• Tidak ada hasil yang ditemukan

MARIA MATILDIS BANDA Doktor Bidang Kajian Budaya

Minat Penelitian Sastra dan Budaya

Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana Denpasar

Surel: mbanda574@gmail.com

Abstrak

Pewarisan Tradisi Lisan (TL) dilakukan dengan memberi ruang seluas-luasnya bagi tradisi tersebut untuk hidup di tengah masyarakat pendukungnya. Dalam kaitan dengan pewarisan tradisi lisan ini, Parry - Lord menjelaskan bahwa yang paling penting dari proses pewarisan sastra lisan adalah: 1) perhatian terus-menerus terhadap tradisi; 2) pemeliharaan tradisi; 3) peranan pemeliharaan sejarah yang benar; serta 4) mempertahankan esensi yang benar karena mengubah esensi sama halnya dengan menyalahi kebenaran. Pewarisan tradisi sastra lisan menghadapi berbagai tantangan serius ketika perhatian, pemeliharaan, sejarah, dan esensinya kurang diperhatikan dengan modal yang semestinya.

Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana pewarisan TL sebagaimana dijelaskan Parry – Lord saat ini berhubungan dengan modal budaya, modal sosial, modal ekonomi, sebagaimana dikemukakan oleh Pierre Bourdieu. Analisis dilakukan dengan memperhatikan tiga masalah utama yaitu: 1) habitus dan ranah dalam TL; 2) modal-modal dalam pewarisan TL; 3) praktek pewarisan TL.

Modal budaya adalah pengetahuan historis tentang sejarah tradisi. Modal sosial berhubungan dengan relasi komunikasi yang dibangun dalam lingkup tradisi. Modal ekonomi adalah dukungan material yang ada dan menjadi lebih kuat apabila modal budaya dan modal sosial berjalan. Sementara itu, modal simbolik akan berjalan dengan sendirinya jika modal budaya, modal sosial, dan modal ekonomi sudah berjalan dengan baik. Habitus dalam ranah adat dan TL dengan modal yang kuat akan melahirkan praktik TL dan pewarisannya.

Modal adalah konsep utama dalam memahami pewarisan TL. Sementara itu habitus dan ranah adalah konsep penting lainnya yang menjadikan pewarisan TL dapat berlangsung. Teori modal cukup tepat untuk dikembangkan menjadi salah satu teori yang dapat membaca fenomena pewarisan TL dalam masyarakat saat ini. Teori ini dapat membantu masyarakat pemilik tradisi untuk melakukan pewarisan TL secara terencana.

Kata Kunci: Tradisi lisan, pewarisan, habitus, ranah, modal Pendahuluan

Tradisi lisan hidup dalam perkembangan zaman yang terus berubah. Zaman kelisanan pertama (kelisanan sprimer), dilanjutkan dengan keberaksaraan. Oleh bangsa yang memiliki tradisi tulis, pada masa ini tradisi lisan ditulis untuk dilisankan kembali, diperdagangkan karena historitas isi, fungsi, dan maknanya, dan didokumentasi sebagai warisan keluarga. Penemuan mesin cetak (Gutenberg, 1468), perkembangan, dan pengaruhnya menjadikan banyak tradisi lisan yang dicetak. Penemuan mesin cetak diikuti oleh penemuan radio (Gugliemo Marconi, 1898) sebagai media komunikasi yang baru, dilanjutkan dengan televisi (John Logie Baird, 1925) dan perkembangan televisi selanjutnya.

Perubahan ini disebut secondary orality atau kelisanan kedua. Konsep kelisanan kedua atau kelisanan sekunder (secondary orality) dikemukakan P. J. Walter Ong (1982). Konsep ini lahir sebagai fenomena era paska-keaksaraan. Kelisanan sekunder atau kelisanan kedua pada awalnya adalah kelisanan yang tergantung pada budaya membaca dan keberadaan dunia menulis (Banda, 2016:11). Kelisanan sekunder selanjutnya terjadi dalam budaya dan perkembangan teknologi yang menciptakan sebuah kelisanan baru yang ditopang oleh radio, televisi, telepon, dan perangkat elektronik lainnya, yang juga tergantung pada kelisanan dan keberaksaraan, pada bicara, menulis, dan mencetak (Toronto School Communication).

