• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institusi lokal pengelolaan sumber daya alam

IV. BIAK: GAMBARAN UMUM, SOSIAL DAN BUDAYA

4.2. Struktur sosial masyarakat

4.2.7. Institusi lokal pengelolaan sumber daya alam

Dalam perspektif sejarah, kepemilikan tanah adalah dinamis sejalan dengan kondisi yang membentuknya. Susunan kepemilikan inilah yang menjadi ciri pokok struktur agraria. Struktur agraria lokal menjadi penting, dengan harapan untuk terjadinya suatu keseimbangan yang lebih baik antar-pelaku (produksi) agraria dalam masyarakat (Fauzi, 2002).

Berdasarkan kategori Kuhren yang dikemukakan kembali oleh Fauzi (2002), struktur agraria yang berdasarkan pada subjek pemilik atas tanah antara lain:

a. Pertanian suku yang meliputi (i) penggembalaan berpindah atau pastoran

nomadism; (ii) perladangan berpindah;

b. Pertanian feodalistik yang meliputi: (i) feodalisme berdasarkan sewa; (ii) lantifundia (hacienda);

c. Pertanian keluarga; d. Pertanian kapitalistik;

e. Pertanian kolektif yang meliputi: (i) pertanian sosialistik; (ii) pertanian komunistik.

Sejarah telah menunjukkan bahwa struktur agraria yang terbentuk di Biak merupakan sistem perladangan berpindah. Ini jelas ketika pendatang pertama datang di Biak bagian utara, kemudian menguasai dan membuka hutan dan mengolah kebun/ladang yang telah dibuka, menurut waktu bera yang sesuai.

26 Rum Som dikenal di Supiori, Sowek dan Numfor, sementara Aberdado lebih dikenal di Pulau Biak.

Disamping sanak keluarga berusaha mencari wilayah yang baru, distribusi lahan kepada keluarga dilakukan untuk mengefektifkan pemanfaatan lahan. Tanah dan segala yang ada di atasnya dikuasai dan dimiliki oleh kelompok sosial yang di sebut Keret. Dalam kondisi pertambahan penduduk di Biak yang cukup pesat (sebagai gambaran: 35.000 jiwa pada tahun 1961 menjadi 120.206 jiwa pada tahun 2009), kebutuhan lahan untuk pemukiman dan pertanian senderung menjadi semakin tinggi.

Pengelolaan sumber daya hutan oleh masyarakat, tidak terlepas dari kondisi biofisik, serta struktur dan norma sosial masyarakat setempat. Demikian pula, pengaruh kebijakan eksternal, -secara dialektika- berperan bersama-sama pada dinamika di ranah lokal. Setiap kelompok masyarakat termasuk masyarakat adat Papua mengalami proses dialektika ini, bahkan sampai saat ini.

Undang-undang No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus lahir di tengah sadarnya bangsa akan pentingnya membangun perkehidupan Negara berbasiskan otonomi lokal. Perspektif otonomi seharusnya bermakna sebagaimana eksistensi sesungguhnya pada masa lampau. Jika demikian, maka

sebagaimana yang pernah ada, komunitas lokal membentuk kesatuan

masyarakat hukum adat sesuai setting lokasi masing-masing (Dharmawan, 2006).

Papua sendiri memiliki keragaman etnis dan budaya yang cukup tinggi. Terkait dengan hal ini, Roembiak (2002) dan Mansoben (2003) telah mengemukakan bagaimana masyarakat memahami sistem pemanfaatan lahan dan tipe sumber daya hutan khususnya di daerah Biak - Papua sebagai berikut: - Pertama, hutan asli atau hutan primer yang dikenal dengan istilah Karmgu

atauMbrur, tidak disentuh atau ditebang untuk digunakan oleh anggota/ warga kampung. Hutan ini tidak untuk berburu dan berladang. Orang Biak dahulu berladang di sekitar daerah interior, makin lama mereka pindah ke pesisir pantai. Meskipun telah pindah dan bermukim di tepi pantai, namun hutan atau karangan tetap dijaga dan tetap menjadi milik Keret maupun mnu.

