• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata Kunci: adaptasi, komik, kuasa simbolis, post-islamisme, produksi kultural Pendahuluan

John Storey, dalam bukunya Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, mengklaim bahwa sebagai usaha untuk

memperbaiki kegagalan mereka dalam menciptakan produk budaya, “industri budaya memproduksi ‘repertoir’ barang-barang dengan harapan menarik khalayak” (Storey, 2006, hal. 32). Secara lebih jelas, artinya pihak produsen budaya

kapitalis berupaya untuk terus memproduksi ulang produk-produk budaya pop kontemporer dengan mengemasnya

dalam ‘bungkus’ yang berbeda. Di Barat misalnya, sudah menjadi kebiasaan dan bahkan tradisi wajib jika sebuah cerita

atau kisah yang tertulis dan telah dikenal banyak orang diangkat ke layar kaca, entah dalam bentuk animasi kartun atau film aksi, untuk selanjutnya terus diadaptasi ke dalam berbagai bentuk spin-off, iklan, merchandise atau suvenir, buku bergambar dan mewarnai, serta banyak versi lainnya. Contoh yang paling menonjol dan amat mudah ditemui hingga hari ini ialah serial Putri-Putri Disney atau Disney Princesses seperti Snow White, Cinderella, The Little Mermaid,

Aladdin, Beauty and the Beast, Sleeping Beauty dan lainnya yang seluruhnya diangkat dari kumpulan dongeng klasik Hans Christian Andersen dan Grimm Bersaudara, yang telah ditulis berabad-abad silam. Kisah-kisah tersebut

senantiasa ‘diulang’ dan dihadirkan lagi dan lagi oleh karena masyarakat telah mengenalnya dengan begitu dalam

sehingga dirasa lebih mudah bagi pihak produsen perfilman untuk mendulang kesuksesan dengan melakukan praktik adaptasi repetitif demi kepentingan komersial.

Di dunia seni dan budaya Indonesia, praktik tersebut juga tengah berkembang walau mungkin porsinya belum sebesar apa yang selama ini telah dilakukan industri budaya di negara-negara Barat, khususnya Hollywood. Dewasa ini, semakin banyak film layar lebar Tanah Air yang diangkat berdasarkan naratif novel atau bahkan sebaliknya. Di antaranya, adaptasi dari novel ke film yang paling terkenal ialah Ayat-Ayat Cinta (2008), Ketika Cinta Bertasbih (2009), Laskar Pelangi (2008), Perempuan Berkalung Sorban (2009), 9 Summers 10 Autumns (2011), dan Assalamualaikum Beijing (2014) sementara dari film ke novel ialah Ada Apa dengan Cinta? (2002), A Copy of My Mind (2015) dan beberapa lainnya.

Untuk Assalamualaikum Beijing, karya tersebut pada awalnya berasal dari novel yang ditulis oleh Asma Nadia, seorang penulis Indonesia kenamaan yang juga berperan sebagai pendiri komunitas menulis Forum Lingkar Pena pada tahun 2013, yang secara produktif menelurkan karya-karya roman bernuansa Islami. Kisahnya menampilkan seorang gadis muslimah bernama Asmara yang mengalami kekecewaan karena sang tunangan berselingkuh dengan wanita lain hingga hamil dan karenanya pernikahan mereka dibatalkan. Ia lantas menerima tawaran menjadi jurnalis di kota Beijing, Tiongkok, dan bertemu dengan seorang pemuda Cina bernama Zhong Wen yang menjadi tour guide-nya selama berada di negeri Tirai Bambu tersebut. Menjelang akhir tahun 2014, novel tersebut diangkat menjadi film layar lebar berjudul sama dan yang menarik, pada tahun berikutnya, karya tersebut diadaptasi kembali dalam bentuk komik yang berisi ilustrasi sketsa hitam-putih dari potongan adegan filmnya. Fenomena tersebut dirasa unik oleh karena selama ini karya-karya sastra kontemporer di Indonesia belum pernah ada yang sampai diadaptasi menjadi versi komik. Mayoritas dari karya-karya tersebut sejauh ini berhenti hingga versi film layar lebar saja.

