• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. AKSI KOLEKTIF TERKAIT REFORESTASI

5.4. Potensi dan peluang penguatan AK

AK terkait reforestasi di Biak yang dilakukan oleh masyarakat adat, merupakan AK yang berbasis “moral-solidaritas”. AK berbasis moral-solidaritas memiliki beberapa karakteristik antara lain: anggotanya homogen secara sosial, egaliter, dan cenderung memupuk etika kesetaraan. Etika kesetaraan merupakan aspek penting dalam etika komunalistik, yang menjunjung asas sama rasa – sama rata.

AK dalam kelompok ini, dapat dipertahankan ketika aspek solidaritas sebagai bagian penting dari AK tetap terjaga. Solidaritas telah dikemukakan pada bagian sebelumnya sebagai keterpautan individu dengan sistem sosialnya atau budayanya. Solidaritas juga berarti sebagai kesediaan untuk membantu sesama anggota kelompok tanpa mengharapkan imbalan yang segera. Dengan demikian, AK kemudian dapat berlangsung ketika unsur solidaritas berperan, disamping identitas kolektif dan kesadaran bersama suatu kelompok (khususnya masyarakat Biak) yang senantiasa tetap terjaga.

De Beer & Koster (2009) telah menguraikan aspek-aspek yang perlu diperhatikan terkait tindakan solidaritas antara lain:

(i) tingkat resiprositas, dengan bentuk satu arah atau timbal balik, (ii) organisasi nya bisa bersifat formal atau non formal

(iii) solidaritas yang ada dapat bersifat sukarela atau wajib.

(iv) jangkauan tindakan solidaritasnya, apakah lokal atau global, serta

(v) bentuk solidaritas yang terjadi bisa saja dalam bentuk pengorbanan waktu, uang atau benda tertentu.

Aspek-aspek tersebut dapat menjadi perhatian ketika menentukan apakah AK berbasis solidaritas sementara berlangsung.

Atau dengan kata lain, AK kolektif Biak dapat berjalan sepanjang anggota komunitas atau kelompok dapat mengaktualisasikan solidaritas mereka dalam interaksi sosial yang ada. Aktor sebagai pemimpin seyogyanya mampu untuk menjaga faktor-faktor penentu solidaritas tersebut dapat berjalan.

Tantangan AK

Disamping AK berbasis solidaritas moral, tidak dapat disangsikan bahwa pada sisi yang lain dapat saja berlangsung aksi-aksi individual dalam fenomena interaksi sosial yang ada. Terkait reforestasi, “aksi individual” yang basisnya adalah “rasionalitas-utilitarian yang mencari keuntungan ekonomi” memiliki peluang untuk berkembang. AK yang kemudian bergeser menjadi aksi individual dapat dimungkinkan terjadi.

Apabila mengacu pada konsep solidaritas sebagai indikator utama, maka menurut Heckathorn DD & Rosenstein (2002) yang mengutip hasil penelitian Homans tahun 1950 serta Fararo & Doreian tahun 1998, solidaritas dapat dicermati melalui 4 cara yaitu: bagaimana ikatan afektif yang menyatukan anggota kelompok, adanya norma yang berlaku dalam kelompok, adanya aktivitas yang beorientasi kolektivitas, dan bentuk-bentuk ikatan dalam kelompok yang lebih rapat dibanding ikatan antar kelompok. Jika aktivitas reforestasi tidak perlu mempertimbangkan eksistensi anggota yang lain dalam kelompok masyarakat terkait pemanfaatan lahan komunal, maka kecenderungan aksi reforestasi dapat berbentuk individualistik.

Ciri utama dari aksi individual tersebut dapat berkait dengan rasionalitas untuk meningkatkan atau memaksimalkan keuntungan pada lahan-lahan milik. Insentif ekonomi kemudian dapat menjadi bahan bakar utama dari aksi-aksi ini. Jika fokus utama untuk mengembangkan reforestasi pada lahan-lahan milik pribadi dapat berlangsung, maka aksi-aksi individual tidak mesti menjadi persoalan. Justru reforestasi yang didorong oleh aksi individual yang tidak mempertimbangkan eksistensi anggota kelompok lain atas properti bersama di atas lahan adatlah yang perlu untuk diwaspadai.

Modal sosial

Walaupun de Beer & Koster (2009) memisahkan konsep solidaritas dari modal sosial (MS) dalam penjelasannya, tersisa pertanyaan yang perlu dijawab terkait bagaimana MS ditempatkan. Kohesi sosial dan MS merupakan konsep “objective”, sementara solidaritas merupakan sikap dan perasaan seseorang terhadap pihak lain khususnya pada suatu kondisi aktual. Dengan ilustrasi eksistensi suatu tim sepakbola, kemudian dapat dipahami bahwa anggota tim sepak bola memiliki hubungan yang kuat dan diharuskan memiliki kekompakan yang tinggi ketika akan melakukan pertandingan. Namun, kekompakan tersebut

tidak berarti bahwa sesama anggota telah memiliki solidaritas satu dengan yang lainnya.