- Kedua, adalah yaf yang merupakan hutan untuk kegiatan berladang dan berburu secara berotasi. Apabila tanah ini telah menurun kesuburannya, maka

disebut bekas kebun atau Yaf-das atau yapur, dan ditinggalkan 2 sampai 3

tahun lalu diolah kembali.

- Ketiga, suatu padang luas yang disebut “Mamiai”, yang merupakan sejumlah bekas-bekas ladang yang ditinggalkan oleh pemiliknya. Mamiai dapat ditanami

kembali setelah beberapa kali panen. Adakalanya padang yang sangat luas ini tidak subur lagi untuk ditanami maka akan ditinggalkan, dan diharapkan dapat

menjadi hutan kembali, disebut juga sebagai “marires”27.

Pemilikan dan penggunaan tanah, menurut pada status seseorang dalam kampung atau mnu. Orang pertama yang mendiami kampung mempunyai hak atas tanah, berwenang untuk memberi tempat tinggal dan ijin pemakaian hutan atau tanah kepada pemukim atau penduduk baru. Ia disebut Manseren Mnu dan dianggap senior keret dalam kampung, serta diakui dan disegani. Wilayah yang berhubungan dengan pemukiman dan pemilikan, dapat dilihat melalui:

- Pertama, tempat pemukiman oleh keluarga batih.

- Kedua, tempat pemukiman persekutuan keret-keret atau klan-klan.

Jika dikaitkan dengan Obyek Milik Bersama (OMB) seperti laut, danau, hutan, dan hewan buruan, maka menurut aturan Masyarakat Hukum Adat Biak, OMB merupakan milik Tuhan atau hak Tuhan, sehingga dapat dinikmati bersama oleh manusia ciptaanNya. Oleh sebab itu, atas OMB ini, berlaku hak bersama. Tidak dikenal pengalihan hak bersama ini kepada perorangan.

Oleh karena itu OMB dalam masyarakat Biak bisa dimanfaatkan oleh warga Biak, dan apabila berada dalam wilayah Keret lain, maka Mananwir Keret setempat dapat dimintakan ijin untuk pemanfaatan dan pemungutan sumber daya yang ada. Pemungutannyapun terbatas pada kebutuhan untuk keluarga, dan tidak diperbolehkan untuk dikomersilkan. Apabila terbukti melanggar ketentuan, maka akan dikenakan sanksi adat. Kegiatan penanaman pohon di dalam areal OMB hampir pasti tidak diperkenankan, karena akan menciderai esensi dari OMB tersebut. Penanaman tanaman jangka panjang secara sadar dan tidak sadar merupakan bentuk dari okupasi/klaim atas lahan.

Hukum adat tercatat

Dari dokumen yang diperoleh terkait Hukum Adat Tercatat di Biak, paling tidak terdapat 3 Hukum Adat Tercatat dari Biak Utara, Biak Timur, dan Biak Barat. Walapun sebagian besar adalah merupakan Delik Adat, namun terdapat bagian-bagian yang dapat secara langsung atau tidak langsung berkaitan

dengan pengelolaan Obyek Milik Bersama (Sumiarni et al., 2008). Delik adat

27Kata marires bisa mempunyai dua makna, yang pertama seperti yang diuraikan di atas.

Makna lain adalah padang belukar yang sangat luas, tidak subur, tidak memiliki pohon-pohon pelindung, tidak pernah ditanami oleh manusia

lainnya, sengaja tidak tampilkan pada bagian ini, untuk lebih fokus pada inti penelitian.

Berdasarkan Hukum Adat Tercatat ini, maka dapat disimpulkan bahwa kekuatan institusi tingkat Bar cukup penting. Eksistensi otoritas Institusi Adat tiap Bar memiliki hukum lokal tersendiri, dan bervariasi dalam struktur dan sistematika penulisannya.

