• Tidak ada hasil yang ditemukan

BIOLOGI DAN PERKECAMBAHAN BIJI MERBAU [Intsia bijuga (Colebr.) O Kuntze]

Abstrak

Keberhasilan regenerasi hutan bergantung pada pengetahuan biologi dan perkecambahan benih jenis tanaman yang akan dikembangkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi variasi morfologi biji dan mempelajari biologi perkecambahan merbau [Intsia bijuga (colebr.) O. Kuntze]. Contoh yang diambil dari lima lokasi di hutan dataran rendah Manokwari menunjukkan bahwa terdapat variasi yang tinggi baik dalam bentuk morfologi biji maupun bobot biji. Biji merbau termasuk sebagai biji non-endospermik dengan ketebalan lapisan impermeabel mencapai ± 170 µm. Pengaruh ukuran benih merbau dan perlakuan awal benih sebelum perkecambahan dilakukan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) berfaktor. Perlakuan ukuran benih terdiri atas benih berukuran kecil (<2.25 g), sedang (2,25 - 3,45 g) dan besar (>3,45 g). Perlakuan awal benih terdiri atas (1) perendaman dalam larutan sodium hipoklorit 5,25% selama 30 menit, dilanjutkan dengan air panas 80oC kemudian air dingin selama 24 jam, (2) Pelukaan kulit benih dilanjutkan perendaman dalam larutan sodium hipoklorit 0,525% selama 15 menit kemudian air panas 80oC hingga dingin dengan sendirinya selama 24 jam, (3) pembakaran benih dilanjutkan perendaman dalam larutan sodium hipoklorit 0,525% selama 15 menit kemudian air panas 80oC hingga dingin dengan sendirinya selama 24 jam. Perkembangan kecambah diamati melalui percobaan perkecambahan di atas kertas saring basah. Hasil percobaan perkecambahan di atas kertas saring basah memperlihatkan benih merbau berkecambah dalam waktu 8 hari dan menghasilkan daun pertama dalam 16 hari. Perlakuan awal dengan pelukaan, dilanjutkan dengan perendaman dalam larutan sodium hipoklorit 0,525%, kemudian dalam air panas (80oC) yang dibiarkan mendingin selama 24 jam menghasilkan daya kecambah tertinggi (78,68%). Biji berbobot > 2,25 g menghasilkan perkecambahan yang lebih cepat dan keragaan tinggi anakan merbau lebih baik.

Kata Kunci: Merbau [Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze], biologi biji, perkecambahan, morfologi biji

Abstract

The success of forest regeneration depends on knowledge of seed biology and germination of the targeted tree species. The study was carried out to identify the variation of seed morphology, to study the seed germination biology of merbau and to study the effect of seed sizes (weights) and pre-sowing treatments on seed germination of merbau [Intsia bijuga (Colebr.) Kuntze]. Seeds of merbau were collected from five sites located in low land tropical forests in Manokwari District, Papua Barat. Seeds were observed their variability in morphology, in term of their shapes and sizes (weights). The effects of seeds sizes and pre-sowing treatments on seed germintation were performed in factorial randomized block design experiment. Seeds were grouped into three categories of sizes, i.e. small

seeds (<2.25 g), medium sized seeds (2.25-3.45 g) and large seeds (>3.45g). Seeds were subjected to three pre-sowing treatments, i.e. (1) soaking in sodium hypochlorite (NaOCl) 5.25% for 30 minutes, followed with soaking in hot water (80oC) and fresh water for 24 hours; (2) seed nicking, followed with soaking in sodium hypochlorite (NaOCl) 0.525% for 15 minutes, then in hot water (80oC) and fresh water for 24 hours; (3) seed burning, followed with soaking in sodium hypochlorite (NaOCl) 0.525% for 15 minutes, then in hot water (80oC) and fresh water for 24 hours. The development of seed germination was observed through germination test on wet filtered paper in petridishes. The results of the study indicated that there was high variation of the seed morphology, in terms of their shapes and sizes. Based on its characteristics, the seed was categorized as non- endospermic seed which had ± 170 µm impermeable layers. The seed germinated and produced the first leaves 8 and 16 days after sowing, respectively. Seed nicking continuing with seed soaking in low concentration of sodium hypochlorite (0.525 %) for 15 minutes and then in hot water (80oC) and fresh water for 24 hour gave the highest percentage of seed germination (78.67%). Seeds with the weight of > 2.25 g gave better in mean germination time and height performance of the seedlings.

