• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata Kunci: alih aahana, feminisme, mati suri di jakarta, njai dasima, pascakolonial

Pendahuluan

Sastra Melayu Tionghoa banyak sekali bercerita tentang nyai. Salah satu cerita tentang Nyai yang tertua adalah Tjerita Njai Dasima karangan G. Francis yanng terbit pada 1896. Cerita karangan G. Francis ini diterbitkan ulang dalam buku Pramoedya Tempoe Doleoe oleh penerbit Hasta Mitra pada 1982, kemudian dicetak ulang oleh penerbit Lentera Dipantara dengan judul yang sama pada 2003. Pada 2007, Komunitas Bambu juga menerbitkan kembali cerita ini bersama dengan cerita Njai Dasima versi S.M Ardan. G. Francis adalah seorang Inggris yang aktif dalam dunia jurnalistik. Ia pernah menjadi redaktur di surat kabar Pengadilan (1862–1898) yang terbit di Bandung, kemudian menjadi redaktur Bintang Betawi dan kemudian pindah ke surat kabar Pantjaran Warta (1909–1917)1.

Setelah kemunculannya yang pertama pada 1896, cerita Njai Dasima mengalami berkali-kali proses alih wahana. Ceritanya pernah dilakonkan oleh komedi bangsawan dan komedi stambul. Selain itu, diketahui bahwa Teater Miss Ribut telah mementaskan cerita ini sebanyak 127 pada masa penjajahan.2Cerita Njai Dasima juga pernah dibuat ke dalam film pada 1929 dan 1940.3Banyaknya proses alih wahana yang terjadi pada cerita Njai Dasima membuktikan bahwa cerita ini sangat populer di masyarakat

Ibnu Wahyudi (2010) pernah menulis mengenai proses alih wahana yang dialami oleh Njai Dasima. Ia menganalisis semua perubahan yang dialami oleh Njai Dasima, mulai dari syair, lirik lagu oleh Benjamin S., manuskrip, teater, terjemahan ke dalam bahasa asing, film, serial televisi, cerita lisan hingga adaptasi oleh Rahmat Ali dan S.M Ardan.

1Toer, Pramoedya Ananta. 2003. Jakarta: Hasta Mitra.

2ibid

Penelitian yang dilakukan Wahyudi cenderung bersifat deskriptif. Ia menyimpulkan bahwa cerita Njai Dasima dialihwahanakan sedemikan rupa dari zaman ke zaman karena ia memiliki daya tarik realisme-eksotik. Wahyudi menyebut cerita Njai Dasima sebagai realisme-eksotik karena cerita Njai Dasima didasarkan oleh kisah nyata antara pribumi dengan orang asing. Menurutnya, kemelodramatikan kisah Njai Dasima merupakan anasir naratif yang selalu akan diintip atau dicari pembaca pada umumnya. Setiap perubahan wahana memungkinkan terjadinya perubahan isi karena isi mengikuti ketentuan-ketentuan wahananya yang baru. Oleh karena itu, setiap perubahan yang dialami oleh cerita Njai Dasima juga mengubah isi ceritanya.

Cerita Njai Dasima kembali diangkat oleh Rebecca Kezia pada 2012. Kezia mengadaptasi cerita Njai Dasima ke dalam naskah drama yang berjudul Mati Suri di Jakarta. Naskahnya ini memenangkan lomba Peksiminas (Pekan Seni Mahasiswa Nasional). Naskah Mati Suri di Jakarta pernah dipentaskan oleh Teater Pagupon pada 2013, tetapi tulisan ini hanya berfokus pada naskahnya dan bukan pertunjukannya. Cerita Njai Dasima karya G. Francis yang berbentuk novel kembali mengalami proses alih wahana meskipun masih menggunakan aksara sebagai medianya. Cerita klasik mengenai Njai Dasima diawetkan oleh alih wahana yang dilakukan oleh Kezia. Kezia mengubah latar waktu cerita ini, yaitu Jakarta abad 21.

Selain mengadaptasi cerita Njai Dasima, Kezia juga pernah mengadaptasi novela karya Franz Kafka yang berjudul The Metamorphosis (Die Verwandlung) menjadi sebuah naskah drama pada 2014. Naskah drama adaptasinya itu dipentaskan oleh Stock Teater di Komunitas Salihara pada 28 dan 29 Maret 2014. Tidak hanya menulis naskah drama, Kezia juga sering bermain teater. Ia berperan terakhir kali pada pementasan yang berjudul Pernikahan Darah oleh Teater Pandora di Graha Bhakti Budaya, TIM, pada Januari 2016.

