• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. AKSI KOLEKTIF TERKAIT REFORESTASI

5.1. Tipologi aksi kolektif

5.1.3. Komponen kolektivitas

Yang menarik dilihat di sini adalah minat yang tinggi dari masyarakat, baik yang sebelumnya terlibat atau belum terlibat dengan program reforestasi dari pemerintah. Minat ini ditunjukkan oleh antusiasme masyarakat untuk mengembangkan Gaharu. Jenis Gaharu sudah menjadi ‘rahasia umum’ di antara masyarakat sebagai komoditi yang memiliki nilai ekonomi tinggi..

(TR): Sekarang karena bapa (peneliti) tanya, maka saya buka rahasianya. Saya selalu buru gaharu dari sejak tahun 1985, saya kesana kalau ketemu yang berisi dan masih hidup, saya tebang, bawa dia punya isi, bersihkan, dan istri bawa untuk dijual. Waktu itukan masih ada CV. Mandonar. Waktu berjalan dan sejak dari saat itu, saya terus berburu gaharu, sampai muncul pikiran bahwa saya harus tanam gaharu juga.

JW bahkan memperoleh informasi yang relatif akurat tentang manfaat komoditi-komoditi kehutanan di Papua New Guinea (PNG). Informan bahkan memperoleh informasi dari Pemerintah PNG tentang jenis-jenis yang tidak dapat ditebang karena bernilai tinggi dan hampir punah. Jenis Gaharu dan Kayu Cina inilah yang kemudian mendorong JW mengembangkannya setelah kembali ke Biak. Persepsi tentang gaharu bahkan telah disejajarkan oleh warga dengan mahkota dewa. Informan (TR) sangat memahami jenis gaharu, walaupun terdapat warga lain tidak mendapatkan akses informasi yang sepadan dengan yang dimiliki informan.

Itu yang dibilang mahkota dewa. Di Jawa mereka gunakan dagingnya/buahnya untuk minum. Mereka (masyarakat Biak lainnya) belum tahu persis bahwa tanaman itu gaharu atau bukan. Tapi ya.., mungkin sudah 30 tahun saya buru gaharu, belum pernah saya temukan isi gaharunya disitu (TR)

Dari perspektif aktor lainnya, hingga saat ini mahkota dewa bahkan masih diyakini sebagai gaharu sesungguhnya. Dalam pengamatan, MW mengkombinasikan lahan dengan lahan peternakan sapi, terlihat juga beberapa

tanaman mahkota dewa (Phaleria papuana) yang diyakini sebagai ‘gaharu38’.

Awalnya, saya tidak tahu namanya gaharu, tapi ipar saya bawa gaharu tersebut dari Supiori kesini,dia adalah ipar saya yang di sebelah laut (tinggal di dekat pantai) ini, dia sudah tanam dan berbuah, lalu buahnya jatuh. Saya pikir- pikir mungkin barang ini bermanfaat ke depan ka? Akhirnya saya bisa bawa bibitnya ke mari dan saya semaikan. Saya juga belum kenal apa itu gaharu,

38Aquilaria and Gyrinops are the two most important gaharu-producing genera, within the family of Thymelaeaceae (Order: Myrtales and Class: Magnoliopsida). There are slight differences in reports on the number of species within each genus. TRAFFIC-CITES-CoP13 Prop.49 (2004) recorded 24 species belong to the genus Aquilaria and 7 species belong to the genus of Gyrinops). On the other hand Ding Hou,1960 in Gunn et al., 2004), reported there are 12 species belonging to the genus Aquilaria and 8 species belonging to the genus Gyrinops (Sitepu et al 2011: 3)

tapi dong (mereka) bilang gaharu, jadi saya ikut tanam itu. Saya tidak tahu manfaat dari itu, saya tanam saja…. Saya tanam tahun 2007 (MW)

Gambar 24. “Gaharu” versi masyarakat

Ungkapan “tapi dong bilang gaharu, jadi saya ikut tanam” dapat memiliki makna bahwa ‘gaharu’ tersebut memiliki ekonomis yang tinggi. Fenomena pembibitan dan penanaman ‘gaharu’ versi MW dan juga MR menunjukkan bahwa apabila suatu komoditas dapat diyakinkan sebagai yang bernilai ekonomi tinggi, maka warga cenderung untuk mengupayakan pemanfaatannya semaksimal mungkin melalui kapasitas yang ada.

