• Tidak ada hasil yang ditemukan

Orientasi nilai dalam reforestasi di Biak

V. AKSI KOLEKTIF TERKAIT REFORESTASI

5.1. Tipologi aksi kolektif

5.1.2. Orientasi nilai dalam reforestasi di Biak

Orientasi nilai seseorang didorong oleh kecenderungan ideologi yang dianutnya (Suharjito, 2008b). Jika orientasi nilai ini dianggap sebagai efek dorogan ideologis yang ada, maka tentu konsep ideologi (baca: ideologi lingkungan) orang Biak terkait pengelolaan hutan dan reforestasi dapat ditelusuri. Perbedaan ideologis dari bermacam etika/ moral lingkungan menurut Weber (2000) yang dielaborasi oleh Suharjito (2008b), dapat dilihat dari komponen- kompenen utamanya. Komponen utama tersebut yaitu: fokus/misi mengelola alam lingkungan; bentuk hubungan manusia dengan alam; bagaimana nilai dari alam (sumber daya) dalam perspektif warga; dan dimensi waktu dari ideologi tertentu, apakah hanya bersifat temporer atau berkelanjutan.

Kelompok yang aksi kolektifnya yang digerakkan oleh anggota komunitas

yang didukung oleh kekuatan dari luar (T1), memiliki misi mengelola lahan yang

ada untuk memenuhi kebutuhan kelompok keret kecil yang ada. Kelompok ini memahami bahwa manusia tidak mungkin memisahkan diri dengan alamnya, menganggap lahan dan hutan sebagai ibu, serta lahan yang dapat dimanfaatkan dalam jangka panjang bagi kelangsungan keret.

Pengelolaan lahan dan hutan yang dimiliki oleh keret tertentu untuk memenuhi kebutuhan keret, merupakan misi dari kelompok yang melakukan aksi-aksi kolektif yang digerakkan oleh tokoh-tokoh kampung (T2). Sebagaimana kelompok lain, kelompok ini memandang alam yang mencakup hutan dan lahan sebagai sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dengan manusia, dan seyogyanya

dimanfaatkan dalam jangka waktu yang panjang. Hutan dan lahan dipahami sebagai ibu kandung.

Walapun memiliki pemahaman bahwa hutan dan lahan merupakan ibu, kelompok yang melalukan aksi kolektif yang digerakkan oleh tokoh-tokoh adat (T3), sangat menghormati kawasan-kawasan tertentu sebagai wilayah yang dianggap memiliki nilai historis dan nilai supranatural tertentu. Wilayah-wilayah ini wajib untuk dipertahankan sebagai lambang dan simbol identitas pertama kalinya orang Byak menginjakkan kaki dan menyebar ke seluruh wilayah Biak sekarang ini.

Pada aksi kolektif yang digerakkan oleh aktor-aktor luar komunitas Biak yang mendapatkan legitimasi lokal (T4), lahan dinilai sebagai barang ekonomis yang perlu dimanfaatkan seoptimal mungkin. Lahan yang dimiliki walaupun terbatas luasannya, namun memiliki manfaat untuk jangka panjang, karena dapat memberi penghidupan bagi anak cucu keret, jika diolah dengan pertimbangan- pertimbangan tertentu.

Dengan menggunakan kerangka Weber (2000), maka ideologi lingkungan di Biak dapat dikategorikan sebagaimana Tabel 7.