Berbeda dari penelitian yang dilakukan oleh Ibnu Wahyudi, dalam tulisan ini penulis hanya akan melihat proses adaptasi dari Novel karya G.Francis ke dalam Mati Suri di Jakarta karya Rebecca Kezia karena kedua karya tersebut memiliki rentang produksi yang sudah sangat jauh, yaitu sekitar dua abad (1896 dan 2012). Penulis akan melihat sejauh apa perubahan yang dilakukan oleh Kezia dalam teksnya. Dari perubahan tersebut, penulis akan melihat bagaimanakah posisi perempuan dalam kedua teks. Apakah dengan berubahnya latar sosial yang disebabkan oleh rentang waktu penerbitan karya yang cukup jauh juga mengubah posisi perempuan di dalam karya?

Kajian Pustaka

Untuk melakukan penelitian ini penulis menggunakan beberapa tulisan sebagai landasan teori. Oleh karena penelitian yang penulis lakukan merupakan penelitian alih wahana, penulis akan menggunakan teori alih wahana dari buku Alih Wahana karya Sapardi Djoko Damono (2014). Selain itu, penulis juga menggunakan artikel dari Chiel Kattenbelt (2008) yang berjudul Intermediality in Theatre and Performance: Definitions, Perceptions and Medial Relationships. Dari tulisan tersebut penulis mengambil pengertian mengenai alih wahana dan hal-hal seputar alih wahana.

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, Ibnu Wahyudi (2010) pernah menulis mengenai alih wahana yang dialami oleh cerita Njai Dasima. Ia menulis mengenai semua perubahan yang dialami oleh cerita tersebut dan cenderung bersifat deskriptif. Ia berkesimpulan bahwa banyaknya proses alih wahana cerita Njai Dasima disebabkan oleh daya tarik realisme-eksotik yang dimiliki cerita Nyai Dasima karena berangkat dari kisah nyata dan bercerita mengenai hubungan antara penjajah dan terjajah. Melalui tulisan Ibnu Wahyudi inilah penulis memahami bahwa cerita Njai Dasima merupakan cerita yang sangat populer yang memungkinkannya beralihwahana sedemikian rupa. Maya Sutedja Liem (2008) menulis tentang pernyaian di dalam karya sastra Indonesia dalam kurun waktu 1896–1927. Ia menganalisis enam karya, salah satunya adalah Njai Dasima karya G. Francis. Menurutnya, cerita Njai Dasima adalah satu-satunya naskah yang pada pandangan pertama tidak meninggalkan pencitraan buruk pada seorang nyai; tidak seperti citra nyai lainnya pada naskah kolonial.

Untuk melihat konteks kolonialisme dan pascakolonialisme dalam karya, penulis menggunakan tulisan Ania Lomba yang berjudul Kolonialisme/Pascakolonialisme yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Penerbit Narasi pada 2016. Buku ini menjelaskan mengenai kaitan antara kolonialisme dan feminisme. Menurutnya, praktik-praktik kolonial selalu sadar akan kelas, gender, kasta pribumi atau hierarki-hierarki regional. Pada masa kolonial, perempuan menjadi kaum yang kalah karena mereka didominasi oleh laki-laki dan dijajah oleh bangsa asing sehingga menjadikan mereka seseorang yang double marginal. Menurut Leela Gandhi (1998), teori feminisme dan postkolonial sama-sama membalikkan hierarki yang umum mengenai gender, budaya, atau ras, dan keduanya sama-sama terpengaruh dengan poststrukturalis karena menolak oposisi biner yang dikonstruksi oleh

patriarkal atau kolonial. Selain tulisan Loomba dan Gandhi, penulis akan menggunakan tulisan Rosemarie Tong (2009) yang berjdul Feminist Thought untuk melihat hubungan antara feminisme dan pascakolonial.