Gambar 25. Mahkota dewa (Phaleria papuana),dianggap MR sebagai gaharu39

Ungkapan “tapi dong bilang gaharu, jadi saya ikut tanam” dapat memiliki makna bahwa ‘gaharu’ tersebut memiliki ekonomis yang tinggi. Fenomena pembibitan dan penanaman ‘gaharu’ versi MW dan juga MR menunjukkan bahwa

39 Another scented species in Thymelaeaceae is Phaleria macrocarpa, commonly known as ‘puk puk gaharu’. This species has no commercial value as it does not give off a desirable aroma when burnt. (Gunn, 2004:5); Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl., a member of the Thymelaeaceae, is traditionally used in Indonesia as medicinal plant against cancer (Saufi et al, 2008)

apabila suatu komoditas dapat diyakinkan sebagai yang bernilai ekonomi tinggi, maka warga cenderung untuk mengupayakan pemanfaatannya semaksimal mungkin melalui kapasitas yang ada.

Walapun informasi yang diperoleh masyarakat ini belum tentu tepat, namun proses pemaknaan warga adalah aktivitas yang dapat terkait dengan proses pembingkaian. Pembingkaian ini bisa terjadi dengan sadar ataupun tidak. Suatu informasi yang kemudian dianggap penting oleh pendengar, dapat dibentuk melalui serangkaian proses unik, yang boleh jadi dianggap sebagai suatu strategi.

Proses pembingkaian tidak serta merta terjadi dan serempak dalam posisi waktu dan ruang yang sama. Proses berjalan dari arah yang berbeda dan mencapai tingkat ‘kekompakannya’ pada waktu dan ruang tertentu. Mengacu kepada Gamson (1992a) maka selain strategi pembingkaian tersebut, yang tidak kalah pentingnya adalah isi atau komponen bingkai itu sendiri. Komponen bingkai meliputi identitas, solidaritas, dan kesadaran suatu kelompok, atau yang Gamson elaborasi lagi sebagai identity, injustice, dan agency.

Manifestasi identitas kolektif

Identitas kolektif merupakan pertautan antara individu dan sistem budayanya, atau bagaimana perasaan individu terlibat dengan individu lain Ketika identitas dikaitkan dengan konsep “we” atau “kami” yang memiliki ciri khusus dibanding dengan kelompok lain di luar “kami”, maka kasus dari lapangan menunjukkan bahwa di dalam warga, terdapat prinsip “suatu kelompok memiliki perbedaan dengan yang lainnya dengan ciri khas tertentu”. Identitas yang sifatnya kolektif ini ditunjukkan ketika sekumpulan individu dalam kelompok merasa menyatu karena ada penanda/ciri khas komoditi tertentu yang dimiliki atau inovasi yang telah dilakukan, sekalipun – dalam kenyataannya, belum: begitu jelas, terang benderang, atau dapat dijelaskan secara detil dan sempurna”. MW yang mencoba melakukan budidaya gaharu walaupun dalam skala kecil; kemudian JW yang menangkap informasi dari PNG dan menerapkannya di Papua, serta TR yang mencoba untuk menanam gaharu di sekitar pekarangannya; adalah suatu gambaran aktualisasi identitas orang Biak sebagai suatu identitas kolektif. Identitas orang Biak adalah sebagai orang yang punya keinginan dan daya juang yang tinggi, sebagai pelaut yang ulung yang mampu menundukkan keganasan Samudera, -bahkan Kamma (1982) memberi

kesan- sebagai orang yang berani berperang serta mengambil resiko-resiko berbahaya.

Dapat terlihat bahwa identitas ini sangat melekat bagi Orang Biak dan bahwa terdapat relasi dengan pelaksanaan reforestasi, telah temukan di lapangan. TR mengungkapkan bahwa ada pihak lain yang meragukan kemampuan pengetahuan TR mengenai budidaya gaharu, padahal TR sudah melakukan dan mengetahui secara persis tentang daya adaptasi jenis gaharu di Mnsen:

Suatu saat ada seorang insinyur kehutanan yang melihat saya telah menanam gahru dibelakang sini. Dia katakan, bahwa dia sekolah sampai tinggi (sarjana) tapi belum pernah menemukan bibit gaharu yang baru saja dicabut dari bawah pohon induknya langsung ditanam dan berhasil. Saya katakana ya… sebenarnya adalah, saya ketika berburu gaharu, dalam hati saya adalah kebaikan, oleh krena itu kebaikan tersebutlah yang mengakibatkan bibit gaharu yang saya tanam bisa tumbuh. Karena menurut orang, apabila dalam berburu gahatu hatinya tidak baik, dia tidak bisa kembali, bahkan hilang terus di hutan. Insinyur itu bertanya terus karena kalau ditanam langsung, pasti bibitnya mati. , Saya jawab bahwa semua akal-akalan (teknik/strategi) saya telah coba, dan saya coba rendam 1 jam dalam air. Anakan yang sudah dicabut tersebut, harus habis ditanam. Apabila ada sisa, maka akan kering. Tidak bisa ditinggakan sampai besok, hari itu harus ditanam semuanya.

