• Tidak ada hasil yang ditemukan

Biodiversitas, deforestasi dan sejarah reforestasi di Biak

IV. BIAK: GAMBARAN UMUM, SOSIAL DAN BUDAYA

4.4. Biodiversitas, deforestasi dan sejarah reforestasi di Biak

Tidak banyak laporan yang menjelaskan mengenai biodiversitas di Biak, kecuali dari laporan-laporan WWF terkait penyiapan CA Supiori dan CA Biak Utara. Petocz (1987) menceriterakan bagaimana data biodiversitas Pulau Biak sebagai berikut: bahwa CA Biak Utara merupakan kawasan satu-satunya di Biak yang masih belum terganggu. Kawasan ini menampung 82 jenis burung yang diketahui hidup di pulau tersebut, dan 9 di antaranya adalah endemic, bahkan merupakan angka tertinggi khususnya bagi pulau-pulau di luar daratan Papua. Termasuk dalam jumlah itu Otus beccarii, Tansiptera riedeli, Monarcha bhrehmii, Zosterops mysorensis, Centrous chalybeus, Myagra atra, Eos cyanogenia, Micropsitta geelvinkiana misoriensis, dan Aplonis magna magna. Empat jenis yang disebut terkahir terdapat juga di Pulau Numfor. Sekurang-kurangnya 26

jenis mamalia ada di Pulau Biak termasuk: satu jenis bandikut, jenis kus-kus, opossum ekor kipas, opossum laying, dan kanguru pohon berbulu kelabu.

Dinas Kehutanan Biak Numfor yakin akan tingginya keaekaragaman flora fauna di Biak, namun sekaligus mengakui bahwa data-data ini belum teridentifikasi dengan baik.

Dari segi keanekaragaman hayati, diketahui Kabupaten Biak Numfor memiliki berbagai keanekaragaman hayati yang terdiri atas rotan, gaharu, tanaman obat, tumbuhan berbunga, spesies burung, spesies satwa mamalia, spesies satwa reptile, spesies ampibi, lebah. Sejauh ini manfaat keanekaragaman hayati tersebut belum teridentifikasi dengan baik dan belum mendapat porsi perhatian yang seharusnya (Renstra Dishutbun Biak-Numfor).

Sumber daya hutan Kabupaten Biak Numfor berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 891/Kpts-II/1999 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan di wilayah Provinsi Irian Jaya/Papua adalah seluas 221.270 ha atau 0,52% dari kawasan hutan di tanah Papua seluas 42.244.841 Ha. Kawasan hutan Biak-Numfor menurut fungsinya sebagai berikut:

Kawasan Konservasi (Cagar Alam) : 6.138 Ha (2,8%)

Hutan Lindung : 118.886 Ha (53,7%)

Hutan Produksi Terbatas : 52.841 Ha (23,9 %)

Hutan Produksi : 29.765 Ha (13,4 %)

Areal Penggunaan Lain : 13.641 Ha (6,2%)

Selanjutnya, laporan tentang deforestasi di Biak masih menggantung pada angka deforestasi Papua sebesar 0,13 juta ha/tahun. Hanya saja, laporan kerusakan hutan yang disampaikan Dinas Kehutanan dan Perkebunan

Kabupaten Biak-Numfor29 menyebutkan bahwa lahan berpotensi kritis tidak

produktif seluas 42.618 ha dengan komposisi: semak belukar 12.804 Ha, tanah terbuka 6,820 Ha dan pertanian lahan kering bercampur semak seluas 22.995 Ha. Lebih lanjut dikatakan bahwa kerusakan hutan yang terjadi di Biak diakibatkan oleh tekanan ke kawasan hutan seiring bertambahnya penduduk, meningkatnya permintaan kayu, minimnya pendapatan dan lapangan kerja bagi masyarakat.

29 Rencana Strategis Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Biak Numfor Tahun 2009- 2012

Studi ini mencoba mengambil data hasil interpretasi citra satelit dan

kemudian melakukan perhitungan change detection30 di Laboratorium GIS

Tropenbos Bogor. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun (2000 – 2010) hanya terjadi deforestasi sebesar 1,89%, atau 550 hektar per tahun (lihat Tabel 5). Dengan demikian, maka laju deforestasi di Biak masih tergolong sangat kecil jika dibandingkan deforestasi Papua secara keseluruhan. Laju reforestasi di Biak tidak nampak dari hasil interpretasi menggunakan citra Landsat, sehingga diperlukan citra dengan skala resolusi lebih tinggi.