Key words: Merbau [Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze], seed biology, seed germination, seed morphology

Pendahuluan Latar Belakang

Keberhasilan dalam permudaan hutan sangat tergantung dari pengetahuan tentang benih dan pembenihan jenis pohon target. Merbau [Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze], walaupun merupakan salah satu jenis kayu utama yang dihasilkan dari dalam hutan hujan tropis Indonesia, khususnya dari daerah Papua (PROSEA 1994), namun sampai saat ini pengembangan pengetahuan tentang benih dan pembenihan dari jenis ini masih terabaikan. Pemahaman tentang biologi biji dan pembenihan sangat penting dikuasai agar dapat melakukan penanganan yang tepat bagi benih merbau mulai dari saat penyimpanan, pemberian perlakuan awal (pre- sowing treatment) benih hingga perkecambahan.

Tanaman merbau, seperti pada umumnya tanaman legum, memiliki biji dengan kulit biji (testa) yang keras dan impermeabel terhadap air (dormansi fisik) sehingga menyulitkan untuk berkecambah bila tidak mendapatkan perlakuan awal (Thaman et al. 2004). Tanaman, dengan tipe dormansi seperti ini, diketahui dapat dikecambahkan dengan baik melalui perlakuan awal skarifikasi dengan

menggunakan larutan masam seperti asam sulfat pekat maupun dengan pengikiran kulit biji (Hartman et al. 2002; Schmidt 2002; Murdjoko 2003). Pencarian cara skarifikasi yang lebih aman dan efisien masih diperlukan untuk dapat memecahkan dormansi pada merbau.

Dari pengamatan di lapangan tampak adanya variasi dalam ukuran biji merbau, walaupun belum pernah ditelaah lebih lanjut. Dalam praktek persemaian, benih yang digunakan umumnya dipilih yang relatif berukuran besar, karena umumnya berhubungan dengan kecepatan perkecambahan dan perkembangan semai yang relatif lebih baik, seperti yang ditunjukkan oleh beberapa penelitian bahwa ukuran/bobot benih sangat berperan dalam vigor benih beberapa jenis tanaman (Saeed & Shaukat 2000; Upadhaya et al. 2007).

Tujuan

Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari variasi morfologi benih merbau, biologi perkecambahan merbau, pengaruh ukuran biji merbau terhadap perkecambahan dan mendapatkan metode skarifikasi yang sesuai untuk memecahkan dormansi fisik pada merbau.

Bahan dan Metode Bahan Percobaan

Biji merbau diperoleh dari hasil pengumpulan langsung dari bawah tegakan alam merbau di lima lokasi tempat tumbuh, yang satu dengan lainnya berjarak sekitar 1- 5 km, di daerah hutan dataran rendah Manokwari, Papua Barat. Secara geografis daerah ini terletak pada garis koordinat 133o58’60”- 134o04’03”BT, dan 0o46’05”- 0o50’38”LS, dengan ketinggian 0-110 m dpl. Pengumpulan biji merbau dilakukan saat musim berbuah pada bulan September – Desember 2007. Biji yang terkumpul selanjutnya diekstraksi dan dibersihkan dari kotoran dengan cara mencucinya, dikeringkan di bawah sinar matahari, diberi bubuk fungisida Dithane secara merata, kemudian disimpan dalam kantong plastik dalam suhu ruang, hingga saat dipergunakan.

Biologi Benih dan Perkecambahan

Pengamatan terhadap morfologi biji dilakukan dengan mengambil contoh dari beberapa tegakan dalam satu populasi merbau untuk dijadikan lot benih. Selanjutnya setiap lot benih diambil contoh secara acak untuk dijadikan bulk sample. Setiap individu di dalam bulk sample diukur bobot dan diamati keragaman bentuknya. Klas bobot biji ditentukan berdasarkan pada data dari keseluruhan bulk sample yang dimiliki. Klas bobot biji ditentukan dengan menggunakan persamaan:

Panjang interval klas = (bobot terbesar – bobot terkecil)/jumlah klas interval Nilai bawah = bobot terkecil + panjang interval

Nilai atas = bobot terbesar – panjang interval.