Tabel 7. Ideologi-ideologi lingkungan serta karakteristiknya

Karakteristik Ideologi/Kelompok Pengawetan (Preserving the environment) Konservasi (Utilizing and preserving) Kontemporer (Managing the environment)

GREM (Grass Root Environmental Management) Misi Utama Mengawetkan hutan

belantara T3

Pembangunan

sumberdaya alam Pengendalian polusi, kesehatan manusia, dan hutan belantara Lingkungan, ekonomi, dan masyarakat T1,T2,T3,T4 Hubungan Manusia dan Alam

Manusia bersama alam; alam memberikan sprit terhadap manusia T3

Manusia menguasai alam; alam melayani kebutuhan manusia (antroposentris) T4

Alam melebihi manusia; masyarakat sebagai penyebab masalah, ia harus berubah (ekosentris/ biosentris) T1,T2,T3, Manusia bersama alam, keberlanjutan simbiosis; Tidak mungkin memisahkan manusia dari alam Nilai Alam

dan Sumberdaya Alam

Manfaat intrinsik bagian dari manusia, alam dinilai demi alam itu sendiri T1,T3 Alam sebagai komoditas untuk keuntungan manusia; pembangunan berkelanjutan tetapi dengan fokus parsial, misalnya melihat pada individu-individu pohon T1,T2,T4

Manfaat intrinsik bagian dari manusia; alam dinilai demi alam itu sendiri

Ekosistem yang sehat sebagai cara untuk kesehatan masyarakat; pembangunan berkelanjutan secara holistik, melihat hutan sebagai keseluruhan, pohon hanyalah salah satu bagiannya T2,T3,T1 Perspektif tentang dimensi waktu Perspektif jangka panjang: menjaga alam untuk generasi yang akan datang

Secara teoritis perspektif jangkapendek dan jangka panjang seimbang, tetapi prakteknya perspektif jangka pendek lebih mendominasi

Perspektif jangka

panjang, tanpa batas Perspektif jangka panjang yang seimbang T1,T2,T3,T4 Sumber: Weber (2000) disesuaikan

Reforestasi dalam kajian ini dapat dimaknai juga sebagai upaya untuk mengembalikan fungsi lahan, sebagaimana yang pada saat lampau berbentuk

karmgu. Reforestasi bisa dilihat dari sisi tindakan aktif yaitu melakukan

penanaman intensif di lahan masyarakat, baik dalam bentuk jalur-jalur yang

tertata rapi ataupun tidak; dan juga dari sisi tindakan pasif, yaitu membiarkan

hutan merehabilitasi dirinya sendiri.

Informan sangat paham bahwa hutan sudah diciptakan terlebih dahulu oleh Yang Maha Kuasa, dengan maksud agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

Jadi.. bumi diciptakan Tuhan beserta segenap isinya, yaitu tanah, pohon- pohon, hutan dan laut. Setelah semua diciptakan, barulah manusia diciptakan. Dengan demikian, manusia paham bahwa kebutuhannya sudah tersedia lengkap. Tersedia ikan dan kayu.. Sejak lahir sampai saat ini, kami tahu bahwa bumi telah dijadikan dengan segala perlengkapannya supaya manusia bisa hidup di situ. Dari generasi orang tua kami, generasi sekarang bahkan generasi akan datang paham bahwa bumi sudah diciptakan dengan lengkap, bagaikan gudang yang menyimpan semua kebutuhan kita (YR).

Walaupun informan mengatakan bahwa bumi sudah diciptakan dengan begitu lengkap, namun informan mengakui pula bahwa penanaman atau pemeliharaan pohon untuk jenis-jenis tertentu telah dilaksanakan oleh masyarakat Biak jauh sebelum gerakan reforestasi pemerintah digelontorkan.

Reforestasi oleh masyarakat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, meskipun

dalam bentuk yang tidak intensif, masyarakat telah memahami nilai penting dari keberadaan pohon-pohon tertentu di dalam hutan.

Betul.. Jadi sudah ada warga yang menanam pohon, dia sudah punya wawasan ke depan.. karena menyadari bahwa faedahnya besar. Oleh sebab itu, apabila anaknya mau kawin, dan pihak perempuan menuntut harta, seperti dulu di sini kita punya harta sebagai ganti kerugian perempuan,dan kebanyakan kita pakai paseda/samfar, maka pohon juga dapat menjadi penunjang. Pohon tertentu yang berukuran besar dapat ditunjuk -disamping mas kawin yang berbentuk pased /gelang, sebagai bahan baku untuk pembuatan perahu (YR).