Menurut Randy Duncan dan Matthew J. Smith dalam buku mereka The Power of Comics: History, Form & Culture,

definisi dari komik sendiri ialah “a useful general term for designating the phenomenon of juxtaposing images in a

sequence” (Duncan, 2009, hal. 3), yang dapat diartikan sebagai istilah yang tepat untuk menggambarkan fenomena gambar-gambar yang dicetak dan ditempatkan dalam panel dua-dua secara berjejeran. Dalam sejarahnya, komik memang diciptakan untuk menjembatani teks yang hanya berisi tulisan dan teks yang hanya berupa gambar atau ilustrasi semata. Sebagai medium yang mampu mengkomunikasikan pesan baik berupa tulisan maupun gambar, komik dinilai memiliki ranah pembacaannya sendiri lantaran teksnya benar-benar murni menggabungkan tulisan dengan ilustrasi dalam tiap lembarannya, sehingga konteksnya berbeda pula dengan membaca teks naratif seperti novel atau

cerpen. Singkatnya, komik memiliki ‘bahasa’-nya sendiri oleh karena komik pada dasarnya terdiri dari

potongan-potongan gambar yang berupa momen-momen spesifik yang sengaja dipilih oleh para komikus dan ilustrator untuk ditampilkan dalam panel-panel yang membingkainya (Duncan, 2009, hal. 10). Masih berkesinambungan dengan topik tersebut pula, pada prinsipnya komik tidak menampilkan setiap momentum dari sebuah naratif secara mengalir oleh karena porsinya yang memang terbatas, sehingga pembacaannya terasa lebih singkat. Di Indonesia, komik-komik lokal seperti Jampang si Jago Betawi, Gundala Putra Petir, Mice Cartoon, Bharatayudha (karya R.A. Kosasih), komik wayang-wayang Jawa dari Tatang S., dan yang termasuk kontemporer ialah Wind Rider, The Grand Legend of Ramayana dan banyak lainnya masih sering bermunculan serta memiliki kelompok penggemarnya sendiri. Di antara komik-komik tersebut, nyaris tidak ada yang bernuansa roman Islami seperti yang ditemukan dalam komik Assalamualaikum Beijing, yang juga mengadaptasi dari versi filmnya alih-alih novelnya, seperti yang banyak dilakukan oleh para komikus lokal yang mentransformasikan kisah-kisah klasik pewayangan atau legenda menjadi komik.

Lebih jauh lagi ke dalam ranah karya sastra, dalam sosiologi sastra, publikasi karya sastra pada sebuah masyarakat tertentu sangat dipengaruhi oleh peran sentral penerbit dan toko buku (Escarpit, 2005). Dalam hal ini, merekalah yang paling mengerti selera pasar atau konsumen sehingga mereka punya andil besar dalam menentukan arah budaya literasi dan pemikiran masyarakat. Karenanya, praktik adaptasi dalam satu bentuk karya cetak ke bentuk cetak lain juga dipengaruhi dan ditentukan oleh keputusan penerbit, termasuk juga distribusinya kepada khalayak masyarakat. Sebelas-dua belas dengan cara kerja menerjemahkan teks dan parafrase, praktik adaptasi karya sastra dinilai sebagai cara memaknai suatu karya dan merefleksikannya ke dalam bentuk atau media baru yang lebih mudah dipahami oleh audiens yang bersangkutan, yang disesuaikan kembali dengan konteks serta ruang lingkup waktunya (Hutcheon, 2006). Merujuk pada istilah yang lebih spesifik, adaptasi familiar dengan berbagai istilah seperti transmutasi atau transkode, yang intinya mentransfer isi suatu teks ke dalam bentuk baru dalam konteks antar budaya, bahasa, dan zaman. Adanya

(Kajian Sosiologi Pierre Bourdieu) 21

perpindahan atau transformasi medium yang terjadi mulai dari novel menuju film untuk kemudian dari film menjadi komik merupakan praktik adaptasi yang berkelanjutan guna mengkomunikasikan, mengulang serta menyebarkan isi pesan medium tersebut lebih luas lagi kepada audiens.

