• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah dan bentuk gerakan aksi kolektif di Biak

IV. BIAK: GAMBARAN UMUM, SOSIAL DAN BUDAYA

4.3. Sejarah dan bentuk gerakan aksi kolektif di Biak

Berbicara reforestasi dalam suatu konteks gerakan sosial, dipandang perlu untuk mengungkapkan salah satu aksi gerakan sosial yang pernah muncul di Biak, guna memperkaya wawasan pemahaman ketika membahas gerakan reforestasi lebih jauh. Dalam konteks Gerakan Sosial bertemakan religi, sejak abad ke 19 di Biak telah muncul gerakan-gerakan yang beorientasi pada pencapaian kehidupan yang lebih sejahtera di masa yang akan datang. Gerakan ini dikenal luas di kalangan masyarakat Biak dengan istilah Koreri, bahkan pernah meluas sampai beberapa kota di luar Biak.

Yang lain lagi bertanya kepada Woelders: “Tuan, apakah di Surga kita menerima makanan enak juga?” Pertanyaan ini mempunyai makna yang jauh

lebih mendalam daripada yang dapat diduga oleh Woelders. Tak seorang Irian pun dapat membayangkan dirinya berkumpul dengan orang-orang lain dalam pertemuan pesta, tanpa makan besar. Karena itu juga, inti ajaran sekitar keadaan Sejahtera (Koreri) itu adalah “K’an do mob oser”, yang secara harafiah berbunyi “Kita makan di satu tempat”, yaitu hidup bersama dalam kelimpahan. Memiliki makanan yang cukup dan perdamaian, itulah keadaan yang dicita-citakan. Dan dalam cita-cita Koreri itu mereka memasukkan juga semua suku lain, bahkan juga orang-orang asing (Kamma, 1982:70).

Koreri merupakan gerakan yang ingin mewujudkan kehidupan yang penuh dengan kedamaian dan kesejahteraan. Koreri dibangun dari cerita masyarakat Biak yang mengisahkan bagaimana seorang bernama Manarmakeri yang memperoleh penglihatan di dalam suatu gua tentang kehidupan yang serba bahagia dan sejahtera. Bahkan rekan-rekan Manarmakeri yang meninggal lebih dulu, terlihat hidup sejahtera dengan perawakan yang lebih muda.

Manarmakeri mengalami langsung penglihatan tersebut, namun belum dapat diperkenankan memasuki alam dimaksud. Dalam suatu acara pesta di kampung (Biak Barat), beberapa orang tamu termasuk Manarmakeri tidak mendapat kebagian makanan. Dengan perasaan marah, Ia berangkat ke wilayah Biak Timur dan kemudian membuat Tuak dari Kelapa (Saguer). Suatu waktu, Saguer tersebut dicuri oleh seorang bernama Bintang Pagi. Pencuri tersebut diketahui oleh Manarmakeri dan terjadilah pergumulan hebat, dan pertarungan selesai ketika Bintang Pagi memberitahu rahasia tentang kehidupan Koreri. Rahasia ini kemudian digunakan untuk memulihkan penyakit yang diderita Manarmakeri, menyediakan makanan secara instan, bahkan perahu yang dibutuhkan dapat tersedia dalam waktu yang singkat.

Perahu yang dimilki Manarmakeri ini selanjutnya digunakan untuk berlayar ke Numfor, setelah melalui wilayah Mamberamo. Di setiap daerah yang dikunjungi, Manarmakeri mendapat penolakan dari masyarakat. Walaupun di Numfor, ia sempat menciptakan manusia. Karena ditolak, Manarmakeri marah lalu berangkat ke daerah bagian barat tanah Papua bersama istrinya Insoraki dan anaknya: Manarbeu (Raja Damai), dengan membawa rahasia Koreri yang dimilikinya. Manarmakeri yang dianggap sebagai Tuhan (Manseren Manggundi) akan kembali untuk memberikan kemerdekaan, kesejahteraan dan kehidupan baru bagi orang Biak.

Gerakan Koreri terus bermetamorfosis. Pada jaman sebelum agama Kristen masuk Papua, Gerakan Koreri berwujud Agama Asli, kemudian berkolaborasi dengan Agama Kristen atau Cerita dalam Injil. Pada saat ini

Farkankin yang berintikan penentangan terhadap eksistensi Pemerintahan yang sempat teraktualisasi dalam organisasi atau ritual Gereja tertentu. Koreri merupakan gerakan yang melibatkan kebersamaan pemeluknya untuk menantikan atau mempersiapkan kedatangan Sang Juruselamat yang dipahami sebagai Manarmakeri. Dalam penantian ini, beberapa aktivitas yang dilakukan antara lain: membangun rumah baru untuk Manseren Manggundi, memperbesar rumah anggota masyarakat untuk tempat penampungan manusia yang dibangkitkan, mempersiapkan logistik yang cukup karena akan terjadi kegelapan selama 3 hari; dilarang makan makanan tertentu yang merupakan penyebab Mamarmakeri meninggalkan kampung halamannya atau yang berhubungan dengan pantangan-pantangan bagi penyakit Manarmakeri.

