• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Collective action of indigenous peoples related reforestation in Biak Papua

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Collective action of indigenous peoples related reforestation in Biak Papua"

Copied!
213
0
0

Teks penuh

(1)

i

AKSI KOLEKTIF MASYARAKAT ADAT

DALAM REFORESTASI DI BIAK PAPUA

HENRY SILKA INNAH

.

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

iii PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul “Aksi kolektif masyarakat adat dalam reforestasi di Biak Papua” adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

(4)
(5)

v ABSTRACT

INNAH, HENRY SILKA. The Collective action of indigenous peoples related reforestation in Biak-Papua. Under direction of DIDIK SUHARJITO, ARYA HADI DHARMAWAN, and DUDUNG DARUSMAN

Deforestation has always been part of an interesting issue, related to the efforts of management and conservation of forests and their ecosystems. Deforestation rate even become an important and crucial point to legitimize, what efforts should be done of stakeholders in maintaining the presence of existing forests. On the other hand, reforestation activities have shown a more significant order to inhibit the rate of deforestation. While there were issues in deforestation with interesting reports on reforestation in Indonesia's forest policy, the situation in Papua remains under studied. This research builds on the themes of collective action (CA) and reforestation from indigenous people of Papua. This study aimed to describe the typology of CA and the relationships with reforestation occurring in indigenous land. The study uses the Gamson’s frame concepts that emphasizes frame components i.e. collective identity, how the discourse of injustice, and which agent rivals in achieving common goals. Gamson considered it essential to understand the collective identity, solidarity, consciousness, and also micromobilisation that have been work within the movement.This qualitative study was strung through a case study approach. The entire data collection techniques that are used to strengthen the analysis and discussion of this study include the study of documents, field observations, and depth interviews. The informant was determined by a combination of semi-directive techniques and snowball method, where the implementer of reforestation program was a starting point, and ultimate goal (read: target achieved) will be on the informants from the community. Nine community groups scattered in almost all corners of Biak – Papua, were the target of extracting information. Conversation analysis and content analysis used in this study. Result shows that there were four typologies of CA for reforestation in Biak: i) CA with Initiative of collectivity in the group supported by external forces; ii) CA driven by village leaders that have the authority from the government; iii) CA driven by informal leaders (traditional leaders based genealogical / kinship); and iv) CA driven by an outsider that has obtaining legitimacy of customary, because of marriages. In the space of civil society power/ custom, the map of cooperation level between actors are: suplementer, complementary, substitution, conflict, and free/independent/ pioneer. Taking into account it potentials and dynamics, Mutually Beneficial CA (MBCA) are believed to be able to support the success of reforestation and forest management in short-term even continuous in Papua.

(6)
(7)

vii RINGKASAN

HENRY SILKA INNAH. Aksi kolektif masyarakat adat dalam reforestasi di Biak - Papua. Dibimbing oleh DIDIK SUHARJITO, ARYA HADI DHARMAWAN, and DUDUNG DARUSMAN

Deforestasi menjadi isu dan perhatian banyak pihak saat ini, namun di beberapa wilayah telah terjadi gerakan reforestasi (gerakan menanam pohon). Dalam suatu gerakan sosial, aspek organisasi, lokasi sosial, serta kalkulasi biaya dan keuntungan suatu gerakan adalah penting, namun patut pula untuk memperhatikan aspek psikologi sosial nya. Apabila reforestasi yang terjadi di lahan masyarakat merupakan efek dari aksi kolektif (yang selanjutnya disingkat AK), maka permasalahannya adalah: bagaimanakah pola AK yang terwujud dan bagaimana kaitannya dengan reforestasi yang terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan tipologi aksi kolektif pada masyarakat adat dan hubungan aksi kolektif dan reforestasi yang terjadi di lahan masyarakat adat.

.Kajian ini mengkonseptualisasikan aksi kolektif sebagai aktivitas yang berlanjut dan heterogen, dari bentuk-bentuk aksi atau tindakan bersama, yang terkait pemahaman aktor untuk mewujudkan reforestasi, aksi diinisiasi oleh aktor-aktor yang ada, relatif terorganisir dan direncanakan, tetapi dapat pula mencakup penanaman pohon skala kecil sekalipun, serta kemudian dapat dilihat bahkan diverifikasi eksistensinya menjadi agregat luasan penanaman yang relatif lebih

besar. Sedangkan reforestasi dapat dimaknai sebagai aktivitas yang

mewujudkan tumbuhnya tanaman jangka panjang atau tanaman kehutanan di atas lahan masyarakat Adat Papua.

Dalam suatu gerakan, aksi kolektif dapat dilihat dari perspektif

pembingkaian kolektif (collective action framing). Penelitian ini mencoba

menggunakan konsep Frame Gamson yang menekankan kepada komponen suatu bingkai AK (frame components) seperti identitas kolektif, bagaimana wacana ketidakadilan, dan pihak mana yang merupakan rival dalam mewujudkan tujuan bersama. Lebih lanjut, Gamson memberi penekanan pada identitas kolektif, solidaritas dan kesadaran yang telah bekerja di dalam gerakan, serta perlunya komponen mikromobilisasi yang menfasilitasi suatu gerakan.

Penelitian kualitatif ini dirangkai melalui pendekatan studi kasus. Keseluruhan teknik pengumpulan data yang digunakan untuk memperkuat analisis dan pembahasan studi ini antara lain: studi dokumen, observasi lapangan; wawancara mendalam (indepth interview). Informan ditentukan dengan kombinasi teknik semi-directive dan metode snowball, dimana pelaksana kegiatan/ program reforestasi merupakan titik pangkal, dan sasaran akhir (baca: sasaran tercapai) akan berada pada informan dari pihak masyarakat. Sembilan kelompok komunitas yang tersebar di hampir seluruh penjuru Biak menjadi sasaran penggalian informasi. Analisis percakapan dan analisis isi digunakan dalam mengolah data penelitian ini;

(8)

viii

berbentuk yaf/yafdas adalah pola msen dan home garden; sementara pada struktur agraria berbentuk marires/mamiai, berpola tumpang sari dan monokultur; Reforestasi pada struktur agraria yaf/yafdas dan marires/mamiai, dapat didorong dengan aksi kolektif yang bertipe kolektivitas dalam kelompok dengan aktor inovator. Kecuali selain aktivitas reforestasi, aksi kolektif bertipe kolektivitas lintas kelompok dengan mananwir/manseren dapat dikembangkan untuk

pengaturan-pengaturan pemanfaatan lahan/pemungutan hasil hutan khususnya dalam

(9)

ix

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

(10)
(11)

xi

AKSI KOLEKTIF MASYARAKAT ADAT DALAM

REFORESTASI DI BIAK PAPUA

HENRY SILKA INNAH

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

.

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

xii

Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup: Tanggal 17 Oktober 2012 Tempat: Ruang Sidang SPs Lt. V Gedung Andi Hakim Nasoetion,

Kampus IPB Dramaga Bogor

1. Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS (Departemen Silvikultur IPB) 2. Dr. Ir. Iin Ichwandi, M.For.Sc

(Departemen Manajemen Hutan IPB)

Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka: Tanggal 13 Desember 2012 Tempat: Ruang Sidang LPPM Lt. III Gedung Andi Hakim Nasoetion,

Kampus IPB Dramaga Bogor

1. Dr. Ir. Tachrir Fathoni, M.Sc

(Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Kehutanan, Kementerian Kehutanan RI)

(13)

xiii HALAMAN PERSETUJUAN

Judul Disertasi : Aksi kolektif masyarakat adat dalam reforestasi

di Biak Papua

Nama : Henry Silka Innah

NIM : E161080041

Program Studi/Mayor : Ilmu Pengelolaan Hutan

Disetujui: Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS Ketua

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr

Anggota Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA Anggota

Diketahui:

Ketua Program Studi (Mayor) Ilmu Pengelolaan Hutan,

Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana,

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(14)
(15)

xv PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Bapa, yang oleh AnugerahNya di dalam Tuhan Yesus Kristus, serta tuntunan dan bimbingan RohNya yang kudus, disertasi ini dapat terselesaikan. Disertasi yang berjudul “Aksi kolektif masyarakat adat dalam reforestasi di Biak Papua” ini, merupakan akhir dari rangkaian penelitian yang dilakukan sejak pertengahan tahun 2010.

Selama melaksanakan penelitian dan penulisan disertasi, penulis banyak mendapat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Didik Suharjito, MS; Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr; dan

Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA selaku komisi pembimbing, yang senantiasa mengingatkan, membimbing dengan penuh kesabaran, serta menunjukkan arah penelitian dan penulisan disertasi.

2. Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS dan Dr. Ir. Iin Ichwandi, M.Sc.F sebagai penguji pada sidang tertutup, serta Dr. Ir. Tachrir Fathoni, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS sebagai penguji pada sidang terbuka, yang telah memberikan banyak masukan dan saran yang bernilai.

3. Dekan Sekolah Pascasarjana (Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr); Sekretaris Program Doktor (Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc); Dekan Fakultas Kehutanan (Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr); Wakil Dekan Fakultas Kehutanan (Dr. Ir. Naresworo Nugroho, M.Si), Ketua Departemen Manajemen Hutan IPB (Dr. Ir. Didik Suharjito, MS), Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan IPB (Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS), Sekretaris Program Studi IPH (Dr. Ir. Achmad Budiaman, MSc.F) beserta staf untuk fasilitasi dan kemudahan yang diberikan selama pendidikan di-IPB.

