• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai-nilai pendidikan pada Ungkapan-ungkapan tentang Sumbang

Kata Kunci: representasi suara perempuan,feminis, tekanan patriarki, phalogocentris Pendahuluan

C. Nilai-nilai pendidikan pada Ungkapan-ungkapan tentang Sumbang

Jika diperhatikan secara seksama, akan terlihat bahwa kedua belas sumbang yang dikemukakan di atas, tidak ada yang tidak mengandung nilai-nilai pendidikan. Sangat banyak hal yang dapat dipelajari darinya. Beberapa nilai pendidikan yang dapat ditarik dari sumbang tersebut adalah sebagai berikut.

1. Menanamkan kesadaran bagi seluruh wanita Minangkabau bahwa dalam hidup ini ada hal-hal yang tidak pada tempatnya. Hal yang tidak pada tempatnya itu berada dihampir setiap dinamika kehidupan, misalnya dalam hal duduk, berjalan, berbicara, dan lain-lain.. Kesadaran ini perlu bahkan harus dipahami dan dimiliki setiap wanita Minangkabau agar setiap gerak kehidupannya selalu berterima (katuju dek urang). Semaua itu adalah dalam rangka mengemban kemuliaan adat yang diberikan kepadanya

2. Menanamkan nilai-nilai penghargaan atau harga-menghargai. Wanita Minangkabau harus mampu menghargai dirinya sendiri dan apa yang ada disekitarnya. Apapun bentuknya, wanita Minangkabau harus pandai mensyukuri dan menghargai keberadaan tubuhnya (aurat). Aurat mesti dijaga, karena ia dapat mendatangkan cela Janganlah aurat itu dipertontonkan, apalagi diperjualbelikan. Baju kuruang merupakan pakaian yang sangat tepat untuk menghargai keberadaan tubuh seorang wanita Minangkabau. Itulah

sebabnya pakaian, pekerjaan, dan tingkah lakunya harus mampu menutupi aurat itu. Penghargaan yang sama juga harus diberikannya kepada apa yang ada disekitarnya, misalnya karib kerabatnya. Ia harus pandai bertanya dan menjawab tanya, bersikap baik kepada orang lain, dan mampu menyesuaikan diri dengan kondisi disekitarnya. Jika wanita Minangkabau tidak memiliki sikap harga menghargai ini, maka ia akan tersisih dalam pergaulannya. Ia merupakan sasaran empuk gunjingan orang. Kemampuan menghargai ini sangat erat kaitannya dengan nilai lebih yang diberikan adat kepadanya. Sekali ia tidak dapat menghargai dirinya sendiri maka orang lain tidak akan menghargainya. Hal ini tentu akan menurunkan nilainya sebagai wanita Minangkabau yang bermartabat.

3. Menanamkan nilai-nilai perlindungan atau lindung-melindungi. Seperti yang telah dijelaskan, hina perempuan Minangkabau adalah hina kaumnya. Oleh sebab itu, ia harus mampu melindungi diri dari hal-hal yang dapat mendatangkan kehinaan itu. Perlindungan itu dapat dalam bentuk memperhatikan pakaiannya, cara bergaulnya, cara berbicaranya, dan tindak tanduknya. Melindungi aurat merupakan hal utama, sebab ia dapat dilihat dan memotivasi niat jahat laki-laki. Tutur kata dan perilaku pun harus diperhatikan, sebab ia dapat membuat orang tersinggung. Hal ini akan lebih buruk bila orang yang tersinggung itu melakukan pembalasan yang dapat mencelakakan. Kemahiran melindungi diri ini merupakan wujud dari sikap ingek sabalun kanai, pinteh sabalun hanyuik. atau sikap hati-hati dan antisipatif.

4. Menanamkan nilai-nilai malu. Malu harus menjadi “pakaian” setiap wanita Minangkabau. Ia harus malu bila setiap perbuatan dan pemikirannya tidak sesuai dengan adat istiadat, di luar alur dan patut. Oleh sebab itu, wanita Minangkabau harus mampu meletakan sesuatu pada tempatnya. Segala sesuatu harus diperlakukan secara adil, bak pinang pulang ka tampuak, cando siriah baliak ka gagang. Bila tatanan yang sangat alamiah ini dilanggar, akan timbulah jangga, ujungnya adalah menuai malu. Malu dan aib ini tidak hanya dia yang akan merasakannya, tetapi juga kaumnya. Agar tidak membuat malu, harus dihindari penyebab datangnya malu tersebut.

