• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Filologis atas Syiir-Syiir di Pesisir Utara Jawa Tengah MUHAMAD BURHANUDIN

FBS Unnes Semarang

Surel: mburhanudin79@yahoo.co.id

Abstrak

Nilai-nilai luhur merupakan sikap dan kepribadian manusia dalam kehidupan dalam bermasyarakat. Nilai luhur dibentuk melalui penanaman dalam berbagai metode dan media yang dikembangkan berdasarkan kearifan lokal dan perubahan-perubahan sosial yang terjadi. Sastra sebagai produk kebudayaan memiliki nilai-nilai luhur yang dimaksud mencakup filosofi, nilai-nilai, norma, etika, folklore, ritual, kepercayaan, kebiasaan dan adat-istiadat. Salah satu wujud karya sastra yang memiliki nilai luhur adalah syiir. Syiir mengandung nilai-nilai luhur tentang kearifan lokal.

Makalah ini berupaya mendeskripsi nilai-nilai luhur yang terkandung dalam teks syiir yang berkembang di wilayah Pesisir Utara Jawa Tengah. untuk melakukan diperlukan kajian filologi yang meliputi pernaskahan dan perteksan sastra syiir yang bertuliskan huruf pegon di wilayah Pesisir Utara Jawa Tengah. kajian filologi bertujuan mempermudah pembaca menerima efek komunikasi sastra tentang materi sastra klasik yang bertuliskan huruf pegon pesisiran. Dengan demikian, karya sastra klasik pegon dipesisiran dapat diapresiasi secara luas.

Objek material yang dijadikan kajian dalam makalah ini adalah sastra klasik berupa syiir yang ditulis menggunakan huruf Arab-Jawa (pegon) maka, diperlukan kajian filologi yang meliputi pernaskahan, perteksan dan suntingan teks atas sastra klasik yang berupa syiir.

Inventarisasi dan transliterasi naskah klasik yang berupa syiir yang berkembang di wilayah pesisir pantai utara Jawa Tengah dilakukan untuk mendata dan mendapatkan gambaran keberadaan naskah yang ada serta mempermudah efek komunikasi sastra antar generasi melalui teks yang terbaca. Hal ini penting dilakukan karena belum ditemukan adanya bukti inventarisasi naskah klasik pesisiran serta belum banyaknya hasil transliterasi atau suntingan teks sastra klasik pesisiran. Metode filologi meliputi metode pemilihan naskah dasar kajian dan metode penyuntingan teks. Langkah kerja filologi dalam penelitian ini dilakukan karena objek material sastra klasik pesantren yang berbentuk syiir mengandung karakteristik masa lampau. Karakteristik masa lampau tersebut berupa teks tulisan tangan dan menggunaan huruf Arab-Jawa (pegon). Kajian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi penyusunan penelitian lebih lanjut.

Kata Kunci; kajian filologis, nilai-nilai luhur, sastra Pegon, Syiir Pesisir Pendahuluan

Karya sastra lama sebagai bacaan yang bernilai dapat memberikan manfaat positif bagi kehidupan bermasyarakat, seperti yang dikatakan Horatius dulce et utile, menghibur dan bermanfaat (Teeuw, 1983:183). Menurut Sutrisno (1981) di balik keindahan karya sastra terdapat gagasan pengarang yang bernilai edukatif, sehingga sastra dan tata nilai kehidupan merupakan dua fenomena sosial yang saling melengkapi, sastra sebagai bentuk seni kelahirannya bersumber dari kehidupan yang bertata nilai dan pada gilirannya sastra akan memberikan sumbangan bagi terbentuknya tata nilai.