Artikel ini bertujuan untuk mengkaji keterkaitan yang berkesinambungan antara sastra dengan budaya media pop, yang disimbolkan oleh fenomena adaptasi film Assalamualaikum Beijing menjadi versi komiknya yang berupa gambar cuplikan adegan atau potongan scene dari film tersebut yang ditampilkan dalam warna hitam-putih. Melalui perspektif kritis kuasa simbolis yang dipelopori oleh Pierre Bourdieu, studi ini berusaha melakukan pendekatan melalui sosiologi sastra guna menelaah relasi antara fenomena tersebut dengan munculnya tren karya sastra post-islamisme yang saat ini tengah menguasai pasar buku di Indonesia. Oleh karena adaptasi dari film menjadi komik masih merupakan hal yang baru ditemui dalam budaya pop Tanah Air, tepatnya sekitar bulan Desember 2015 yang lalu, maka hipotesis yang diajukan terkait dengan hal tersebut ialah, sebagai media bergambar untuk memberi kemudahan pada audiens yang belum sempat membaca novel ataupun menonton versi film layar lebarnya, versi komik tersebut diterbitkan guna mengukuhkan posisi sang pengarang dalam pencapaiannya di ranah sastra Indonesia. Nantinya, produksi kultural ini diasumsikan akan memberi pengaruh tertentu terhadap wajah produksi seni Tanah Air yang saat ini tengah mengedepankan muatan nilai-nilai Islami dalam karya-karya para penulisnya. Penelitian ini bertujuan untuk memahami fenomena tersebut secara mendalam dan membuktikan kebenaran hipotesis yang diformulasikan.

Kajian Pustaka Studi-studi pendahulu

Karena muncul terlebih dahulu daripada film maupun komiknya, Novel Assalamualaikum Beijing telah cukup banyak dibahas dalam kajian-kajian terdahulu, terutama sebagai skripsi jurusan sastra dan pendidikan bahasa dari beberapa universitas di Indonesia, yakni mengenai komunikasi dakwah (Ratnasari, 2015) dan pesan dakwah (Zakaria, 2016) yang terkandung di dalamnya. Selanjutnya, karakteristik tokoh utama (Santi, 2015) dan implementasi nilai-nilai religius dalam novel tersebut beserta implikasinya terhadap kegiatan belajar sastra di SMA (Sulastri, 2016). Yang terakhir ialah jurnal yang mendiskusikan nilai-nilai feminisme marxis dalam novel karya Asma Nadia tersebut, merujuk pada tokoh-tokoh perempuan yang ada di dalamnya (Juliah, 2015). Untuk versi filmnya, Assalamualaikum Beijing dikritik melalui website Muvila soal unsur naratif asmara klise yang ditawarkan dalam jalan kisahnya lewat review, yakni bahwa film tersebut sejatinya menggunakan rumus film roman yang telah banyak beredar sehingga kurang menawarkan sesuatu yang benar-benar baru secara signifikan (Rulianto, 2015).