Relasi antara kelisanan dan keberaksaraan diperkuat oleh teknologi dan media komunikasi. Penyampaian tradisi lisan (misalnya dongeng) yang terbatas pada situasi tatap muka secara langsung, dalam ruangan terbatas, dan waktu terbatas, berubah. Kelisanan dapat terjadi tanpa tatap muka (radio), pembicara tidak melihat pendengar tetapi pendengar melihat pembaca namun tidak dalam konteks tatap muka (televisi). Dialog interaktif secara lisan dengan media radio maupun televisi hadir sebagai bagian dari perubahan.

Selanjutnya teknologi komunikasi melesat dengan revolusi cyber dalam dunia komunikasi e-mail, download musik, chat room, teleconverence, line phone, dan lain-lain (wikipedia). Kelisanan primer memiliki potensi tinggi untuk bergerak bersama mengarungi dunia teknologi media sosial (medsos) dalam desa global yang sebenarnya

(Banda, 2016:10). P. Walter J. Ong mengemukakan situasi ini jauh sebelum melesatnya teknologi medsos dalam era global sebagai berikut.

Kelisanan bukanlah hal ideal, dan tidak pernah demikian. Mendekati kelisanan secara positif bukan berarti menganjurkannya sebagai kondisi permanen untuk budaya mana saja. Keaksaraan membuka peluang bagi kata dan bagi eksistensi manusia yang tak terbayangkan tanpa tulisan. Budaya-budaya lisan saat ini menghargai tradisi lisan mereka dan meratapi hilangnya tradisi ini, tetapi saya tak pernah menjumpai atau mendengar budaya lisan yang tidak ingin mencapai keaksaraan secepat mungkin. Kelisanan dapat menghasilkan karya-karya di luar jangkauan orang-orang melek aksara, misalnya Odyssei. Kelisanan juga tak pernah sepenuhnya hilang: membaca suatu teks berarti melisankannya. Baik kelisanan maupun keaksaraan dari kelisanan diperlukan bagi evolusi kesadaran (Ong, terj. Effendi, 2013:264).

Evolusi kesadaran berhadapan dengan revolusi cyber di era global. Warga dunia tersedot ke dalam proses ini, menjadi exposed secara cepat, bebas, dan massal sejalan dengan meluapnya kelisanan sekunder (Banda, 2016:11). Proses adaptasi terjadi dengan sendirinya. Hal ini terjadi tidak hanya dalam pewarisan tradisi sastra tetapi juga dalam pewarisan seni tradisi lisan –yang termasuk dalam payung Kajian Tradisi Lisan (KTL)- lainnya. Kajian Tradisi Lisan (KTL) sebutkan lima payung penelitian yaitu sastra dan seni pertunjukan; religi termasuk ritual dan upacara adat; sejarah dan hukum adat; kearifan tradisional, pengetahuan tradisional, dan sistem kogniktif lainnya; manusia dan lingkungannya (maritim/kebaharian, pertanian, dan hutan) (Pedoman Kajian Tradisi Lisan, 2010).

Terjadinya perubahan karena teknologi dan penyebab lain menguatkan kita untuk tidak mempersoalkan adakah atau manakah yang asli dan manakah yang tidak asli, versi lengkap dan tidak lengkap. Kehadiran tradisi lisan sebaiknya diterima dengan memperhatikan kelenturan dan fleksibilitas sejauh para penutur/pemain dan komunitas pemiliknya menghendaki atau menerimanya. Dinamika yang terjadi tentang tradisi lisan menarik untuk dimaknai bahwa tradisi lisan bukan sekedar karya seni tetapi juga peristiwa sosial budaya yang melibatkan banyak hal terkait (Pudentia, 2008: 384).

Tradisi lisan berada dalam dinamika perubahan teknologi media dan komunikasi. Dengan demikian pewarisan tradisi lisan pun langsung maupun tidak langsung disesuaikan kelenturan dan fleksibilitasnya dalam dinamika tersebut. Salah satu fakor utama dalam dinamika perubahan adalah aspek ekonomi sebagai salah satu modal yang perlu diperhatikan dan dibahas. Makalah ini menggunakan metode studi pustaka. Akan menjelaskan tentang pewarisan tradisi lisan berdasarkan teori modal yang dikemukakan Bourdieu, dengan tetap memperhatikan pewarisan tradisi lisan menurut Parry – Lord.