Sementara itu, OK sebagai tokoh adat mengungkapkan bagaimana identitas orang Biak itu penting, sehingga kemudian mendorong untuk bekerja sekuat tenaga, jujur, dan menegakkan harga diri itu sendiri.

Ya.. saya pahami baik itu, seperti program kehutanan (menanam), selalu saya ingatkan kepada masyarakat. Bahwa kita harus jaga harga diri, kepercayaan. Kalau kita jaga harga diri dengan baik, tentu kita tidak dianggap biasa-biasa saja. Prinsip dasar orang Biak adalah biar miskin tapi harga diri selalu di jaga. Bahasanya Biar konaroi nofa, kanggenem.. Mencuri dan menipu adalah 2 hal yang orang Biak tidak boleh miliki. Jadi misalnya ada pencuri yang lewat ditengah jalan, di masyarakat dia akan dicerita/diperbincangkan, misalnya: “orang ini ganteng tapi curi-curi, atau penipu nomor satu”. Satu hal yang mendapat pujian dan tidak kenal timbangan di airport (pertaruhan harga diri) adalah: “membunuh dan membawa anak gadis orang, inilah yang mendapat pujian….bahwa dia hebat… bahkan ketika orang tersebut baru keluar dari lembaga (penjara), apabila ada kumpulan orang dan orang ini melintas, bahkan ketika dia bertanya sesuatu, maka orang-orang akan menjawab dengan menambahkan kalimat “kamu yang kami cerita karena kamu bisa melakukan…”

Melluci dalam Gamson (1992a:56) menyarankan bahwa konstruksi identitas kolektif adalah yang paling sentral dalam suatu gerakan, lebih khusus pada gerakan sosial baru (new social movement). Proses ini -sebagai negosiasi untuk memasukkan “we” atau “kami” dalam suatu AK, adalah juga suatu proses elaborasi dan pemaknaan. Teoritisi NSM menekankan refleksivitas gerakan, dan

bahwa ada tendensi untuk mempertanyakan kepada diri sendiri siapakah

Sebagaimana prinsip hidup orang Biak kebanyakan, maka identitas kolektif ini yang memiliki potensi besar dalam AK terkait reforestasi

dari pada kita hanya menonton dia tanam, lebih baik kita ikut tanam..” atau kita harus bergabung dengan dia supaya kita bisa punya pohon seperti itu. Istilah biaknya “kofuken” Kofukno caran sawitker bik dundo nanenya.. yu ker naya .. insa mai do bisa kak furda…muda for muda kak keri norari, sehingga kalau suda berhasil, do ko ka ko , kako berhasil. Kita sama-sama menanam, kita semua laki-laki dan kita semua bisa …(TR)

Identitas kolektif yang terdapat di Biak cenderung berciri kuasi primordial tradisional. Masyarakat adat Biak diketahui sebagai masyarakat yang ingin untuk membangun hubungan dengan pihak luar. Semua tipe aksi kolektif terkait reforestasi, menunjukkan bagaimana aktor-aktornya telah memiliki pengalaman- pengalaman di luar Biak. Berdasarkan pengalaman yang diperoleh di luar Biak, beberapa yang terkait dengan reforestasi kemudian dikembangkan di Biak. Dari identitas menuju solidaritas

Identitas sebagai orang Biak juga tergambar dari eksisnya kepemilikan/hak lahan. Setiap kegiatan yang akan melibatkan masyarakat Biak –apalagi berhubungan dengan penggunaan lahan, harus jelas peruntukannya dan dampak jangka panjangnya terhadap eksistensi lahan itu sendiri. Itulah sebabnya, seorang Aktor yang berusaha membangun kebersamaan diantara sesama anggota keret, sedapat mungkin bisa menjamin “eksistensi penguasaan lahan keret” yang merupakan salah satu simbol identitas Keret. Apabila identitas ini bisa diamankan, maka akan muncul solidaritas yang kuat antara sesama anggota keret. Penguatan identitas hingga munculnya solidaritas dapat dilihat pada kasus reforestasi di Asarkir- Biak Barat