Perawatan pohon-pohon tertentu di dalam hutan dilakukan pada jenis-jenis tertentu setelah memahami fungsi dan kesesuaian dengan tempat tumbuh setiap jenis. Jenis-jenis utama yang dilindungi masyarakat adalah moref (Palaquium amboinensis), Marem (Litsea sp), Bedisen (Alstonia sp); dan jenis-jenis ini adalah bahan utama untuk pembuatan perahu. Perahu merupakan alat penting dan sangat bernilai. Perahu selain untuk mencari ikan, dapat pula menghantar orang Biak menjelajahi Samudera.

Kedua, sebelum integrasi ke NKRI, penanaman pohon sudah dilakukan oleh orang Biak. Informan menjelaskan bahwa proses hingga tanaman bisa bertumbuh, cukup panjang, dan terkait dengan unsur kebersamaan.

Jadi orang tua kami mengambil cempedak dari Yapen, karena merasa bersaudara. Ada yang kawin ke Yapen dan sebaliknya, ada yang kawin ke Biak. Pada saat kami fan-fan ke Yapen, maka orang di Yapen memberikan cempedak untuk orang tua kami di Biak bisa makan. Bahkan ketika mereka fan-fan kembali (munsasu), cempedak pun dibawa serta. Kami di Biak menyadari bahwa bibit cempedak ini perlu dikembangbiakkan di Biak, sehingga sebagian warga Biak membawanya dari Yapen untuk ditanam di Biak (MR).

Cempedak merupakan jenis pohon yang buahnya bermanfaat karena dapat dikonsumsi langsung, serta bijinya dapat direbus untuk dikonsumsi pula. Selain itu, tanaman ‘eksotis’ yang telah diterima masyarakat Biak ini, sekaligus merupakan penanda batas-batas lahan marga, disamping batas-batas alam yang telah dipahami bersama di dalam Keret. Kehadiran jenis introduksi tentu juga melegitimasikan bahwa ada proses klaim atas kepemilikan lahan, dan ketika tanaman tersebut semakin tumbuh, maka klaim tersebut menjadi lebih kuat.

Ketiga, fenomena menarik yang terlihat di lapangan adalah, informan cukup bangga dengan tanaman ‘gaharu’ yang telah tumbuh di lahan informan. Inisiatif dan swadaya murni ini merupakan akibat dari dorongan yang sangat kuat untuk menanam ‘gaharu’. ‘Gaharu’ diyakini sebagai pohon yang bernilai ekonomi tinggi. Walaupun dengan sangat antusias menjelaskan dan menunjukkan tanaman ‘gaharu’, informan ternyata hanya berhasil menanam tanaman Mahkota Dewa yang cukup jauh perbedaannya dengan pohon gaharu sesungguhnya yang dipahami oleh informan.

Saya meperoleh bibit gaharu dari Yapen. Ketika itu, Pa Rumansara ke Yapen, dan saya memberikan Rp. 500.000 untuk membeli bibit gaharu tersebut, karena saya ingin sekali menanamnya. Ketika saya ke Jayapura, jadi saya cari-cari bagaimana supaya saya bisa dapat bibit (gaharu). Buah gaharu tersebut saya peroleh dan saya semaikan/bibitkan dan ditanam dilahan sebelah atas. Tidak sampai 1 hektar, kurang lebih ¼ hektar saja (MR).

Minat menanam gaharu pada MR muncul setelah informan mengikuti salah satu pelatihan pengembangan petani hutan di Jayapura.