Arena produksi kultural dan kuasa simbolis

Dalam salah satu pemikirannya, Pierre Bourdieu beranggapan bahwa budaya populer cenderung memiliki pola-pola tertentu yang dapat ditemukan dalam keseharian hidup, berfungsi untuk melegitimasi sebuah karya seni dan juga seolah menyederhanakan keagungan dan kerumitan sebuah karya seni menjadi hal-hal yang mudah didapat dalam hidup (Bourdieu, 1984). Menurutnya, hal ini justru memicu sebuah fenomena di mana para kaum terpelajar akan dengan mudah memilih untuk memercayai representasi-representasi atau nilai-nilai yang berbobot serta ‘orisinil’ yang terkandung dalam karya sastra, teater atau pun lukisan namun orang awam akan mengira bahwa hal-hal tersebut berlaku sama sehingga pada akhirnya mereka cenderung langsung memercayai nilai-nilai yang direpresentasikan oleh media sebagai hal yang benar. Distorsi terhadap makna jelas terjadi dan karenanya senantiasa terjadi pergulatan dalam arena-arena sastra dan budaya oleh karena-arena masing-masing pihak yang memiliki otoritas berusaha meraih kuasa simbolis (Karnanta, 2013). Artinya, aspek-aspek berupa keberadaan seorang sastrawan, kritik, kajian, penghargaan, apresiasi terhadap karya sastra dan lain sebagainya tidak bisa dilepaskan dari unsur bermuatan politis.

Menurut Bourdieu (1989), habitus merupakan gabungan antara sistem-sistem praktik produksi dengan sistem persepsi serta penghargaan terhadap praktik-praktik tersebut. Segala citra yang ada dalam hirarki masyarakat dibentuk oleh persepsi sosial sehingga selera maupun kegemaran juga dibentuk dari kebiasaan yang menjadi struktur atau sistem, bukannya sifat alamiah seseorang yang dibawanya sejak lahir (Swartz, 2002). Karenanya, apa yang sehari-hari dikenakan, dilakukan serta dikonsumsi seseorang seolah mewakili kelas sosial serta posisinya yang sejati di masyarakat. Pola perilaku-lah yang menjadi titik dari strategi kekuasaan seseorang dalam meraih posisi distinction atau tergabung dalam kelas dominan (Haryatmoko, 2016). Bila disederhanakan, contohnya ialah seorang wanita muda yang menggunakan tas bermerk Guess akan dipandang lebih rendah daripada wanita lain yang menenteng tas bermerk Louis Vuitton, dan selanjutnya pun mereka berdua akan ‘kalah’ dengan wanita-wanita yang menjinjing tas Hermes. Keberadaan habitus berfungsi sebagai label yang mengkategorikan anggota-anggota masyarakat ke dalam tempat-tempat yang memiliki strata berbeda. Praktik disposisi tersebut nyatanya tidak hanya berjalan dalam kehidupan sosial, namun juga dalam ranah sastra.

Dalam berurusan dengan dunia sastra, yang jelas menjadi pertaruhan utama bagi penulis ialah legitimasi sastra, yakni pengakuan sebagai seorang sastrawan yang karyanya patut diperhitungkan dalam kancah kepenulisan demi memperoleh kuasa simbolis yang mampu mengukuhkan keberadaan seorang penulis dalam dunia sastra. Hal ini bisa ditempuh dengan cara mengikuti sayembara kepenulisan yang diadakan balai bahasa yang menjanjikan penghargaan pada para pemenang, namun tentunya persentase jumlah mereka yang berhasil diakui sangatlah sedikit jika dibanding keseluruhan total penulis yang ada (Escarpit, 2005). Selain itu, pihak-pihak yang menyelenggarakan sayembara seperti itu juga dinilai tak lepas dari kepentingan politis—barangkali untuk menunjukkan ideologi atau afiliasi politik tertentu—dan juga terhadap lembaga kapitalis yang menyokong mereka. Oleh karena perebutan kuasa simbolis melalui cara tersebut sangatlah meruncing serta memiliki porsi yang sangat terbatas, maka para penulis dan penerbit menggunakan strategi baru demi meraihnya, yakni melalui tren komersial sastra. Melalui konsep arena produksi kultural, Bourdieu (1993) mencoba menelaah bahwa kategori ‘sastra kanon’ dengan ‘sastra populer’ sekalipun sejatinya ialah taktik yang direncanakan untuk mendistribusikan relasi kuasa guna memantapkan posisi mereka dalam meraih kuasa simbolis dan kultural dalam menempati posisi-posisi tertentu yang diharapkan mampu menarik hati khalayak. Lebih spesifik lagi, sastra populer yang belakangan marak tumbuh di Indonesia berkembang menjadi praktik sejumlah reproduksi dari sebuah karya yang terus berulang demi memantapkan posisi agen-agen kapitalis lewat perspektif masyarakat dalam ranah seni.