Tradisi Lisan

Tradisi lisan dipandang sebagai sebuah sumber kesaksian langsung terhadap zaman dan informasi dari dalam. Ia bukan saja sumber tentang masa lalu, tetapi juga historiologi dari masa lalu, sebuah keterangan bagaimana ia ditafsirkan oleh orang lain. Tradisi lisan memberi keterangan yang terperinci mengenai populasi dan lapisan-lapisan populasi, yang pada umumnya hanya dapat ditangkap dengan sudut pandang luar yang memiliki bias, oleh penafsiran yang dibentuk oleh bias dari luar. Genre dari tradisi lisan sangat beragam. Isinya mengenai berbagai jenis data demografis sampai data-data kesenian. Cakupannya lebih luas dari cakupan dokumen yang ada pada kebanyakan masyarakat melek aksara dan juga oleh bukti-bukti sejarah lisan di suatu tempat (Vansina, 1982: 303-312; Banda, 2016:4). Oleh UNESCO tradisi lisan dirumuskan sebagai berikut.

Tradisi lisan itu adalah tradisi yang ditransmisi dalam waktu dan ruang dengan ujaran dan tindakan. Dengan demikian tradisi lisan mencakup: 1) kesusastraan lisan; 2) teknologi tradisional; 3) pengetahuan folk di luar pusat-pusat istana dan kota metropolitan; 4) unsur-unsur religi dan kepercayaan folk (di luar batas formal agama-agama besar); 5) kesenian folk diluar pusat-pusat istana dan kota metropolitan; 6) hukum adat. (Hutomo, 1991).

Berbagai pengertian tradisi lisan dikemukakan oleh para akademisi dan pakar tradisi lisan sejak Seminar Tradisi Lisan I (LISAN I) (1993) di Bogor. Rumusan tersebut terus berkembang sampai Seminar Seminar Lisan VIII (2014) di Wakatobi dan berbagai aktivitas akademis lainnya. Pengertian-pengertian tersebut kemudian dirumuskan berikut ini. Pertama, tradisi lisan adalah pengetahuan dan adat istiadat yang disampaikan turun-temurun secara lisan. Kedua, tradisi lisan adalah hasil karya seni dan hukum adat yang berkelanjutan dalam proses budaya. Ketiga, tradisi lisan adalah berbagai bentuk karya sastra tradisional yang disampaikan secara lisan dan hidup dalam konteks estetika sejarah, struktur dan organisasi sosial, filsafat, etika, serta nilai-nilai moral.

Singkatnya, tradisi lisan adalah pengetahuan, adat istiadat, karya seni, hukum adat, sastra tradisional; diturunkan secara lisan; hidup dalam konteks estetika sejarah, struktur dan organisasi sosial, filsafat, etika, nilai-nilai moral; dan berkelanjutan dalam proses budaya yang dinamis (Banda, 2015:23;2016:5). Proses budaya yang dinamis

dalam hal ini tradisi lisan mengikuti perkembangan jaman dengan memperhatikan aspek pewarisan yang dikehendaki masyarakat pemiliknya.

Sebagaimana dijelaskan dalam Banda (2015), pewarisan tradisi lisan yang paling utama ialah mempertahankan kelisanannya. Mempertahankan kelisanan berarti memberi ruang seluas-luasnya bagi tradisi lisan tersebut untuk hidup di tengah masyarakat pendukungnya. Dalam kaitan dengan pewarisan tradisi lisan ini, Lord dalam bukunya The Singer of Tales (1976) menjelaskan tentang puisi lisan (tradisi lisan), pertunjukan, komposisi, transmisi, dan fungsi dengan prinsip utama puisi lisan adalah puisi yang dibawakan secara lisan. Khusus mengenai transmisi (penerusan, pengiriman, pewarisan) tradisi dalam puisi lisan, Lord melakukan penelitian terhadap penutur yang mendapat keahlian sebagai penutur dengan belajar pada penutur terdahulu.

