• Tidak ada hasil yang ditemukan

Abstrak

Keberhasilan isolasi dan pengembangbiakan fungi ektomikoriza (EcM) sangat penting untuk menjamin ketersediaan inokulum untuk penggunaan lebih lanjut. Sampai saat ini isolasi dan pembiakan secara in vitro fungi Scleroderma sp yang membentuk EcM dengan merbau belum pernah dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi dan mengembangbiakan fungi Scleroderma sp dalam media agar dan semi-cair (agar 3%) Modified Melin-Norkrans (MMN). Hasil penelitian menunjukkan bahwa fungi Scleroderma sp dapat dibiakkan pada media agar maupun media semi-cair MMN. Koloni fungi dalam kultur agar MMN memiliki miselia udara bertekstur lembut, berwarna putih kekuningan. Koloni dalam media semi-cair MMN cenderung membentuk banyak gumpalan. Pertumbuhan fungi pada kedua jenis media tersebut tergolong rendah yaitu 2.52 ± 1.10 cm/2 bulan pada media agar MMN dan 0,41 ± 0,14 g/2 bulan pada media MMN semi cair.

Kata kunci: Scleroderma sp., Media agar MMN, Media MMN semi cair, miselia udara, pertumbuhan

Abstract

The success of isolation and culture of ectomycorizal (EcM) fungi is primely important to assure the availability of inoculants for further usage. Until now, Scleroderma sp., fungi forming EcM with merbau [Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze], has not been attempted being isolated and cultured. This study was aimed to study the possibility of EcM fungi Scleroderma sp. being isolated and cultured in agar and semi-liquid (3% agar) Modified Melin-Norkrans (MMN) media. The result was that isolation and culture of Scleroderma sp could be made in agar and semi-liquid MMN culture media as well. The culture colony in the agar media of MMN had soft texture of yellowish white air mycellia. While in the semi-liquid media of MMN, the culture tended to form clumps. The growth of the fungi in both type of MMN medium was relatifly low, i.e. 2.52 ± 1.10 cm/2 months in agar MMN media and 0,41 ± 0,14 g/2 months in semi-liquid MMN media.

Key words: Scleroderma sp., agar MMN medium, semi-liquid MMN medium, air mycelia, growth.

Pendahuluan Latar Belakang

Inokulasi tanaman pertanian dan kehutanan dengan mikroorganisme yang menguntungkan bagi tanaman inang, seperti penggunaan fungi ektomikoriza

(EcM), telah lama dipraktekkan. Peningkatan penggunaan pupuk dan seiring dengan semakin mahalnya pupuk di pasar, serta kesadaran masyarakat akibat negatif penggunaan pupuk dalam jangka panjang bagi tanah dan lingkungan, menyebabkan penggunaan fungi ektomikoriza semakin menarik untuk dikaji.

Kendala utama pengembangan pemanfaatan ECM terletak pada penyediaan inokulum fungi ektomikoriza dalam skala besar. Isolasi dan perbanyakan kultur fungi ektomikoriza yang berasosiasi dengan suatu tanaman secara in vitro sangat penting dilakukan untuk memperoleh kultur murni bagi penyediaan inokulum vegetatif baik untuk praktis maupun untuk tujuan penelitian lebih lanjut. Terdapat beberapa genera fungi yang mudah untuk diisolasi dan diperbanyak namun sebaliknya terdapat pula yang sulit untuk dikultur secara in vitro pada media nutrisi buatan. Isolasi fungi ektomikoriza yang paling sering dilakukan adalah dengan menggunakan sporocarp. Penggunaan ujung akar bermikoriza sering mengalami kegagalan, walaupun beberapa dilaporkan berhasil melakukan dengan menggunakan ujung akar bermikoriza (Harvey et al. 1988; Brundrett et al. 1996).

Scleroderma sp., fungi EcM yang berasosiasi dengan merbau [Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze], sampai saat ini belum pernah dicoba untuk diisolasi dan dikembangbiakan secara in vitro, sehingga ketersediaan inokulum dalam bentuk agregat miselia sampai saat ini belum tersedia di Indonesia. Keberhasilan isolasi dan manipulasi biakan fungi EcM ini merupakan tahapan yang sangat menentukan dalam penelitian EcM untuk dapat lebih memahami biologi, fisiologi dan ekologi fungi tersebut (Setiadi et al. 1992).

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh teknik isolasi dan biakan murni fungi EcM Scleroderma sp yang berasosiasi dengan merbau secara in vitro.