5. Menanamkan etika cara bergaul atau bersosialisasi. Sasakik, sasanang, saiyo sakato adalah salah satu filosofi orang Minangkabau dalam berkawan. Mereka harus saciok bak ayam, sadanciang bak basi dalam segala hal. Agar hal yang seperti itu dapat diujudkan maka rasa dan cara berkawan yang baik itu harus dimiliki wanita Minangkabau. Tutur kata dan kurenah merupakan hal yang harus diperhatikan. Dengarkan apa yang dikatakan teman, kemudian berilah balikan dengan arif dan lemah lembut. Pandai-pandailah memilih teman, sebab teman dapat membawa kita kepada hal-hal yang bermanfaat atau mudarat.

6. Menanamkan nilai-nilai hormat menghormati. Hormat merupakan sifat yang sangat terpuji. Sifat ini harus dimiliki oleh wanita Minangkabau dalam setiap dinamika kehidupannya. Menghormati orang lain berarti menghormati diri sendiri. Rasa hormat itu harus selalu ditumbuhkembangkan. Ia dapat dipupuk dengan meminimalkan hal-hal yang janggal, baik janggal terhadap diri sendiri, maupun terhadap orang lain, lebih-lebih kepada orang tua. Kato nan ampek (kato mandaki, kato manurun, kator mandata, dan kato malereang) adalah salah satu bentuk perilaku berbahasa yang memiliki makna hormat menghormati dan harga menghargai.

7. Menanamkan nilai-nilai sopan santun. Wanita Minangkabau harus memiliki sopan dan santun. Sopan santun

termasuk salah satu “pakaian kebesaran” wanita MInangkabau. Agar hal itu dapat diujudkan, segala sumbang

di atas harus dihindari, terutama sumbang berbicara dan sumbang kurenah.

Tujuh hal di atas merupakan sebagian dari sekian banyak nilai-nilai pendidikan yang dapat ditarik dari hal-hal yang sumbang. Dengan nilai-nilai itu diharapkan wanita Minangkabau dapat mempertahankan keistimewaannya selaku pewaris kebudayaan matrilinial yang unik, yaitu kebudayaan Minangkabau..

Bahwa sumbang merupakan sesuatu yang tidak patut dan perlu dihindari, tidaklah perlu dipertentangkan. Bahwa sangat banyak pengajaran yang dapat ditarik dari hal-hal yang janggal, juga tidak perlu dipertanyakan. Mungkin hal yang perlu dipikirkan adalah bagaimanakah cara kebudayaan Minangkabau itu medidik kaum wanitanya agar tidak berbuat sumbang.

Selama ini, secara umum proses pendidikan menurut adat Minangkabau adalah berguru kepada alam “alam

takambang jadi guru”. Sangat banyak kata-kata bijak adat-istiadat Minangkabau yang menginformasikan bahwa

alam sangat berarti bagi masyarakat Minangkabau sebagai sarana untuk belajar. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan alam tersebut dapat berupa tumbuhan, hewan, orang, benda, peristiwa, fenomena, pemikiran, lokasi, dan lain-lain.

Dari hal-hal tersebutlah orang Minangkabau belajar, melakukan olah rasa dan olah karsa, sehingga butir-butir ilmu dan nilai diperolehnya sebagai bekal bagi kehidupannya.

Sekaitan dengan manusia, proses pendidikan yang sering dilakukan adalah dalam bentuk memberikan ketauladanan, musyawarah, nasehat, dan lain-lain. Ketauladanan adalah segala sesuatu yang patut ditiru. Ketauladanan ini dapat dalam bentuk perbuatan, pemikiran, pengetahuan, sikap, kematangan emosional, cara bergaul/bersosialisasi, keterampilan, dan lain-lain. Sebenarnya siapa saja orangnya bisa ditauladani. Akan tetapi, yang sering menjadi tauladan itu adalah ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai, dan bundo kanduang. Orang-orang tesebut adalah orang-orang pilihan adat. Oleh karena itu, mereka harus mampu menjadi contoh dalam berbagai hal. Bika tidak demikian, maka melekatlah pada mereka pernyataan “tungkek mambao rabah, paga makan tanaman. Sejauh ini ketauladanan merupakan cara yang ampuh dalam pelaksanaan proses pendidikan. Caliak contoh ka nan sudah, caliak tuah ka nan manang. Pernyataan ini merupakan suatu sikap yang ndak lapuak dek hujan, ndak lakang dek paneh. Dengan memperlihatkan ketauladan ini diharapkan wanita Minangkabau mampu memperkaya dirinya dengan aneka ilmu dan agama, sehingga ia tidak akan canggung menghadapi hidup dan kehidupan ini.