Filosofi tentang hutan sebagai mama/mother tidak perlu disangsikan lagi dalam masyarakat Biak, termasuk di beberapa kelompok masyarakat adat

lainnya di Papua. Konsep mama memiliki arti yang cukup dalam karena mama

berperan untuk memberikan ASI kepada anak, merawat dan membesarkan anak, serta berperan penting di dalam menunjang pencarian nafkah bagi keluarga. Mama sebagai seorang wanita, bahkan diakui sebagai sosok yang memiliki kekuatan lebih dan sangat tangguh dalam kehidupan warga Biak.

bahwa hutan itu adalah mother/mama itu sudah betul. Itu nilai hakiki, dan hutan itu adalah dapur, dan tempat mencari… mereka (masyarakat adat) paham sekali (Kawer)35

Lalu nilai apa sesungguhnya yang akan diperoleh dari keberadaan hutan? Hutan lantas menyediakan banyak kebutuhan bagi masyarakat, bahkan pemenuhan kebutuhan immaterial seperti prestise bagi diri dan kelompok, yang mana diperoleh/dipenuhi melalui adanya hutan. Berangkat dari konsep koreri seperti yang diungkapkan pada bagian sebelumnya, hutan dan bahkan kegiatan reforestasi dapat dianggap sebagai instrumen untuk menggapai keinginan untuk hidup yang lebih baik, aman dan sejahtera.

Konsep Ideologi yang mencakup dimensi nilai dan keyakinan tentang hubungan manusia dan alam lingkungan serta hutannya, boleh jadi selaras dengan konsep etika moral. Dalam teori ideologi lingkungan, pembahasan seputar etika moral lingkungan menuntun kita untuk melihat definisi yang di sampaikan Legendre (2004) yang diulas kembali oleh Dharmawan (2007), bahwa etika adalah teori filsafat tentang moral, dan memberikan pegangan dan tuntunan berperilaku bagi manusia dalam membuat keputusan untuk bertindak.

Sedangkan moral adalah teori tindakan manusia untuk menyelesaikan tugas-

tugas yang diharapkan dalam kerangka pencapaian nial-nilai yang diagungkan, khususnya dalam membuat keputusan-keputusan atau tindakan-tindakan. Sistem etik ini tidak dapat dilepaskan dari kemajuan intelektual aktor.

Dalam kaitan dengan reforestasi di Biak, ketika menggunakan Dharmawan (2007), yang mengelompokkan perjuangan atau arah gerakan sosial lingkungan

ke dalam kelompok-kelompok: deep ecology (ecologism) yang berusaha

mengarahkan perilaku aktor yang traditional-anthropocentrism ke arah

ecocentrism; dan shallow ecology (environmentalism) yang memperlihatkan nilai manfaat-ekonomi benda alam sangat antroposentrisme (human-interest oriented), walaupun tidak mengabaikan sama sekali eksistensi lingkungan. Senada dengan ini, Ojomo (2011) mengemukakan bahwa disamping lima school of thought diskursus dalam etika lingkungan antara lain: enlightened (weak) anthropocentrism, animal liberation/rights theory, biocentrism, ecocentrism (termasuk the land ethic, deep ecology dan the theory of nature's value), serta eco-feminism; terdapat pula pemahaman etika lingkungan di Afrika yaitu: “ethics of nature-relatedness”36 yang mengakui hubungan manusia dengan alam sekitar

35 wawancara

dan “eco-bio-communitarianism”37 yang juga mengakui eksistensi aktor lain dalam ranah metafisik; walapun kedua etika ini, bukan merupakan etika yang terpisah sama sekali dari diskursus-diskursus yang telah ada.

Secara umum dapat dikemukakan bahwa misi utama ideologi di

masyarakat Biak berorientasi kepada mengamankan lahan yang ada, tetapi sekaligus bisa memanfaatkan potensi Karmgu, memanfaatkan Yaf, serta sedapat mungkin memulihkan Marires. Dalam perspektif informan, selain fungsi hutan memberikan nafas kehidupan, hutan juga berfungsi melindungi fauna/ satwa di dalamnya. Jelas terlihat bahwa misi utama ideologi atau nilai hakiki dan keyakinan masyarakat berorientasi kepada masyarakat itu sendiri –karena manfaat yang diperoleh, tetapi juga bagi lingkungan. Secara implisit tampak bahwa kepentingan ekonomi bisa terpenuhi dari hasil-hasil hutan atau lahan hutan yang dimanfaatkan.