Bahan dan Metode

Sporokarp dan hifa dari fungi Scleroderma sp maupun ujung akar bermikoriza diperoleh dari hasil pengumpulan di bawah tegakan alami, tanaman maupun di persemaian merbau. Lokasi pengumpulan terletak di Kabupaten

Manokwari, Provinsi Papua Barat, secara geografi terletak pada koordinat 133o58’60”- 134o04’03”BT, dan 0o46’05”- 0o50’38”LS. Daerah ini meliputi hutan pantai dan hutan dataran rendah yang berada pada daerah pantai hingga daerah berbukit dengan ketinggian 0-110 m dpl. Lokasi pengumpulan lain berada pada persemaian tanaman kehutanan di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat yang secara geografis terletak pada koordinat 106o43’30”BT and 06o33’15”LS. Sporokarp dan ujung akar bermikoriza juga diperoleh dari hasil baiting method dengan cara menanam cabutan alam dalam polibag berukuran 15 x 20 cm yang dipelihara di rumah kaca. Sporokarp dapat dihasilkan setelah tanaman dipelihara selama 8-12 bulan.

Sporokarp, hifa maupun akar bermikoriza diambil bersama tanah, dimasukkan ke dalam plastik dan segera dibawa ke laboratorium. Sporokarp, hifa maupun akar bermikoriza segar disimpan dalam refrigerator pada suhu dicuci beberapa kali menggunakan air steril, dimasukkan kedalam alkohol 40% yang diberi tween beberapa tetes selama 10 menit, kemudian dimasukkan ke dalam larutan HgCl2 0.2% selama 10 menit dan dibilas dengan air steril beberapa kali

kemudian ditiriskan di atas kertas saring steril dalam petridis. Sporokarp, hifa maupun ujung akar bermikoriza dipotong-potong dan ditanam dalam media kultur Modified Melin-Norkrans (MMN) agar padat.

Isolat Scleroderma sp. berumur 3 - 4 minggu yang tidak terkontaminasi dan telah tumbuh dengan baik , yang ditampakkan dengan adanya pertumbuhan miselia udara, dengan segera dipindahkan ke media agar MMN yang baru untuk memperoleh biakan murni. Potongan agregat miselia dari biakan murni yang masih aktif bertumbuh dari biakan murni hasil perbanyakan pada media MMN padat diambil dan ditanam pada media MMN semi-cair. Biakan dibiarkan 5-7 hari agar hifa tumbuh, selanjutnya biakan pada MMN semi-cair digojlok dengan mesin penggojlok selama satu jam setiap harinya (mengikuti prosedur Brundrett et al. 2005).

Media kultur MMN padat dibuat berdasarkan resep Kjøller dan Bruns (2002) dengan modifikasi pada jumlah malt extract dan penggunaan Ferro citrate diganti dengan FeCl3 [8.0 g Glucose, 2.5 g malt extract, 1 g yeast extract, 50 mg

CaCl2.2H2O, 25 mg NaCl, 150 mg MgSO4.7H2O, 250 mg (NH4)2HPO4, 500 mg

KH2PO4, 2 ml FeCl3 (1%, v/v), 1 mg thiamin-HCl, dan Agar 15 g, untuk 1 liter].

Sedangkan media kultur MMN semi-cair dibuat dengan penambahan agar 3%. Karakterisasi fungi EcM yang tumbuh dalam kultur in vitro dilakukan meliputi diskripsi warna dan tekstur dari miselia. Pertumbuhan diukur pada dua bulan setelah tanam, melalui pengukuran diameter koloni untuk pertumbuhan fungi pada media padat sedangkan pada media semi-cair pengukuran dilakukan terhadap berat agregat miselia.

Hasil dan Pembahasan Hasil Penelitian

Scleroderma sp dapat dikembangkan secara in vitro pada media agar MMN maupun semi-cair MMN dengan menggunakan potongan sporocarp. Penggunaan ujung akar bermikoriza ataupun hifa terkendala oleh faktor kontaminasi yang tinggi. Hasil karakterisasi biakan Scleroderma sp dalam media kultur MMN disajikan pada Tabel 6.

Pertumbuhan fungi dalam kultur in vitro tergolong lambat, dengan kecepatan pertumbuhan hanya 2,52 ± 1,10 cm selama 2 (dua) bulan pada media MMN padat. Pertumbuhan selanjutnya melambat atau bahkan terhenti setelah dua bulan. Miselia udara biakan fungi berwarna putih kekuningan dan bertekstur lembut, sedangkan penampakan agregat miselia dari bagian bawah biakan berwarna coklat kekuningan dengan bagian tepi putih kekuningan. Biakan sering mengeluarkan eksudat berwarna coklat kekuningan (Gambar 18).

Biakan Scleroderma sp pada media semi-cair tumbuh membentuk gumpalan-gumpalan agregat miselium (clumps) berwarna coklat. Pada bagian yang tidak tenggelam, sejumlah kecil miselia udara tumbuh (Gambar 18d). Penggojlogan yang dilakukan secara perlahan seringkali dapat menyebabkan miselium yang ditanam mati karena tenggelam dalam media. Pertumbuhan fungi dalam media semi-cair selama 2 (dua) bulan dapat mencapai 0,41 ± 0,14 mg.