Lewat pandangan sosiologi sastra, secara epistemologi karya sastra memiliki sifat interdependensi dengan kondisi sosial sebuah masyarakat yang melatarbelakanginya (Ratna, 2003). Peran pengarang sebagai pencipta karya dianggap merefleksikan sekaligus memengaruhi kecenderungan arus sosial timbal-balik masyarakat dengan kesusastraan. Pengertian tersebut telah bergerak dengan dinamis seiring jalannya waktu sehingga membentuk sebuah bangunan sosial yang memiliki strukturasi yang koheren serta terpadu (Faruk, 1994). Sosiologi sastra pada hakikatnya mencermati relasi kuasa serta penempatan kedudukan penulis dalam lingkungan sekitarnya. Sebagai bentuk materi pembiayaan yang diterima oleh pengarang untuk hidup dan pengambilan profit bagi penerbit, perlu dilakukan kegiatan sponsor agar karyanya dapat terus dikenal sekaligus dikenang masyarakat luas. Oleh karenanya, tidak heran bila fenomena adaptasi menjadi makin gencar dilakukan agar sebuah karya sastra dapat lebih menjual daripada jika hanya dipajang di rak toko buku saja. Mengkaitkan dengan permasalahan adaptasi novel Assalamualaikum Beijing menjadi film dan selanjutnya menjadi versi komik, sosiologi sastra dirasa paling tepat menjadi pendekatan untuk fenomena tersebut.

Metode

Artikel ini menggunakan dua macam obyek, yakni data primer yang berupa komik Assalamualaikum Beijing yang diterbitkan oleh PT Maleo Creative dan data sekunder yang berupa sejumlah studi pendahulu, jurnal dan skripsi, serta buku-buku teori yang membahas perspektif teori arena produksi kultural Pierre Bourdieu, sosiologi sastra dan tentang komik guna memperkuat serta memvalidasi argumen penulis terhadap data primer yang telah disebutkan. Dalam pembahasannya, potongan gambar-gambar komik, diagram, beserta penjelasan deskriptif-kualitatif diberikan sebagai material utama dalam melengkapi dan mengarahkan kajian ini. Langkah-langkah penelitian dibagi ke dalam dua tahap, yakni pertama ialah teknik pengumpulan data dan selanjutnya teknik analisis data. Untuk langkah pertama, penulis mengaplikasikan pendekatan kualitatif terhadap obyek guna mengidentifikasi masalah atau isu terkait, yakni praktik adaptasi dari film menjadi komik yang awalnya berasal dari sebuah karya sastra. Pada tahap selanjutnya, fenomena yang dikaji dihubungkan dengan perspektif arena produksi kultural dan kuasa simbolis yang dicanangkan oleh Pierre Bourdieu, di mana keseluruhannya akan ditinjau melalui pendekatan sosiologi sastra mengenai keterkaitan strategi adaptasi dari film menjadi komik tersebut terhadap masyarakat. Penulis juga membahas interdependensi fenomena tersebut dengan maraknya tren sastra populer yang kini mengedepankan nilai-nilai Islami sebagai konten utamanya. Melalui sejumlah penjabaran di atas itulah studi ini dilakukan.