Tata nilai berorientasi pada etika. Tata nilai dibentuk oleh pengetahuan, pemahaman serta penghayatan atas ajaran agama. Agama memberikan ajaran tata nilai yang lengkap dengan peraturan yang mencegah manusia agar tidak keluar dari aturan. Agama seperti ikatan yang tidak melepas seorang manusia melenceng dari nilai kebenaran yang absolut berdasarkan tendensi agama tersebut. Etika dapat disederhanakan dengan bahasa “benar dan salah” atau bermoral dan amoral (Sugiarto, 2000:). Karya sastra, selain memberikan kenikmatan seni, juga memperkaya kehidupan batin, memperhalus budi, bahkan juga sering membangkitkan semangat hidup yang menyala dan mempertinggi rasa ketuhanan dan keimanan (Pradopo, 2007).

Karya sastra lama perlu untuk dikaji, diteliti, dan diungkapkan kandungannya, karena dalam karya sastra lama tersimpan sejumlah informasi tentang masa lampau dan nilai-nilai (Chamamah, 2011). Adanya kepentingan untuk mengenali, memahami, dan selanjutnya menciptakan budaya bangsa dengan memperhatikan akar budayanya dikarenakan budaya merupakan suatu proses yang berkesinambungan, yaitu apa yang dilahirkan pada masa lampau berkelanjutan pada masa kini untuk selanjutnya menciptakan wujud masa depan bangsa (Chamamah, 2011). Nilai yang hidup pada masa kini, dan yang akan berkembang pada masa yang akan datang merupakan bentuk kesinambungan dari nilai-nilai yang telah ada pada masa lampau. Sebagai peninggalan masa lampau, naskah menyimpan berbagai informasi

tentang kehidupan, tentang berbagai buah pikiran, paham, dan pandangan hidup yang pernah hidup pada masyarakat masa lampau.

Proses penyebaran Islam di Nusantara yang diikuti penggunaan kepustakaan agama Islam melahirkan lingkungan budaya baru, yang dinamakan budaya pesantren. Budaya pesantren merupakan tradisi agung kedua yang mengimbangi tradisi agung di lingkungan istana (Simuh, 1999). Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia merupakan produk asli Indonesia, Majid dalam Qomar (2002) menyebutnya dengan istilah indegenous (pendidikan asli Indonesia).

Pesantren sebagai sistem pendidikan asli di Indonesia mempunyai karakteristik yang khas dan unik. Salah satu kekhasan dan keunikan pesantren yang tidak pernah ditinggalkan adalah proses penerjemahan bahasa asal (baca: teks Arab) ke dalam bahasa Jawa. Tradisi penerjemahan bahasa asal ke dalam bahasa Jawa menggunakan aksara pegon masih tetap dilestarikan melalui metode pembelajaran sorogan dan bandongan dalam tradisi di pesantren. Tradisi penerjemahan dengan menggunakan hurup pegon mempunyai pengaruh terhadap penciptaan dan perkembangan sastra pesantren.

Sewaktu agama Islam menjadi elemen yang dominan dalam peradapan Jawa, aksara Arab yang semula hanya digunakan untuk menulis teks-teks Arab, lama kelamaan direka dengan menambah tanda diakritik dipakai untuk menulis teks-teks bahasa Jawa (Pudjiastuti, 2006:44). Teks Jawa yang ditulis dengan aksara Arab disebut teks pegon artinya sesuatu yang terkesan menyimpang. Teks pegon mengenal dua macam yaitu pegon gundhil (tanpa harakat) dan pegon berharakat (Pigeaud 1967: 25-26).

