-an, kisah pelacuran hanya hadir di halaman 240-250 ketika Robert Malema bertemu Babah Ah Tjong.

Pelacuran yang dipresentasikan merupakan sebuah rumah milik Babah Ah Tjong yang teletak di daerah Wonokromo. Meskipun pelacuran Cina, Babah Ah Tjong juga menyediakan peempuan-perempuan dari Jepang. Rumah Babah Ah Tjong juga menyediakan perjamuan minuman, semisal Whisky.

Prempuan-perempuan anak buah Babah Ah Tjong adalah perempuan asli Cina dan Jepang. Mereka tidak bisa menggunakan bahasa Melayu, Belanda, maupun Jawa. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Cina dan Jepang. Berbeda dengan pelacuran Jepang yang memberikan hiburan berupa seni musik dan tari dari pelacurnya, perempuan-perempuan Babah Ah Tjong hanya memberikan kepuasan seksual saja,

B. Kembang Jepun: Awal Mula Geisha di Surabaya tahun 1920-an

Fenomena geisha masuk di Surabaya sekitar tahun 1920-an. Konsep pelacuran ini menduplikasi konsep di Yoshiwara, lingkungan pelacuran di Edo, nama lama Tokyo. Hal ini dikarenakan perubahan-perubahan akibat berkuasanya militer yang ditandai dengan banyaknya undang dan peraturan. Salah satunya adalah undang-undang pada masa pemerintahan Okumu Shigenubo pada 1914 mengenai berlakunya buku besar tentang status seseorang, yaitu mencatat garis keturunan serta aturan perkawinan yang tidak terdaftar (hlm. 6).

Geisha dapat dikatakan merupakan wanita penghibur yang pandai bermain seni. Keunggulan geisha dibandingkan dengan pelacur-pelacur lain adalah kemampuannya memainkan alat musi, melayani minum sake sampai pelanggan mabuk, dan melayani kepuasan seksual laki-laki dengan gerakan-gerakan indah selayaknya penari. Tidak semua perempuan bisa menjadi geisha. Di Jepang, ada perempuan yang menjadi geisha harus dididik oleh geisha-geisha yang telah lama. Kutipan di bawah ini menunjukkan tugas-tugas seorang geisha-geisha.

Di Situ saya tiggal selama 11 tahun. Di situ juga saya melakukan kepandaian-kepandaian saya tersebut: menyanyi, memainkan musik, menuangkan minuman, memijat, dan membuka seluruh pakaian dan memberikan tubuh saya dinikmati oleh banyak lelaki (Sylado, 2004: 5-6).

Itulah tugas geisha yang perdana di antara tugas-tugasnya yang lain bagi kesenangan lelaki: ia harus cekatan memainkan shasimen, alat petik tiga dawai. Pameo yang umum diucapkan para geisha adalah,

“Sambon ga areba, tabareraru,” artinya “Jika kau memiliki tiga dawai, kau bisa makan.” (Sylado, 2004: 10)

Konsep ideal dari geisha adalah memberikan hiburan kepada lelaki secara sempurna. Kutipan di atas, terutama pameo yang diucapkan geisha, menerangkan bahwa geisha tidak hanya persoalan sesksual. Yang lebih penting dari itu adalah memberikan seni sebagai hiburan. Namun, di Hindia Belanda, pameo tersebut tidak sepenuhnya benar. Hal ini dapat diketahui dari peristiwa di bawah ini

Sembilan tahun kemudian Shinju berubah menjadi rumah pelacuran biasa. Dan para geisha tidak

lagi diingat sebagai “pribadi seni”, tapi semata-mata kembang---dalam istilah Surabaya waktu itu adalah

memang tak kurang tak lebih berarti pelacur (Sylado, 2004: 13).

Pelacur tua langsung dianggap sampah. Malahan, dalam percakapan sehari-hari pun, kedudukan

pelacur dalam anggapan orang di Indonesia adalah juga sampah. Mereka menyebutnya “sampah masyarakat”.

Sesuatu yang salah kaprah bagi geisha. Tentu (Sylado, 2004: 17).

Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Surabaya tidak terlalu mempedulikan seni untuk urusan sesksual. Urusan seksual adalah urusan tubuh. Tubuh perempuan merupakan faktor utama dari kepuasan. Oleh karena itu, ketika mendatangkan geisha dari Jepang begitu sulit karena ada larangan dari peperintah Jepang, Shinju mengambil gadis-gadis lokal untuk dijadikan geisha.

Dalam Kembang Jepun, dijelaskan bahwa geihsa diambil dari orang-orang Manado. Gadis Manado berkulit kuning persis perempuan Jepang. Gadis-gadis tersebut dibawa oleh seseorang dan dijual ke Shinju dengan dijanjikan

akan mendapatkan pekerjaan atau sekolah. Mereka dididik untuk menjadi geisha. Keke adalah satu gadis yang dididik menjadi geisha. Ia harus mengubah namanya menjadi Keiko.

Shinju adalah sebuah rumaha makan, berhubung memang tidak ada dalam kamus kota praja Belanda yang

mengenal istilah “prostitusi ilegal” seperti yang diartikan Jepang atas geisha (Sylado, 2004: 7). Kedatangan

gadis-gadis dari Manado ini menghidupkan kembali Shinju. Gadis-gadis-gadis Shinju dikenal dengan sebutan Kembang Jepun. Bahkan, akhirnya jalan raya kota itu, tak jauh dari Jembatan Merah yang waktu itu bernama Roode Brug No. 72 lebih dikenal dengan sebutan ‘Jalan Kembang Jepun” (Sylado, 2004:5).