Pada dasarnya, manusia memiliki pendapat yang tidak sama. Pada awalnya banyak masyarakat yang meragukan kegiatan penanaman ini. Mereka khawatir bahwa ketika telah dilakukan penanaman, lahan mereka atau hak ulayat mereka akan diambil. Saya kemudian mengumpulkan mereka untuk adakan sosialisasi. Saya bilang “tidak!, hak ulayat tetap pada posisinya, tapi ini kepercayaan dari pemerintah, itu adalah salah satu berkat besar yang diberikan oleh Tuhan lewat tangan pemerintah untuk salurkan ke masyarakat. Jadi kamu punya wilayah ini bisa untuk mampu untuk melakukan penanaman seluas 300 hektar. Tapi 300 itu terlalu luas dan mungkin akan jauh sampai ke pantai (jika diambil sendiri oleh satu orang), jadi kita upayakan disekitar kampung untuk itu perlu untuk dibagi ke beberapa kelompok. . Pemerintah juga katakan bahwa lokasi kita ini adalah marires, sehingga perlu dilakukan penanaman, dan kayu-kayu ini adalah untuk generasi kitorang kedepan. Besok-besok kitorang punya anak dengan cucu ini, mereka mau hidup bagaimana? Akhirnya pemerintah ambil salah satu kebijaksanaan untuk menanam kembali”. Jadi mereka terima dan tidak menimbulkan sesuatu masalah (SM).

Pernyataan SM tersebut, merupakan gambaran bahwa: untuk melaksanakan reforestasi sebagai program pemerintah, SM sebagai Mananwir

sekalipun, tidak akan mampu untuk mengerjakan sendiri. Tawaran disampaikan kepada sesama warga melalui pendekatan/sosialisasi bahwa hasil penanaman ini, nantinya akan bermanfaat bagi keluarga sendiri (anak cucu). Pengertian ‘besok anak cucu mau hidup bagaimana’ bermakna sebagai suatu kewajiban warga atau para orang tua untuk dapat menjamin identitas keluarga dalam jangka panjang, melalui eksistensi anak cucu mereka. Anak cucu akan menjadi penciri identitas keluarga dan orang tua bertangung jawab untuk memfasilitasinya. Identitas keluarga adalah anak cucu yang berhasil dan juga memiliki lahan untuk bisa berkebun.

Solidaritas di sini sebagai kekompakan sesama kelompok untuk

melakukan tugas (atau penanaman) masing-masing pada arealnya/kebunnya. Solidaritas yang terbangun tidak lepas dari upaya-upaya bersama untuk menjaga, agar tidak terjadi penyimpangan atau kesewenang-wenangan dalam distribusi benefit antar anggota. Dalam hal ini, solidaritas berjalan berbarengan dengan unsur trust (percaya). Fenomena pencairan dana bantuan untuk kelompok tani pelaksana reforestasi mesti diketahui oleh seluruh anggota, dan jika perlu, langsung dapat didistribusikan kepada yang bersangkutan, secara fair dan transparan. Inilah sebabnya maka proses pencairan dana KTH akan lebih bernilai ketika disaksikan oleh lebih banyak anggota kelompok.

Mereka setuju. Karena tepat dengan momen perayaan natal. Hamper 3 kali natal, pada waktu Pasar Inpres belum pindah ke Darfuar, masyarakat Asarkir, Wasiai dan Andei yang menguasai taksi dalam kota maupun angkutan pedesaan. Nanti hari ini kitong (kami) ikut 1 mobil ke kota, selesai belanja begitu, saya carter sendiri, paman carter sendiri, adik carter sendiri. Mulai rame dari tanggal 24 sampai 1 Januari. Jadi kesemangatan dari 5 kampung yang saya sebut itu, tidak menimbulkan sesuatu atau persoalan. Tidak ada yang mau rebut-rebutan ke Dinas Kehutanan, ataupun ke saya atau turun ke Pa Nasir (mitra gerhan). Nanti om (peneliti) tanya, tidak pernah ada keributan. Malah mereka dorong saya untuk “coba cek ada proyek lagi ka…?” hahaha, saya bilang, kitong (kami) baru pulang dari Kalimantan (Penas XIII) jadi… saya tidak tahu…” hahaha, saya ini anak kecil jadi tidak tahu sampai di sana. Apabila kitong (kami) dapat rejeki pun tong (kami) berdoa. Jadi itu tidak jadi masalah. (SM)