Pondok-pondok pesantren menjadi basis tumbuh kembangnya kesusastraan Islam di Jawa. Sastra pesantren merupakan kesusastraan yang lahir dan berkembang dalam dunia pesantren (Purbacaraka, 1950). Teks-teks seni pesantren dalam lingkungan pondok pesantren mempunyai proses penciptaan dan pertumbuhan bersamaan dengan proses pendidikan dan pengajaran agama Islam. Secara umum teks-teks seni pesantren memiliki tema-tema yang dapat dilihat melalui beberapa kecenderungan simbolik yang berhubungan dengan ajaran, nilai dan norma sosial keagamaan. Sastra keagamaan, sastra Islam, atau sastra kitab bila dilihat dari sudut pandang tempat dan suasana produksi karya sastra, sastra keagamaan dapat disebut sebagai sastra pesantren, bila dipandang dari sisi corpus atau wadah yang menyimpan isi pesan-pesan keagamaan, sastra keagamaan dapat disebut sastra kitab (Manshur, 2007). Demikian juga karya puisi, bentuk syiir pada masyarakat Jawa, seperti syiir Mawar Putih karya Muhammad Nur Sanusi, syiir Mitera Sejati Karya Bisri Rembang, syiir Nasehat Konco Wadon, syiir Sekar Cempaka, syiir Dagang, syiir Siti Fatimah, dan syiir Érang Érang Sekar Panjang. Karya-karya ini dapat dikatakan sebagai karya sastra keagamaan karena kandungan naskahnya berupa ajaran-ajaran agama seperti akhlak, tasawuf, dan teologi Islam.

Syiir Érang- Érang Sekar Panjang merupakan karya sastra lama, maka kajian terhadap syiir Érang- Érang Sekar Panjang akan menggunakan teori filologi. Studi filologi dilakukan terhadap teks yang tersimpan di dalam naskah lama (Robson, 1994). Studi filologi bertujuan mengungkap informasi masa lampau suatu masyarakat dengan menyajikan teks yang menjadi dasar kajian dalam bentuk teks terbaca oleh pembaca masa kini (Istanti, 2005). Dengan demikian, kajian filologi bertujuan untuk menjebatani masa lampau saat teks diciptakan dan masa kini saat teks dibaca. Aspek keterbacaan merupakan hal penting dalam pengkajian karya sastra lama karena teks klasik memuat informasi-informasi tentang kebudayaan masyarakat masa lampau. Melalui teks klasik, dapat digali nilai-nilai hidup yang terkandung dalam kebudayaan masa lalu.

Syiir Sebagai Media Pembentuk Karakter

Syiir sebagai salah satu bentuk karya sastra pesantren mempunyai fungsi dan unsur keindahan yang perlu didayagunakan. Muzakka (2006), dalam penelitiannya terhadap syiir, menemukan tiga fungsi utama syiir, yaitu fungsi hiburan, fungsi pendidikan dan pengajaran, dan fungsi spiritual. Fungsi hiburan muncul karena hadirnya singir dalam khazanah sastra selalu dinyanyikan, baik dengan iringan musik tertentu maupun tidak. Fungsi pendidikan dan pengajaran muncul karena singir mengekspresikan nilai-nilai didaktis, yakni pendidikan nilai-nilai moral Islam dan pengetahuan Islam yang kompleks.

Fungsi spriritual muncul karena sebagian besar singir diberlakukan penggunaanya semata-mata sebagai upaya penghambaan diri kepada Tuhan. Tiga dari fungsi singir di atas bagi para pendukungnya yang paling menonjol adalah sebagai media pendidikan dan pengajaran (Muzakka, 2006). Hal itu mengisyaratkan bahwa karya sastra haruslah dipahami dengan konteks sosial budayanya sebagai fungsi estetik yang tidak lepas dari fungsi sosialnya. Dengan demikian, karya sastra pesantren yang berbentuk syiir sebagaimana yang berkembang di dalam komunitasnya merupakan karya estetis yang berfungsi sosial kuat sebagai wahana komunikasi sekaligus sosialisasi nilai-nilai ajaran agama Islam seperti contoh syiir Érang Érang Sekar Panjang berikut,

Bab Banget Bungah Ana Dunya

Aja sira banget banget gonmu bungah ana dunya Malaikat juru pati nglirak-nglirik maring sira Olé nglirik Malaikat arep jabut nyawa ira