C. Perempuan Kembang Jepun: Geisha dan Jugun Ianfu tahun 1941-1945

Novel Perempuan Kembang Jepun yang diciptakan tahun 2003 menghadirkan cerita tentang pelacuran di Surabaya tahun 1941-1945, terutama pelacuran pada masa pendudukan Jepang. Namun disebutkan pula bahwa pelacuran di Surabaya sudah dimulai sejak pelabuhan Tanjung Perak menjadi pelabuhan dagang.

... Bahkan tidak kurang satu-dua orang perempuan langsung bisa dibawa masuk ke kamar yang disewa di perumahan bordil yang bermunculan di sepanjang Kalimas Barat dan Kalimas Timur, sejak pelabuhan Tanjung Perak menjadi pelabuhan dagang.

... Bila senja sudah jatuh dan temaram mulai merayap, perempuan-perempuan itu keluar dari bilik mereka, memamerkan belahan dada yang menyembul. Mereka parikan (berpantun) dengan nada menggoda dan mengundang.

“Tanjung Perak, Mas... kapale kobong...

Monggo pinarak, Mas... kamare kosong...” (Fang, 2012: 41).

Pada masa pendudukan Jepang, terdapat dua penyebutan di dalam dunia pelacuran (hiburan), yaitu geisha dan jugun ianfu. Geisha bukan hanya sekadar memberikan kepuasan seksual laki-laki. Geisha adalah seorang seniwati (hlm. 134). Geisha adalah perempuan yang menyenangkan laki-laki dan memberikan kepuasan yang sempurna (hlm. 130), yang bercinta di dalam seni (hlm. 116). Tidak mudah untuk menjadi seorang geisha. Untuk menjadi geisha, seorang perempuan harus dididik dan disekolahkan. Geisha harus bisa bernyayi, menari, memainkan shamisen, berpantun, menemani tamu dalam jamuan minum teh, dan melayani kepuasan seksual (hlm. 134).

Berbeda dengan geisha, jugun ianfu adalah pemuas nafsu yang sebenarnya. Jugun ianfu bertugas untuk melayani tentara-tentara Jepang. Perempuan-perempuan yang menjadi jugun ianfu kebanyakan diambil dari Jawa, Cina, sebagian dari Korea yang dibawa paksa karena Jepang berhasil menguasai negaranyan (hlm. 95 dan 115). Bahkan jugun ianfu juga diambil dari beberapa perempuan Belanda yang menyerahkan diri untuk mendapatkan keselamatan hidup suaminya (hlm. 115). Setelah Jepang berhasil mengusir Belanda, jugun ianfu harus melayani tentara-tentara Jepang yang merayakan kemenangan. Mereka digilir sepuluh sampai lima belas tentara Jepang. Tidak ada hari libur dan jam istirahat, bahkan dalam keadaan haid pun, tetap dipaksa untuk melayani. Mereka tidak dibayar, justru diludahi, dimaki, ditempelengi, dijambak, bahkan diinjak-injak (hlm. 115).

Baik geisha maupun jugun ianfu tinggal di asrama tempat hiburan yang disebut kurabu. Kurabu tersebar di Jalan Ahmad Jais dan Kembang Jepun (hlm. 107 dan 113). Sejak kekalahan Jepang, tidak ada lagi kurabu Ahmad Jais maupun Kembang Jepun. Daerah Kembang Jepun yang paling meriah dengan kelab-kelab hiburannya ditutup dan disegel. Kurabu di Jalan Achmad Jais tidak ketahuan jelas nasibnya. Ratusan jugun ianfu di sana sibuk menyelamatkan diri sendiri (hlm. 122). Kembang Jepun, kini, menjadi salah satu pusat perekonomian Surabaya.

“Ya. Pada masa penjajahan Belanda, jalan ini bernama Handelstraat. Tidak tahu bagaimana awalnya

dan siapa yang memulai, kemudian jalan ini lebih dikenal dengan nama Kembang Jepun. Mungkin karena

banyak kembang Jepun. Dulu bangsa Indonesia menyebut “Jepang” dengan “Jepun”. Banyak gadis-gadis

cantik di sini,” sahut Maya tersenyum (Fang, 2012:29).

Bagi orang pribumi, baik geisha maupun jugun ianfu merupakan pekerjaan yang sama, yaitu pelacur, lonte, sundal. Yang membedakan keduanya adalah soal bayaran. Geisha mendapat bayaran, sedangkan jugun ianfu mendapatkan perlakuan buruk. Namun, bagi Sujono (orang pribumi), kedua pekerjaan tersebut sama saja dengan pekerjaan pelacur-pelacur di Kalimas Barat dan Kalimas Timur.

Kisah tentang geisha dihadirkan melalui tokoh bernama Matsumi atau Tjoa Kim Hwa. Matsumi adalah geisha yang didatangkan dari Jepang atas permintaan Shosho Kobayashi, seorang petinggi Jepang, karena dia menyukai pelayanan Matsumi ketika bertemu di Kyoto. Namun untuk menjaga harga diri bangsa Jepang, Matsumi harus berganti identitas menjadi orang Cina dengan nama Tjoa Kim Hwa.

Di Surabaya, Matsumi atau Tjoa Kim Hwa diempatkan di salah satu kurabu terbesar di Kembang Jepun. Dia

Dokumen terkait