Untuk melihat bagaimana sejarah pernyaian di Indonesia, penulis akan menggunakan buku karya Reggie Baay (2010) yang berjudul Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. Baay menceritakan awal mula hingga akhir praktik pernyaian di Hindia Belanda. Baay juga mengisahkan bagaimana kedudukan dan status para nyai di lingkungan sosial masa kolonial. Tulisan Baay memungkinkan penulis untuk lebih memahami bagaimana status dan kedudukan Nyai di dalam masyarakat kolonial. Untuk lebih memahami tentang kawin siri dan istri simpanan, penulis menggunakan skripsi karya Mikatharra Prisianti (2003) yang berjudul Istri Simpanan di Jakarta: Studi Kasus terhadap 5 (Lima) Perempuan Golongan Menengah yang Menjadi Istri Simpanan. Tulisannya memang tidak dapat digeneralisasikan pada semua kasus istri simpanan, tetapi penjelasannya mengenai intitusi perkawinan di masyarakat urban cukup membantu penelitian ini.

Pembahasan

Alih wahana, sesuai dengan namanya, adalah perubahan suatu karya dari satu wahana ke wahana lainnya. Alih wahana juga dapat disebut transmediality (Kattenbelt, 2008). Perubahan dari satu wahana ke wahana lainnya tentu saja menyebabkan perubahan. Perubahan tersebut dapat berupa konten dan bentuk. Perubahan yang terjadi pasti mengubah sesuatu dari karya asalnya, entah itu bentuknya atau kontennya, karena disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan wahananya yang baru.

Di Indonesia sendiri, akhir-akhir ini, alih wahana yang paling sering dilakukan adalah perubahan dari novel ke film atau enkranisasi. Akan tetapi, sesungguhnya alih wahana sifatnya lebih luas. Tulisan ini membahas alih wahana dari novel ke drama. Pada 1896, G. Francis menerbitkan novel Njai Dasima yang bercerita tentang Nyai Dasima yang dipelihara oleh Tuan Edward. Nyai tersebut dipelihara dengan sangat baik dan memiliki harta yang banyak. Hingga suatu saat seorang lelaki bernama Samiun, bekerja sama dengan Ma Boejoeng, menghasut Nyai Dasima agar meninggalkan Tuan Edward dan menikahi Samiun. Akhirnya setelah Dasima menikahi Samiun, ia dibunuh untuk diambil hartanya. Samiun sebenarnya sudah memiliki istri, yaitu Hajati. Hajati mengetahui rencana Samiun untuk mengambil kekayaan Dasima dan ia juga ikut andil dalam memengaruhi Nyai Dasima untuk meninggalkan Tuan Edward dan menikahi Samiun, ia bahkan mengetahui rencana Samiun untuk membunuh Dasima.

Pada 2012, Rebecca Kezia mengadaptasi cerita Njai Dasima karya G. Francis tersebut ke dalam bentuk drama yang berjudul Mati Suri di Jakarta. Ia masih menggunakan narasi besar cerita Nyai Dasima, yaitu seorang perempuan yang dibunuh oleh suami keduanya untuk diambil hartanya. Akan tetapi, Kezia menggunakan latar waktu dan sosial yang berbeda dari ceriat G. Francis. Ia menggunakan latar waktu 2012 meskipun masih mengambil latar tempat di Jakarta. Selain latar waktu yang berubah, alur dan beberapa tokoh juga mengalami perubahan. Perubahan ini terjadi karena ada interpretasi dari Kezia. Seperti yang dikatakan oleh Dr. Iwan Gunawan, meskipun alih wahana bersifat horizontal, intepretasi akan selalu ada. Intepretasi tersebut berasal dari referensi si pembuat.4

Perubahan Tokoh

Dalam drama Kezia, Nyai Dasima dalam cerita Francis diubah menjadi Desi. Lalu Tuan Edward yang memelihara Nyai Dasima menjadi James. Samiun, suami Nyai Dasima berubah menjadi Sam, Hajati, istri pertama Samiun diubah menjadi Har. Bang Poasa, si pembunuh bayaran dalam cerita Francis, berubah menjadi Pusat. Dari perubahan nama dalam karya Kezia masih dapat terlihat akarnya dari cerita asalnya, kecuali tokoh James yang namanya berubah drastis. Selain itu, ada beberapa tokoh yang dihilangkan, yaitu tokoh Ma Boejoeng, Ma Saleha, Koemat, Pak Haji, dan Nancy, anak Dasima dan tuan Edward. Penghilangan tokoh-tokoh tersebut tentu saja memengaruhi cerita. Dalam cerita yang ditulis Kezia tidak ada lagi isu agama yang ditampilkan. Hal itu sangat berbeda dengan tulisan Francis yang sangat menekankan isu agama. Nyai Dasima meninggalkan Tuan Edward karena dihasut oleh Ma Boejoeng menggunakan

4Dikutip dari pernyataan Dr. Iwan Gunawan dalam acara diskusi alih wahana yang diselenggarakan di IKJ pada 16 Mei 2016.

beberapa alasan, dan Isu yang paling utama adalah agama. Nyai dasima yang beragama Islam merasa berdosa memiliki pasangan Tuan Edward yang bukan Islam.