Tabel 5. Perubahan Tutupan Lahan di Biak-Numfor Tahun 2000 dan 2010 Perubahan Tutupan

Lahan Luas(ha) Prosentase

Hutan – Hutan 228.818 78,6

Hutan – Non Hutan 5.500 1,89

Non Hutan – Hutan --- ---

Non Hutan – Non

Hutan 55.916 19,21

Lapangan/Tubuh Air 896 0,31

Luas Total 291.130 100

Sumber: Pengolahan di Lab GIS Tropenbos 2011 (peta lihat lampiran) Program reforestasi di Biak sudah berlangsung cukup lama, bahkan pada jaman pendudukan Belanda, penanaman pohon dammar (Agathis di Adibai-Biak Timur) sudah dimulai. Usaha penyadapan getah damar saat ini sudah terhenti, namun bukti bahwa tegakan ini ada, masih dapat disaksikan di Biak (Gambar 18).

Gambar 18. Tegakan Agathis di Biak Timur

Kadishutbun Biak mengungkapkan bagaimana kondisi terakhir tegakan Agathis yang ada di Biak Timur. Agathis telah menjadi icon Biak beberapa dekade sebelumnya. Selain program top down, sesungguhnya masyarakat tidak tinggal pasif namun berdasarkan pengalaman dan kebutuhan mereka, beberapa jenis telah ditanam secara swadaya di sekitar dusun/lahan milik keret.

Dengan adanya agathis, dan kalau masyarakat hanya agathis, itu mungkin belum cukup, jadi dorang kembangkan jenis tanaman cempedak31. Selain

cempedak, ada durian. Durian-durian ini dan cempedak yang ada di Adibai, sekarang jadi potensi unggulan di daerah itu. Dengan adanya cempedak itu, ada perubahan yang signifikan, pendapatan masyarakat, kesejahteraan maasyarakat dan ekonomi masyarakat itu berubah, ada peningkatan. Ini yang sebenarnya didorong terus, tidak hanya kehutanan, tapi pertanian, perkebunan ini sama-sama melakukan aktivitas di dalam satu hamparan, sehingga dari sisi keberhasilan-keberhasilan tidak hanya kehutanan, tapi dari sisi pertanian, dalam rumpun khusus. Ini yang terutama kita lakukan, semua teman-teman kesana, supaya Adibai ini kita mau kembalikan sebenarnya, icon Adibai tahun 80-an yang begitu indah dengan tanaman agathis, sekarang ini kita bisa lihat, dengan sekian ratus hektar, kini tinggal mungkin 4 hekter yang kita pertahankan sebagai tegakan benih dan sudah bersertifikat. Yang di luar itu,

sudah habis dibabat. Jadi kemudian, di dalam lahan agathis juga, memang ada konflik konflik soal kepemilikan tanah marga. Sebenarnya itu tidak kita harapkan, dan kita tidak bisa paksa lebih jauh, tetapi kita orang kehutanan, bagaimana kondisi agathis tahun 80-an kita mau kembalikan, tidak hanya agathis, tapi bagaimana dari pertanian, peternakan, kehutanan perkebunan, dan semua orang yang mencintai Adibai waktu itu ya mari kita sumbangkan pikiran dan tenaga untuk mengembalikan masa jaya. Memang ini butuh waktu, biaya, tenaga yang besar.

Reforestasi yang dilakukan di Biak, dapat dikatakan didominasi oleh program Pemerintah. Staff khusus Gubernur Papua menyatakan bahwa kegiatan-kegiatan penanaman pohon di Papua masih bersifat top down.

Gerhan di Indonesia merupakan pendekatan proyek, jangka pendek, pake batik dll, karena hampir sulit masyarakat terlibat langsung, Merupakan government driven, Juga dana tidak disiapkan terus menerus… Saya duga di Biak berhasil “karena ada yang membayar atau petani mendapat manfaat”.. Bapak Gubernur berpendapat bahwa untuk networking yang volunteer sulit. Siklop32 mengkombine gerakan masal dan insentif, dan untuk mendorong

Siklop ada penanaman bamboo untuk penegasan kawasan, persoalannya, untuk menanam 100 km siapa? Makanya dibentuk dalam kelompok-kelompok dan diberi insentif (Sumule)

Jika berangkat dari pendefinisian reforestasi skala kecil, sporadis dan relatif

menyebar, maka pernyataan bahwa reforestasi adalah by government driven

boleh jadi perlu kembali mendapat perhatian. Praktek reforestasi bisa dilihat dari cara pandang aktor, dan masing-masing memiliki kebenarannya.