Pertanyaan kemudian adalah, bagaimana menentukan tipe AK yang lebih sesuai diterapkan dalam kegiatan reforestasi jika dipandang dari sudut MS? AK yang terwujud seyogyanya memberikan efek kepada kerjasama para pihak yang saling menguntungan. Dalam rangka memberi penguatan pada AK yang diharapkan khususnya di Biak, Uphoff (2000) telah menjelaskan bahwa AK yang bermanfaat bagi para pihak (Mutually Benefit Colective Action) dapat didorong

melalui bekerjanya elemen struktural dari modal sosial50 (MS) diantaranya

adalah: (1) peran para aktor dan aturan/norma yang eksis dalam: proses pengambilan keputusan, mobilisasi sumber daya dan pengelolaan, komunikasi dan koordinasi, bahkan resolusi konflik; serta (2) hubungan sosial dan jaringan yang memfasilitasi bentuk-bentuk pertukaran dan kerjasama. Pada sisi elemen

kognitif MS, perlu dibangun dan dipelihara unsur trust dan reciprocity, yang

sangat menentukan eksistensi hubungan para pihak. Dengan demikian, solidaritas dapat tumbuh oleh karena adanya perasaan loyalitas dan kebersamaan, bahkan melampaui batasan-batasan ikatan keluarga. Uphoff juga menegaskan bahwa untuk melakukan suatu tindakan (action), penting untuk senantiasa mengembangkan kerjasama yang semakin bermakna, dan sedapat mungkin memberikan efek pada tingkat kedermawanan para aktor, atau dalam aktvitas reforestasi dimaknai sebagai aktivitas yang memiliki motif tidak semata rational oriented, namun sebagai aktivitas yang menyelamatkan lingkungan serta eksistensi dan identitas keret di Biak dan anak-cucu secara berkelanjutan.

Grootaert dan van Bastelaer (2001) menyitir penelitian Woolcock and Narayan yang dilakukan sebelumnya, kemudian mengatakan bahwa pendekatan MS dapat dilakukan melalui 4 kuadran sebagai mana Gambar 34.

50 Claridge (2004) menjelaskan bahwa literatur tentang MS, umumnya bersumber dari studi Pieere Bourdieu, James Coleman dan Robert Putnam. Menurut Putnam, MS terkait dengan unsur organisasi sosial antara lain: trust, norma, dan jaringan yang dapat meningkatkan efisiensi dalam masyarakat dengan melalui fasilitasi tindakan yang terkoordinasi.

Gambar 34. Dimensi modal sosial

MS pada kajian kali ini dapat berada pada kontinum struktural kognitif dan pada aras mikro. Jaringan kekerabatan atau kelembagaan keret yang ada di Biak merupakan basis untuk menelaah MS yang telah ada di Biak, beserta norma atau nilai-nilai hakiki kehidupan masyarakat Biak yang telah ada, serta perlu untuk dilestarikan dan dikembangkan. Nilai-nilai yang terkandung di dalam hukum adat setempat misalnya, perlu untuk diangkat dan dikuatkan. Terkait jaringan pada kelembagaan keret, tentu tidak terlepas dari peran mananwir- mananwirnya. Kankain Kakara Byak telah eksis dan diakui serta seringkali difasilitasi oleh pemerintah daerah.

MS di Biak perlu melihat kapasitas aktor sebagai pemimpin/leader dalam setiap kelompok keret bahkan mnu yang ada. Bagian berikut akan menjelaskan bagaimana konsep kepemimpinan yang dapat digunakan untuk memperkuat MS sekaligus AK dalam rangka reforestasi di Biak.

Kepemimpinan

Hasil pengamatan dan wawancara di lapangan menunjukkan bahwa, pemimpin atau mananwir berperan dalam mengarahkan dan menegakkan norma-norma dalam suatu kelompok keret. Menurut Mansoben (2007),

tipe/sistem kepemimpinan politik tradisional di Papua adalah: bigman, kerajaan,

ondoafi, dan campuran, dan orang Biak menganut sistem campuran51. Ini

51 Mansoben (2007) menjelaskan bahwa tipe kepemimpinan politik Tanah Papua adalah:

Big Man atau pria berwibawa; diperoleh melalui pencapaian. Sumber kekuasaan terletak pada kemampuan individual, kekayaan material, kepandaian berdiplomasi/pidato, keberanian

berarti bahwa, sistem kepemimpinan di Biak merupakan perpaduan antara leadership yang diperoleh karena kemampuan diri, perjuangan, dan pencapaian- pencapaian yang dilakukan dan dimiliki pemimpin/mananwir; serta faktor keturunan yang melekat dalam sistem kekerabatan dalam suatu keluarga/keret.