“Boeat apa Njai takoet sama Toean djikaloe dia sajang sama Njai betoel-betoel tentoe dia soeda

kawin sama Njai. Dia ada satoe oerang koelit poeti, kaloe dia dapet bangsanja, tentoe dia boewang sama Njai, begitoe djoega dia poelang ka negrinja dan anak Njai dia ambil, tinggal Njai telantar sebatang karang tiada poenja sanak soedara dan tiada poenja kenalan disini maka itoe Njai idoep sama Toean ada kahidoepan berdjina, tiada nikah begimana soeda dipesan oleh Nabi Moehammad, haroes Njai lekas-lekas toentoet agama, soepaja djangan menjesal di blakang kali.”5(Francis, 2007: 94)

Dari kutipan tersebut terlihat bahwa Ma Boejoeng memberikan tiga argumen untuk membujuk Nyai agar meninggalkan

tuannya. Argumen pertama diperlihatkan melalui kalimat “Boeat apa Njai takoet sama Toean djikaloe dia sajang sama

Njai betoel-betoel tentoe dia soeda kawin sama Njai”. Melalui kalimat tersebut Ma Boejoeng berargumen bahwa Edward sebenarnya tidak benar-benar menyayangi Dasima karena Dasima hanya dijadikan sebagai nyai dan bukan istri yang sah. Jika Edward benar-benar menyayangi Dasima, tentu ia akan mengawini Dasima tak peduli persyaratan pemerintah yang memberatkan.

Para perempuan pribumi hanya dijadikan Nyai atau gundik dan bukan dijadikan istri karena sistem yang berlaku saat itu menyulitkan para laki-laki Eropa untuk memperistri pribumi. Sejak 1617, terdapat larangan menikah antara (mantan) pejabat VOC dengan perempuan non-kristen. Jika ada laki-laki Eropa yang ingin menikahi budak perempuan Asia maka ia harus melunasi pembelian budak tersebut kepada VOC atau membayar angsuran yang dipotong dari gajinya. Perempuan yang akan dinikahi juga harus dibaptis dan diberi nama Kristen. Sistem yang seperti itu mendorong lahirnya hubungan tanpa ikatan antara lelaki Eropa sebagai pendatang sekaligus penguasa dan perempuan Asia atau pribumi sebagai penduduk asli dan terjajah (Baay, 2010:10). Akan tetapi, setelah penghapusan perbudakan pada 1860, orang-orang Eropa mencari nyai dengan alasan membantu mereka mengurus rumah tangga (Baay, 2010: 21). Oleh karena itu, Dasima sebagai Nyai Tuan Edward diajari cara mengurus rumah tangga oleh Tuan Edward karena memang begitulah konstruksi sosial seorang nyai yang dibentuk oleh masyarakat pada zaman tersebut.

Argumen pertama ini kemudian dilanjutkan Ma Boejoeng untuk membahas mengenai perbedaan ras antara Dasima dan Edward. Ia mengatakan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang dapat terjadi dengan Nyai Dasima apabila ia ditinggal oleh Edward. Hal itu dia ungkapkan melalui kalimat “Dia ada satoe oerang koelit poeti, kaloe dia dapet bangsanja, tentoe dia boewang sama Njai, begitoe djoega dia poelang ka negrinja dan anak Njai dia ambil, tinggal

Njai telantar sebatang karang tiada poenja sanak soedara dan tiada poenja kenalan disini”. Sebagai seorang kulit

putih yang memiliki status lebih tinggi dari pribumi, Tuan Edward dapat memperlakukan Dasima dengan semena-mena. Jika Tuan Edward meninggalkan Dasima, Dasima akan sangat sengsara, terlebih ia telah berpisah dengan keluarganya di daerah Parung sehingga ia sebatang kara di Jakarta. Hal itu sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh Reggie Baay dalam bukunya yang membahas mengenai pergundikan.