Kajian Filologis Atas Syiir-Syiir Di Pesisir Utara Jawa Tengah 61

goné jabut angenténi dhawuhé Kang Maha Mulya Sakwusé didhawuhi banjur tandang karo kondha

“Aku iki ming sakderma kowé ora kena semaya”

Menurut Mustofa Bisri (dalam Hamidi, 2005), syiir lebih menunjuk pada pengertian nazham dalam bahasa Jawa. Syiir sepadan dengan nazham yang merupakan kalimat yang disusun secara teratur dan bersajak . Seperti contoh syiir yang diciptakan KH. Ali Maksum berikut;

Awak –awak wangsulana Pitakonku marang sira Saka ngendi sira iku Menyang ngendi tujuanmu Mula coba wangsulana Jawaban kelawan cetha Aneng ngendi urip ira Saiki sedina-dina Saudara jawablah

Pertanyaan saya kepadamu Darimana dirimu itu ada Lalu kemana tujuanmu Maka coba jawablah Jawablah dengan jelas Mau kemana hidupmu Sekarang sehari-hari

Terasa sekali betapa kata-kata dalam bait dalam syiir tersebut begitu terpilih: enak diucapkan, mudah dicerna, dan merdu dengan sendirinya. Syiir memiliki irama dan musikalisasi di setiap akhir barisnya serta syiir muncul atas dorongan semangat berdakwah sebagai tanggung jawab para pengarangnya bagi agama dan umat manusia (Mustofa Bisri dalam Hamidi, 2005). Dapat dikatakan bahwa syiir merupakan tuturan imajinatif yang tertata secara artistik berdasarkan aturan-aturan kepuitisan yang mengandung kekuatan emotif untuk mempengaruhi hati dan perasaan penikmatnya.

Syiir menjadi popular karena para kiai dan mubaligh membuat dan menggunakannya sebagai “bumbu” atau wadah menyampaikan materi dalam tabligh-tabligh yang dilakukan kiai. Syiir disukai karena bahasanya mudah

dipahami dan dapat dilagukan sesuai dengan “nada” yang sudah akrab di masyarakat terutama msasyarakat pesantren

atau masyarakat pengajian. Nada yang dimaksudkan adalah nada shalawat atau Al-Barjanji yang umum di masyarakat. Beberapa bentuk salawat yang menjadi pengantar syiir diantaranya,

1. Shalatullah salamullahi ala thaha Rasulillah Shalatullah salamullahi ala Yasin Habibillah Tawassalna bibismillah wabilhadi Rasulillah

Wakulli mujahidi, mujahidi lillah biahlil badri ya Allah

2. Allah humma solli wasalim alaa syayyidina wamaulana Muhammadin adadmma biismilla hi shalatan daimatan bi dawami mulkilahi 3. Ilaa hilas tulir firdaus fii ahlaa walal akhwaa alan naril jahiimi

Wa hablidau watarwfir dhunubi wainakahau birundafil adhimi 4. Yaa Rosululloh Salamun alaik yaa rofi’ asya niwaddaroji

Affatayyaji rotal alami ya uhailaljuudi wal karomi 5. Sholli wasalim daaiman alahmadaa

6. Laailaahaillallah almalikul khaqqul mubin Muhammadurrasulullah shadikul waqdil amin.

Syiir merupakan bentuk karya sastra pesantren yang belum banyak mendapatkan perhatian dalam penelitian sastra, walaupun populasinya cukup banyak.