Kajian Burns tahun 1978 yang disitir Marturano dan Gosling (2008), mendefinisikan leadership sebagai:

... the reciprocal process of mobilizing, by persons with certain motives and values, various economic, political and other resources, in a context of competition and conflict, in order to realize goals independently or mutually held by both leaders and followers.

Definisi ini mengandung makna bahwa kepemimpinan bukan hanya berarti pemimpin, namun mencakup pula pengikut (followers), yang bersama-sama terlibat dalam proses mobilisasi timbal balik dan terkait dengan motif, nilai, beragam tipe sumber daya untuk mengatasi suatu konflik, atau memberi

penguatan dalam proses-proses persaingan. Secara singkat, Haslam et al.

(2011) kemudian mendefinisikan leadership sebagai

The process of influencing others in a manner that enhances their contribution to the realization of group goals.

Tipe kepemimpinan campuran di Biak ini telah memunculkan tipe-tipe

pemimpin di Biak seperti: mananwir (kepala keret/mnu), mambri (pemimpin

gagah perkasa dan mampu memimpin suatu pertempuran), konor (pemimpin

spiritual), dan korano (gelar pemimpin yang diberikan Kesultanan Tidore karena suatu prestasi), Mansoben (2003). Pada saat ini, istilah yang masih eksis dan mudah ditemukan ialah Mananwir dan Penatua-penatua atau Gembala Jemaat. Masing-masing memiliki bidang tugasnya tersediri. Manawir relatif lebih aktif dalam urusan politik pemerintahan terkecil yang ada, baik keret maupun mnu, sementara Gembala Jemaat berkonsentrasi pada kegiatan pembinaan dan

memimpin perang, fisik tubuh yang tinggi dan besar, serta sifat murah hati. Etnik penganut system ini adalah: orang Dani, Asmat, Mee, Meibrat, Muyu.

Kerajaan. Sistem ini merupakan pewarisan berdasarkan senioritas kelahiran dan klen. Biasanya seseorang dapat direkrut untuk duduk dalam system birokrasi ini, karena memiliki hubungan kedekatan dengan penguasa. Pembagian tugas dan kewenangan adalah jelas. TIpe ini terdapat di Raja Ampat, Semenanjung Onim, Teluk MacCluer (teluk Berau) dan Kaimana

Ondoafi. Sistem ini merupakan pewarisan kedudukan dan birokrasi tradisional. Wilayah kekuasaan seorang pemimpin hanya terbatas pada satu kampong dan kesatuan sosialnya terdiri dari golongan atau sub golongan etnik saja, dan pusat orientasi adalah religi. Sistem ini dapat ditemukan di bagian Timur Papua: Nimboran, Teluk Humboldt, Tabla, Yaona, Skou, Arso, Waris. Campuran. Sistem ini menunjukkan ciri kepemimpinan yang dihasilkan dari suatu pencapaian (achieved) dan pewarisan (ascribed). Tipe ini terdapat pada wilayah Teluk Cenderawasih, Biak, Wandamen, Waropen, Yawa dan Maya.

pelayanan Agama Kristen Protestan melalui Gereja Kristen Injili di Tanah

Papua52.

IR (tokoh DAB Biak) menyadari walaupun istilah korano diperkenalkan pada era hubungan dengan kesultanan Tidore, namun saat ini IR sadar masih menyandang gelar sebagai korano, yang sebenarnya diterima langsung oleh orang tua IR, dan ‘terwariskan” kepadanya saat ini.

Bapa tidak tahu kenapa Bapa harus disaluti oleh masyarakat, didengar dan dijadikan panutan, tapi yang jelas karena dari dulu, leluhur Bapa seorang Korano, trus anaknya juga Korano, saya yang bukan Korano bisa diidolakan

Mambri-mambri muncul ketika terjadi kekosongan pemimpin yang mampu mengarahkan warga keret atau warga mnu menghadapi tekanan-tekanan kolonial Belanda maupun Jepang. Aktualisasi lain muncul melalui munculnya pemimpin-pemimpin keagamaan yang memobilisasi gerakan keagamaan bercorak gerakan mesianis, yang dikenal dengan sebutan konor.

… (pada jaman Jepang), sementara amburadul dan struktur tidak berfungsi, dan yang mengambil peran adalah mambri-mambri (pendekar).. Mambri ini tidak menurut keret, dan yang menonjol waktu PD II ada beberapa saja. Motif mereka itu bercabang, antara kerajaan sejahtera dalam bentuk rohani dan wujud jasmani. Dia campur aduk antara kerajaan akhirat dan kemerdekaan. Dia berdiri antara persimpangan jalan itu.