Berlangsungnya suatu gerakan tidak terlepas dari komitmen yang diaktualisasikan dalam bentuk tindakan setiap individu dalam kelompok. Dari perspektif masyarakat, komitmen terkait Reforestasi di Biak dapat dilihat dari sudut individu atau kelompok KTH yang bersedia melakukan penanaman pohon dilahannya, baik dalam ranah orientasi yang bersifat: instrumental, cenderung afektif atau bahkan bernuansa moral. Komitmen bahkan melampaui sekedar memenuhi syarat dan perjanjian kontrak tertentu, namun komitmen juga

menjangkau ranah melaksanakan kewajiban-kewajiban moral dari aktor yang harus dijalankan, guna memenuhi nilai-nilai hakiki yang dimiliki masyarakat.

Dalam hal ini, boleh jadi komitmen yang kredibel (komitmen yang dibuktikan)

merupakan bahan bakar utama untuk membangun trust.

TR bahkan tidak khawatir bilamana bantuan dana pemerintah terhenti dikemudian hari. TR sangat yakin karena lahan tanaman gaharu dan jenis lainnya yang lain telah terbangun dan keberlangsungannya akan sangat bergantung pada kemampuan kelompoknya untuk mengamankan asset-aset dimaksud.

Di sisi lain, komitmen MR untuk tetap menanam dan merawat tanaman reforestasi diaktualisasikan dalam bentuk (i) melanjutkan penanaman- penanaman walapun dalam skala kecil dan (ii) melibatkan pihak lain (amber) untuk membantu merawat tanaman yg telah ada melalui aktivitas tumpang sari. Tindakan MR ini justru menjadi indikator, bagaimana komitmen telah menjangkau dimensi instrumental, afektif dan moral. Selain bermanfaat bagi Keret sendiri, kelangsungan hidup tanaman sebagai tanggung jawab moral kepada pemerintah serta sesama sudah diaktualisasikan.

Gambar 26. Interaksi saling menguntungkan antar MR dan Amber

Setelah mengklarifikasi dengan petani amber yang dimaksud informan, terdapat 3 petani pendatang yang berasal dari Sulawesi yang telah memanfaatkan lahan kurang lebih 5 Ha areal milik MR. Adalah AT yang mengolah hampir 2 hektar lahan milik informan, dan juga merupakan anggota PNS Pemda Biak. Kebutuhan untuk keluarga mendorong AT mencari peluang

tambahan melalui pengolahan lahan. Ini adalah satu-satunya fenomena penggunaan lahan Gerhan oleh masyarakat pendatang di Biak (Gambar 26).

Sudah 11 tahun sejak mulai mengajar (di salah satu sekolah swasta) itu 1994 tapi honor. Sampai tahun 2000 baru diangkat, dan saya ditempatkan di SMA YPK 2 Biak di kota. Kemudian setelah itu, saya ngajar pikir2 dari pada tinggal nganggur kalau pulang sekolah, lebih baik kita cari lahan di luar kota untuk sekedar refresing begitu…

Dulu yang kasi ketemu, orang Buton yang berkebun juga di sini. Kebetulan teman lama di kota. Dia bilang ada lahan di mantan kepala desa Adibai/Rimba Raya, kalau mau silahkan ketemu dengan beliau. Saya ketemu, akhirnya dia (MR) bilang tidak apa-apa kamu bikin saja, yang penting kayu di dalam kamu rawat dengan baik.

Penggunaan lahan oleh AT telah berlangsung sejak tahun 2009. Jenis yang diusahakan adalah jagung, kacang panjang, sawi, buncis, dan kacang tanah. Hasil pendapatan bersih perbulan jika dirata-ratakan bisa di atas 50% pendapatannya sebagai PNS. Tidak hanya manfaat ekonomi, namun menurut informan, eksistensi tanaman Gerhan menunjukkan performance yang menggembirakan.