Analisis

Kebangkitan karya-karya Islami di Indonesia telah dimulai pada satu dekade sebelum jatuhnya Orde Baru, yang ditandai lewat ekspansi budaya populer yang mengandung nilai-nilai ketaqwaan Islami, yang cenderung mengambil sikap berlawanan terhadap pengaruh destruktif dari dunia hiburan. Ariel Heryanto dalam Identitas dan Kenikmatan (2015) mengungkapkan kemunculan suara keras dari kaum Muslim kelas menengah yang memiliki perspektif berbeda dalam mengkomersialisasi gaya hidup Islami dengan apa yang telah ditumbuhkan oleh para pendahulu mereka. Berdasarkan pengamatan empiris, nilai-nilai ketaatan beragama tersebut diwujudkan melalui industri kapitalis yang merambah hingga ke seluruh aspek budaya dan seni. Apa yang disebut-sebut sebagai politik post-Islami menjadi bagian keseharian masyarakat dalam mengungguli kebudayaan atau pandangan dari kelompok-kelompok minoritas lain. Mulai sekitar tahun 2008, film layar lebar Ayat-Ayat Cinta memukau publik sekaligus tokoh-tokoh politik

(Kajian Sosiologi Pierre Bourdieu) 23

pemerintahan Indonesia pada saat peluncurannya di bioskop dan setelahnya pun terus memantik berbagai macam film Islami lainnya seperti Laskar Pelangi (2008), Ketika Cinta Bertasbih (2009), Perempuan Berkalung Sorban (2009), 99 Cahaya di Langit Eropa (2013), Assalamualaikum Beijing (2014), Surga yang Tak Dirindukan (2015), Bulan Terbelah di Langit Amerika (2015) serta lain sebagainya. Memang, nyaris dari semua film tersebut hingga hari ini masih belum mampu menandingi pencapaian Ayat-Ayat Cinta, tapi konsistensi kemunculan tren tersebut membawa dampak yang signifikan dalam ranah seni Tanah Air, yakni melalui komoditas arena produksi kultural. Lebih-lebih lagi, budaya kontemporer senantiasa dihadirkan lewat isi konten yang kurang lebih sama namun dengan tampilan atau bungkus luar yang berbeda.

Komik identik dengan gambar-gambar ilustrasi yang berpanel serta berjejer untuk menceritakan kisah yang diangkat,

tentunya dengan pemilihan ‘momen-momen’ penceritaan yang tepat untuk ditampilkan. Sependapat dengan hal

tersebut, menurut Angela Ndalianis (2009: 237), anggapan bahwa komik selama ini bersifat statis serta kaku rupanya

salah sama sekali oleh karena sifatnya yang justru dinamis dan ‘bergerak’ walau sekilas tampaknya berisi

gambar-gambar mati. Karenanya, komik justru mirip dengan konsep film animasi, yang menampilkan potongan-potongan gambar bergerak cepat. Dalam versi komik Assalamualaikum Beijing, setiap panel dari komik tersebut ialah potongan adegan dari versi filmnya yang telah sengaja dipilih untuk disajikan pada audiens. Bagai rangkuman yang dikemas, versi komiknya seolah mewakili keseluruhan inti dari kisah yang diangkat dari novel karya Asma Nadia tersebut.

Figur 1. Perjumpaan Asma dan Zhong Wen di Beijing (Assalamualaikum Beijing Versi Komik, 2015, hlm. 10-11)

Dalam Figur 1, Asma terlihat mengatupkan kedua tangannya untuk menolak bersalaman dengan Zhong Wen, sebuah gestur yang umum di kalangan muslimah jika menghadapi seorang lelaki yang bukan mahram-nya. Dengan ditampilkannya hal tersebut, peran kaum Islami benar-benar diperlihatkan dengan jelas dalam praktiknya, sebagaimana yang tampak dalam halaman-halaman komik tersebut. Di satu sisi, penggambaran kaum Muslim muda yang melanglang buana hingga ke Negeri Tirai Bambu dapat dianggap sebagai langkah yang modern dalam kehidupan sehari-hari kaum muda Muslim terutama perempuan, namun terlihat sangat gamblang bahwa tema yang diusung masih berkutat pada elemen-elemen yang ter-Islam-kan seperti masjid, kopiah, makanan halal, serta keberadaan masyarakat Muslim di Cina. Asma hanya sedikit mempelajari budaya asli Cina dengan berjalan-jalan sendiri dan menyewa tour guide dan lebih banyak mengunjungi tempat-tempat ibadah atau rumah makan Muslim. Selain itu, percakapan Zhong Wen dan Asma lebih banyak terkait pada kebiasaan orang Muslim beserta inti dari agama tersebut, yang mana banyak mereka bahas sepanjang perjalanan mereka dari satu tempat wisata ke tempat lain.