Dari penelusuran di Biak, terlihat bagaimana tanaman jangka panjang di Biak Timur, Yendidori, Biak Barat, Biak Utara dan Warsa, telah ditanam di areal milik masyarakat. Walaupun didominasi oleh program pemerintah, namun inisiatif masyarakat dalam skala kecil juga patut diperhitungkan. Selain jenis tanaman yang direkomendasikan pemerintah, masyarakat berupaya untuk melakukan penanaman berdasarkan informasi yang diperoleh, atau merupakan aktivitas meniru kegiatan penanaman yang dilakukan kelompok masyarakat lain (Gambar 19).

32 Siklop adalah focus gerakan penanaman di Jayapura. CA Cyclop terancam penutupan lahannya karena okupasi peladangan, pernah mengakibatkan banjir bandang di Sentani, sehingga menjadi isu sentral lingkungan. Selain persoalan okupasi lahan, menghijaukan siklop kembali merupakan tantangan oleh karena disekitar CA Cyclop, lebih dari satu suku dan ondoafi yang memiliki hak ulayat.

Gambar 19. Reforestasi versi government driven vs local driven

Reforestasi dapat dikaitkan pula dengan eksistensi instansi-instansi kehutanan yang telah ada. Untuk itu akan disampaikan sejarah singkat eksisnya Dinas Kehutanan dan Perkebunan di Biak. Berdasarkan Keputusan Gubernur Nomor 92/GIJ/1974 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Kehutanan Propinsi Irian Jaya, tanggal 7 Mei 1974 dibentuklah Organisasi Dinas Kehutanan Propinsi Irian Jaya. Dengan Keputusan Gubernur tersebut, Kepala Dinas Kehutanan dalam menjalankan tugasnya, bertanggung jawab langsung kepada Gubernur. Sementara di tingkat Kabupaten, Dinas Kehutanan membawahi 8 (delapan) Kesatuan Pemangkuan Hutan yang tersebar di wilayah: Jayapura dan Jayawijaya; Biak-Numfor; Paniai; Yapen Waropen; Manokwari; Sorong; Fakfak; dan Merauke. Sejak tahun 1974 hingga 1986 KPH Biak di Pimpin berturut-turut oleh: Leo Verbon; Ujung Sahala Hutagaol; dan Suratman Rasbad.

Pada tanggal 5 November 1985 Gubernur Propinsi Dati I Irian Jaya Izzac Hindom bersama DPRD Propinsi Dati I Irian Jaya yang diketuai oleh Barnabas Suebu mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 1985, tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Cabang Dinas Kehutanan Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya. Berdasarkan Perda 10 Tahun 1985 ini, dibentuk Cabang Dinas Kehutanan (CDK) sebanyak 19 unit (Lokasi). Cabang Dinas XIX meliputi wilayah kerja Daerah Tingkat I Biak Numfor ini, dan sejak tahun 1986 dipimpin oleh: Makabory (1986-1987); Bambang Sutedjo (1987- 1992); Silass Saa (1992-1997); dan Mayor (1997-2001)

Selanjutnya, berdasarkan Perda Kabupaten Biak Numfor nomor 16 Tahun 2001 Struktur Organisasi CDK berubah menjadi Dinas Kehutanan Kabupaten

Biak Numfor dan dikepalai oleh: P. Dimara (2002-2005); Andarias F. Lameky, (2005-2009). Sesuai Perda Kabupaten Biak Numfor No 3 tahun 2009, Dinas Kehutanan berubah menjadi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Biak Numfor dan dikepalai oleh Andarias F. Lameky (2009-sekarang).

Dari sejarah panjang pengelolaan hutan di Biak, maka sejarah dinamika reforestasi dapat dipetakan sebagai berikut:

Sebelum gerakan reforestasi pemerintah RI dilakukan, masyarakat telah melakukan penanaman tanaman jangka panjang di wilayah keretnya. Aktivitas ini sangat terkait dengan aspek budaya pada saat itu, ketika para warga keret mencoba memanifestasikan fan-fan dan munsasu. Jenis cempedak merupakan komoditi utama yang merupakan gambaran terjadinya hubungan antara masyarakat Biak dan non Biak; berikut jenis-jenis kayu perahu yang dijaga keberadaannya dilahan masyarakat sebagai komoditi bernilai.