Bagaimana memberdayakan AK melalui eksistensi pemimpin yang ada saat ini? Ada beberapa konsep tipe pemimpin yang didambakan di Biak menurut

versi informan yaitu Mansonanem, Ayaisia, Faiman, dan Mansabye.

…saya melihat sendiri bahwa apabila pemimpin merupakan orang yang baik, maka anggota atau warga akan senang, karena mereka yakin bahwa semua akan memperoleh keuntungan yang sama. Inipun tergantung kejujuran dan kepemimpinan… Sebagaimana yang diikrarkan Bupati Biak yaitu konsep

Mansonanem (orang yang berjiwa besar dan bergerak dan semua org bisa

makan)…, sepertinya belum dipahami oleh orang-orang yang menggunakannya. Suatu istilah tidak hanya asal-asalah diucapkan, apalagi dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Menurut saya, istilah tersebut tidak dapat sembarangan dipergunakan (K).

Konsep ayaisia yangbermakna rendah hati, faiman yang berarti selalu siap menolong, serta Mansabye yang berarti selalu berusaha memecahkan problematika masyarakat, penting dimiliki seorang pemimpin (IR)

Dari konsep-konsep kepemimpinan yang ditemui di Biak, tampak bahwa orang Biak mendambakan pemimpin yang efektif (berani, berjiwa patriotic, serta mampu memobilisasi anggota atau kelompoknya mencapai tujuan bersama) dan juga disenangi karena mampu memahami setiap karakter anggota kelompok. Tipe pemimpin ini yang disebut Haslam et al. (2011) sebagai effective leadership

52 Gereja Kristen Injili di Tanah Papua merupakan organisasi dominan dari kelompok-kelompok gereja lain yang ada di wilayah Biak, dan memiliki struktur organisasi pusat (sinode) yang berpusat di Jayapura.

dan good leadership. Kepemimpinan yang efektif belum tentu berwujud kepemimpinan yang baik bagi anggotanya.

Kepemimpinan adalah suatu proses mengelola unsur-unsur identitas dari suatu kelompok untuk memperoleh tujuan tertentu. Apabila kepemimpinan menitik beratkan pada proses-proses mengelola identitas sosial, maka dikategorikan kedalam psikologi kepemimpinan (psychology of leadership), dan apabila berpusat pada pengelolaan content atau isi dari identitas sosial (seperti: siapakah “kami”, apa saja nilai dan keyakinan “kami”, maka dapat disebut sebagai politik kepemimpinan (politics of leadership), Haslam et al. (2011).

Tidak dapat dikesampingkan bahwa aktor utama yang adalah pemimpin dalam kelompok, terlihat memegang “power” dalam bentuk legitimasi yang dimilikinya. Legitimasi merupakan salah satu bentuk power disamping bentuk power lainnya seperti hadiah/reward, paksaan/coercion, keahlian/expertise,

informasi/information, dan referensi/referent. Menurut Nowak et al. (2003),

legitimasi otoritas kemudian akan powerfull apabila berlangsung “ketaatan” dari para pengikut terhadap pemimpinnya. Ketaatan atau kepatuhan bisa berlangsung, juga karena harapan-harapan anggota dapat terpenuhi atau terfasilitasi melalui peran pemimpin.

Akhirnya, konsep kepemimpinan di Biak -yang seyogyanya dapat ditumbuh kembangkan dalam aspek hubungan relasi pimpinan kelompok dan anggotanya serta cenderung mencakup dimensi manajemen identias sosial secara

keseluruhan, adalah Faiman dan Mansabye. Seorang pemimpin yang berciri

Faiman, tidak akan memberikan harapan-harapan yang terlalu tinggi dalam bentuk pernyataan-pernyataan yang mengandung “janji-janji terbuka” namun lebih berkonsentrasi kepada bagaimana dengan cepat dan jernih memahami identitas sosial kelompok yang sementara dikelolanya. Cara yang dapat dilakukan seorang Faiman adalah memahami fenomena persoalan yang sementara dihadapi kelompok dan segera bertindak segera untuk mengatasi persoalan tersebut. Sedangkan Mansabye artinya pemimpin yang berusaha untuk mencari titik tengah persoalan-persoalan yang ada di dalam masyarakat sehingga keutuhan dalam komunitas orang Biak tetap terjaga. Konsep faiman dan mansabye akan membawa para pemimpin di Biak semakin solid dalam melakukan tidak hanya reforestasi, namun juga setiap program dan inisiatif yang dibangun bagi kemajuan Biak. Para pemimpin di Biak tidak terbatas pada

golongan mananwir dalam kelompok keret yang ada, namun juga mencakup semua aktor yang bekerja bersama-sama mewujudkan reforestasi.