Itu dulu waktu saya masuk, oooo kayu ada yang mati sebagian dan kuning. Karna.. sdh dibersihkan, dikasih pupuk, disamping itu juga kayu isap pupuk itu, sehingga bagus juga tumbuhnya. Sampai disebelah sana saya buka. Itulah yang saya bilang, kasih dispensasilah dari kehutanan dan yang punya tanah, supaya kita bebas kerja di dalam, tidak ada gangguan, aman saja kerja, disamping kita rawat itu kayu. Ada hasil sedikit-sedikit, kalau tuan tanah datang, kita kasih sedikit-sedikit juga. Yang penting datang, menghargai kita, kita juga menghargai sebagai kerja di dalam supaya ada timbal baik begitulah…

Solidaritas yang nampak pada aksi kolektif tipe1, 2, dan 3 merupakan wujud perkembangan dari solidaritas mekanik sebagaimana yang diteorikan Durkheim. Walaupun demikian, pada tipe 4 solidaritas terlihat bersifat eksternal, yang ditandai dengan penerimaan pihak luar, melalui institusi perkawinan. Solidaritas eksternal terlihat juga pada tipe aksi lainnya. Di Biak Timur, pada suatu kasus, reforestasi berbentuk solidaritas-eksternal yang terlihat ketika mananwir/pemimpin memberikan ijin kepada pihak luar/non orang Biak untuk mengusahakan sela-sela tanaman jangka panjang pada lahan-lahan yang ada, dengan tanaman pertanian. Solidaritas yang ada umumnya memiliki jangkauan pada sekitar lokasi terkait aksi kolektif.

Kesadaran

Sebagai suatu keterpautan antara keyakinan individu mengenai dunia sosialnya atau keyakinan budayanya, aspek kesadaran di wilayah Warsa, adalah JW yang melakukan penanaman gaharu. Penjelasan yang dikemukakan sangat terkait dengan upaya-upaya dalam rangka mempertahankan lahan yang tersisa setelah terjadi okupasi pada beberapa waktu lalu.

Ia itu dari saya punya saudara, saya punya Bapa-bapa ade, Jadi kalau bersaudara itu, dari sini sampai ujung yang ada di sana itu, ya itu kami punya, keluarga. Sebenarnya kami punya ada panjang ke sana, tapi karena ada persoalan orang dulu, persoalan itu… waktu orang tua kami ada, mereka tidak singgung, tapi begitu waktu orang tua kami sudah tidak ada, dari marga lain mereka masuk, mereka klaim tempat itu (sebagai yang) mereka punya. Itupun dari keluarga kami. Kalau kami kuat bicara, itu akan kembali kepada kami. Tapi dari keluarga bilang, ah biar sudah… mereka dapat…Kaka saya itu mengalah saja, dia tidak pikir, bagaimana adik-adik dia ini, mereka bagaimana… Jadi tidak kuat, akhirnya kami punya tempat ini, banyak keluarga yang masuk….Dulunya waktu masih anak-anak, kami punya tempat berkebun, yang saya tahu kami punya orang tua berkebun di sini.

Reforestasi kemudian menjadi bukti bahwa selain motivasi yang bersifat instrumental, masyarakat sebenarnya memiliki strategi untuk mengamankan lahan-lahan milik keret/keluarganya dengan cara melakukan penanaman tanaman jangka panjang. Dinamika politik lokalpun tidak dapat dipisahkan dari kehidupan setiap kelompok masyarakat adat yang ada disuatu wilayah tertentu.

Komponen bingkai yang diangkat berdasarkan pemaparan para informan dapat disarikan sebagaimana dalam Tabel 9.

Tabel 9. Komponen bingkai terkait reforestasi

Aspek Contoh pernyataan Komponen

Frame Penjelasan

Identitas

Kolektif “Ya.. saya pahami baik itu, seperti program kehutanan, selalu saya ingatkan kepada masyarakat. Bahwa kita harus jaga harga diri, kepercayaan. Kalau kita jaga harga diri baik, tentu kita tidak dianggap biasa-biasa saja. Prinsip dasar orang biar miskin tapi harga diri selalu di jaga. Bahasanya Biar konaroi nofa, kanggenem.. mencuri dan menipu adalah dua hal yang orang Biak tidak boleh miliki”

“tapi dong bilang gaharu, jadi saya ikut tanam”

Identity Bekerja sekuat tenaga, jujur, dan menegakkan harga diri. Bandingkan Kamma (1994) yang memberi kesan orang Biak sebagai orang yang berani berperang serta mengambil resiko-resiko berbahaya, termasuk melakukan perjalanan lintas pulau dan samudera

Solidaritas “dari pada kita nonton dia tanam, lebih baik