Hukum adat tercatat di Biak Utara

Hukum ini disusun oleh Masyarakat Adat Napa, melalui Isakh Samuel Rumaikew dengan sistematika : Pendahuluan; Perangkat Penyelenggara Peradilan Adat; Anasir-anasir Adat Yang Mengalami Penghapusan; Beberapa Hukum Adat Yang Bersinergi Dengan Hukum Pidana; Hukum Adat Yang Bersinergi Dengan Hukum Perdata; Suplemen; Penutup.

Beberapa pasal yang dikutip antara lain:

Pasal penyadapan milo (minuman beralkohol dari kelapa/ tuak kelapa);

Untuk dikonsumsi sendiri sebanyak 1 pohon; memperlancar aktivitas perekonomian keluarga 2 pohon; dan diperdagangkan komersil tidak diperkenankan demi hukum adat.

Pasal orwarek (penyegelan);

Apabila daun kelapa yang menutupi perahu dibuang karena bermaksud digunakan tanpa sepengetahuan pemilik, dikenakan sanksi lima puluh ribu rupiah; Apabila tanaman yang disegel diabaikan, maka berdampak pada (-) membayar seluruh nilai hasil curian (-) merecholiter hubungan baik dengan denda piring kuah 5, piring makan 10 dan uang tunai seratus ribu rupiah; Bekas kebun (Yapur) atau bekas rumah (Rum wai) hanya boleh diatur secara internal oleh marga yang merasa memilikinya.

Pasal romfamfan (ternak);

Kebiasaan membiarkan ternak berkeliaran dalam lingkungan pemukiman patut ditiadakan karena akan berdampak pada sejumlah resiko sebagai berikut: (-) Ternak alam yang hilang karena jauh dari halaman pemiliknya (lebih kurang 100 meter sampai 150 meter) resiko bagi pemiliknya karena kelalaiannya (-) Ternak babi yang merusak tanaman orang lain, baik di halaman maupun kebun dapat dilukai atau dibunuh tanpa tuntutan adat (-) Ternak babi yang dibunuh oleh pemilik halaman atau kebun dapat dikembalikan utuh kepada pemilik ternak babi untuk dikonsumsi atau dijual (-) Apabila sebagian tanaman sudah dihabiskan oleh ternak babi, maka pemilik ternak wajib memberi sebagian dari dagingnya

untuk mengganti semua kerugian pemilik kebun dan halaman (-) Ternak babi yang dibunuh dan disembunyikan dari pemiliknya, walaupun di halaman atau di dalam kebun akan dikenakan sanksi adat berupa: piring besar 1 buah, piring kuah 3 buah; piring makan 10 buah; uang tunai seratur ribu rupiah

Pasal farakruken (persengketaan karena tanaman);

Apabila tanaman yang dipersengketakan itu adalah tanaman sagu, maka cara satu-satunya untuk menyelesaikannya adalah kedua belah pihak membuat dua tempat ramasan. Hakim adat akan menilai siapa di antara kedua tempat ramasan itu cepat berisi, dialah yang memiliki tanaman sagu

Apabila tanaman sagu yang dipersengketakan itu kelapa, maka hakim adat yang membagi hak kepemilikan kedua belah pihak dalam dua kurun waktu tertentu masing-masing tiga (3) bulan. Diawal penyelesaiannya, Hakim Adat akan memegang tangan pihak pertama untuk diletakkannya di atas batang kelapa sambil berbicara agar kepala dapat membuktikan secara alamiah, akan siapa pemiliknya agar dalam tiga bulan pertama itu buahnya berkelimpahan. Bila dalam tiga bulan pertama pohon kepala kurang menghasilkan buah, dapat digulirkan pemilikan sementara kepada pihak kedua selama tiga bulan dengan cara demikian akan diketahui siapa pemiliknya.