Kekerabatan Syiir Erang Erang Sekar Panjang dengan Kitab Kuning

Syiir Érang Érang Sekar Panjang merupakan karya Kiai Siraj yang tingggal dan dimakamkan di Payaman Magelang. Riwayat hidup Kiai Muhammad Siraj terdapat dalam buku dokumentasi keluarga trah Siraj yang berjudul Forum Silaturahmi Keluarga Besar Romo Agung KH Siraj Payaman Magelang. Dalam buku dokumen keluarga tersebut diuraikan riwayat hidup KH. Siraj bin Abdul Rosyid merupakan seorang tokoh ulama yang mempunyai kharisma di Magelang. Kelahiran beliau sekitar Tahun 1878 di masa kolonial dan meninggal pada tahun 1959 dalam usia 90 tahun. Kiai Siraj merupakan tokoh yang mewarnai perjalanan dakwah di Masjid Payaman. Syiir Érang Érang Sekar Panjang terdiri atas tiga juz yang masing-masing juznya terdiri dari beberapa bab. Isi teks syiir Érang Érang Sekar Panjang mempunyai ajaran keimanan, syariah, akhlak.

Menurut Damami dalam Sedyawati (2002) syiir tidak bisa diciptakan dari bahan rekaan saja, tetapi harus bersumber pada Al-Quran, hadis, dan kitab-kitab keagamaan. Oleh karena itu, dari sisi kandungannya syiir berisi ajaran moral, nasihat, dan pendidikan. Kitab –kitab keagamaan yang mempunyai hubungan dengan syiir Érang Érang Sekar Panjang adalah kitab- kitab yang diajarkan di pesantren. Kitab-kitab tersebut merupakan kitab fiqih bermadzhab Syafii yang popular di pesantren, ditulis pada abad ke-10 sampai abad ke-15 (Bruinessen, 1995). Teks syiir Érang Érang Sekar Panjang bersumber dari Al-Quran dan hadis serta kitab keagamaan tampak dalam Bab Pitutur Dhateng Sedhèrèk berikut.

Dhèrèk jaler dhèrèk éstri sampun ngantos sama mungkur dhateng napa wontenipun ingkang sampun kula matur / Wontenipun anggén kula angaturi ing pitutur

wonten Quran wonten hadis wonten kitab kang misuwur Kula matur séwu nuwun dhateng para dhèrèk kula ingkang sama merlokaken mirengaken atur kula He para dhérék kula mugi-mugi hanampiya

atur kula kanti seneng sampung ngantos paring duka.// (Siraj, juz 1: 23-24)

Kutipan Bab Pitutur Dhateng Sedhèrèk mempertegas bahwa syiir Érang Érang Sekar Panjang merupakan hasil respons estetik Kiai Siraj dari hasil pembacaannya terhadap referensi-referensi keagamaan, yang bersumber langsung dari Al-Quran, Hadis atau melalui kitab-kitab keagamaan. Bertolak dari hal tersebut kajian ajaran agama atas syiir Érang Érang Sekar Panjang perlu dilakukan.

Pepacuh-Pepeling Syiir Érang-Érang Sekar Panjang

Ajaran agama syiir Érang Érang Sekar Panjang tampak pada judul Érang Érang yang berarti pepacuh atau pepéling. Pepacuh berarti larangan sedangkan pepéling berarti pengingat. Érang Érang mempunyai arti pengingat-ingat terhadap umat manusia agar jangan menerjang larangan Tuhan. Pepéling tersebut disampaikan pengarang melalui tembang/ salawatan (sekar) yang isinya terdapat pada awal sampai akhir syiir (Panjang).

Materi teks ajaran agama dalam syiir sangat dominan. Hal ini didasarkan pada penciptaan syiir yang bersumber dari Al-Quran, hadits, dan kitab-kitab keagamaan (Damami dalam Sedyawati, 2002:509). Ajaran agama meliputi ajaran akidah (keimanan), syariah, dan akhlak (Depag, 1998:37; Aminudin, dkk., 2002: 12). Ajaran agama tentang akidah, syariah dan akhlak yang terdapat dalam syiir syiir Érang Érang Sekar Panjang mengacu Al-Quran, hadis dan kitab- kitab keagamaan. Hal tersebut tampak pada syiir Bab Pitutur Dhateng Sedhèrèk berikut.