Zhong Wen: Apa semua perempuan Muslim di Indonesia bersalaman seperti cara kamu?

Asma : Iya, apalagi kalau pakai jilbab. Kecuali sama mahramnya. Zhong Wen: Mahram?

Asma : Mahram itu artinya laki-laki yang diharamkan atau tidak boleh dinikahi. Selain mahram, hanya suami yang bisa menyentuh dan melihat mereka tanpa jilbab.

Zhong Wen: Termasuk ciuman, pelukan? Asma : Ya ngga boleh, lah…

(Assalamualaikum Beijing Versi Komik, 2015, hlm. 30)

Melalui penggalan dialog komik di atas, Zhong Wen bertanya menggunakan kata-kata “semua perempuan Muslim” sementara Asma serta-merta menjawab “Iya” tanpa menyebutkan adanya perkecualian. Tentunya hal ini tidak cocok dengan fakta bahwa masih banyak perempuan Muslim di Indonesia, bahkan mereka yang berjilbab sekalipun, yang mau menerima jabat tangan dengan lelaki yang bukan saudara kandung ataupun suaminya, baik untuk urusan formal maupun informal. Meski konteksnya hanya dalam film dan komik, namun generalisasi semacam itu dapat menimbulkan kesalahpahaman yang seolah mengesankan bahwa hal tersebut merupakan mandat wajib yang implisit bagi seluruh umat Muslim di Indonesia bahwa mereka tidak seharusnya memberlakukan budaya turun-temurun bersalaman dengan lawan jenis yang tidak memiliki hubungan darah atau terikat perkawinan.

Menurut Ariel Heryanto (2015: 108), karya-karya Islami sejenis Ayat-Ayat Cinta dan seperti halnya juga Assalamualaikum Beijing yang berkiblat pada pola dan simbol keagamaan yang cenderung formal saja sehingga kurang dapat menyentuh isu-isu substantif seperti hak-hak perempuan, poligami, kebebasan berpendapat, dan percaturan politik yang korup serta inklusif sepertin yang banyak ditemukan dalam karya-karya sastra pesantren. Sejumlah simbol Islam menjadi perhatian utama dalam komik tersebut oleh sehingga kurang menyoroti konteks budaya Cina atau budaya masyarakat Muslim Cina yang bisa jadi memiliki sejumlah perbedaan yang signifikan dengan masyarakat Muslim Indonesia. Hal tersebut juga terbukti lebih lanjut dengan Zhong Wen yang tahu banyak hal-hal detil soal masjid-masjid di sekitar Beijing dalam Figur 2 di bawah, menerima hadiah kopiah dari Asma tanpa ada alasan berarti, menjadi mualaf tanpa terlihat sedikit pun mengalami pertimbangan dan pertentangan batin atau keluarga, serta banyak aspek terperinci lainnya. Oleh Bourdieu (1993: 75), usaha penulis, penerbit mempraktikkan akumulasi kapital simbolik melalui memperkenalkan nama mereka pada publik, “a capital of consecration, implying a power to consecrate objects (with a trademark of signature) or persons (through publication, exhibition, etc)”. Dengan adanya suatu simbol yang dikeramatkan oleh pihak yang memiliki kuasa, maka akan menjadi sangat mudah untuk ‘mempatenkan’ sebuah obyek

Dokumen terkait