4. Kepala Badan Litbang Kehutanan, Sekretaris Badan Litbang Kehutanan, Kepala Pusat Pendidikan dan Latihan Kehutanan, Kepala Balai Penelitian Kehutanan Manokwari, yang memberikan kesempatan sekaligus dorongan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang doktor.

5. Gubernur Provinsi Papua melalui Staff Khusus Gubernur, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Biak Numfor, Tokoh Lembaga Masyarakat Adat Biak, para Mananwir/manseren, Dr. Enos Rumansara, Bapa Isak Semuel Rumaikeuw, Patrich/Godlief Kawer, Ferdinan Rumbino, Tropenbos Indonesia, Yayasan Sarana Wana Jaya, serta para pihak yang membantu selama pengumpulan pan pengolahan data.

6. Segenap kolega dari Forum Mahasiswa IPH-IPB, Himpunan Alumni Dewan Mahasiswa IPB, Forum Pascasarjana Kementerian Kehutanan-IPB, Forum Komunikasi Karyasiswa Kemenhut–UGM (FK2Kemenhut-UGM); Forum Wacana Papua-IPB, Forum Mahasiswa Toraja IPB, BP-GK Ciampea, BP-GKII El-Shadai Manokwari serta rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, untuk dukungan dan kebersamaannya.

Akhirnya untuk istri tercinta Elysabeth Kalew, ananda Anugerah Dewantara Dwiputra, Dietrich Grafael Elshanry, dan si kecil Gabriel Joshua Vyacheslav yang telah hadir di sela-sela penyelesaian disertasi ini, Bapa berterima kasih untuk doa-doa dan kesabarannya. Demikian pula kepada opa/oma Innah/Kalew serta segenap siulu’ sola sangdadiangku, bapa tua, bapa ade, mama tua, mama ade serta om/tante, juga opa/oma Johosua J. Joseph kiranya Tuhan yang akan membalas semua bentuk dukungan/fasilitas yang pernah diberikan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kita. Amin

(16)
(17)

xvii RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pit River – Wamena pada tanggal 31 Maret 1973, dan merupakan anak pertama dari empat bersaudara, dari pasangan Mathius Doe Innah dan Mariana Bontong. Pendidikan dasar dan pendidikan lanjutan tingkat pertama diselesaikan di kota Wamena - Papua, selanjutnya pendidikan lanjutan tingkat atas, ditamatkan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Abepura - Jayapura. Pendidikan Sarjana dapat diselesaikan tahun 1995 di Program Studi Manajemen dan Budidaya Hutan Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin – Ujung Pandang. Melalui beasiswa BAPPENAS, pendidikan pada Program Magister Teknik, Program Studi Pembangunan – Institut Teknologi Bandung dapat terselesaikan tahun 2005. Tahun 2008, penulis berkesempatan memperoleh kembali beasiswa studi lanjutan dari Pusat Pendidikan dan Pelatihan Departemen Kehutanan. Akhirnya, studi pada Program Doktor Ilmu Pengelolaan Hutan (IPH) diselesaikannya di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2013.

Tahun 1996 hingga 1998 penulis bekerja sebagai staff PT. Inhutani II pada Proyek Rehabilitasi Hutan Eks-HPH, dan selanjutnya sejak tahun 1998 menjadi staff peneliti di Balai Penelitian Kehutanan Manokwari – Papua dengan konsentrasi kepakaran: Pelestarian Sumber Daya Alam. Penulis pernah pula dipercayakan menjadi Kepala Seksi Publikasi dan Diseminasi di unit kerja Badan Litbang Kehutanan – Kementerian Kehutanan RI.

Selama studi di IPB, penulis aktif di kegiatan Dewan Mahasiswa (Dema) Pascasarjana-IPB dan Forum Mahasiswa Pascasarjana Kementerian Kehutanan di IPB, serta berkesempatan pula mengikuti beberapa seminar

ilmiah di dalam dan luar negeri. Sebuah artikel berjudul Collective action

(18)
(19)

xix DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xxi

DAFTAR GAMBAR ... xxii

DAFTAR LAMPIRAN ... xxiii

DAFTAR ISTILAH ... xxiv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 11

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11

1.4. Kebaharuan ... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1. Studi sosiologi AK berbasis jaringan dan identitas ... 13

2.2. Unsur-unsur AK ... 15

2.3. AK berbasis barang ekonomi (pengelolaan sumber daya alam) ... 23

2.4. AK dan kritik-kritiknya dalam pengelelolaan CPR ... 28

2.5. Dimensi lain dari AK ... 30

2.6. Konseptualisasi AK ... 31

2.7. Reforestasi di Indonesia dari masa ke masa ... 31

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 35

3.1. Teori utama dan konsep ... 36

3.2. Disain/pendekatan penelitian ... 41

3.3. Pengumpulan data dan informan (sumber data) ... 42

3.4. Analisis dan validasi data ... 43

3.5. Lokasi dan waktu penelitian ... 43

IV. BIAK: GAMBARAN UMUM, SOSIAL DAN BUDAYA ... 45

4.1. Posisi geografis dan administrasi wilayah ... 45

4.2. Struktur sosial masyarakat ... 46

4.2.1. Sejarah terbentuknya masyarakat Biak... 46

4.2.2. Kelompok keturunan dan sistem kekerabatan ... 48

4.2.3. Struktur pemerintahan masyarakat adat Biak ... 52

4.2.4. Demografi ... 55

(20)

xx

4.2.6. Sistem religi, pengetahuan dan teknologi ... 57

4.2.7. Institusi lokal pengelolaan sumber daya alam ... 59

4.3. Sejarah dan bentuk gerakan aksi kolektif di Biak ... 71

4.4. Biodiversitas, deforestasi dan sejarah reforestasi di Biak ... 74

V. AKSI KOLEKTIF TERKAIT REFORESTASI ... 85

5.1. Tipologi aksi kolektif ... 85

5.1.1. Tipe aksi kolektif di Biak... 86

5.1.2. Orientasi nilai dalam reforestasi di Biak ... 93

5.1.3. Komponen kolektivitas ... 101

5.1.4. Jaringan kekerabatan ... 110

5.1.5. Aktor utama internal kolektivitas ... 115

5.2.6. Ketergantungan terhadap negara atau inisiatif awal masyarakat? ... 119

5.2. Keterkaitan aksi kolektif dan reforestasi ... 123

5.2.1. Pola reforestasi dan inovasi ... 123

5.2.2. Reforestasi, struktur agraria dan aksi kolektif... 131

5.3. Peta kekuatan aktor masyarakat untuk reforestasi di Biak ... 139

5.3.1. Eksistensi jaringan aktor-aktor ... 139

5.3.2. Aktor masyarakat versus negara ... 143

5.4. Potensi dan peluang penguatan AK ... 149

5.4. Ikhtisar ... 156

VI. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI ... 159

6.1. Kesimpulan ... 159

6.2. Implikasi Teoritik ... 161

6.3. Refleksi Metodologi... 164

6.4. Implikasi Kebijakan ... 164

DAFTAR PUSTAKA ... 169

(21)

xxi DAFTAR TABEL

1. Posisi penelitian, dalam konteks AK untuk gerakan sosial dan pengelolaan

sumber daya hutan: ... 9

2. Jenis hak dan posisi pengguna ... 25

3. Areal sasaran rehabilitasi dan realisasinya sejak tahun 1961. ... 33

4. Institusi Saprop Keret/OMB dibandingkan dengan Disain Prinsip CPR ... 69

5. Perubahan Tutupan Lahan di Biak-Numfor Tahun 2000 dan 2010 ... 76

6. Tipe aksi kolektif dan aspek penjelasnya ... 92

7. Ideologi-ideologi lingkungan serta karakteristiknya ... 94

8. Karakteristik orientas nilai ideologi mama ... 99

9. Komponen bingkai terkait reforestasi ... 109

10. Distribusi Fam dalam Kelompok Tani Hutan ... 111

11. Nama-nama marga di wilayah Biak-Numfor. ... 113

12. Karakteristik kelompok dan komponen pendorong AK terkait Reforestasi di Biak-Papua ... 122

13. Pola reforestasi di Biak dan komoditi ... 126

14. Hubungan tipe lahan dan struktur agraria ... 134

15. Eksistensi struktur agraria dan tipe AK ... 136

16. Tipe AK terkait reforestasi yang dapat didorong pada struktur agraria lokal 137 17. Karakteristik tatakelola reforestasi di Biak ... 140

(22)

xxii

DAFTAR GAMBAR

1. Arah sosial movement ... 14 2. Hubungan barang publik, heterogenitas kelompok, dan faktor yang

mempengaruhi ... 17 3. Kontribusi pada AK dan implikasinya terhadap status ... 21 4. AK di antara ruang, waktu, property right, dan koordinasi ... 26 5. Kerangka pikir penelitian ... 36 6. Peta lokasi penelitian ... 44 7. Kota Biak dengan Infrastrukturnya ... 46 8. Asal mula orang Biak dan penyebarannya hingga Maluku Utara ... 47 9. Struktur Pemerintahan Papua masa Hindia Belanda... 48 10. Sistem kekerabatan Biak ... 51 11. Tekad bersama Kankain Kakara ... 52 12. Struktur Pemerintahan Adat yang eksis di Biak ... 53 13. Papan batas hak ulayat marga ... 54 14. Ketua Dewan Adat Biak III (Kankain Kakara Byak) dengan perangkat

pengurus ... 54 15. Proses Pengolahan Sagu ... 56 16. Kebun Masyarakat yang baru ditanami sayuran... 57 17. Mas Kawin Gelang Samfar... 58 18. Tegakan Agathis di Biak Timur ... 77 19. Reforestasi versi government driven vs local driven ... 79 20. Inovasi kegiatan pembibitan dengan jenis lokal lain ... 88 21. Performance tanaman yang melibatkan kolektivitas lintas marga... 89 22. Performance bibit tanaman ... 90 23. Reforestasi yang digerakkan aktor luar ... 91 24. “Gaharu” versi masyarakat ... 102

25. Mahkota dewa (Phaleria papuana),dianggap MR sebagai gaharu ... 102

(23)

xxiii DAFTAR LAMPIRAN

(24)

xxiv orang byak untuk menyebut orang non-papua, Saat ini digunakan juga sebagai sapaan untuk menghormati orang lain (byak sendiri, orang papua, non papua) yg menurut pengamatan kita merupakan panutan karena keberhasilannya (pendidikan, keluarga, pekerjaan, dsb). Misalnya: amber Krey, amber Henry, dsb.