Hukum adat tercatat di Biak Timur

Hukum Adat Tercatat di Biak Timur masih sementara diupayakan untuk memperoleh pengakuan hukum formal, sehingga masih disebut sebagai Proposal Pembahasan Peraturan Adat Biak Timur. Tujuannya antara lain: (1) merumuskan serta menetapkan berbagai peraturan sebagai pengganti KKB yang lama, (2) agar di semua Mnu seluruh Biak TImur, ada pedoman petunjuk bagi semua Mananwir Mnu dalam memutuskan sesuatu masalah perkara pelanggaran norma dan lain sebagainya, (3) hasil kesepakatan akan ditempatkan kepada Dewan Adat Biak yang digodok bersama-sama dengan Bar lain (distrik) dan kemudian menjadi peraturan KKB yang baru diseluruh wilayah Biak termasuk di rantauan

Aturan terkait Peraturan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Biak Timur antara lain:

Pengelolaan sumber daya alam (terkait galian C);

Aturan yang ada menyangkut tariff pemanfaatan pasir dan batu dalam wilayah Biak Timur yang berkisar dari Rp. 250.000 hingga Rp. 1.000.000 berdasarkan volume dan alat angkut yang digunakan

Penebangan dan penggergajian kayu

Aturan menyangkut tariff pemanfaatan kayu buah, dan kayu gergajian hingga maksimal Rp. 2.000.000 per meter kubik

Penjelasan peraturan pengambilan

Agar tidak sewenang-wenangnya para pemilik tanah, pengusaha memotong, menebas, mengambil kayu buah dan sebagainya sesuai dengan semaunya dan pada akhirnya terjadilah kelalaian mengakibatkan keragaman bagi baik pemilik dan kita sekalian, maka perlu ada Hukum Adat yang melindungi Sumber Alam yang ada, sehingga tidak habis punah dan tanah menjadi tandus dan kering. Karena tanah dan segala yang ada di atasnya adalah ciptaan Tuhan alam semesta yang diberikan kepada manusia untuk dikelola dan digunakan demi kesejahteraan manusia. Maka itu perlu diatur sehingga tidak sewenang-wenang dimusnahkan oleh kita manusia. Oleh sebab itu, perlu ada aturan yang mengatur pemanfaatannya secara baik. Dan juga tidak menimbulkan konflik antar marga keluarga dan sebagainya.

Pasal 1. Setiap orang yang ingin mengambil, menebang kayu buah (pagar dan sebagainya dalam jumlah yang banyak harus meminta ijin dari para pemilik tanah dan dilaporkan kepada Mananwir Mnu setempat dan mendapat keterangan dari Mananwir Mnu; Pasal 2. Barang siapa yang mengambil ikan hias tanpa ijin

pemilik tempat, akan dikenakan sanksi sebesar tiga ratus ribu rupiah; Pasal 3.

Barang siapa yang mengambil bunga anggrek di lokasi orang dan tidak melaporkan kepada pemiliknya, maka ia akan dikenakan sanksi sebesar tiga ratus ribu rupiah.

Larangan pemusnahan margasatwa (burung dan sebagainya)

Pasal 1. Semua masyarakat pribumi atau non pribumi harus menjaga dan memelihara keamanan dari semua margasatwa dalam lingkungannya; Pasal 2. Tidak dibenarkan oleh siapa saja yang merusak, menangkap, membunuh setiap

marga satwa (burung) yang hidup di lingkungannya. Pasal 3. Karena

margasatwa adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa untuk menghias alam semesta khususnya lingkungan yang ada;

Pasal 4. Barang siapa yang menangkap/ membunuh marga satwa sewenang-wenang dan bila ketahuan Dewan Adat maka ia dikenakan hukuman denda sebesar lima juta rupiah.

Hukum adat tercatat di Biak Barat

Hukum Adat Biak Barat relatif lebih lengkap dan cencerung cukup sistematis. Disusun kedalam 6 Bab, 59 Pasal dan 145 Ayat, dan dirumuskan melalui Sidang Adat II Sup Bar Swandiwe Biak Barat tangal 26 Oktober 2005. Secara khusus akan ditampilkan Bab III Hukum Adat ini, karena mengatur khusus mengenai Tanah dan Perairan.