Lord menemukan bahwa yang paling penting dari proses transmisi puisi lisan adalah 1) perhatian terus-menerus terhadap tradisi, 2) pemeliharaan tradisi; 3) peranan pemeliharaan sejarah yang benar; serta 4) mempertahankan esensi yang benar karena mengubah esensi sama halnya dengan menyalahi kebenaran (Lord, 1976: 28). Pikiran ini menjelaskan bahwa pewarisan tradisi lisan terjadi apabila pelaku-pelaku tradisi menjalani tradisi tersebut secara turun-temurun. Pewarisan tradisi lisan tidak semata-mata pada puisi lisan dan peran penyair, tetapi pada konteksnya (Banda, 2015:297).

Dalam hal pewarisan tradisi lisan Sa Ngaza, konsep itu dapat dilakukan dengan memperhatikan bagaimana mori Sa Ngaza (pewarta Sa Ngaza) menjalani perannya dalam memelihara tradisi, melanjutkannya, dan mempertah ankanesensi tradisi dengan benar. Mori Sa Ngaza (atau biasa disingkat mori sa) hanya dapat menjalankan perannya dengan dukungan segenap keluarga ana sa’o (pemilik rumah adat), mori ngalu (pemilik ritual), serta woe (klan, subetnik). Ada sejumlah perangkat dalam hierarki kepemimpinan dalam sa’o dan woe yang memiliki pengaruh besar untuk menjalankan ritual adat (RA) atau ritual keagamaan (RKA) yang di dalamnya menampilkan TLS dan Sa Ngaza sebagai sebuah puisi lisan tradisional. Dukungan keluarga dan masyarakat dalam satu sa’o dan woe yang memungkinkan mori Sa Ngaza ada dan pewarisannya dapat berjalan (Banda, 2015:297-298).

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa pewarisan tradisi lisan dapat berjalan dengan baik jika semua komponen pendukung dapat bekerja sama. Para tua adat (mosalaki dalam bahasa Ngadha di Flores) dan perangkat perangkat dalam kepemimpinan adat lainnya, keluarga kerabat (wailaki dalam bahasa Ngadha di Flores) , tua adat di dalam kampung, pewarta tradis lisan, serta segenap pendukung berperan dalam pewarisan tradisi.

Teori Modal dalam Pewarisan Tradisi Lisan Habitus

Teori modal yang dibahas dalam makalah ini adalah teori modal yang dikemukakan Pierre Bourdieu dalam kaitannya dengan habitus dan ranah. Apa yang dimaksudkan dengan habitus? Mengapa habitus? Mengapa bukan tradisi turun-temurun? Mengapa bukan adat-istiadat atau pola-pola budaya? Apakah habitus lebih tinggi kedudukannya daripada pola-pola budaya yang padanya masyarakat budaya bersangkutan belajar dan bercermin melihat dirinya sendiri? Habitus mengacu pada kebiasaan (habitual) yang berkaitan dengan pengalaman dan aktivitas sosial budaya sehari-hari (Kleden, 2005).

“Habitus dimaknai sebagai gugus insting, baik individual maupun kolektif yang membentuk cara merasa,

cara berpikir, cara melihat, cara memahami, cara mendekati, cara bertindak, dan cara berelasi seseorang atau

kelompok” (Nota Pastoral Sidang KWI November 2005).

Pada prinsipnya memang tidak mudah memahami pikiran Bourdieu. Sebagaimana dijelaskan Kleden bahwa pengertian habitus sendiri sebagaimana digagaskan oleh Bourdieu penuh dengan sofistikasi dan distingsi, dan tidak selalu dapat disederhanakan dengan mudah. Untuk memudahkan uraian tentang habitus Kleden mendeskripsikan konsep habitus menurut Bourdieu dalam beberapa poin sebagai berikut.

 Habitus adalah sistim atau perangkat disposisi yang bertahan lama dan diperoleh melalui latihan berulang kali (inculcation).