Amom/Yaf : Kebun

Ayaisia/Ayainema : Kepemimpinan yang rendah hati (dalam artian masih

ada orang lain yang lebih “hebat” darinya)

Aya kada/Aya ine : Semua orang mempunyai kesempatan untuk meraih

sukses (lebih ke arah egoisme)

Batu lantai : Hutan yang berbatu, lantai hutan yang didominasi

bebatuan, saprop bye karui (tanahnya berbatu)

Babekayam : Suatu kebersamaan yang dilakukan oleh anggota marga

atau lintas marga dalam mewujudkan maksud dan kegiatan tertentu yang dilakukan oleh dua atau lebih anggota

Baku : Kata yang berarti saling. Baku marah (saling marah/

bertengkar). Dalam bahasa byak kata “saling” biasanya merupakan pengulangan dari kalimat awal yang ingin menekankan ada maksud “saling”, misanya: Su msor su (Su= mereka berdua, msor = bertengkar, su = saling; “mereka berdua saling bertengkar”), Ko ….. ko = kami,

Bar : Wilayah pemerintahan adat setingkat distrik/kecamatan

(Biak Timur/Bar Wamuren; Biak Barat/Bar Swandiwe; Biak Utara/Bar Napa)

Bigman (pria berwibawa); Sistem kepemimpinan yang diperoleh melalui pencapaian. Sumber kekuasaan terletak pada kemampuan individual, kekayaan material, kepandaian berdiplomasi/pidato, keberanian memimpin perang, fisik tubuh yang tinggi dan besar atau kekar, serta sifat murah hati. Etnik penganut sistem ini adalah: orang Dani, Asmat, Mee, Meibrat, Muyu. Lihat pula Kerajaan, Ondoafi, Campuran (Tipe-tipe kepemimpinan politik tradisional di Papua).

Campuran : Sistem kepemimpinan yang dihasilkan dari suatu

pencapaian (achieved) dan pewarisan (ascribed). Tipe ini terdapat pada wilayah Teluk Cenderawasih, Biak, Wandamen, Waropen, Yawa dan Maya. Lihat pula Kerajaan, Ondoafi, Bigman (Tipe-tipe kepemimpinan politik tradisional di Papua).

Deforestasi : Menurut (FAO 1990; World Bank 1990) bahwa

(25)

xxv

sementara merupakan deforestasi. Secara sederhana, deforestasi adalah istilah untuk menyebutkan perubahan tutupan suatu wilayah dari berhutan menjadi tidak berhutan, artinya dari suatu wilayah yang sebelumnya berpenutupan tajuk berupa hutan (vegetasi pohon dengan kerapatan tertentu) menjadi bukan hutan (bukan vegetasi pohon atau bahkan tidak bervegetasi).

Degradasi : Disebut juga penurunan kualitas hutan, dimaksudkan

sebagai perubahan kondisi atau mutu hutan dari hutan alam atau hutan primer menjadi hutan bekas ditebang; atau dari hutan lebat menjadi hutan jarang/rawang. Artinya, pada istilah degradasi, tutupan vegetasi tetap pohon; namun dengan kualitas yang berbeda.

Dong : Ucapan yang berarti ‘mereka’

Faiman : Kepemimpinan yang meliputi dimensi ayaisia dan

mansonanem, siap berkorban untuk kepentingan orang

banyak, dan bertindak cepat/refleks

Faknik : Hantu laut,

Fanfan : Menjamu/ memberi makan pihak perempuan/ keluarga

istri, biasanya disertai dengan ritual atau nyayian-nyanyian tertentu.

Fiaduru : Melindungi, memelihara, dan mengayomi

Frame : Disebut juga bingkai atau kerangka penyusun suatu

entitas

Kakar baryam : Meramu sagu

Karwar : Arwah orang mati

Kerajaan : Sistem kepemimpinan yang merupakan pewarisan

berdasarkan senioritas kelahiran dan klen. Biasanya seseorang dapat direkrut untuk duduk dalam sistem birokrasi ini, karena memiliki hubungan kedekatan dengan penguasa. Pembagian tugas dan kewenangan adalah jelas. Tipe ini terdapat di Raja Ampat, Semenanjung Onim, Teluk MacCluer (teluk Berau) dan Kaimana. Lihat pula Campuran, Ondoafi, Bigman (Tipe-tipe kepemimpinan politik tradisional di Papua).

Keret : kesatuan masyarakat genealogis yang didalamnya

terdapat warga dengan ikatan berdasarkan kesamaan keturunan atau kesamaan tempat tinggal, atau gabungan keluarga luas yang merasa berasal dari keturunan seorang nenek moyang (klen kecil), dan dicirikan dengan nama marga (fam) yang sama

Kitong : istilah Biak atau Papua yang berarti kami

Kobeoser/ babeoser : Lihat babekayam

Komponen bingkai : Unsur penyusun kerangka/bingkai suatu entitas (frame

components)

Korfandi : Persaingan sebagai motivasi untuk memperoleh

(26)

xxvi

Mai do fa, fai do ma : Bertukar/ saling berbalas kebaikan (meskipun orang lain tidak mau melakukan, saya tetap melakukan)

Mambowaswar : Sikap seorang pemimpin yang melihat dan tergerak oleh

belas kasihan

Mamfanai/mamfaro : Ciri kepemimpinan/ pemimpin yang mampu bahkan lihai

melihat peluang-peluang.

Mananwir : Pimpinan atau kepala dalam suatu keret, bahkan dalam

mnu. Saat ini, istilah manawir mnu juga dipakai sebagai panggilan kepada kepala kampung/mnu (wilayah setingkat desa). Pengertian manawir bisa mencakup pemimpin/tokoh keret, dan dapat juga digunakan untuk seorang kepala kampung, dimana ada beberapa keret bermukin dalam suatu wilayah kampung. Istilah mananwir mirip dengan ondoafi di disekitar Jayapura. Hanya saja, ondoafi adalah pemimpin suatu klen pada wilayah tertentu dan diangkat berdasarkan jalur keturunan (ascribed). Sementara untuk menjadi

mananwir, seseorang bisa berusaha untuk

memperolehnya (achieved) melalui karisma atau potensi-potensi kepemimpinan yang dimilikinya.

Umumnya tugas mananwir adalah pertama, sebagai

kepala dan hakim yang menangani berbagai urusan

bagi kepentingan kelompok; kedua, adalah sebagai

wakil kelompok untuk berhadapan dengan kelompok lain (mananwir-mananwir lain)

Untuk menjadi mananwir ditentukan oleh kemampuan

memperjuangkan kepentingan, rela berkorban,

berpengetahuan luas, memiliki pengalaman

berlayar/bepergian ke luar Biak.

Manarmakeri : Tokoh legendaries terkait gerakan mesianis “koreri”,

gerakan yang mengatakan bahwa suatu saat masa kebahagiaan bagi orang Biak itu akan datang, Gerakan ini memunculkan kembali aliran kepercayaan kuno orang byak (bertentangan dengan ajaran Kristiani).

Mandaman : orang Biak yang hidup diatas tanah keret lain

Manggundi : Dewa Tertinggi dalam keyakinan orang Biak, terkait

dengan mitos manarmakeri.

Mansabye : Jiwa kepemimpinan yang mempersatukan dan selalu

berusaha untuk memecahkan problematika masyarakat.