Menurut Baay (2010), dalam masa kolonial, para gundik atau nyai dapat disuruh pergi kapanpun sang laki-laki menginginkannya. Tugas para Nyai tidak hanya menjadi teman tidur para lelaki Eropa, tetapi juga mengurus rumah. Pergundikan sudah menjadi ciri dan sifat sebuah sistem yang cukup kekal dalam kehidupan orang Eropa di Hindia Belanda. Anak dari hubungan lelaki Eropa dan nyainya dapat diambil oleh sang ayah dan dikirim ke Eropa tanpa persetujuan ibu sang anak atau nyai (Baay, 2010). Betapa kontrasnya kekuatan Tuan Edward dan Nyai Dasima yang diungkapkan Ma Boejoeng membuat Dasima gentar. Dari penjelasan yang dilakukan oleh Baay, dapat dilihat bahwa perempuan pribumi yang dijadikan gundik oleh lelaki Eropa hanya bersifat sebagai objek laki-laki. Para perempuan dapat diusir kapanpun dan tidak ada perlawanan dari pihak perempuan. Apa yang dijelaskan oleh Baay sama seperti apa yang dijadikan argumen oleh Ma Boejoeng untuk menghasut Dasima.

Akhirnya Ma Boejoeng mengangkat isu mengenai Agama sebagai isu paling besar karena Dasima dan Edward memeluk dua agama yang berbeda. Oleh karena itu, hubungan mereka dapat dikatakan sebagai sebuah perzinahan. Hal inilah yang paling mengkhawatirkan bagi Dasima. Dasima dan Ma Boejoeng adalah representasi masyarakat Betawi abad 19 yang memang dikenal memiliki reputasi sebagai muslim fanatik (Blackburn, 2012: 90).

Cerita Njai Dasima menjadi menarik karena ia meminta pisah dari Tuan Edward dan bukan sebaliknya. Njai Dasima, yang sudah dirawat dan diberikan kehidupan yang layak oleh Tuan Edward, memiliki kuasa untuk meminta pisah meskipun keinginan Dasima untuk pisah karena hasutan dari Ma Boejoeng. Hal ini pula yang ditekankan oleh Liem (2008) ketika ia menyatakan karya G. Francis tidak memberikan citra buruk pada Nyai.

Dalam tulisan Kezia, isu agama itu sama sekali dihilangkan. Desi meninggalkan James, yang merupakan lelaki asing, dan menikah dengan Sam hanya karena ia tidak merasa puas dengan statusnya dengan James. Ia bukanlah istri sah dari James.

Desi:

Tapi Desi Cuma simpanannya, bu. Dia punya istri dan anak di Amrik. Kalau Desi sampai punya anak dari dia, anak Desi ga akan punya bapak, bu. Desi itu bukan siapa-siapa dia. Dan semua itu karena kerakusan ayah. (matanya mencair dan air membasahi pipinya yang pucat).

(Kezia, 2012)

Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa Desi tidak bisa menerima James karena mereka tidak memiliki ikatan perkawinan yang sah. Ia memikirkan nasib anaknya kelak yang tidak akan memiliki ayah karena statusnya. Ia merasa tertekan karena ia tahu bahwa dengan statusnya yang seperti itu ia dan anaknya kelak akan mendapatkan diskriminasi di dalam masyarakat. Ia akan menjadi kaum marginal.

Dalam kutipan tersebut dapat terlihat bagaimana Desi memikirkan nasib calon anaknya. Berdasarkan hukum yang berlaku, sesuai dengan latar tempat dan waktu cerita, isteri yang tidak sah tercatat dalam catatan sipil tidak berhak mendapat warisan jika suami meninggal dan tidak berhak mendapat harta gono-gini jika terjadi perceraian. Anak hasil hubungan tanpa status perkawinan resmi juga akan mendapatkan nasib yang sama. Hubungan yang seperti ini menimbulkan tekanan pada pelaku, terutama perempuan, juga dapat menebabkan perempuan dan anaknya diisolasi oleh masyarakat (Susanti, 2013: 70).

Dalam drama Kezia, alih-alih memiliki anak, Desi diceritakan sedang mengandung. Hal ini berbeda dari cerita G. Francis yang menceritakan bahwa Nyai Dasima dan Tuan Edward telah memiliki satu anak perempuan yang bernama Nancy. Menghilangkan tokoh Nancy dan membuat Desi mengandung adalah cara Kezia untuk menghadirkan konflik di dalam cerita. Sam membunuh Desi untuk mendapatkan deposito dari James yang ditujukan untuk anak yang ada dalam kandungan Desi. Sebelum membunuh Desi, Sam telah mendapatkan surat keterangan kehamilan dan cap dari Desi sebagai syarat untuk mencairkan deposito.