 Dia lahir dari kondisi sosial tertentu dan karena itu menjadi struktur yang sudah diberi bentuk terlebih dahulu oleh kondisi sosial di mana dia diproduksikan (structured structures).

 akan tetapi disposisi yang terstuktur ini sekaligus berfungsi sebagai kerangka yang melahirkan dan memberi bentuk kepada persepsi, representasi, dan tindakan seseorang dan karena itu menjadi structuring structures.  sekalipun habitus lahir dalam kondisi sosial tertentu dia bisa dialihkan ke kondisi sosial yang lain dan karena itu

habitus bersifat pra-sadar (pre-conscious) karena ia tidak merupakan hasil dari refleksi atau pertimbangan rasional. Dia lebih merupakan spontanitas yang tidak disadari dan tidak dikehendaki dengan sengaja, tetapi juga bukanlah suatu gerakan mekanistis yang tanpa latar belakang sejarah sama sekali.

 bersifat teratur dan berpola tetapi bukan merupakan ketundukan kepada peraturan-peraturan tertentu. Habitus tidak merupakan a state of mind tetapi a state of body dan menjadi the site of incorporated history.

 habitus dapat terarah kepada tujuan dan hasil tindakan tertentu tetapi tanpa ada maksud secara sadar untuk mencapai hasil-hasil tersebut dan juga tanpa penguasaan kepandaian yang bersifat khusus untuk mencapainya (Kleden, 2005 dan 19 Maret 2006).

Tradisi lisan merupakan suatu habitus (kebiasaan) atau “tradisi” turun-temurun. Keberlangsungan hidupnya

ditentukan oleh identitas masyarakat pemiliknya. Misalnya tradisi lisan Sa Ngaza akan tetap hidup sebagai identitas masyarakat etnik Ngadha di Flores, jika masyarakat bersangkutan memelihara tradisi mereka, terutama tradisi rumah adat (sa’o) dan pemberkatan rumah adat (ka sa’o).

Yang dicermati di sini adalah adanya sebuah tradisi yang dihidupkan dan dibaharui. Misalnya salah satu rumah adat (sa’o) di Ngadha Flores. Sa’o dihadirkan kembali karena kesadaran budaya dalam bentuk kesadaran akan pentingnya rumah adat (sa’o) dan lelulur sebagai pemersatu keluarga yang telah mendiaspora. Eksistensi rumah adat (sa’o) dan leluhur yang dihadirkan dalam sa’o yang pada dasarnya sudah ada secara turun temurun kini “dihadirkan”

dan “dibaharui” dalam dunia baru yang terus berubah. Tradisi sastra lisan dalam hal ini Sa Ngaza selanjutnya diposisikan pada ruang tersebut, untuk menjadi media pewartaan identitas “yang dibaharui” untuk menyegarkan

kembali makna persaudaraan bagi pemilik tradisi dalam menghadapi tantangan global.

Habitus merupakan hasil ketrampilan yang menjadi tindakan praktis (tidak selalu disadari) dalam ranah kebudayaan, yang kemudian diterjemahkan menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu: 1) perhatian pada keadapan publik menjadi salah satu elemen dasar (lama maupun baru; 2) upaya mewujudkan keadapan publik semakin membentuk habitus; dan 3) kepentingan bersama atau kebersamaan hidup sebagai masyarakat: poros masyarakat, poros pasar, dan poros badan publik (Binawan, Minggu, 19 Maret 2006).

Upaya membangun kembali, memperbarharui kembali rumah adat (sa’o) adalah bagian dari keadapan publik untuk menggali habitus yang lama: pemahaman tentang rumah adat sebagai simbol persatuan keluarga, kerukunan,

hubungan kekerabatan, dan kepedulian sosial. Upaya pembaharuan ini juga diharapkan dapat memberi “semangat” serta “gairah” baru untuk menghadapi kompetisi dan tantangan zaman. Hal ini disimbolkan dalam bentuk rumah adat

(sa’o) dan dikukuhkan oleh tradisi lisan, dalam hal ini puisi lisan Sa ngaza. Habitus baru tentang sa’o sebagai simbol dimana kebersamaan, persatuan, kerukunan, hubungan kekerabatan anggota-anggotanya diharapkan terjaga secara berkelanjutan. Dengan demikian habitus dalam kaitannya dengan pewarisan tradisi lisan adalah tradisi lama (kebiasaan lama) yang dibaharui (menjadi kebiasaan baru) demi meningkatkan pemahaman masyarakat pemilik tradisi itu untuk berkembang dengan keadapan baru.