Di sisi yang lain, Pemerintah Hindia Belanda, sudah mencanangkan program penanaman bagi jenis dammar untuk menghasilkan kopal. Menurut informan, pembelian kopal sangat fair dilakukan oleh Belanda, sehingga tegakan Agathis dapat dijaga dengan baik oleh masyarakat.

Kecuali yang di hutan agathis dulu, peremajaan hutan agathis itu, secara alami. Jadi rupanya dia punya biji itu bersayap, ketika dia pecah di dahan, lalu dia bisa beterbangan. Sehingga di sana ada Small disana ada Poles, di sana ada trees, macam-macam, itu karena masalah alami. Nanti Boswezen masuk di Adibai, baru kesadaran membuat kultur itu sudah mulai terbentuk. Selain di luar hutan agathis, belum ada kesadaran untuk menhutankan kembali hutan yang sudah digundulkan, hutan yang sudah di tanduskan karena perkebunan liar, perladangan liar yang berpindah-pindah.

Ada dua bentuk reforestasi yang terjadi yaitu (1) penanaman untuk kepentingan kelompok keret, yang berwujud solidaritas, atau memperkuat kepastian/klaim batas lahan keret, serta berfungsi secara ekonomis bagi keluarga (bahan konsumsi); (2) penanaman bermotif ekonomi, didorong oleh program pemerintah Belanda melalui BUMNnya pada saat itu, untuk menanam Agathis yang bertujuan ekspor.

Penanaman agathis sekitar tahun 1957 yang sekarang sudah jadi trees… Kehutanan ada di bawah Ekonom Sesaken (Asosiasi Perekonomian), semacam BUMN. Lalu Indonesia masuk, Boswezen diserah terimakan sehingga statusnya jadi jelas. Asosiasi ini ada di bawah pengawasan Gubernur. Tugas Boswezen tidak berpikir masalah penghutanan kembali, mereka berpikir bagaimana ekspor dammar ke London, hamburg, untuk kepentingan itulah mereka tebang hutan agathis itu untuk menambah areal.

Walaupun tidak banyak catatan yang diperoleh, namun ulasan Nawir et al. (2008) paling tidak bisa menggambarkan kegiatan reforestasi yang terjadi. Reboisasi dan penghijauan di Jawa dianggap merupakan rujukan oleh instansi

teknis di luar Jawa untuk pelaksanaan reforestasi, walau dalam bentuk yang tidak sama persis.

Tidak ada catatan rentang kegiatan reforestasi pada awal berdirinya KPH Biak tahun 1974. Namun, ketika Departemen Kehutanan terbentuk tahun 1983, maka muncullah proyek (Proyek Perencanaan dan Pembinaan Reboisasi dan Penghijauan Daerah Aliran Sungai - P3RPDAS) yang bernaung dibawah Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan (Ditjen RRL). Saat ini kita kenal dengan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, yang sebelumnya adalah Balai/Sub Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT/Sub BRLKT).

Pengelolaan DAS menjadi penting karena beberapa sebab yaitu: 1) Daerah aliran sungai mempunyai batas wilayah dan konsep unit yang logis untuk pengelolaan ekosistem karena konsep daerah aliran sungai mengakui pentingnya peran air dalam hubungan biologis, dan 2) Daerah aliran sungai mudah dikenal, sehingga memudahkan para pengelola dalam mengukur dan mengamati komponen dasar fisik dan kimia dari suatu ekosistem. Dengan demikian, kegiatan-kegiatan reforestasi dikoordinasikan melalui unit-unit pelaksana teknis yaitu BP-DAS.

Walaupun demikian, masih ada persoalan pengelolaan DAS yang perlu di atasi antara lain: efektivitas sistem perencanaannya, sikronisasi program dengan instansi/ sektor lainnya. Wilayah DAS kemudian menjadi satuan unit pengelolaan yang dianggap lebih sesuai, walaupun pendekatan ekoregion juga penting. Ekoregion mencakup wilayah ekosistem tertentu yang meliputi interaksi fisik lingkungan dan sosial budaya di atasnya.