Dari sudut pandang hubungan manusia dengan alam, sangat jelas

tergambar bahwa orang Biak bergantung pada hutan sebagai “mama”. Walaupun sebagian masyarakat bermukim di bagian Pantai, namun hutan tetap merupakan alternatif untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Kesadaran tentang manfaat hutan telah nampak, bahkan masyarakat paham akan pentingnya hutan untuk menyediaakan kayu secara berkelanjutan.

Sebagaimana filosofi hutan sebagai mama, maka nilai hutan oleh

masyarakat Biak digambarkan sebagai sesuai yang hakiki, merupakan tempat berlindung dan tempat masyarakat tumbuh dan dibesarkan, memperoleh pengasihan dan asupan bahan kehidupan yang terbaik. Relasi manusia dengan hutan adalah timbal balik dan merupakan hubungan mesra yang penuh nilai. Ideologi tentang hutan di Biak justru menguat saat ini dengan adanya program- program baik yang bersifat pemberdayaan atau pendampingan. Pemahaman tentang hutan sebagai mama agaknya sangat susah untuk memudar dari perkehidupan masyarakat.

Berdasarkan Tabel 7, kecenderungan ideologi lingkungan orang Biak dapat digambarkan sebagai searah dengan ideologi GREM, namun memiliki ciri khas

tersendiri. Ideologi ini dapat disebut sebagai Ideologi Mama (ibu kandung/IM).

Terdapat perbedaan IM dengan ideologi GREM dalam aspek hubungan manusia dengan alam (Tabel 8). Hutan dianggap lebih tinggi derajatnya (ibarat mama), dan patut dihargai dengan sepenuh hati. Fakta bahwa ada pihak lain yang akan

37 Tangwa (2004) dalam Ojomo (2011)

mengeksploitasi hutan dengan semena-mena, telah meninggalkan kesan tersendiri.

Jadi sebenarnya torang (kami) punya masalah itu… fakta-fakta sudah disajikan, dan teman-teman (Foker LSM) paham betul bahwa masalah substansi itu, pertama, okupasi lahan yang dilakukan oleh pemerintah, untuk pengusaha HPH, trus dibackup oleh ’oknum’ itu sampai sekarang meninggalkan luka yang dalam. Itu catatan pertama. Tentang perampasan hak, akses sumberdaya masyarakat adat itu (GK)

Tabel 8. Karakteristik orientas nilai ideologi mama

Karakteristik Contoh pernyataan Kecenderungan

Ideologi Misi Utama Hutan itu bermanfaat dan menopang kehidupan manusia. Yang terutama

adalah nafas hidup yang kita peroleh, dan kemudian hasil hutan yang ada di dalamnya. Dahulu, pohon kayu telah tumbuh menjadi besar, kemudian ditebang untuk membuka kebun untuk menanam talas dan ubi jalar. Namun saat ini, pepohonnan yang baru tinggi 1 atau 2 meter, telah dibabat lagi untuk dijadikan kebun. Lebih-lebih marires, kita cenderung untuk membakar kesana kemari, sehingga merugikan diri kita sendiri. Oleh karena itu, hutan ini harus kita manfaatkan dengan baik karena memberikan manfaat bagi kita (MR)

GREM

Hubungan Manusia

dan Alam hutan itu mother/mama. Itu nilai hakiki, dan hutan itu adalah dapur, dan tempat mencari” Jadi yang sebetulnya, yang dijadikan Tuhan itu, hutan semua. Tetapi setelah manusia hidup, manusia menggarap dan cari makan di situ sehingga bekas-bekas kebunnya kelihatan seperti belukar, apabila tampak tidak ada pohon-pohon besar, itu menandakan bekas kebun... Nanti kalau kita sudah lihat tanah seperti ini (sambil menunjuk lahan yang tidak subur/ marires), baru kita punya kepedulian besar, untuk berusaha mengembalikannya kepada keadaan semula (YR).