Pasal 14. Tanah adalah milik atau ciptaan Tuhan, manusia berbuat dari tanah, makan dan minum karena ada tanah, maka dilarang dengan keras tanah di Biak Barat diperjualbelikan oleh siapapun atau dengan alasan apapun. Dari sejak dahulu setiap Mnu atau Sup Fyor didiami oleh 4 (empat) golongan/ kelas penduduk yaitu:

Ayat 1.a. Manseren benai Mnu / pemilik kampung atau tanah, b. Man be Ker (Bewun) / pewaris tanah, c. Man Ra Ma / Pendatang, d. Women (budak) / hasil rampasan ;

Ayat 2. Seiring dengan pasal 14 ayat 1 di atas, maka hak tanah terbagi 3 (tiga) yaitu : hak milik, hak waris, hak pakai/garap;

Ayat 3. Yang berhak memberikan pelepasan hak tanah adalah pemilik tanah atau pewaris dengan persetujuan tertulis dari pihak pemilik tanah adat yang ditandatangani tertua keluarga/marga dan Mananwir Keret yang bersangkutan serta diketahui oleh Kepala Kampung/desa (bermusyawarah);

Ayat 4. Setiap surat penyerahan hak tanah adat, wajib ditandatangani Manawir Keret pemilik tanah yang bersangkutan atau pewaris dan disahkan oleh DAS atau BPDAS melalui musyawarah;

Ayat 5. Pejabat pemerintah kampung atau lebih tinggi hanya berhak mengetahui

Pasal 15. Tanah adat hanya diberikan ijin kontrak dengan batas waktu tertentu dengan berpaut pada Bab III pasal 14 ayat 3 sampai 5; Ayat 1. Setiap proyek yang beroperasi di Biak Barat wajib mengadakan musyawarah khusus dengan pemilik/pewaris tahta adat, yang dihadiri oleh tokoh adat dan pejabat pemerintah kampung.

Pasal 16. Bagi pelaku pelanggaran Bab III pasal 14 sampai 15 akan ditindak tegas sesuai pasal dan ayat hukum adat yang berlaku.

Pasal 17. Bertumpu pada pasal 14 di atas, maka wajib menghormati hak- hak dan batas-batas tanah adat yang sudah ada sejak dahulu, baik antara Sub Fyor, Mnu atau Keret.

Ayat 1. Dilarang dengan tegas membelokkan kebenaran sejarah kepemilikan tanah adat oleh pemakai/penggarap terhadap pemilik atau pewaris seiring dengan perkembangan zaman Orde Baru atau Daerah Operasi Militer

Ayat 2. Dilarang dengan tegas pembelokan dan pemalsuan sejarah tanah adat atau untuk memiliki/merampas warisan orang lain

Ayat 3. Dilarang membelokkan sejarah tanah adat dengan kedudukan atau jabatan kampung – jemaat atau adat

Ayat 4. Tidak dibenarkan merubah status kepemilikan tanah adat karena penataan kampung/desa atau perkembangan zaman

Ayat 5. Bagi yang melanggar ayat 1 sampai 4 pasal 17 di atas akan diusir atau dihentikan oleh pemilik/pewaris sebagai pihak penggarap

Ayat 6. Persengketaan tanah yang tidak jelas status kepemilikan atau saling mempertahankan diakhiri dengan sasi/sumpah Adat dilokasi yang disengketakan disaksikan oleh perwakilan adat, gereja dan pemerintah.

Pasal 18. Minta ijin kepada pemilik/pewaris tanah garapan sebelum digarap dan kalau diijinkan, dilarang menanam tanaman jangka panjang.

Ayat 1. Pemilik/pewaris tahta adat mengingatkan penggarap tentang tanaman jangka panjang, serta hasil kekayaan lain, yang sudah atau sedang berada dalam areal/lokasi lahan yang sedang di garap

Ayat 2. Dilarang menyulap tanah/lahan kebun menjadi proyek kehutanan atau perkebunan terutama pemakai atau penggarap

Ayat 3. Tidak dibenarkan menjadikan lahan/yapur orang lain atau milik bersama keluarga/Sim sebagai proyek kehutanan atau perkebunan tanpa musyawarah bersama.