Kesadaran lingkungan terus dibangun. Tidak terkecuali, kegiatan-kegiatan penelitian yang dilakukan Balai Penelitian Kehutanan Manokwari berusaha untuk mengaddress persoalan seputar reforestasi. Kegiatan yang bertemakan uji provenance, rehabilitasi lahan kritis dilakukan di Sentani Jayapura, Wamena, Anggi-Manokwari, Bintuni dan beberapa wilayah lain di Papua. Sementara itu, sekitar tahun 1990-an semua HPH di Papua diwajibkan untuk melakukan penanaman di sekitar Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Sentani Jayapura, yang dikenal dengan istilah Sentani Sadar Lingkungan (Sentani Darling). Kegiatan Sentani Darling dikatakan belum berhasil karena tidak diikuti dengan kegiatan pemeliharaan yang memadai.

Pelaksanaan reforestasi dalam berbagai cara dan melalui berbagai aktor dapat berjalan dengan baik, walapun pada akhirnya kinerjanya cenderung

menurun jika dilihat dari eksistensi tanaman yang hidup setelah penanaman. Persoalan kepemilikan tanah adat pada saat kegiatan ini dijalankan, sepertinya tidak terlalu mencuat ke permukaan, dan program relatif dapat berjalan dan dilaporkan berhasil. Tidak terkecuali di Biak, kondisi inipun berlaku. Pada periode ini, kegiatan reforestasi merupakan program top-down dan berangsur-angsur diarahkan untuk memperkuat tingkat partisipasi masyarakat lokal.

Ketika terjadi reformasi tahun 1998, kondisi Papua mulai memperlihatkan gejala untuk segera masuk ke dalam era yang lebih demokratis dan bermartabat. Eksistensi adat semakin diperhitungkan sebagai salah satu komponen penentu suksesnya program-program pembangunan, termasuk reforestasi.

Di skala Nasional, Master Plan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (MP-RHL) dikembangkan pada tahun 2000 dan digunakan sebagai dasar perencanaan. Program reforestasi dikembangkan melalui skema pendanaan: Dana Alokasi Khusus – Dana Reboisasi (DAK-DR). Program tersebut telah beroperasi sejak tahun 2001 di bawah kendali pemerintah kabupaten, tanpa adanya koordinasi yang jelas dengan Unit Pelaksana Teknis (UPT) atau Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) setempat. Data mengenai realisasi sulit diperoleh.. Banyak pihak menduga bahwa pemerintah kabupaten telah menggunakan sebagian dana tersebut untuk tujuan di luar rehabilitasi. Inisiatif rehabilitasi terbaru dari Departemen Kehutanan, yaitu Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN RHL/Gerhan), diluncurkan pada akhir tahun 2003 guna menyikapi keperluan untuk merehabilitasi luas areal hutan dan lahan terdegradasi yang semakin meningkat (Nawir et al. 2008).

Gerakan ini diakui oleh informan sebagai kegiatan-kegiatan bersifat insentif.

Saya mau berbicara secara spesifik dari sudut pandang kehutanan, masalah Gerhan yang sekarang merupakan aksi masyarakat itu. Itu merupakan motivasi dari Pemerintah plus Dinas Kehutanan dan Departemen Kehutanan. Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL/Gerhan) yang selanjutnya disebut Gerhan mempunyai target selama 5 tahun (2003-2007) seluas 3.000.000 Ha. Untuk tahun 2007 direncanakan seluas 900.000 Ha. Sumber dana kegiatan Gerhan sejak tahun 2003 sampai dengan 2006 seluruhnya berasal dari Dana Reboisasi (DR) bagian pusat (60%). Mengingat sumber dana DR semakin menurun maka pendanaan Gerhan 2007 selain dana DR akan menggunakan pula sumber dana APBN-Perubahan 2007 (Permenhut P. 21/Menhut-V/2007).

Tahun 2008, GN-RHL diubah menjadi Kegiatan RHL yang diharapkan menjadi kegiatan yang terpola dengan baik lagi. Permenhut P.70/Menhut-II/2008 tentang Petunjuk Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan memberlihatkan bagainana RHL cukup komprehensive dengan sejumlah ketentuan yang meliputi aspek perencanaan, penyediaan bibit, reboisasi, penghijauan, rehabilitasi hutan mangrove dan pantai, penerapan teknik konservasi tanah dan air, pemberdayaan masyarakat. Disamping itu, Departemen Kehutanan antusias membangun Kebun Bibit Rakyat (KBR) untuk menyediakan bibit dalam jumlah dan kualitas yang memadai. Setiap KBR akan menyediakan bibit sebanyak 50.000 batang. Laporan BP DAS Mamberamo – Jayapura menunjukkan bahwa selama periode GN-RHL sekitar 5.565 Ha kawasan telah ditanami di Biak, dari 43.315 Ha yang direncanakan seluruh di Tanah Papua, dan ada 21 KBR yang terealisasi selama tahun 2010.