Gerakan yang bernuansa kebersamaan menunjukkan adanya orientasi nilai hakiki yang dimiliki orang Biak. Orientasi nilai ini menandakan adanya suatu ideologi yang mendorong dan memotivasi seseorang dalam bertindak. Kesejahteraan dan kedamaian dalam kelompok jemaah/orang yang besar disertai kelimpahan makanan merupakan spirit penting bagi orang Biak.

(Pada masa pendudukan Jepang, struktur mananwir mnu) sementara amburadul dan struktur tidak berfungsi, dan yang mengambil peran adalah mambri-mambri (pendekar). Mambri ini tidak menurut keret, dan yang menonjol waktu PD II ada beberapa saja. Motif mereka itu bercabang, antara kerajaan sejahtera dalam bentuk rohani dan wujud jasmani. Dia campur aduk antara kerajaan akhirat dan kemerdekaan. Dia berdiri antara persimpangan jalan itu. (Rumaikew)

Jika demikian, bagaimanakan sebenarnya spirit utama yang mendorong berlangsungnya reforestasi jika dipandang dari perpektif masyarakat? Apakah ada kaitannya dengan ceritera Manarmakeri? Unsur Manggundi (Yang Maha Kuasa) dalam kisah Manarmakeri memiliki hubungan secara langsung dan tidak

langsung dengan aktivitas reforestasi. Pertama, apabila pemujaan

Manggundi/Yang Maha Kuasa merupakan nilai religi dalam masyarakat Biak, dan diaktualisasikan dalam bentuk Munara/Wor, maka reforestasi dapat dilihat sebagai sarana untuk menunjang Munara/Wor pada masa yang akan datang, dan dapat terwujud apabila tanaman/pohon yang ditanam telah bernilai ekonomi (diperdagangkan dan memberikan hasil finansial). Kedua, income langsung dari kegiatan reforestasi (penanaman pohon) dapat dipergunakan untuk pelaksanaan suatu Wor/Munara. Untuk yang terakhir ini dapat dilihat secara langsung dari fenomena reforestasi di Biak. Income yang diperoleh masyarakat dari kegiatan reforestasi, dapat langsung digunakan untuk berpartisipasi pada perayaan- perayaan hari keagamaan (natal dan tahun baru), walapun sebagaian dapat juga

digunakan bagi kepentingan anak sekolah. Munara/Wor atau perayaan hari keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat Biak bermanfaat antara lain: sebagai sarana mendekatkan diri dengann Manggundi/Tuhan Yang Maha Kuasa, sarana mengatasi krisis, sarana pengadilan sosial, sarana mempererat hubungan sosial antar kerabat, dan sarana pengikat solidaritas (PSMBP, 2001).

AK untuk melakukan penanaman pohon dimulai semenjak terbangunnya hubungan orang Biak asli dengan penduduk lainnya melalui ikatan perkawinan. Warga Biak membangun hubungan dengan orang Yapen (kepulauan Yapen) dan orang Waropen, atau suku-suku Papua lainnya. Seusai pertemuan dilakukan (apakah dalam bentuk fan-fan atau munsasu), jenis buah tertentu menjadi hadiah antar pihak keluarga untuk dibawa ke daerah asal. Selanjutnya, penanaman dilakukan secara sederhana dengan cara menebarkan biji pada areal keret sendiri. Eksistensi tanaman introduksi yang berhasil tumbuh tersebut, sekaligus menjadi penciri batas-batas kepemilikan lahan dari keret tertentu. Motivasi penanaman tanaman jangka panjang ini, kemudian diperhadapkan pada status lahan, apakah sebagai saprop (milik bersama) keret-keret, atau milik keluarga tertentu. Ketentuan ini diperjelas dalam norma bahkan aturan adat tercatat di Biak, bahwa kegiatan penanaman tanaman jangka panjang diatas lahan tertentu, hendaknya memenuhi kaidah yang telah ditetapkan.Walaupun pada awalnya penanaman dilakukan dengan cara sporadis serta tidak memerlukan ritual khusus, namun aktivitas penanaman ini dikatakan sebagai AK, karena prosesnya yang berhubungan dengan aktivitas kebersamaan, dan diakui eksistensinya oleh anggota keret.