Dalam tulisan Francis, tidak disebutkan alasan mengapa Dasima dijadikan gundik oleh Tuan Edward. Satu-satunya keterangan adalah bahwa Dasima sudah hidup bersama Tuan Edward selama delapan tahun, sejak ia masih gadis. Kezia menyertakan alasan mengapa Desi menjadi wanita simpanan James meskipun hanya satu kalimat tersirat, yaitu

“Dan semua itu karena kerakusan ayah”(Kezia, 2012). Dari kalimat tersebut dapat terlihat bahwa Desi menjadi

simpanan James karena perbuatan ayahnya. Memang tidak jelas apakah Desi diserahkan oleh Ayahnya atau tidak. Tapi lagi-lagi dapat dilihat bahwa Desi teropresi oleh ayahnya. Ayahnya tidak bertanggung jawab atas apa yang ia perbuat. Desi, sebagai perempuan, yang harus merasakan akibat perbuatan ayahnya dan Desi tidak melawan keputusan ayahnya. Sebenarnya pola seperti ini mirip dengan pola cerita Siti Nurbaya karya Marah Rusli yang harus menikah dengan Datuk Maringgih karena ayahnya berhutang. Kezia menampilkan formula yang sama seperti cerita Siti Nurbaya. Pada masa ketika cerita Njai Dasima terbit, yaitu abad 19, perempuan pribumi yang berhubungan dengan lelaki Eropa digambarkan sebagai sosok yang secara kemasyarakatan bersifat marginal, dan pengalamannya mustahil dikagumi atau dicontoh (Hatley, 2008: 183). Apa yang ditakutkan Desi sebenarnya juga apa yang ditakutkan Dasima, tentang bagaimana kelak jika James atau Tuan Edward tidak lagi bersamanya. Baik Desi dan Dasima khawatir ia akan mendapat stigma buruk di dalam masyarakat. Stigma buruk dari masyarakat terhadap istri simpanan di masyarakat industri lahir karena mereka dianggap telah melanggar nilai dan norma dalam masyarakat dengan melangsungkan perkawinan secara tidak resmi menurut hukum agama (Prisianti, 2003: 105).

Dalam drama Kezia, tokoh Ma Boejoeng dihilangkan. Alasan Desi meninggalkan James adalah untuk menghindari kermarginalan yang akan ia dapatkan jika ia tetap berhubungan dengan James. Pergundikan yang ada di zaman kolonial telah berubah nama, yaitu kawin siri. Desi dan Dasima pada dasarnya sama, simpanan seorang lelaki asing. Desi tidak dapat dikatakan Nyai karena memang praktik pernyaian sudah usai. Akan tetapi, ternyata dominasi kaum laki-laki atas perempuan tidak pernah usai meskipun zaman sudah berubah. Jadi, meskipun Desi dan Dasima hidup di zaman yang berbeda, stigma masyarakat terhadap wanita yang tidak memiliki hubungan perkawinan yang normal tetap buruk.

Bentuk perkawinan poligami sebenarnya sudah ada sejak zaman dulu. Sejak zaman kolonial hingga saat ini, hukum rumit yang mengatur poligami membuat lelaki sulit untuk melangsungkan pernikahan poligami (Baay, 2010; Prisianti, 2003). Oleh karena itu, muncullah hubungan tanpa ikatan atau nikah siri. Pada zaman kolonial, hubungan antara lelaki Eropa dengan pribumi disebut dengan pernyaian, kini hubungan yang sama dapat dikatakan dengan kawin siri.6Praktik seperti ini masih ada dalam masyarakat dan hanya berubah nama. Di dalam tulisan Francis, kesadaran Nyai Dasima untuk pergi dari Tuan Edward dibangun oleh pihak lain, ia tidak timbul sendiri, berbeda dengan tulisan Kezia, kesadaran itu muncul dari pikiran Desi sendiri tanpa campur tangan pihak lain. Selain itu, Desi memilih Sam sebagai suaminya bukan atas kehendak orang lain, tetapi kehendaknya sendiri. Tokoh Desi di dalam tulisan Kezia lebih otonom dibandingkan dengan tulisan Francis dalam hal memmilih suami.

Di dalam drama Kezia, Desi merasa terepresi oleh hubungannya dengan James. Sebenarnya James sama sekali tidak

Dokumen terkait