Kontemporer

Nilai Alam dan

Sumberdaya Alam … sebagai masyarakat, pertama: hutan itu berkebun, yang ke dua: berburu, sehingga perlu dilindungi, agar jangan ada yang merusak. Hutan yang di belakng kami itu merupakan tempat berburu, dan umumnya margasatwa berlindung dalam hutan tersebut. Jadi hutan melindungi kami dan sekaligus kami dapat berkebun (MR).

GREM

Perspektif tentang

dimensi waktu Sejak lahir sampai saat ini, kami tahu bahwa bumi telah dijadikan dengan segala perlengkapannya supaya manusia bisa hidup di situ. Sehingga dari generasi orang tua, generasi kita sampai generasi ke depan ini, kita tahu bahwa gudang untuk kita hidup di bumi itu.(YR)

GREM

Semua tipe aksi kolektif yang ada, menunjukkan penghargaan dan pengakuan terhadap hutan dan lahan sebagai ibu kandung. Dengan mengacu pada pembahasan-pembahasan sebelumnya, maka orientasi nilai menurut kelompok AK dapat dikelompokkan menjadi:

- Ideologi pada kelompok dengan tipe AK1 adalah ideologi mama dengan orientasi yang relatif seimbang pada ideologi preservasi, konservasi dan kontempoter.

- Sementara pada AK2 adalah ideologi mama dengan fokus pada ideologi konservasi dan kontemporer.

- Ideologi mama dengan penekanan utama pada ideologi preservasi terlihat pada AK3.

- Pada akhirnya, ideologi mama pada AK4 berciri konservatif dan terlihat sedikit kontemporer.

Dengan demikian, ideologi mama (IM) ini juga merupakan perpaduan antara beberapa aspek dari ideologi GREM dan beberapa ideologi yang dikemukakan Weber (2000). Konsep masyarakat sudah cukup lama dan bahkan sudah menjadi bahan penting dalam perdebatan-perdebatan isu lingkungan di Papua. Ideologi ini akan menjadi salah satu bahan amunisi dalam rencana dialog Jakarta-Papua. Sampai saat tulisan ini disusun, elemen masyarakat di Papua masih menantikan dilaksanakannya dialog dimaksud.

Berangkat dari ideologi mama (IM) yang saya coba hubungkan dengan cerita Manarmakeri, maka nilai moral orang Biak adalah “bagaimana bisa selaras dengan alam untuk memperoleh kesejahteraan, baik materil dan spiritual”. Kesejahteraan tentu mencakup kecukupan pangan dan kemampuan untuk berpartisipasi dalam moment-moment munara/wor yang ada. Reforestasi justru menjadi komponen penguat ideologi yang dimiliki orang Biak, karena manfaat ekologis yang ditimbulkan dalam jangka panjang, tetapi juga manfaat ekonomis dan sosiologis yang diperoleh atas aktivitas yang terjadi di lahan adat.

Apabila AK pada masyarakat adat berangkat dari esensi gerakan yang akan didorong karena berbasiskan kekuatan dari dalam masyarakat serta mempertimbangkan ideologi lingkungan yang ada, maka

- AK yang digerakkan oleh anggota komunitas yang didukung oleh kekuatan dari luar; AK yang digerakkan oleh tokoh kampung yang mendapatkan otoritas dari pemerintah; serta AK yang digerakkan oleh tokoh informal (tokoh adat berbasis genealogis/kekerabatan), menjadi penting untuk didorong di atas lahan-lahan masyaraklat yang berciri komunal.

- AK yang digerakkan oleh aktor dari luar masyarakat adat, kemudian akan efektif pada lahan-lahan milik pribadi.

5.1.3. Komponen kolektivitas