Modal

Jika dihubungkan dengan teori modal yang dikemukakan Pierre Bourdieu, ada empat hal penting dalam pewarisan tradisi lisan yaitu modal budaya, modal sosial, modal ekonomi, dan modal simbolik sebagaimana dijelaskan dalam contoh berikut ini (Banda, 2015).

Bulan Juni 2012 berlangsung sebuah ritual pemberkatan rumah adat (ka sa’o) di Kampung Wogo Kabupaten Ngada Flores. Rumah adat (sa’o) bernama Watu Wea, salah satu dari sejumlah rumah adat di Wogo. Rumah adat tersebut hanya berupa nama selama 83 tahun, sejak berpindahnya Wogo dari kampung lama ke kampung Wogo yang baru. Keluarga besar dalam satu rumah adat (Watu Wea) membangun kembali rumah adat tersebut. Rumah adat adalah salah satu identitas orang Ngada di samping ngadhu dan bhaga (simbol leluhur laki-laki dan perempuan), dan nua (kampung). Rumah adat diyakini sebagai tempat kediaman leluhur, pemersatu keluarga, tempat berbagi, tempat menggali dan menemukan kembali nilai-nilai religius yang diturunkan leluhur yang dipandang sebagai representasi kehadiran-Nya.

Dalam kode religius unsur mata raga dalam sa’o ngaza dapat dimaknai sebagai representasi kehadiran Yang

Ilahi yang entitasNya sungguh terikat oleh “kasih setia” (baik dalam kata maupun tindakan, teori maupun

praktek), bagaikan kasih setia seorang ibu kepada anak-anaknya. Ibu (Yang Ilahi) yang rela berkorban untuk melahirkan, merawat, menjaga, dan melindungi anak-anaknya agar bertumbuh subur dan bahagia (Watu, 2008:142).

Kehilangan rumah adat atau rumah adat yang dibiarkan ‘tidak ada’ secara fisik hampir identik dengan membiarkan ‘perpecahan keluarga’ dan kehampaan nilai-nilai yang diwariskannya. Karenanya kesadaran membangun

representasi kehadiran leluhur dan “Yang Ilahi’. Untuk tujuan tersebut keluarga pemilik sa’o Watu Wea perlu memiliki

pengetahuan budaya, sosial, dan ekonomi.

1. Pada tahun 1920 – 1930 terjadi migrasi berangsur-angsur dari kampung Wogo lama ke kampung Wogo sekarang (lebih kurang 3 kilo meter). Tahun 1933 terjadi ka nua wogo yaitu ritual untuk memberkati kampung. Secara fisik

sa’o Watu Wea pernah ada di nua Wogo lama. Namun setelah migrasi ke nua Wogo sekarang, sa’o Watu Wea

belum sempat dibangun. Simbol sa’o seperti: su’a dan bhuja kawa ditahtakan sementara di sa’o Pita Ine dengan alasan kultural dan kemanusian.

2. Meskipun tidak ada bentuk fisik, sa’o Watu Wea selalu disebut dalam berbagai ritual adat misalnya dalam reba (ritual syukuran panen dan tahun baru). Keduanya berada dalam satu kesatuan adat dan ekonomi. Memiliki ngia ngora (tanah warisan) yang dikelola dan dijaga bersama. Kobho Pita Ine dan kobho Watu Wea selalu disebut setiap waktu ritual adat berlangsung1.

3. Setelah 83 tahun ada kesadaran dari keluarga besar untuk membangun sa’o Watu Wea.

4. Melalui proses sidang adat bhaga (rumah kecil simbol leluhur perempuan) berhasil dibangun pada tahun 1999. 5. Tahun 2008/2009 komunitas woe mulai membahas soal pembangunan sa’o Watu Wea. Namun, tidak ada orang

yang bertanggung jawab menjaga keberadaan sa’o tersebut, (menyangkut berbagai urusan adat). Hal ini terjadi karena turunan langsung dari sa’o Watu Wea keduanya laki-laki, yaitu Bapak Paulus Raga dan Bapak Agustinus Watu. Sementara penjaga sa’o harus berasal dari perempuan (matrilokal). Kedudukan sa’o Watu Wea sebagai

sa’o peka pu’u (dari garis keturunan ibu) karena yang harus menjadi penjamin keberlangsungan sa’o harus dari

garis keturunan ibu.