Musyawarah atau bermusyawarah atau bertukar pikiran juga dapat dijadikan sebagai cara dalam melaksanakan proses pendidikan. Musyawarah ini dilakukan untuk mencari sesuatu yang dianggap benar, karena kebenaran adalah sesuatu yang bernilai tinggi dan dapat dipakai dimana dan kapan saja. Kebenaran yang hakiki dalam pandangan adat Minangkabau adalah kebenaran yang datang dari Allah. Dalam pituah adat hal ini dinyatakandengan kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka nan bana, bana nan tagak sandirinyo. Dalam bermusyawarah sumbang tanyo dan sumbang jawek harus dihindarkan, termasuk sumbang kurenah. Dibenarkan basilang kayu di tungku disitu mako api ka iduik, dalam bermusyawarah. Akan tetapi, silang pandapek itu tetap dalam koridor kapalo paneh di hati dinggin, buah raso baok mandaki, buah pareso baok manurun. Semua silang kata dalam bermusyawarah tersebut tetap dimaksudkan untuk mencari kebenaran. Musyawarah adalah proses pendidikan yang mampu mencerdaskan intelegensi, emosi, spiritual, dan kecerdasan daya juang.

Nasehat juga dipandang sebagai suatu proses pendidikan, Karena ia mampu mentransfer aneka nilai. Proses pendidikan yang seperti ini sangat sering dialami oleh wanita Minangkabau. Biasanya nasehat itu diberikan oleh orang-orang yang lebih tua, misalnya mamak, mande, ayah, ibu, guru, kakak, penghulu, alim ulama, bundo kanduang, dan lain-lain. Akan tetapi orang yang lebih kecil pun dapat memberikan nasehat. Yang penting dari semua itu adalah isi nasehatnya bukan siapa yang menasehati. Namun ada kecederungan bahwa nasehat diberikan oleh orang yang lebih tua. Proses pendidikan dalam bentuk nasehat ini, menempatkan wanita yang dinasehati sebagai menerima pesan nasehat. Melalui proses nasehat inilah segala sesuatu disampaikan agar wanita Minangkabau dalam setiap dinamika kehidupannya tidak keluar dari rel adat.

Bagarah, bagurau-gurau juga dapat dijadikan suatu proses pendidikan bagi wanita Minanagkabau. Dalam kondisi yang demikian mereka saling mengasah pemikirannya, saling mencemooh, dan bertukar pengalaman dalam rangka mematangkan dirinya menuju wanita Minagkabau yang dewasa. Biasanya lokasi yang sering dijadikan arena bagurau ini adalah tepian tempat mandi atau surau tempat mengaji, atau halaman rumah ketika malam bulan purnama, atau ketika malam-malam bainai. Untuk hal-hal keagamaan, proses pendidikan sering dilakukan dalam bentuk mangaji di surau.

Penutup Kajian

Sumbang, atau jangga, atau cando seperti yang digambarkan di atas, merupakan sebagian kecil perilaku yang harus dihindari wanita Minangkabau. Sebab, perilaku yang demikian dapat merendahkan budi dan bahasa atau indak bataratik. Bila budi dan bahasa ini tidak dimiliki oleh wanita Minangkabau, maka kemuliaannya sebagai wanita Minangkabau akan jatuh. Ia akan menjadi wanita yang hina, wanita yang akan mendatangkan aib dan membuat malu kaum dan kerabatnya.

Agar kehinaan itu tidak hinggap pada diri wanita Minangkabau, maka aneka nilai yang sangat diperlukan dalam kehidupannya, harus mereka miliki. Artinya mereka harus berilmu, beragama, dan beradat. Tiga hal ini dapat dianggap pilar yang dapat menempatkan wanita Minangkabau pada posisi yang terhormat, yang pada akhirnya akan melahirkan generasi muda Minangkabau yang berkualitas.

Untuk menghasilkan wanita Minangkabau yang berkualitas itu, pendidikan harus diberikan kepadanya, Pendidikan yang sering diberikan kepada wanita Minangkabau adalah berguru kepada alam, Prosesnya dapat dalam bentuk mengamati, ketauladanan, nasehat, mengaji, danlain-lain.

Dokumen terkait