Untuk mengetahui hubungan karakter kulit biji merbau dengan proses imbibisi air dilakukan studi histologi biji dengan mengamati irisan jaringan biji dan kulit biji (testa) di bawah mikroskop. Proses perkembangan kecambah merbau diamati dengan melakukan pengamatan perkecambahan biji yang disemai di atas kertas saring basah di dalam cawan petri. Pengamatan perkembangan perkecambahan dilakukan setiap hari. Perkembangan embrio dilakukan dengan cara membelah biji sesuai dengan tahapan perkecambahan.

Pengaruh ukuran biji dan Perlakuan awal terhadap perkecambahan

Rancangan Penelitian. Uji perkecambahan benih merbau dilakukan dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial yang terdiri atas dua faktor perlakuan.

Faktor pertama berupa perlakuan awal benih terdiri atas:

1. Perendaman benih dalam larutan sodium hipoklorit NaClO 5,25% selama 30 menit (P) dilanjutkan perendaman dalam air panas (80oC) dibiarkan hingga dingin dengan sendirinya selama 24 jam;

2. Pelukaan kulit benih (L), kemudian direndam sodium hipoklorit NaOCl 0,525% selama 15 menit dilanjutkan dengan perendaman dalam air panas (80oC) hingga dingin selama 24 jam;

3. Pembakaran benih, kemudian direndam sodium hipoklorit NaOCl 0,525% selama 15 menit (B), dilanjutkan perendaman dalam air panas (80oC) hingga dingin dengan sendirinya selama 24 jam.

Faktor kedua berupa ukuran benih berdasarkan bobot benih terdiri atas: 1. Benih kecil (K) yaitu benih dengan bobot <2.25 g

2. Benih sedang (S) yaitu benih dengan bobot 2.25-3.45 g 3. Benih besar (B) yaitu benih dengan bobot >3.45 g

Setiap kombinasi perlakuan diulang 3 kali, sehingga terdapat 27 satuan percobaan. Setiap satuan percobaan digunakan 25 butir benih merbau, sehingga jumlah keseluruhan benih yang dibutuhkan sebanyak 675 butir benih. Dalam rancangan penelitian ini, pengelompokan satuan percobaan dilakukan dengan tujuan untuk mengatasi kondisi penerimaan cahaya yang berbeda dalam rumah kaca.

Penyiapan benih. Benih yang digunakan dalam pengujian benih berupa benih yang bercirikan fisik baik dan yang telah disortir sesuai dengan klas ukuran. Perlakuan pelukaan benih dilakukan dengan menggunakan pisau di kedua sisi benih untuk memotong lapisan kutikula dengan menghindari pelukaan di daerah hilum, sedangkan perlakuan pembakaran benih dilakukan dengan menaruh benih dalam gelas piala selanjutnya menyemprot dengan alkohol (90%) sambil mengaduknya hingga keseluruhan benih basah merata, kemudian membakarnya dan membiarkannya hingga api padam dengan sendirinya.

Penyiapan media persemaian. Media perkecambahan yang dipergunakan berupa media pasir yang telah disterilisasi. Media selanjutnya dimasukkan ke dalam bak perkecambahan terbuat dari kontainer plastik berukuran 40 x 30 x 15 cm.

Pengamatan data. Pengamatan dilakukan terhadap peubah-peubah yaitu persentase benih berimbibisi (I), daya berkecambah (G), rata-rata waktu yang

diperlukan untuk berkecambah (MGT), rata-rata benih berkecambah per hari (MDG) dan tinggi semai (T).

Peubah yang diukur didefinisikan sebagai berikut:

1. Benih berimbibisi (I) adalah seluruh benih yang mampu menyerap air ditandai dengan lepasnya kulit biji terluar (terkelupas);

2. Daya berkecambah (G) adalah banyaknya benih yang mampu berkecambah hingga akhir pengamatan perkecambahan yang telah ditentukan (24 hari setelah tanam) (Hartman et al. 2002, Close & Wilson 2002),

3. Rata-rata waktu untuk berkecambah (MGT) diukur berdasarkan rata-rata hari yang diperlukan untuk berkecambah, diukur dengan menggunakan persamaan: MGT = {(Σ(tini)/(Σni)}, dimana t adalah hari yang diperlukan untuk

berkecambah dihitung mulai saat penyemaian (0) dan n = jumlah biji berkecambah pada akhir pengamatan (24 hari setelah tanam) (Hartman et al. 2002, Close & Wilson 2002, Gonzales-Rivas et al. 2009).