Manseren Nanggi : Tuhan penghuni langit

Mansernanem : Merupakan salah satu karakteristik kepemimpinan di

Biak, yang memiliki ciri-ciri cerdik dan mampu melihat dan menangkap peluang-peluang baru, untuk selanjutnya diterapkan di wilayah kepemimpinannya;

Mansonanem : Kepemimpinan yang memiliki jiwa besar dan berusaha

bertindak untuk memenuhi kebutuhan para anggotanya agar memperoleh paling tidak kecukupan pangan

Mansowawa : Kepemimpinan yang mampu melakukan/meniru

(27)

xxvii

Mbrur : Mbrur merupakan hutan yang masih asli dan sampai

saat ini belum dibuka untuk pembuatan kebun, kadang dianggap sebagai hutan yang keramat, bertopografi berat, dikuasai oleh keret besar. Di Biak, wilayah hutan yang belum dibuka untuk kegiatan berkebun, adalah

bagian dari kesatuan masyarakat (clan) atau

wilayah/kawasan (territory) mnu. Pada waktu lalu, banyak kesatuan masyarakat kecil/keret berburu dan membuat kebun/ladang dan mengumpulkan hasil hutan dari dalam mbrur. Walaupun akhirnya bermigrasi ke daerah sekitar pantai, atau dihalau dari wilayah mereka akibat perang, namun mereka memegang hak atas lahan tersebut. Ketika suatu keret membutuhkan lahan, maka mananwir berkonsultasi dengan mananwir keret lainnya, dan sebagian lahan mbrur dapat diberikan. Contoh Mbrur adalah wilayah hutan sarwombo di daerah Biak Utara yang dimiliki Keret Kapisa.

Maywer: : menanam tanaman /pohon di atas lahan yang pernah di

garap (bekas kebun)

Mnu : Wilayah pemerintahan adat terkecil yang terdiri atas

beberapa keret yang hidup berdampingan. Saat ini berupa kampung (setingkat desa)

Munara : Upacara peringatan disertai ritual dan lagu-lagu (wor)

tertentu. Munara diklasifikasikan dalam 2 kelompok

yaitu, munara terkait siklus hidup dan bersifat insidentil.

Siklus hidup meliputi tahap perkembangan atau pertumbuhan manusia sejak lahir, masa anak-anak, hingga dewasa, kemudian menikah, menjadi orang tua dan meninggal. Sedangkan insidentil meliputi upacara-upacara yang terkait kondisi kritis, atau keberhasilan yang dicapai dalam membuka kebun, mengatapi rumah, menjemput perahu baru.

Munsasu : Membayar kembali/menjamu kembali pihak/ keluarga

suami yang telah melaksanakan fanfan sebelumnya

Ondoafi : Sistem kepemimpinan yang merupakan pewarisan

kedudukan dan birokrasi tradisional. Wilayah kekuasaan seorang pemimpin hanya terbatas pada satu kampong dan kesatuan sosialnya terdiri atas golongan atau sub golongan etnik saja, dan pusat orientasi adalah religi. Sistem ini dapat ditemukan di bagian Timur Papua: Nimboran, Teluk Humboldt, Tabla, Yaona, Skou, Arso,

Waris. Lihat pula Kerajaan, Campuran, Bigman

(Tipe-tipe kepemimpinan politik tradisional di Papua).

Osam/ ifarmoram : Kegiatan berburu hewan, biasanya dilakukan di dalam

atau sekitar hutan

Papus : Harta terkait mas kawin dalam prosesi pernikahan

dalam adat Biak

Pas pas sus : Mas kawin yang diperuntukkan bagi orang tua dari

(28)

xxviii

Reforestasi : Penghutanan pada lahan yang sejak tanggal 31

Desember 1989 bukan merupakan hutan.

Restorasi : tindakan untuk membawa ekosistem yang telah

terdegradasi kembali menjadi semirip mungkin dengan kondisi aslinya, dengan tujuan utama restorasi adalah untuk peningkatan kualitas lahan hutan yang terdegradasi dalam hal struktur dan fungsi ekosistem. Dalam bahasan di sini mencakup restorasi fisik dan restorasi biologi.

Rum : Kelompok kekerabatan yang merupakan gabungan dari

beberapa sim (keluarga batih) yang merupakan suatu kesatuan sosial yang amat erat, dan hidup tinggal bersama pada suatu rumah tradisional atau disebut juga keluarga luas. Pada waktu lampau, ukuran rumah tradisional relatif luas/besar, dan saat ini sudah tidak terlihat lagi.

Rum Kambar : Rumah dengan dua ruangan saja, yang digunakan

untuk kamar dan ruang keluarga

Rum Som (Aberdado) : Rumah besar dengan beberapa kamar/sim untuk keluarga yang sudah menikah

Rum sram : dahulu merupakan rumah tempat anak-anak byak pada

masa akil balik dididik oleh pamannya mengenai semua

aspek kehidupan budaya byak. Di dalam rum sram

biasanya terdapat patung karwar/korwar sebagai objek

yg disembah/diagungkan.

Rum Toko : Rumah seperti rumah/toko orang Cina

Samfar : Gelang siput

Saprop : Sebidang tanah yang boleh dimanfaatkan oleh anggota

keret untuk berkebun, secara bersama-sama, dan tidak diperbolehkan menanam tanaman jangka panjang, Kepemilikan bersama suatu keret atas sebidang lahan.

Sarak : Gelang perak, biasanya berpasangan dengan

benbepon = piring antik cina

Sim : Keluarga batih/inti, kamar. sim yedi = kamar tidur ku

Sup bebe wursba : Tempat tak berpenghuni/ dikeramatkan

Sup fyor : Wilayah yang terdiri atas beberapa mnu, dan menjadi

bagian bar atau distrik (setingkat Kecamatan)

Sup Meos Aibui : Tempat berkumpulnya orang mati, alam arwah yang

diyakini oleh masyarakat Biak, dahulu tempatnya adalah pulau Supiori (Kabupaten Supiori) bagi semua orang byak yg meninggal dimanapun, diyakini arwahnya akan berkumpul di pulau supiori.

Suprimanggun : Orang Byak asli pemilik tanah

Syowi : Mengasihi, misalnya memberikan tanah untuk dikelola

(29)

xxix

bena yaswar au kaku (karena kebaikan yang kau lakukan selama ini membuat aku sangat mengasihimu /merindukan)

Tra : Tidak (prokem), orob/oroba = tidak

Wadwa : Pelayaran jauh untuk berdagang

Waidonso : Perahu pada jaman dahulu yang bentuknya bulat

Waimansusu : Perahu yang bentuk depan dan belakang sama

(tajam/runcing), dahulu digunakan untuk berperang, kalau kalah perang maka pendayung perahu waimansusu, hanya membalik badan dan mendayung.

Wor : Nyanyian-nyanyian/ pengucapan-pengucapan pada

(30)
(31)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Saat ini, deforestasi merupakan isu global, dan telah menjadi pokok perhatian pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia. Berdasarkan publikasi Departemen Kehutanan RI tentang sebaran deforestasi per tahun di dalam kawasan hutan selama periode tahun 2003 – 2006, tingkat deforestasi terbesar terjadi di Pulau Sumatera, yaitu sebesar 268 ribu hektar per tahun atau 22,8 % dari total angka deforestasi rata-rata di Indonesia. Pulau Kalimantan berada di urutan kedua pada angka 239 ribu hektar per tahun (20,4 %) dan disusul Pulau Sulawesi pada angka 114,7 ribu hektar per tahun (9,8 %). Angka deforestasi terkecil berada pada Pulau Jawa, yaitu sebesar 2,5 ribu hektar per tahun atau 0,2 %. Sementara itu, pulau-pulau lainnya di Indonesia memiliki angka deforestasi per tahun yang kurang dari 10 %. Kecepatan deforestasi rata-rata di Indonesia diketahui sebesar 1,17 juta ha/th (Dephut, 2008).

Deforestasi merupakan salah satu penyebab: musnahnya spesies tertentu di alam, meningkatnya emisi karbon, serta berkontribusi pada perubahan iklim skala lokal bahkan regional. Deforestasi dapat pula mengubah bentang lahan, dimana pada akhirnya akan berkontribusi pada degradasi habitat, serta mempengaruhi kondisi ekologi dari formasi hutan yang tersisa, serta

berkonsekuensi pada kerentanan spesies, energi dan materi (Gasparri & Grau,

2009; Darusman & Widada, 2004). Suharjito (2012a) mengemukakan bahwa, saat ini deforestasi telah mencapai kondisi yang sangat memprihatinkan dan kenyataan ini telah disaksikan, dirasakan, dan diakui oleh masyarakat lokal, lembaga swadaya masyarakat, kalangan akademis, dunia bisnis, pemerintah pusat dan daerah, maupun masyarakat internasional.

(32)

Paling tidak ada 8 (delapan) masalah signifikan yang dapat dikaitkan dengan isu utama degradasi dan deforestasi hutan. Masalah tersebut antara lain: (i) Kurangnya akses informasi secara kualitatif, kuantitatif dan bagaimana informasi tersebut disampaikan; (ii) Rendahnya pengetahuan dan keterampilan yang selanjutnya membatasi kapabilitas aktor untuk memproses informasi dalam rangka pengambilan keputusan; (iii) Lemahnya aspek kewirausahaan akibat sejarah panjang imperialisme, kolonialisme dan feodalisme; (iv) Kurangnya peluang/ kesempatan rakyat dan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan hutan dan bisnis kehutanan, akibat tatanan institusi dan ideologis, yang tidak mengakui peran masyarakat lokal dan kearifan lokal dalam manajemen kehutanan. Masalah terkait kepemilikan lahan, reformasi agraria, dan implementasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) menjadi tantangan utama, sehingga manajemen hutan kolaboratif menjadi krusial; (v) Pasar hasil hutan yang tidak sempurna dan monopsonistik; (vi) Pengiklanan yang sangat intensif di konsumen luar negeri, sementara bisnis kehutanan berbeda dengan bisnis lainnya, dimana ada pembatas (jatah tebangan tahunan) untuk kelestarian hutan masa depan; (vii) Maraknya pembalakan liar. Penelitian atas masalah pembalakan liar sungguh menantang, khususnya terkait aspek hukum (regulasi dan penegakan), ekonomi, dan institusi; serta (viii) Rendahnya angka

dan kemajuan penanaman atau rehabilitasi hutan (Darusman et al. 2009;

Darusman 2012).