6. Keluarga memutuskan bahwa saudara Wanibaldus Watu Gale dan saudari Martina Itu dua bersaudara kandung anak dari bapak Paulus Raga dan ibu Yosefina Neba dari sa’o Nesi Leza kampung Liba, yang akan menjaga dan menetap di sa’o Watu Wea. Untuk tujuan itu diadakan ritual kago liko bagi keduanya. Ritual yang diadakan agar kedua kakak beradik ini bheka (terpisah) secara adat dari sa’o Nesi Leza. Hingga selanjutnya kedua orang ini sah secara adat, tidak lagi menjadi bagian dari sa’o Nesi Leza (ibunya) tetapi dheko lega ema (menjadi bagian dari keturunan ibu dari bapak Paulus) di Wogo keturunan sa’o Watu Wea.

7. Wanibaldus dan Martina menjadi penjaga sa’o Watu Wea. Bersama keluarga dari Pita Ine. Menjalankan tugas mengayomi Watu Wea (seperti rumah adat, belis, urusan tanah, wailaki dan lainnya) termasuk berperan dalam pembangunan sa’o Watu Wea.

8. Sa’o pu’u Watu Wea didirikan.

9. Ritual pemberkatan rumah adat (ka sa’o) Watu Wea. Pada kesempatan ini keluarga mori ngalu (pemilik ritual) atau keluarga sa’o Watu Wea dan klan/sub-etnis (woe) Tiko Sawa, serta para wailaki (keluarga kerabat) merayakan ritual ka sa’o Watu Wea.

10. Dalam ritual ka sa’o diwartakan Sa Ngaza. Tradisi Lisan Sa Ngaza (TLS) diyakini sebagai media proklamasi identitas sa’o Watu Wea dan woe Tiko Sawa.

11. Sa’o Watu Wea telah disahkan dengan puisi lisan Sa Ngaza sebagai modal simbolik untuk melegitimasi. (Hasil wawancara dengan Siprianus Bate Soro keluarga pemilik rumah adat Watu Wea) (Banda, 2015:302-303). 12. Puisi lisan Sa Ngaza mencerminkan spirit, identitas, historisitas, dan filsafat hidup orang Ngadha.

Kutipan di atas menjelaskan bahwa pewarisan tradisi lisan memerlukan pemahaman sejarah asal usul (modal budaya), relasi antara keluarga dan keluarga kerabat serta berbagai pihak terkait (modal sosial), kebutuhan finasial untuk pembangunan kembali rumah adat dan keperluan pendukung lainnya (modal ekonomi). Selanjutnya modal simbolik yang memberi pengakuan dan status jika kebutuhan terhadap ketiga modal lainnya terpenuhi.

Modal Budaya

Modal budaya berupa pemahaman dan penguasaan pengetahuan tentang budaya dan segala informasi yang berkaitan dengan budaya tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh keluarga pemilik rumah adat Watu Wea. Pengetahuan tentang rumah adat, hubungan keluarga, berbagai relasi yang mesti dibangun, serta masalah di seputarnya yang berupaya diatasi. Keluarga pemilik rumah adat Watu Wea dapat menjelaskan dengan baik sejarah asal-usul keturunannya, leluhur, rumah adat (sa’o), ngadhu (simbol leluhur laki-laki), bhaga (simbol leluhur perempuan).

1Hasil Diskusi Kelompok (FGD) di Sa’o Watu Wea, 21 Mei 2013; Wawancara dengan Siprianus Bate Soro, Februari 2014) (Banda, 2015).

Kesadaran ini secara langsung mengaktualisasikan kembali jejak-jejak leluhur, hubungan keluarga, yang pengetahuan tentang rumah adat dan asal-usul pemiliknya.

Modal budaya yang dimiliki memberi keyakinan untuk membangun kembali rumah adat yang sudah ‘hilang’

Dokumen terkait