4. Rata-rata benih berkecambah perhari (MDG) diukur berdasarkan persamaan: MDG = N/t, dimana N adalah total jumlah biji yang berkecambah pada akhir Pengamatan dan t adalah jumlah hari pengamatan (24 hari) (Hartman et al. 2002).

5. Tinggi semai (T) diukur dari leher akar hingga ke pucuk apikal yang dilakukan pada 24 hari setelah tanam.

Analisis Data

Data morfologi biji dianalisis dengan statistik deskriptif, sedangkan perbedaan bobot benih berdasarkan asal pengumpulan biji, diuji dengan menggunakan uji-t secara berpasangan. Data pengujian perkecambahan meliputi peubah persentase benih berimbibisi, daya kecambah, rata-rata waktu untuk berkecambah, rata-rata benih berkecambah dan tinggi kecambah dilakukan dengan menggunakan analisis ragam (ANOVA), yang kemudian dilanjutkan dengan perbandingan rataan menggunakan uji jarak Duncan (DMRT).

Hasil dan Pembahasan Hasil Penelitian

Morfologi Biji Merbau

Biji merbau berwarna hitam kecoklatan, berbentuk pipih seperti spatula, mendekati bentuk hati (kordata), bulat (globose), oval (eliptikal) hingga lonjong mendekati bentuk persegi empat (oblong), dengan ukuran yang bervariasi (Gambar 8a). Dalam satu buah polong merbau dapat dijumpai beberapa variasi bentuk biji. Bentuk biji mendekati bentuk spatula dan kordata umumnya berukuran kecil. Biji berbentuk seperti demikian umumnya terbentuk pada bagian pangkal ataupun ujung buah polong. Sebaliknya biji berbentuk bulat, oval hingga oblong pada umumnya berukuran besar dan dijumpai terbentuk pada bagian tengah buah polong merbau atau pada buah polong yang hanya berisi 1-2 biji (Gambar 8b-c).

Variasi ukuran biji berdasarkan bobot biji merbau dapat terjadi dalam satu populasi tegakan (dalam lokasi tempat tumbuh) maupun antar populasi tegakan (antar lokasi tempat tumbuh), seperti ditunjukkan dari hasil uji-t (P,0,05) terdapat perbedaan rata-rata bobot biji merbau antar lokasi asal biji merbau dikumpulkan. Biji dengan rata-rata ukuran bobot terkecil ditunjukkan oleh biji asal lokasi A (2,55 ± 0.44 g), diikuti lokasi E (2,69 ± 0,51 g), lokasi D (2,75 ± 0,57 g), B (2.99 ± 0.51 g) dan terbesar pada biji asal lokasi C (3,34 ± 0,57g). Biji dari lokasi A secara statistik berbeda nyata dengan biji dari lokasi B, C dan D, namun tidak berbeda dengan biji asal lokasi E. Pengukuran contoh biji yang dikumpulkan dari seluruh lokasi (F) memperlihatkan bobot biji bervariasi 1.18 – 4,33 g (2.87 ± 0,59 g) (Gambar 9).

Biologi Perkecambahan Merbau

Tanaman merbau memiliki struktur biji non-endospermis dicirikan dengan adanya kotiledon yang berfungsi hanya sebagai cadangan makanan dan akan dipergunakan embrio untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Kulit biji (testa) memiliki ketebalan hingga mencapai 500 µm dan tersusun atas (1) lapisan terluar

yaitu kutikula setebal 25-30 µm, (2) lapisan di bawahnya terdapat dua lapis sel makroskleroid yang tersusun atas sel-sel palisade yang rapat dengan ketebalan 110 - 125 µm, (3) satu lapisan sel osteoskleroid dengan ketebalan 30 – 50 µm; (4) lapisan sel parenkim setebal 280 – 300 µm (Gambar 10).

Gambar 8 (a) bentuk morfologi biji merbau [Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze] bervariasi. Mulai dari gambar atas kanan ke kiri dan gambar bawah kanan ke kiri, biji berbentuk pipih seperti spatula, bulat (globose) hingga oval (eliptikal), mendekati bentuk hati (kordata) hingga mendekati bentuk persegi empat (oblong). (b-c) bentuk dan ukuran biji tergantung letaknya saat terbentuk dalam polong buah merbau.