Dalam beberapa kasus, deforestasi berhubungan dengan fenomena ekonomi internasional, seperti strategi ekonomi makro yang memberikan insentif bagi keuntungan jangka pendek dari pada kelestarian jangka panjang. Hal lain yang juga penting adalah struktur sosial yang mengakar, yang ditunjukkan atas ketimpangan kepemilikan lahan, diskriminasi atas masyarakat asli lokal, petani subsisten dan masyarakat miskin. Pada kasus yang lain, deforestasi bahkan meliputi faktor politik seperti: kurangnya kebebasan berpartisipasi, pengaruh militer dan eksploitasi wilayah pedesaan. Konsumsi berlebih juga merupakan penyebab, sementara di beberapa wilayah, industrialisasi yang tak terkontrol juga telah mengakibatkan hujan asam yang mendorong terjadinya deforestasi. Penyebab deforestasi banyak dan bervariasi, dan tidak mungkin untuk mengatasi

semua masalah tersebut dengan satu formula.1 Penelitian Hosonuma et al.

(2012), yang menggunakan data dari 46 negara menyimpulkan bahwa penyebab

(33)

deforestasi memiliki kemiripan di kawasan Afrika and Asia, sedangkan penyebab degradasi memiliki kemiripan di kawasan Amerika Latin dan Asia. Pertanian komersial adalah penyebab penting deforestasi, yang kemudian diikuti oleh pertanian subsisten, sementara penebangan hutan menyebabkan degradasi karena diikuti dengan pemanfaatan kayu, terjadinya kebakaran, dan penggembalaan ternak.

Sehubungan hal-hal di atas, dan sebagaimana pula dijelaskan oleh Chandrasekharan (2005), maka dapat dikemukakan akar-akar masalah pengelolaan hutan terkait deforestasi. Akar masalah tersebut diuraikan menjadi: rendahnya kesadaran akan pentingnya hutan, kelemahan kebijakan dan prioritasnya, maraknya praktek korupsi, adanya distorsi akuntansi, konflik kepemilikan lahan, visi pemangku kepentingan yang sempit akan pengelolaan hutan, belum optimalnya partisipasi masyarakat dan pemangku kepentingan, institusi tata kelola yang belum dioptimalkan, serta konflik peran dan kepentingan pemerintah atas barang dan jasa hutan.

Walaupun demikian terdapat fenomena menarik lainnya. Pada beberapa wilayah, gerakan-gerakan ke arah menghambat deforestasi (gerakan

reforestasi)2, telah berlangsung dan tidak disangsikan lagi. Hal ini dibuktikan

melalui upaya nyata penanaman pohon hutan yang ditandai dengan meningkatnya penutupan hutan. Le (2011) menyatakan bahwa sukses reforestasi didorong oleh faktor: (i) teknis/biofisik, (ii) sosial-ekonomi, (iii) institusi, kebijakan dan manajemen,; serta memiliki karakter khusus seperti: tujuan, pelaku, lokasi/akses, luasan, sponsor dana, masa proyek, dilaksanakan di atas lahan publik atau milik. Le kemudian membangun indikator suksesnya reforestasi dari: (i) tingkat hidup tanaman/pohon, dan (ii) luas areal penanaman disbanding target luasan penanaman. Rudel (2009) mengatakan bahwa ahli-ahli sosial dan ekonomi telah menawarkan beberapa penjelasan menyangkut meluasnya penanaman/ pembangunan hutan. Ahli ekonomi menteorikan bahwa perkembangan penanaman hutan saat ini -dalam semua bentuk-, dipengaruhi oleh kelangkaan hasil hutan kayu di dunia. Salah satu pemahaman yang

2(Indonesia - 2002) The establishment by humans of forest cover on land that was formerly forested. http://www.globalforestwatch.org/common/indonesia/sof.indonesia.english.low.pdf atau (UNFCCC 2001) “Reforestation” is the direct human-induced conversion of non-forested land to forested land through planting, seeding and/or the human-induced promotion of natural seed sources, on land that was forested but that has been converted to non-forested land. For the first commitment period, reforestation activities will be limited to reforestation occurring on those lands that did not contain forest on 31 December 1989;

(34)

mendukung fenomena ini ialah forest transition theory/FTT3 (Rudel et al. 2010). Demikian juga, terdapat pula pernyataan yang menerangkan bahwa perluasan

hutan terjadi akibat adanya keputusan politis atau aksi/kebijakan pemerintah4;

dan variasi hubungan manusia dan lingkungannya (human ecology theory)5 di

wilayah pedesaan.

Dinamika di ranah lokal –bahkan global- perlu mendapat perhatian, khususnya dalam hal-hal yang terkait dengan pelaksanaan kegiatan-kegiatan reforestasi. Dengan demikian, eksistensi institusi masyarakat lokal dalam memelihara perikehidupan bahkan mengelola alam lingkungannya, penting untuk dipahami. Keberlangsungan institusi lokal tidak terlepas dari aksi kolektif pada masyarakat itu sendiri untuk menghargai dan mempertahankan institusi yang

telah ada dengan segala dinamikanya. Collective Action (CA) atau aksi kolektif,

telah dianggap penting untuk menjadi perhatian dalam memahami bagaimana terwujud bahkan suksesnya pengelolaan hutan atau reforestasi pada skala lokal (Ostrom, 1990).

Beberapa hasil penelitian mengenai aksi kolektif dalam mengelola sumber daya hutan menerangkan bahwa: kelangkaan merupakan kondisi prasyarat untuk menciptakan kelembagaan yang berhasil dalam mengelola hutan lokal; bahwa kebijakan negara, pergerakan penduduk, teknologi, dan pasar, juga merupakan faktor penting, dan menentukan pula aksi kolektif di tingkat lokal, sepanjang beriringan dengan ciri-ciri komunitas lokal, institusi, dan sumber daya (Gautam dan Shivokati, 2005). Dalam kajian pada level DAS di Thailand Utara, ditemukan bahwa aksi kolektif sepertinya lebih sukses dalam DAS yang: lebih kecil dan dekat dengan pemukiman masyarakat, memiliki batas demarkasi yang jelas, dan

3 FTT menggambarkan bahwa faktor geografi, sosiologi dan ekonomi sebagai faktor penjelas fenomena reforestasi. Oleh karena urbanisasi dan globalisasi pasar produk hutan, konsentrasi orang dalam kota telah meningkatkan pendapatan mereka sekaligus pembelanjaan atas produk kayu, sehingga pasar produk kayu/ hasil hutan meningkat. Urbanisasi mengakibatkan tenaga kerja pertanian berkurang. Sebagai respon atas penurunan buruh pertanian di desa dan kelangkaan produk hasil hutan kayu, maka petani memanfaatkan lahan produktif bahkan pada lahan dengan kemiringan tertentu untuk menanam pohon. FTT setidaknya memiliki beberapa kesamaan dengan fenomena kebangkitan hutan rakyat di daerah Jawa.

4 Pemerintah, dengan menggunakan fakta dan penjelasan bahwa “hutan penting bagi kehidupan manusia dan sebagai pengendali banjir dan erosi”, maka kemudian mendorong semua

komponen bertindak untuk menghijaukan hutan atau lahan kritis di suatu wilayah DAS, bahkan politisipun, telah terlibat untuk melaksanakan program peningkatan penutupan hutan.

Pemerintah Cina telah melaksanakan upaya penanaman dalam skala yang masiv setelah banjir Sungai Yangtze

(35)

tingkat partisipasi individu yang tinggi dalam pembuatan keputusan (Wittapayak dan Dearden, 1999 dalam Gautam dan Shivokati, 2005). Sementara Darusman (2002:428) menegaskan bahwa, ketika berbicara mengenai masyarakat dan hutan, penting untuk mempertimbangkan aspek: sebidang hutan, keinginan hidup sejahtera, aman dan tentram, serta menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Suharjito (2002a:282) dalam penelitiannya mengungkapkan dan menegaskan bahwa pengelolaan hutan yang mengutamakan fungsi ekologis membutuhkan skala pengelolaan yang relatif luas dan aksi kolektif yang kuat. Apabila aksi kolektif dapat diwujudkan, maka meskipun skala (unit) penguasaan hutan kecil, namun rumah tangga dapat tetap menjaga fungsi ekologis.

Usaha mengatasi dan menghambat deforestasi di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia, telah dijalankan secara otonomi dari dalam kelompok masyarakat tertentu untuk mengelola dan menjaga hutan dan sumber daya alam disekitarnya, bahkan juga melalui gerakan-gerakan seperti: program-program reforestasi pemerintah. Di Indonesia, gerakan-gerakan ini lebih dikenal sebagai: Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL); OMOT (One Man One Tree), atau OBIT (One Billion Indonesian Trees).