Pasal 19. Lebih kurang 50 meter di kiri kanan jalan raya tidak terlalu terikat adat demi penataan perkampungan tempat tinggal dan fasilitas umum oleh pemerintah.

Ayat 1. Penempatan/pembangunan fasilitas umum yang dimaksud pasal 19 wajib dan harus melalui musyawarah bersama antara pemilik tanah adat dengan pihak adat dan gereja dan pemerintah serta lebih kurang sepertiga kepala keluarga masyarakat setempat

Ayat 2. Penempatan fasilitas umum lebih dari 50 meter seperti yang dimaksud pasal 19 ayat 1, akan dihadirkan pemilik atau pewaris tahta adat sebagai pihak pemberi mandat atau wasiat.

Pasal 20. Perairan atau laut adalah sumber kekayaan alam yang menyimpan/mengandung beraneka benda atau makhluk hidup serta menyimpan keindahan pesona laut yang beragam untuk kebutuhan manusia, sehingga harus dijaga dipelihara dan dilestarikan.

Ayat 1. Dilarang keras menangkap ikan dengan bahan peledak/bom atau bahan kimia lain yang merusak atau memusnahkan kehidupan laut

Ayat 2. Tidak dibenarkan penduduk di daerah/Sup Bar lain menangkap ikan, udang dan mencari teripang di perairan Sup Bar Swandiwe tanpa ijin Dewan Adat atau pihak berwenang setempat

Pasal 21. Sup Bar Swandiwe adalah salah satu daerah di Biak yang menyimpan atau memiliki sumber air bermineral, sehingga harus dijaga, di awasi dan diamankan baik hutan, air dan hewan-hewan yang dilindungi.

Ayat 1. Dilarang keras menangkap udang, belut serta makhluk lain di sungai atau kali dengan pestisida atau bahan kimia lain yang memusnahkan makhluk penghuni kali, karena akan berakibat fatal terhadap manusia pemakai air

Ayat 2. Dilarang penebangan liar terhadap pohon-pohon gaharu yang masih muda di hutan Sup Bar Swandiwe

Ayat 3. Demi terpeliharanya keawetan dan aliran sempurna mata- air/sumber air minum, maka dihimbau untuk memelihara pepohonan di lereng bukit dan sepanjang sungai dan sumber air/sungai

Ayat 4. Dilarang melakukan perburuan terhadap satwa langka di Biak Barat berupa: Man you ri (luri); Man waref (kakak tua putih); Man knam rep (Kuskus lereng); Mambruk (dara mahkota)

Ayat 5. Bagi yang melanggar pasal 20 dan 21 bab III tersebut di atas, akan dikenakan sanksi sesuai keputusan adat yang berlaku di Swandiwe atau ditindak sesuai hukum dan peraturan pemerintah yang berlaku.

Institusi lokal dan pilar utama pengelolaan saprop dan OMB

Sebagaimana dikemukakan pada bab kedua, prinsip-prinsip dasar untuk mencapai AK dalam pengelolaan CPR, telah disarankan oleh beberapa pakar untuk disesuaikan dengan kondisi lokal yang ada. Kondisi eksisting yang ada di Biak kemudian digali untuk memperoleh gambaran mengenai pernyataan-

pernyataan teoritis tersebut. Dalam hal ini, akan digunakan menggunakan kerangka Cox et al. (2010).