Gambar 9 Variasi bobot biji merbau [Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze]. A-E = lokasi pengambilan biji, dan F merupakan variasi gabungan bobot biji dari seluruh lokasi pengambilan biji. Bar dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji-t (p<0,05).

Perlakuan awal terhadap benih yang menyebabkan terjadinya imbibisi pada benih merbau membuat pembengkakan benih, dan menyebabkan kulit benih terkelupas dan terpisah dari kotiledon pada bagian lapisan sel parenkim (Gambar 10b -10e). Imbibisi menyebabkan terjadinya perkembangan dan pertumbuhan embrio. Pemanjangan radikel maupun plumula telah tampak 5 hari setelah penyemaian benih merbau, namun perkecambahan yang ditandai dengan munculnya radikel baru terlihat pada 8 hari setelah penyemaian. Kecambah memunculkan daun pertama dari dalam kotiledon pada 18 hari setelah penyemaian, dengan tipe perkecambahan epigious. Kotiledon mulai terlepas pada 30 hari setelah penyemaian (Gambar 11).

Gambar 10 Struktur biji dan proses imbibisi pada merbau [Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze]. (a) penampakan penampang melintang biji merbau. T=testa (seed coat), Pl=plumula, Hyp=hipokotil, R=radikula, C=kotiledon dan Hil=hilum; (b) anatomi testa sebelum terjadinya imbibisi Cut=kutikula, MS=sel makroskleroid sel, Os=sel osteoskleroid, Pa=sel parenkim; (c) imbibisi telah terjadi dan tampak pelepasan testa; (d) biji yang telah terimbibisi, (e) kulit terluar telah terlepas menampakkan sebagian testa bagian dalam yang tersisa, demikian pula kotiledon tampak telanjang.

Gambar 11 Proses perkecambahan benih merbau [Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze]. (a) penampakan embrio setelah perlakuan awal; (b) pemanjangan plumula dan radikel terjadi pada 5 hari setelah penyemaian; (c) akar telah ke luar pada 8 hari setelah penyemaian; (d) akar cabang mulai terbentuk pada 14 hari setelah penyemaian; (e) pemanjangan plumula berlanjut pada 14 hari setelah penyemaian, walau kotiledon masih tertutup; (f) daun pertama muncul dari dalam kotiledon pada 16 hari setelah penyemaian.

Pengaruh Perlakuan Awal dan Ukurant Benih Terhadap Perkecambahan Merbau

Berdasarkan analisis keragaman, pengaruh interaksi perlakuan awal benih dengan ukuran benih hanya dijumpai pada peubah benih berimbibisi (Lampiran 1- 5). Uji jarak berganda Duncan (DMRT, p<0,05) memperlihatkan perlakuan awal secara pelukaan pada semua kelompok ukuran benih memberikan persen benih berimbibisi (I) terbesar (100%). Pada perlakuan awal berupa pembakaran dan perendaman dalam larutan NaOCl 5,26% mempunyai kecenderungan persen benih berimbibisi lebih kecil pada benih berukuran kecil daripada benih berukuran besar (Tabel 3).

Tabel 3 Rata-rata benih merbau [Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze] berimbibisi (%) setelah perlakuan awal pelukaan, perendaman dalam larutan sodium hipoklorit NaOCl 5,25% dan pembakaran pada benih dengan ukuran benih yang berbeda

Ukuran benih - Perlakuan Awal Benih berimbibisi (%)**

Kecil – NaOCl 5,25% 38,67 e Kecil – Pembakaran 33,33 e Kecil – Pelukaan 100,00 a Sedang – NaOCl 5,25% 33,33 e Sedang – Pembakaran 82,67 b Sedang – Pelukaan 100,00 a Besar – NaOCl 5,25% 52,00 d Besar – Pembakaran 65,33 c Besar – Pelukaan 100,00 a

** Angka dalam kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan (DMRT) (P<0,05).

Analisis perbandingan rata-rata menggunakan uji jarak berganda Duncan (DMRT, p<0,05) menunjukkan tidak ada perbedaan antar perlakuan ukuran benih terhadap daya perkecambahan (G) dan rata-rata benih berkecambah per hari (MDG), namun menunjukkan adanya perbedaan pada peubah rata-rata hari yang diperlukan untuk berkecambah (MGT) dan tinggi kecambah (T) yang dihasilkan. Rata-rata MGT terkecil dijumpai pada benih berukuran besar (12,84 hari), kemudian diikuti benih berukuran sedang (14,55 hari) dan kecil (14,36 hari),

sedangkan T terbaik dijumpai pada benih berukuran besar (24,32 cm) diikuti berturut-turut oleh benih berukuran sedang (22,06) dan kecil (16,26 cm) (Gambar 12 dan 13).