Aksi kolektif yang kuat yang berdampak pada pengelolaan hutan, penting untuk ditelaah. Pengelolaan hutan juga mencakup upaya untuk melakukan penanaman kembali pada kawasan hutan tertentu. Aksi kolektif yang menggerakkan kegiatan reforestasi khususnya di masyarakat adat, sampai saat ini menjadi obyek kajian menarik. Di sisi yang lain, belum banyak riset yang dilakukan, terkait aksi kolektif masyarakat adat dalam reforestasi khususnya di

Papua, dan juga, fakta menunjukkan bahwa masyarakat adat6 telah menjadi

pusat perhatian penting pemerintah dan pemangku kepetingan lainnya. Terdapat keyakinan bahwa, masyarakat adat mampu untuk menjaga dan mengelola hutan di sekitarnya.

Beberapa riset yang dilakukan terkait aksi kolektif, diantaranya yang dilakukan Gopalakrishnan (2005) melalui studi literatur, menemukan

6 Masyarakat adat adalah bagian tak terpisahkan dari bangsa dan negara Indonesia, yang berhak untuk hidup sejahtera dan bebas dari kemiskinan serta tantangan ekonomi, sosial, maupun politik. Kita perlu menjawab permasalahan masyarakat adat karena mereka penting bagi penyelesaian berbagai isu kritis di negara ini: good governance; pencegahan dan penyelesaian konflik; perlindungan hak asasi manusia; perlindungan lingkungan; mitigasi perubahan iklim; serta pembangunan yang inklusif. (keynote speech –Kuntoro Mangkusubroto). “Regional Workshop on Masyarakat Adat Issues” by UNDP APRC – ILO – UNIPP Hotel Borobudur, Jakarta, 19 November 2012

(36)

pendekatan alternatif guna memahami aksi kolektif. Dengan pendekatan teori pilihan rasional, deprivasi relatif, identitas sosial, rasionalitas komunikasi, preferensi heterogen dan emosi, disimpulkan bahwa pendekatan berbasis insentif belum memadai dalam menjelaskan fenomena aksi kolektif, sehingga diperlukan teori-teori lainnya.

Pendekatan ekologi politik dan teori common pool resources (CPR) telah digunakan Shrestha (2006) untuk mengungkapkan makna yang melekat/tertanam dalam aksi kolektif pada suatu institusi hutan kemasyarakatan. Riset ini menyimpukan bahwa: penting untuk mengesampingkan “perangkap” standar dan formalisasi dari prinsip demokrasi; serta diperlukan transformasi nilai birokratik dan ideologi.

Badenoch (2006) telah melakukan riset di bagian utara Thailand, untuk menemukan penjelasan atas jaringan sosial dalam tatakelola sumberdaya oleh masyarakat dalam DAS tertentu. Temuannya antara lain adalah: Tekanan formal dan informal senantiasa mempengaruhi jaringan sosial; konfik hulu hilir dalam DAS, tidak dapat diatasi tanpa mempertimbangkan dinamika koordinasi dan kompetisi antar parapihak/aktor. Selain itu, jejaring berperan dalam pengembangan institusi lokal untuk tatakelola; dan tatakelola lokal ditentukan juga oleh leadership, namun sumberdaya -tidak hanya uang, namun keahlian dan visi-, patut diperhitungkan. Pendekatan yang digunakan ialah teori jaringan sosial, tatakelola sumberdaya, dan ruang sosial.

Untuk memahami aksi kolektif, manajemen dan dampaknya dalam suatu inovasi teknologi, Limnirankul (2007) menggunakan pendekatan teori budaya, modal sosial, dan orientasi aktor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aksi kolektif bergantung pada keadaan sosial dan material setempat/ lokal; Pengembangan teknologi dan inovasi bergantung pada hubungan sosial dan kapasitas merelasikan bentuk-bentuk aksi kolektif yang ada; serta insentif berpengaruh pada partisipasi. Pada akhirnya, pengembangan teknologi secara partisipatif merupakan hal yang penting.

(37)

pengelolaan grup secara mandiri dapat dilakukan melalui institusi dengan mediasi biaya dan manfaat.

Penelitian Nandigama (2009) yang dilakukan di India berusaha untuk menemukan penjelasan tentang realita kelompok masyarakat terkait pengelolaan perhutanan sosial, dengan menggunakan pendekatan ekologi politik, orientasi aktor, dan teori jejaring-aktor (ANT). Disimpulkan bahwa: relasi kuasa sepertinya tidak menghasilkan keadilan berpartisipasi. Partisipasi dinilai otentik di ranah kegiatan formal. Relasi sosial, interaksi dan negosiasi aktor justru terlihat dalam ruang informal dan jejaring yang ada. Pendefinisian akses dan kontrol atas sumber daya cenderung untuk diatur melalui institusi formal. Justru tatanan institusi ‘informal’ memegang kunci dalam memahami perangkap dalam memfungsikan ruang partisipasi secara ‘formal’.

Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut (ringkasan simpulan hasil penelitian dimaksud dapat dilihat pada Tabel 1), dirasakan penting untuk mengisi informasi baru tentang aksi kolektif terkait reforestasi yang terjadi pada masyarakat adat. Aksi kolektif telah menjadi perhatian penting dalam kajian-kajian sebelumnya, sementara reforestasi merupakan konsep yang menarik untuk dijelaskan sehubungan dengan aksi kolektif, apalagi bila terjadi di wilayah-wilayah adat masyarakat. Disamping pendekatan rasionalistis, nampak pula bahwa aspek sosial dan psikologi penting untuk mendapatkan perhatian dalam studi-studi aksi kolektif. Studi literatur ini, juga memastikan bahwa penelitian AK yang terkait reforestasi dengan kerangka yang digunakan, belum pernah dilakukan sampai saat ini, khususnya pada wilayah adat di Papua.

(38)
(39)

Tabel 1. Posisi penelitian, dalam konteks AK untuk gerakan sosial dan pengelolaan sumber daya hutan:

Penerbit Michigan State University The University of Sydney Kyoto University Wageningen University Indiana University Erasmus University Rotterdam IPB

Penulis Sathya Gopalakrishnan Krishna Kumar Shrestha Nathan Augustus

Badenoch Budsara Limnirankul Ashok Raj Regmi Sailaja Nandigama Henry S. Innah

Tahun 2005 2006 2006 2007 2007 2009 2012

Klasifikasi Thesis Disertasi Disertasi Disertasi Disertasi Disertasi Disertasi

Judul Collective action in the management of

Kelompok Realitas mikro anggota masyarakat (Adavipali) dalam CFM. Relasi

TEORITIS Teori pilihan rasional, deprivasi relatif, identitas sosial, rasionalitas komunikasi, preferensi heterogen, emosi

Ekologi politik dan CPR Jaringan sosial, tatakelola sumberdaya alam, ruang sosial

Teori budaya, modal

sosial, orientasi aktor CPR Pos-strukturalist; Eklogi politik, orientasi aktor, ANT

Aksi kolektif dalam perspektif sosio-psikologis

PARADIGMA

METODOLOGI Positivistik (Studi Literatur) PostPositivistik PostPositivistik Kritis Positivistik Konstruktivis Konstruktivis

(40)
(41)

1.2. Perumusan Masalah

Reforestasi merupakan kegiatan penanaman tanaman jangka panjang/ pohon pada suatu areal bukan hutan, namun paling tidak, 50 tahun yang lalu merupakan hutan. Reforestasi juga dapat dimaknai sebagai kegiatan menumbuhkan tanaman kehutanan di lahan masyarakat adat. Reforestasi merupakan wujud dari aksi kolektif. Aksi kolektif (selanjutnya disingkat AK) dapat merupakan aksi sukarela yang dilakukan suatu kelompok atau lebih dari satu orang untuk mencapai dan mewujudkan kepentingan bersama. AK dapat terjadi dalam aksi-aksi pergerakan sosial hingga gerakan mengelola hutan dan lingkungan. Apabila reforestasi merupakan efek dari AK, maka persoalan yang perlu dipecahkan dalam penelitian ini adalah: bagaimanakah pola AK yang terwujud dan bagaimana kaitannya dengan reforestasi yang terjadi.

Riset ini dilakukan pada wilayah yang telah diklaim memiliki tingkat biodiversitas tinggi; memiliki beragam tipe sosial budaya masyarakatnya, serta

masyarakatnya telah terbukti mampu untuk mewujudkan reforestasi7. Fenomena

reforestasi tergambar dari aktivitas masyarakat lokal di Biak - Papua yang melakukan kegiatan penanaman jenis-jenis tanaman jangka panjang di atas lahannya, bahkan saat ini telah merubah struktur vegetasi setempat dan

membentuk iklim mikro tertentu8 (lihat pula Van Noordwijk et al., 2004).

Berdasarkan permasalahan penelitian inilah, maka muncullah pertanyaan utama

penelitian yaitu bagaimanakah AK dapat terbentuk, pola AK yang telah

mendorong berlangsungnya reforestasi di lahan masyarakat adat, dan bagaimanakah dinamika jejaring aktornya?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan persoalan penelitian, maka penelitian ini menjadi penting,

karena dibangun serta dilaksanakan dengan tujuan untuk memahami dan

menjelaskan hubungan AK dan reforestasi9 di lahan masyarakat adat Papua.