Dhèrèk jaler dhèrèk éstri sampun ngantos sama mungkur dhateng napa wontenipun ingkang sampun kula matur Wontenipun anggén kula angaturi ing pitutur

Kajian Filologis Atas Syiir-Syiir Di Pesisir Utara Jawa Tengah 63

Kula matur séwu nuwun dhateng para dhèrèk kula ingkang sama merlokaken mirengaken atur kula He para dhérék kula mugi-mugi hanampiya

atur kula kanti seneng sampung ngantos paring duka.

Kutipan Bab Pitutur Dhateng Sedhèrèk mempertegas bahwa syiir Érang Érang Sekar Panjang merupakan hasil respons estetik Kiai Siraj dari hasil pembacaannya terhadap Al-Quran, hadis dan kitab – kitab pesantren, Wontenipun anggén kula angaturi ing pitutur/ Wonten Quran wonten hadis wonten kitab kang misuwur. Ajaran agama yang berupa anjuran atau nasehat yang disampaikan dalam syiir Érang Érang sekar panjang merujuk ajaran yang terdapat dalam Al-Quran dan Hadis serta dalam kitab keagamaan. Kitab –kitab keagamaan yang mempunyai hubungan dengan syiir Érang Érang Sekar Panjang adalah kitab- kitab yang diajarkan di pesantren. Kitab-kitab tersebut merupakan kitab fiqih bermadzhab Syafii yang popular di pesantren, ditulis pada abad 10 sampai abad ke-15 ( Bruinessen, 1995: 30). Ajaran agama dalam syiir Érang Érang Sekar Panjang terangkum dalam Bab Uwot berikut.

Wajib sira gawé apik gawé jembar uwot ira sababé apik jembar ana lakon pitung perkara Ingkang dhihin kudu mantep perkarané iman ira kaping pindho kudu mantep perkarané Islam ira Kaping telu kudu nrima ing anané awak ira

kurang nyandhang kurang pangan lara susah ja gersula Kaping pat kudu loma maring sanak kadang ira aja pisan gawé serik marang sanak pada ira Kaping lima aja pisan kowé ngina nyang manungsa senajan fekir ina duwé laku ora tata

Kaping nem kudu sira ngati-ati pangan ira aja ngasi kalebunan barang haram weteng ira Kaping pitu aja sira ngasi lali nyang Pangeran / arikala kowe iku kurang sandang kurang pangan Aja pisan sira iku duwé laku ora jujur

titénana awak ira nguwot gremet jur gejegur Sababé olé jegur sikil dredhek ati gumyur

nèk wis jegur seka dhuwur tekan ngisor ajur mumur Sababé goné ajur uwoté luwih dhuwur

lakon pitung puluh tahun seka ngisor teka dhuwur ( Siraj, Juz 1 :8-9)

Kutipan syiir Érang Érang Sekar Panjang Bab Uwat diatas mencakup tiga dimensi ajaran agama Islam, yaitu; akidah, syariah, dan akhlak. Aspek akidah terdapat pada konsep iman Ingkang dhihin kudu mantep perkarané iman ira, aspek syariah kaping pindho kudu mantep perkarané Islam ira, aspek akhlak Kaping telu kudu nrima ing anané awak ira, kurang sandhang kurang pangan lara susah ja gersula, Kaping pat kudu loma maring sanak kadang ira, aja pisan gawé serik marang sanak padan ira, Aja pisan sira iku duwé laku ora jujur. Ketiga ajaran yang dikemukakan dalam Bab Uwot, sesuai dengan ajaran Islam yang meliputi tiga dimensi yaitu aqidah, syariah, dan akhlak. Bertolak dari hal tersebut ajaran agama Islam yang menjadi kajian dalam penelitian terdiri atas dimensi akidah, syariah, dan akhlak.