Gambar 12 Pengaruh ukuran benih (kecil <2,25 g, besar 2,25-3,25, besar >3,25) terhadap daya berkecambah (G), rata-rata benih berkecambah per hari (MDG), rata-rata waktu untuk berkecambah (MGT) dan tinggi kecambah merbau [Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze]. Bar dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan (DMRT, p<0,05).

Pemberian perlakuan awal benih memberikan pengaruh pada keseluruhan peubah yang diamati. Perlakuan awal L terhadap benih memberikan hasil terbaik pada peubah G (78,67%) diikuti perlakuan B (34,44%) dan perendaman dalam P (19,55%). Pada peubah MGT, tercepat pada perlakuan L (11,78 hari) diikuti berturut-turut oleh perlakuan P (11,78 hari) dan B (13,33 hari). Pada peubah MDG tertinggi dijumpai pada perlakuan L (3,28 kecambah) diikuti oleh perlakuan B (1,51 kecambah) dan P (0,81 kecambah). Keragaan kecambah yang dihasilkan berdasarkan peubah T diperlihatkan oleh perlakuan P (21,97 cm) yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan B (21,72 cm) namun berbeda nyata dengan perlakuan P (18,96 cm) (Gambar 14).

Gambar 13 Perbedaan keragaan yang dihasilkan oleh benih dengan ukuran berbeda. Dari kiri ke kanan anakan merbau [Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze] umur 30 hari setelah tanam asal benih berukuran besar, sedang dan kecil.

Gambar 14 Pengaruh perlakuan awal benih (P = NaClO 5.25%+air panas; B=bakar+ NaClO 0.525%+air panas; L=pelukaan+NaClO 0.525%+air panas) terhadap daya berkecambah (G), rata-rata benih berkecambah per hari (MDG), rata-rata waktu untuk berkecambah (MGT) dan tinggi kecambah merbau [Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze]. Bar dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan (DMRT, p<0.05).

Pembahasan

Bentuk fisik biji merbau bervariasi dari bentuk spatula, oval, globose, koordata hingga oblong. Biji berukuran kecil yang umumnya berbentuk spatula

dan kordata, selalu terdapat pada bagian pangkal atau ujung buah polong. Sebaliknya, biji besar yang umumnya berbentuk oval, globose atau oblong, dijumpai berkembang pada bagian tengah dari buah polong merbau. Kecenderungan demikian tampaknya merupakan konsekuensi dari bentuk ruang tempat terbentuknya biji dalam buah polong yang cenderung menyempit pada bagian pangkal maupun ujungnya. Walaupun demikian, berdasarkan hasil analisis statistik, keragaman ukuran biji bukan semata karena ruang tempat pembentukan biji yang sempit, namun dapat juga karena peran faktor genetis maupun tempat tumbuh, seperti ditunjukkan adanya perbedaan bobot biji merbau dalam satu populasi atau antar populasi.

Perbedaan ukuran biji merbau dalam satu populasi atau antar populasi menunjukkan bahwa faktor individual pohon (genetis), maupun faktor tempat tumbuh sangat berperan dalam pembentukan dan perkembangan biji. Perbedaan demikian merupakan kejadian yang sangat umum, seperti perbedaan bobot biji pada Pinus caribaea (Evans 1986), Eucalyptus regnans,E. delegatensis (Close & Wilson 2002) dan pada Uapaca kirkiana asal provenansi yang berbeda (Ngulube et al. 1997). Variasi ukuran biji atau buah juga dapat disebabkan oleh kualitas tempat tumbuh seperti dijumpai pada tanaman Swietenia macrophylla (Evans, 1986), atau karena pengaruh umur tanaman saat menghasilkan biji atau buah, yang cenderung relatif lebih kecil pada saat awal bereproduksi atau saat tanaman telah tua seperti dijumpai pada tanaman Sorbus torminalis (Espahbodi et al. 2007). Variasi ukuran biji pada suatu tanaman dapat digunakan sebagai landasan dalam merancang pekerjaan persemaian maupun program pemuliaan.