Riset ini memiliki beberapa tujuan khusus sebagai berikut:

- Menjelaskan proses terbangunnya AK dan tipologi AK pada masyarakat adat - Menjelaskan hubungan AK dan reforestasi di lahan masyarakat adat

7 Biak adalah salah satu wilayah di Papua yang telah berhasil melakukan reforestasi , dan mendapat penghargaan dari Pemerintah

8 Wawancara dengan Enos Rumansara

(42)

Kajian ini diyakini bermanfaat dalam memberikan kontribusi atau pengayaan secara teoritis dan aplikatif dalam pelaksanaan reforestasi saat ini dan masa datang. Dari perspektif teori, kajian ini bermanfaat karena mampu memberikan kontribusi teoritik atas fenomena proses AK yang dianalisis pada daerah yang diklaim sebagai wilayah yang kaya sumber daya alam dan budaya, serta memiliki otoritas pengelolaan SDA di bawah naungan Undang-undang Otonomi Khusus. Disamping itu, dari sisi praktis, penelitian ini bermanfaat untuk

memberikan bahan arahan/ rekomendasi penting bagi decision maker/ pelaku

pembangunan kehutanan, khususnya Kementerian Kehutanan dan Pemerintah Daerah di Papua dalam merancang pengelolaan Sumber Daya Hutan masa datang yang mengakomodasi kepentingan sosial-politik, ekonomi, dan tentunya lingkungan secara proporsional dan berkelanjutan.

1.4. Kebaharuan

Penelitian ini memberikan sumbangan teoritis pada ranah teori aksi kolektif, khususnya ketika mendalami fenomena proses AK di masyarakat adat Papua. Teori yang kemudian digunakan untuk menjelaskan fenomena yang terjadi dari lapangan adalah Teori Frame Gamson. Peneliti menyadari bahwa tantangan berat yang dihadapi dalam penelitian ini antara lain: sulitnya mengungkap sejarah masa lampau dengan sedetil-detilnya, serta bagaimana mengupas tuntas aspek politik (intervensi sipil dan militer) dan diskursus yang terjadi pada tahun-tahun belakangan ini, ketika dikaitkan dengan fenomena reforestasi yang terjadi. Namun demikian, berdasarkan pendekatan yang digunakan, serta peneliti sebagai instrumen utama, maka dapat dikatakan bahwa keunggulan penelitian ini adalah karena:

- Dilakukan oleh peneliti yang belum banyak berinteraksi/ tinggal dalam kurun waktu lama dengan masyarakat di wilayah Biak. Dalam beberapa hal, justru merupakan kekuatan peneliti.

(43)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Pada bagian ini, akan dikemukakan beragam konsep tentang AK dan kaitannya dengan pengelolaan sumber daya alam, bagaimana struktur kepemilikan lahan di Biak-Papua, dan perkembangan reforestasi di Indonesia.

2.1. Studi sosiologi AK berbasis jaringan dan identitas

AK secara sederhana berarti upaya dan aksi untuk mencapai suatu tujuan, atau beberapa tujuan oleh lebih dari satu orang. Konsep ini telah banyak

diformulasikan dan diteorikan dalam berbagai bidang ilmu sosial10, termasuk

dalam bidang pengelolaan sumber daya alam.

The phrase ‘collective action’ is ambiguous. It may refer to little more than a situation in which several people independently perform a particular action. Or it may refer to a situation in which people act within what has come to be known as a ‘collective action problem,’ where the ‘payoff’ to each depends on what is done by the others. On the construal on which I focus here, collective action occurs if and only if, as it would be put in the vernacular, two or more people are doing something together (Gilbert 2010:67)

Selanjutnya, AK dikatakan terjadi apabila terdapat dua orang atau lebih yang melakukan sesuatu secara bersama. Aktivitas yang dilakukan bersama

dapat berlangsung akibat niat dari satu pihak (personal intention), niat dari

beberapa pihak (we intention), atau komitmen bersama (joint commitment) dari

beberapa pihak (Gilbert, 2010).

Weller dan Quarantelii pada tahun 1973 telah mengemukakan bahwa AK juga dapat dipandang sebagai bagian dari aksi politik, yang tidak dapat dilihat secara terpisah (Zald, 1992). Dalam bidang sosiologi, konsep AK dapat merupakan bagian dari suatu aktivitas dalam gerakan sosial (social movements11).

A social movement is a: specific social dynamic. … It consists in a process whereby several different actors, be they individuals, informal groups and/or organizations, come to elaborate, through either joint action and/or communication, a shared definition of themselves as being part of the same side in a social conflict. By doing so, they provide meaning to otherwise unconnected protest events or symbolic antagonistic practices, and make explicit the emergence of specific conflicts and issues … This dynamic is reflected in the definition of social movements as consisting in networks of informal interaction between a plurality of individuals, groups and/or organizations, engaged in a political and/or cultural conflict, on the basis of a shared collective identity. (Diani, 1992: 2,3 yang dirujuk Nash, 2010: 119)

10 http://en.wikipedia.org/wiki/Collective_action accessed 12 April 2010

(44)

AK merupakan salah satu cara dimana berbagai aktor, apakah individu atau organisasi formal dan non formal secara bersama-sama mendefinisikan diri mereka atas suatu konflik sosial yang terjadi. AK dapat muncul akibat konflik politik atau konflik budaya yang terjadi, dimana berbagai pihak memahami dan mengemukakan identitas sosial yang sama.

Nash (2010: 119-123) mengacu pada konsep Mario Diani dan mengelaborasi konsep Social Movements sebagai: (1) jaringan dari suatu interaksi yang bersifat informal atau tidak terstruktur dari individu, kelompok dan

organisasi; sehingga interaksi informal menjadi penting pula; (2) Ada sharing

keyakinan dan solidaritas di antara jejaring yang terbangun; (3) Aktor-aktor melalui aksi kolektif terlibat dalam konflik politik dan/atau budaya, dalam rangka menantang atau mendukung perubahan sosial dalam level sistemik atau non-sistemik; (4) sesuatu yang tidak selalu mirip dengan tindakan/aksi kolektif, karena SM bukan sebagai suatu organisasi yang sederhana, bersifat informal dan non hirarki, dan network/jejaring antara aktor kadangkala berperan.

Gambar 1. Arah sosial movement12

Sementara itu, Rodríguez-Giralt (2010) mendefinisikan AK sebagaimana berikut:

“…to what is continuing and heterogeneous, to forms and actions of protest that are relatively organized and planned and which move from being the protest of a particular social group to forms of large-scale or mass mobilization“ Konsep AK yang digunakan Rodríguez-Giralt (2010) meliputi suatu fenomena aksi yang berlanjut, heterogen yang terkait protes suatu kelompok yang berujung

(45)

pada mobilisasi massa. Konsep AK yang dikemukakan Nash (2010) dan Rodríguez-Giralt (2010) yang dipadukan dengan Gilbert (2010) dan Burstein (2009b), banyak memberi penguatan pada konsep AK yang digunakan dalam riset ini.

2.2. Unsur-unsur AK

Fransisco (2010) menguraikan bahwa berlangsungnya mobilisasi untuk suatu aksi kolektif -misalnya dalam aktivitas protes dan demonstrasi-, berhubungan dengan unsur:

Kepemimpinan dan Mobilisasi

Faktor kepemimpinan sangat menentukan berlangsungnya gerakan. Umumnya, pemimpin adalah seorang yang lebih berpendidikan dari anggota kelompok yang lain. Ketika seorang pemimpin jatuh, maka dengan segera akan muncul pemimpin baru yang menerima tanggung jawab untuk memimpin kelompok. Namun demikian, tipe mobilisasi itu sendiri dapat berupa: (a) mobilisasi di bawah kondisi represif (clandestine mobilization); (b) mobilisasi massa di bawah kondisi demokratis; (c) mobilisasi yang dirangsang oleh pemimpin, namun membahayakan anggota karena persoalan asymetric-information; (d) mobilisasi yang terjadi secara serta merta/otomatis (coordination power) ; (e) proses pergantian kepemimpinan karena hilang, tertangkap, atau dibunuh; (f) persaingan para pemimpin; (g) akibat kekerasan tertentu; (h) kasus

khusus dalam perang sipil melalui coevolution; (i) penyimpangan/ pergolakan

pekerja yang juga diakibatkan oleh insentif. Adaptasi taktis dan protes simbolik

Adaptasi taktis umumnya lebih penting dalam rejim autokratik dan represif, dimana tidak banyak kebebasan untuk beraksi. Protes simbolik memperlihatkan bahwa bagaimana barang publik memungkinkan sebagai sesuatu yang potensial untuk diperoleh. Suatu protes bisa menyebar luas, namun bergantung pada aturan diktator yang sementara berkuasa/memerintah.

(46)

Dimensi ruang dan waktu

Konsep ini yang sering ditemui pada demontrasi dan aksi damai yang dilakukan di Bundaran Hotel Indonesia (untuk kasus Indonesia). Penentuan tempat untuk berhimpun menjadi penting, oleh karena ruang untuk berdemonstrasi harus memadai dalam menampung seluruh peserta demo. Di lain sisi, waktu pelaksanaan demontrasi/aksi demo biasanya dilakukan pada hari-hari tertentu. Itulah sebabnya, hari-hari libur keagamaan cukup berpengaruh pada pergerakan massa untuk berdemonstrasi. Warga yang merayakan dan menikmati hari libur keagamaannya, cenderung tidak bersedia untuk terlibat dalam aksi politis pada hari tersebut.