Akidah berisi aspek keimanan yang menekankan pada konsep monoteisme atau keesaan Tuhan. Syariah merupakan wadah pengaturan segala bentuk praktik keagamaan yang terbagi dalam dua hal, yaitu ibadah dan muamalah. Ibadah berkaitan kewajiban pokok seorang muslim sedang muamalah mengatur tata kehidupan seorang

muslim dengan masyarakat. Akhlak merupakan ajaran yang diarahkan pada pembentukan etika kehidupan masyarakat yang sejalan dengan nilai-nilai dasar Islam (Depag, 1998:37).

Akidah secara terminologi adalah kepercayaan kepada suatu hakekat tertentu dengan kepercayaan yang mutlak, tidak mengandung keraguan bagi yang menyakininya. Aqidah merupakan suatu yang diimani dan yang dipandang dapat memberikan rasa kepuasan yang kuat pada hati sanubarinya, sekaligus menjadi fondamen keimanan, pandangan serta jalan hidupnya (Abud, 1992:2). Dengan demikian, akidah merupakan sesuatu yang dipercayai oleh hati dan pikiran.

Landasan akidah Islam meliputi enam hal yang disebut rukun iman. Rukun iman terdiri atas; iman terhadap Allah, nabi, kitab Allah, Malaikat dan alam ghaib, hari kiamat dan takdir. Syiir Érang Érang Sekar Panjang menyampaikan ajaran akidah dalam Bab Rukuné Iman, Bab Wujudé Pangéran, Bab Ngimanaken Malaikat, dan dalam Bab Nrima Phestén Ala Becik berikut,

Bab Rukun Iman

He para dulur kita wajib padha ngawruhana ing anané rukun iman rukun Islam kang sampurna Aja pisan nak takoni banjur jawab ngayawara balik sira nak takoni kudu jawab ingkang cetha Utawi rukuné iman iya iku nem perkara

ingkang dhihin ngimanaken ing anané Pangénara ira (Siraj, Juz 2: 5)

Bab Wujud Pengéran

Wujudé Pangéran iku ora kaya apa-apa ora rupa ora ketok mungguh ati mungguh nétra Ora manggon ing panggonan ora kona ora kéné wis wajibé Gusti Allah ora manggon panggonané Ora dhuwur ora ngisor ora ngarep ora buri ora kiwa ora tengen anané kang Maha Suci Arikala ana dunya ora ana wong kang présa / sakliyané kanjeng Nabi arikala nang ngakasa

(Siraj, Juz 2: 5)

Bab Ngimanaken Malaikat

Kaping pindho ngimanaken ing anané Malaikat ora lanang ora wadon ora wandu wis mufakat Ora mangan ora ngombé ora turu saklawasé ora anak ora bojo ora bapa sak biyungé

Ora omah ora manggon ing panggonan ingkang mesthi ora amung padha andhèrèk dhawuhé kang Maha Suci Kaping telu ngimanaken ing anané kabéh kitab ing anané etungané kabeh satus papat kitab Utawi kaping paté ngimanaken para utusan kabéh iku ana selawé kang sinebut ana Quran

Kajian Filologis Atas Syiir-Syiir Di Pesisir Utara Jawa Tengah 65

Kautus kon mernata ing anané ka-Islaman

awit kanjeng Nabi Adam hingga Kanjeng Nabi Pungkasan Kaping lima ngimanaken ing anané dina akhir

lamun ora ngimanaken sira iku dadi kafir Awité dina akhir iku awit mlebu kubur ora ana pungkasané nèk wis tangi seko kubur Lamun tangi seka kubur terus mlebu nang neraka

lamun beja awak ira ora suwé nang neraka (Siraj, Juz 2: 6-7)

Bab Nrima Pesthèn Becik Ala

Kaping nem ngimanaken ing anané kabéh pesthèn becik ala sugih miskin bungah susah manut pesthèn Padha sira nrimaha pesthèn Kang Maha Mulya lamun sira ora nrima arep Mangéran karo sapa

Dokumen terkait