Pada periode ini, reforestasi ala pemerintah yang melibatkan masyarakat semakin intens, dan mulai mempertimbangkan pemangku kepentingan lain untuk bersama-sama menumbukan tanaman kehutanan di lahan masyarakat adat Biak. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Biak melaporkan pula bagaimana antusiasme permintaan bibit kehutanan dari instansi pemerintah, swasta/BUMN, TNI-POLRI, Yayasan/Organisasi Masyarakat. Sampai tahap ini, distribusi bibit tidak mengalami kendala. Disisi lain, Dishutbun kemudian memikirkan bagaimana meningkathan produktivitas suatu lahan dengan mengintensifkan kegiatan kehutanan dan perkebunan, serta program instansi teknis lainnya. Bahkan dana Otonomi Khusus untuk pengembangan masyarakat, mulai diusulkan untuk mendorong kegiatan RHL.

Dana Otsus itu ada ditekan pada 3 aspek. Yang pertama adalah pembangunan infrastruktur, kemudian aspek kedua itu adalah pembangunan di bidang pendidikan, dan yang ketiga bidang kesehatan. Tapi, setelah kita lihat, bahwa kegiatan-kegiatan pembangunan kehutanan ini bisa juga memberdayakan masyarakat. Maka ada inisiatif dari kami untuk mencoba kita pakai dana Otsus untuk kegiatan pembangunan kehutanan khususnya bidang rehabilitasi, di Biak, dan tidak hanya di biak, kita juga diskusikan sampai tingkat provinsi. Nah sepanjang itu untuk kepentingan masyarakat, tidak ada masalah. Saya hadir kemaren waktu pembahasan otsus di Jayapura, sepanjang itu untuk kepentingan masyarakat, dana Otsus tetap jalan. Oleh karena itu, apa kira-kira/program apa yang bisa menyentuh masyarakat, bisa bergeliat kehidupan mereka di kampong yang lewat kegiatan rehabilitasi. Mungkin dia tanam, dapat uang, setelah dia tanam dia jaga itu,kemudian paling tidak lingkungan juga mulai semakin bagus (Kadishutbun).

Dana otsus dapat dimanfaatkan untuk reforestasi dan beriringan dengan berlangsungnya kegiatan RESPEK (Rencana Strategis Pembangunan

Kampung). Respek adalah pengalokasian dana tunai (block grant) sebesar Rp. 100 juta rupiah yang berasal dari APBD Provinsi Papua kepada setiap kampung. Tahun 2007, pakar ekonomi politik Fukuyama datang ke Papua dan kepada Gubernur Barnabas Suebu di Mulia-Puncak Jaya ia mengajukan pertanyaan seputar gagasan Respek dan apakah Respek bisa menjawab persoalan orang Papua. Pertanyaan Fukuyama dijawab Bas Suebu:

Respek baru saja dimulai dan oleh karena itu membutuhkan waktu untuk menunjukkan hasil yang benar-benar teruji; keyakinan kami yang sangat mendalam bahwa Respek adalah jalan keluar yang paling utama dalam pembangunan manusia Papua (Suebu 2010:6).

Periode pasca Otsus menunjukkan bahwa sumberdaya yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan reforestasi semakin bervariasi, dan banyak aktor dapat terlibat dalam kegiatan ini. Dana Otsus Pemerintah Provinsi dan Dana melalui Pemerintah Pusat cukup banyak tersedia, dan lebih menarik lagi adalah, masyarakat pun semakin menyadari akan adanya peluang-peluang pemanfaatan dana/program pemerintah di atas lahan milik keret. Pasca otsus menunjukkan bagaimana perhatian pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk memberdayakan masyarakat mulai dibangun dari kelembagaan lokal terkecil yaitu kampung.

Dari sisi masyarakat, akses ke sumber daya semakin terbuka. Kelompok- kelompok masyarakat memiliki peluang untuk mengajukan permohonan bantuan guna terlibat dalam program-program pemerintah. Mekanisme prosedural yang harus ditempuh suatu kelompok tani misalnya, tidak sulit untuk dipenuhi oleh masyarakat (lihat dokumen-dokumen di lampiran 3).