Aksi teror

Walaupun dipandang sebagai tema yang ganjil dari AK, namun (a) teroris harus memobilisasi dan (2) harus memiliki barang publik. Umumnya teror diorganisir dalam bentuk sel-sel dalam rangka melawan pemerintah. Dalam mobilisasinya, kelompok teror memiliki beberapa kebutuhan antara lain: (1) pendapatan untuk melakukan penyerangan; (2) kapasitas untuk mengganti penyerang yang mati (karena bunuh diri atau di tangkap penguasa); (3) persembunyian yang aman dari pengejaran; (4) pemimpin kharismatik.

Beberapa pendapat lain sejalan dengan fenomena gerakan sosial, menambahkan bahwa AK dipengaruhi faktor-faktor spesifik yaitu:

Masa kritis

AK yang terjadi bergantung pada suatu ‘masa kritis’ yang disikapi secara berbeda oleh anggota kelompok. Seringkali masa kritis menyediakan level yang sama dari suatu barang untuk pihak lain yang tidak mengerjakan apa-apa, sementara pada waktu yang lain, masa krisis menyebabkan biaya awal dan mempengaruhi AK (Oliver et al., 1985).

Sepadan dengan pernyataan di atas, maka: setelah terjadi bencana Tsunami tahun 2004 di Aceh, berbagai kelompok masyarakat dan berbagai Negara bersama-sama berpartisipasi untuk terlibat dalam penyelamatan korban Aceh dan rekonstruksi Aceh; demikian juga di Nias dan beberapa wilayah lain yang mengalami bencana alam seperti longsor, gempa bumi, dan badan taufan.

Ukuran dan heterogenitas kelompok.

(47)

dari ukuran kelompok, faktanya, bergantung pada biaya. Jika biaya dari barang kolektif meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah kontributor, maka ukuran kelompok yang lebih besar tidaklah berpengaruh. Jika biaya bervariasi sedikit dengan ukuran kelompok, maka kelompok yang lebih besar semestinya menunjukkan AK, lebih dari pada kelompok yang kecil, oleh karena kelompok yang lebih besar memiliki lebih banyak sumber daya dan berpotensi apalagi terhadap masa krisis. Hal ini disebabkan oleh adanya aktor yang berkepentingan serta memiliki sumberdaya yang memadai.

Efek positif dari ukuran kelompok meningkat bersama heterogenitas kelompok dan ikatan sosial yang tidak acak. Secara paradox, ketika kelompok heterogen, beberapa kontributor diperlukan untuk memberikan suatu barang pada kelompok yang lebih besar, sehingga akan mengakibatkan AK menjadi kurang kompleks dan berbiaya rendah (Oliver et al., 1988).

Heterogenitas kelompok dan tipe AK untuk memproduksi barang publik, memiliki dinamika masing-masing, dan dapat ditinjau dari aspek: biaya berkontribusi, nilai barang publik tersebut, dan rata-rata sumber daya yang digunakan untuk memproduksi barang publik dimaksud (Heckathorn 1993; lihat Gambar 2).

(48)

Keluhan atau pesimisme

Partisipasi seseorang dalam aktivitas tertentu diakibatkan oleh pesimisme, karena menganggap bahwa pihak lain cenderung tidak akan berpartisipasi dalam suatu aksi/gerakan (Oliver, 1984). Sementara itu, Opp (1988) menegaskan bahwa keluhan-keluhan masyarakat atas persoalan yang terjadi di masyarakat telah menyebabkan/ mendorong terjadinya pergerakan sosial, dan pemrotes/ demontrans umumnya menggunakan aksi-aksi yang mereka pertimbangkan sebagai aksi yang paling efektif untuk mencapai tujuan dari pergerakan.

Pilihan rasional dan normatif

Persoalan mendasar dalam terminologi teori pilihan rasional khususnya menyangkut aksi-aksi kolektif yang bersifat melawan/ menentang, ialah “mengapa sebagian masyarakat dapat berpartisipasi dalam kondisi tertentu, semenjak mereka tidak memperoleh apa-apa (dimana mereka akan menerima manfaat dari suksesnya perlawanan khususnya dalam kaitannya dengan barang publik), bahkan justru mengalami kerugian (perilaku perlawanan sepertinya berbiaya lebih tinggi)?”. Dan hipotesis ini dibuktikan. Boleh jadi, bukan hanya perhitungan-perhitungan rasional, namun ada pendorong lain yang mengakibatkan warga dapat berpartisipasi dalam aksi-aksi kolektif yang bersifat menantang/ melawan (Muller and Opp, 1986; Klosko et al., 1987). Bahkan dalam aksi kolektif, selain pilihan rasional bersama, pengaruh individu tertentu (baca: tokoh kharismatik atau tokoh panutan bahkan tokoh yang kejam dan sadis) dapat mendorong berlangsungnya aksi (Finkell et al., 1989).

Proses mobilisasi aksi kolektif

Dalam kaitan dengan proses mobilisasi, Klandermans dan Oegema (1987) mengemukakan 4 (empat) aspek dalam mobilisasi yaitu: formasi potensi mobilisasi; pembentukan dan aktivasi jaringan; memotivasi untuk partisipasi; dan menghalau penghalang-penghalang partisipasi. Selanjutnya, 4 tahap kearah partisipasi dalam pergerakan sosial dikelompokkan ke dalam: menjadi bahagian dari potensi mobilisasi, menjadi target dari percobaan mobilisasi, termotivasi untuk perpartisipasi, dan mengatasi penghalang untuk berpartisipasi.

(49)

dengan pergerakan, bukan merupakan target inti, tidak termotivasi, dan terdapat kendala yang menghalangi seseorang berpartispasi.

Dalam kasus proses mobilisasi penduduk ke luar areal yang terkontaminasi

radioaktif suatu reaktor nuklir di Amerika, ternyata free riders (orang yang tidak

mau terlibat/ menerima manfaat tanpa berkontribusi) meluas dan menjadi kompleks karena beberapa hal seperti: solidaritas, ideologi, keluhan-keluhan (Walsh dan Warland, 1983). Kemerosotan tingkat simpati dari non partisipan sehingga seseorang tidak berpartisipasi, disebabkan oleh pengaturan kesiapsiagaan aksi pada awal kampanye, penurunan kesiapsiagaan selama kampanye, dan lingkungan sosial yang kurang dan menjadi kurang mendukung. Sedangkan yang membuat non partisipan tidak akan berubah untuk berpartisipasi ialah kesiapsiagaan yang stabil yang dikombinasikan dengan penghalang untuk ber-aksi dan lingkungan sosial yang tidak menarik (Oegema dan Klandermans, 1994).

AK dalam fenomena protes suatu kelompok, dapat dijelaskan melalui 5 (lima) kerangka antara lain: Penolakan, yaitu kondisi yang dipengaruhi karena para partisipan merasa teraniaya atau terzalimi; Kegunaan/efektifitas, dimana tujuan bersama dapat dicapai melalui aksi kolektif; Identitas, yaitu atribut yang menyangkut identitas seperti kultur/etnis atau kebangsaan; Emosi, yang meliputi ketakutan dan kemarahan akan sesuatu hal; dan sesuatu yang melekat secara sosial, seperti modal sosial (Klandermans et al., 2008).

Matsueda (2006) mengidentifikasi mekanisme teoritis dimana seseorang memobilisasi individu lainnya ke dalam suatu perilaku kriminal atau melawan kriminalitas, terkait dengan jaringan sosial, ikatan yang lemah, bingkai AK, dan batas/threshold AK individu. Sehingga berdasarkan mekanisme dinamis dari

organisasi sosial yang berbeda, kemudian muncul teka-teki tentang: pertama:

Gambar

Tabel 1. Posisi penelitian, dalam konteks AK untuk gerakan sosial dan pengelolaan  sumber daya hutan:
Gambar 1. Arah sosial movement12
Gambar 2).
Tabel 2. Jenis hak dan posisi pengguna
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan dengan Pelelangan Paket Pekerjaan Pembangunan Gedung Balee Musyawarah Masyarakat Kecamatan Pante Ceureumen, maka kami mengundang saudara untuk klarifikasi dan

Kelompok Kerja (Pokja) II Unit Layanan Pengadaan (ULP) Barang/Jasa Pemerintah Kabupaten Aceh Jaya Tahun

Tujuan umum dari penelitian ini untuk mengetahui hubungan pengetahuan dengan Sikap Ibu hamil tentang buku KIA di Puskesmas Bangli Tahun 2016.Jenis penelitian ini adalah

Trend Proporsi Kematian Menurut Kelompok Umur dan Pola Penyakit Penyebab Kematian dalam Kurun Waktu 10 Tahun di Jawa Bali, Sumatera, KTI, SKRT 1992, 1995,2001... Transisi

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa lebih dari separuh ibu hamil dengan kejadian pre-eklampsia ringan, lebih dari separuh ibu hamil dengan umur tidak beresiko,

mempengaruhi biaya bunga perusahaan karena bunga pinjaman yang diminta oleh. bank komersial atau kreditor berdasarkan tingkat suku bunga pasar,

Hasil penelitian menunjukan bahwa perlindungan hak kesehatan fisik narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Pemuda Tangerang sudah sesuai dengan Undang-Undang

[r]