Cox berusaha menambahkan beberapa aspek pada disain prinsip CPR Ostrom, untuk mengukur bagaimana Institusi yang mengelola CPR bisa mewujudkan pengelolaan CPR di maksud. Hasil perbandingan dengan kondisi lokal di Biak dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Institusi Saprop Keret/OMB dibandingkan dengan Disain Prinsip CPR

Prinsip Pengelolaan CPR

(Disain Modifikasi Cox et al. 2010) Kondisi Saprop Keret/OMB 1A Batas Pengguna: batas-batas yang

jelas antara pengguna yang sah dan bukan pengguna harus didefinisikan secara jelas

Batas lahan antar marga merupakan komponen mendasar yang diketahui oleh semua Keret, namun peta batas antar Keret belum ada secara detil dan definitive; Sementara itu, di beberapa tempat terdapat papan petunjuk batas Keret sebagai tanda klaim atas lahan

1B Batas Sumber Daya: batas-batas yang jelas di dalam sistem sumber daya dan terpisah dari lingkungan biofisik yang lebih besar

Tidak tergambarkan apalagi dalam bentuk peta sumber daya

2A Kesesuaian dengan kondisi lokal: Aturan yang ada kongruen dengan kondisi sosial dan lingkungan lokal.

Aturan yang ada bahkan sudah dituangkan dalam bentuk Aturan Adat Tercatat, walapun dalam setiap Bar memiliki variasi tersendiri

2B Manfaat yang diperoleh oleh pengguna dari CPR sebanding dengan jumlah input yang dibutuhkan dalam bentuk tenaga kerja, material, atau uang, sebagaimana ditentukan melalui aturan/ ketentuan.

Pengelolaan CPR masih dalam bentuk pemungutan. Dalam hal ini, kemampuan pulih sumber daya alam merupakan tumpuan warga. Sementara upaya untuk menanam tanaman jangka panjang dalam Saprop/OMB (walaupun tujuan akhirnya adalah untuk konservasi lingkungan, disamping kepentingan ekonomi masyarakat), masih belum dapat diterima dalam institusi Keret, sebagai antisipasi upaya-upaya mengklaim tanah Saprop 3 Pengaturan Pilihan Kolektif:

Kebanyakan individu yang

dipengaruhi oleh aturan operasional dapat berpartisipasi dalam

memodifikasi/mengikuti aturan operasional yang ada

Semua anggota dalam keret memahami aturan Keret, dan sangat dipengaruhi oleh faktor Leadership Mananwir

4A Pengawasan terhadap Pengguna: Monitoring yang bertanggung jawab terhadap dan atas kepentingan pengguna

Pengguna dalam Keret diperbolehkan memanfaatkan Sumber Daya untuk keperluan sehari-hari. Kecuali untuk keperluan komersial serta pemanfaatan yang dilakukan pihak diluar Keret, maka Ijin Mananwir diperlukan. Pada lokasi tententu, Mananwir memiliki akses informasi dari wearga tertentu jika terjadi pencurian kayu di lahan Keret

4B Pengawasan terhadap sumber daya: Monitor yang bertanggung jawab untuk memantau kondisi sumber daya

Pemantauan tentang kondisi sumber daya secara spesifik belum dilakukan. Kebutuhan masyarakat terbatas pada keperluan sehari-hari. Sementara di Biak tidak ada pemanfaatan kayu dalam bentuk HPH.

5 Sanksi: Pelanggar diberi peringatan atau sanksi bergantung pada tingkat pelanggaran

Aturan adat relatif sama antar Bar namun perbedaan penekanan bisa di lihat dari aturan/hukum adat tertulis yang ada.

6 Mekanisme Resolusi Konflik: Bagaimana akses cepat dan berbiaya rendah untuk mengatasi konflik yang terjadi dalamn pemanfaatan CPR.

Tahapan Resolusi konflik yang diyakini masyarakat adalah berjenjang mulai dari teguran, hingga apabila tidak mencapai titik temu, diselesaikan melalui sidang adat. Inti dari Sidang Adat adalah melakukan SUmpah Adat didepan Tokoh Adat, Gereja, dan Pemerintah menjadi Saksi.

7 Minimal pengakuan hak untuk mengatur: Bagaimana posisi pemilik CPR dan hubungannya dengan otoritas pemerintah

Melalui UU, Pemerintah mengaku eksitensi kepemilikan adat dan dinyatakan juga melalui UU Otonomi Khusus 2001. Namun