Perkecambahan merupakan suatu proses fisiologi yang kompleks, diawali dengan pengambilan air atau imbibisi oleh benih, kemudian diikuti dengan pertumbuhan embrio dan diakhiri dengan keluarnya radikel (Hartman et al. 2002; Schmidt 2002). Oleh karena itu, benih dikatakan telah berkecambah bila radikel telah muncul menembus kulit benih (seed coat) (Copeland & McDonald 1994). Pada benih merbau, dalam kondisi ideal, perkecambahan dapat terjadi dalam waktu 8 hari. Perkecambahan benih merbau mengikuti pola perkecambahan epigeal dengan hipokotil memanjang dan kotiledon muncul di atas permukaan

tanah. Keseluruhan proses perkecambahan hingga daun pertama muncul dibutuhkan waktu hingga 16 hari.

Impermeabilitas suatu benih ditentukan oleh lapisan kutikula, makroskleroid dan osteoskleroid. Dengan demikian perlakuan skarifikasi setidaknya harus dilakukan hingga kedalaman ± 170 µm mencapai sel-sel osteoskleroid. Apabila air mampu menembus lapisan ini, benih dengan mudah dapat menyerapnya (Schmidt 2002). Keberhasilan imbibisi akibat perlakuan awal benih ditandai dengan terlepasnya kedua lapisan tersebut dari biji merbau diiringi dengan meningkatnya ukuran volume biji. Pengendalian absorpsi air pada biji tergantung pada karakteristik hidropobik dari testa. Karakteristik hidropobik dipengaruhi oleh tingkat kutinisasi sel-sel palisade atau konsentrasi substansi lilin atau fenolik dalam epidermis. Pada Pisum spp. terindikasi bahwa impermiabilitas testa tergantung pada kehadiran quinone dalam sel-sel palisade atau lapisan osteoskleroid. Produksi biji dengan kulit biji yang tebal menyebabkan meningkatnya sifat impermeabilitas sebagai akibat dari menurunnya aliran nutrisi khususnya sitokinin karena kondisi lingkungan yang keras, seperti adanya stres air yang dialami oleh tanaman induk saat pembentukan biji. Pada beberapa jenis tanaman proporsi biji keras akan meningkat sejalan dengan menurunnya ukuran biji yang terbentuk (de Souza & Marcos-Filho 2001).

Perlakuan awal benih dan ukuran benihi merbau sangat berpengaruh terhadap persen benih berimbibisi (I). Perlakuan pelukaan pada seluruh kategori ukuran benih menghasilkan 100% benih berimbibisi, menunjukan metode skarifikasi ini telah mampu merusak lapisan impermeabel dari kulit benih (testa) bagi jalannya air pada seluruh kategori ukuran benih. Sebaliknya perlakuan pembakaran dan perendaman dalam larutan NaOCl 5.25% menghasilkan nilai persen benih berimbibibisi lebih baik pada benih berukuran besar. Fakta ini memperlihatkan adanya korelasi positif antara ukuran benih dan permeabilitas testa. Semakin kecil ukuran benih, semakin rapat susunan sel-sel palisade yang impermeabel (de Souza & Marcos-Filho 2001). Walaupun demikian, keberhasilan dalam benih berimbibisi walaupun menggambarkan keberhasilan dalam perkecambahan, namun tidak serta merta sama dengan daya berkecambah.

Perlakuan awal benih terbaik dijumpai pada perlakuan pelukaan dengan nilai G 78.67% dengan MGT 11.78 hari dan MDG 3.28 kecambah per hari. Nilai tersebut masih lebih rendah dari hasil penelitian Kale (2001) dengan menggunakan skarifikasi pelukaan dan perendaman dalam air dingin (G=95%) , maupun Murdjoko (2003) dengan perendaman dalam asam sulfat pekat (G=100%.). Perbedaan ini disebabkan benih yang digunakan telah disimpan selama 24 bulan sehingga telah terjadi penurunan viabilitas.

Perlakuan pembakaran dan perendaman dalam larutan sodium hipoklorit NaOCl 5,25% memberikan nilai G lebih kecil daripada perlakuan pelukaan yaitu