Tabel 6 Deskripsi karakter biakan Scleroderma sp yang ditumbuhkan pada media Modified Melin-Norkrans (MMN) padat dan semi-cair

No Karakter Deskripsi

Pada media MMN padat

1. Miselia pada media pada media MMN padat

Miselia udara (air mycelia) ada, agregat miselia berwarna putih kekuning, bertekstur lembut 2. Agregat miselia tampak

dari bawah biakan

Agregat miselia berwarna coklat tua kekuningan dengan bagian tepi putih kekuningan

3. Eksudat Biakan sering mengeluarkan eksudat berwarna coklat kekuningan

4 Pertumbuhan 2,52 ± 1,10 cm/2 bulan

Pada media MMN semi-cair

1. Miselia pada MMN semi-cair

Miselia udara sedikit, agregat miselia berwarna putih kekuningan, bertekstur lembut, membentuk gumpalan-gumpalan miselium (clumps). Agregat miselium yang tenggelam berwarna coklat muda hingga coklat tua

2. Pertumbuhan 0,41 ± 0,14 g/2 bulan

Gambar 18 Kultur in vitro Scleroderma sp. (a) kultur berumur 2 bulan pada media agar Modified Melin-Norkrans (MMN), tampak atas, dan (b) tampak bawah. (c) eksudat kuning kecoklatan sering tampak saat isolasi. (d) kultur berumur 2 bulan dalam media semi-cair (agar 3%) MMN menghasilkan gumpalan-gumpalan agregat miselium.

Pembahasan

Isolasi fungi EcM Scleroderma sp. yang bersimbiosis dengan merbau paling mudah dilakukan dengan menggunakan potongan sporocarp dibandingkan menggunakan ujung akar bermikoriza tanaman merbau. Pengggunaan ujung akar bermikoriza dan hifa terkendala dengan masalah kontaminasi. Apabila tingkat sterilisasi diperkuat walau kontaminasi dapat teratasi, namun eksplan sulit untuk hidup. Untuk mendapatkan konsentrasi bahan sterilisasi yang tepat, agar dapat efektif mematikan mikroorganisme selain fungi EcM, merupakan kesulitan umum. Kendala demikian juga dijumpai pada usaha isolasi fungi EcM dengan menggunakan akar bermikoriza Shorea laevis dan Shorea ovalis (Tata 2001). Walaupun demikian keberhasilan juga dilaporkan oleh Lee et al. (2008). Dalam mengisolasi fungi EcM dari akar bermikoriza tanaman Shorea parvifolia dengan menggunakan media Pachlewski’s agar padat.

Berdasarkan pengalaman, membedakan jenis fungi berdasarkan deskripsi karakter dalam suatu kultur relatif sulit. Seringkali ciri yang ditampakkan mirip satu sama lain, seperti ciri dari fungi EcM Scleroderma sp dalam percobaan ini sangat mirip dengan Scleroderma dictyosporum Pat. Pada beberapa jenis fungi yang telah dikenal dengan baik, kunci identifikasi berdasarkan karakter fungi yang ditumbuhkan dalam kultur in vitro, dapat digunakan walaupun memerlukan pengalaman (Hutchinson 1991).

Mampu ditumbuhkannya fungi EcM Scleroderma sp. secara in vitro memberikan arti penting bagi pengembangan penelitian dan pemanfaatan fungi ini pada tanaman merbau. Fungi dari genus Scleroderma termasuk jenis yang pada umumnya mudah untuk dikultur dengan kecepatan pertumbuhan dari sedang hingga cepat (Brundrett et al. 1999). Seperti pula ditunjukkan dari jenis fungi ini, pada media agar MMN pertumbuhannya relatif rendah yaitu 2,52 ± 1,10 cm/2 bulan dan 0,41 ± 0,14 g/2 bulan, bila dibandingkan jenis Scleroderma lain seperti S. sinnamariense, maupun S. columnare. Tata (2001) menumbuhkan S. comlumnare pada media MMN padat dan cair dengan komposisi media MMN sedikit berbeda yaitu tanpa ekstrak ragi (yeast extract), diperoleh pertumbuhan berturut-turut 3,17 cm/2 bulan pada media padat dan 0,14 g/2 bulan pada media

cair. Sims et al. (1999) menunjukkan bahwa isolat Scleroderma pada umumnya tumbuh relatif lambat pada media MMN, dengan rata-rata kecepatan pertumbuhan Scleroderma verrucosum 4,5 – 6,0 cm/2 bulan, S. sinnamariense 6,0 – 9,0 cm/2 bulan, Scleroderma citrinum, 6,0 cm/2 bulan dan S. columnare 4,5 cm/2 bulan, dibandingkan dengan pertumbuhan Pisolithus arhizus yang dapat mencapai 12,0 – 15,0 cm/2 bulan.

Pertumbuhan fungi EcM dalam kultur in vitro dipengaruhi oleh kandungan nutrisi dalam media, seperti jumlah dan jenis karbohidrat dan umumnya tumbuh lebih baik pada media yang mengandung bahan alami dari pada hanya mengandung bahan anorganik. Kemasaman media biakan juga sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan fungi dalam kultur in vitro (Tata 2001; Xu et al. 2008). Lambatnya pertumbuhan biakan Scleroderma sp. memperlihatkan masih diperlukannya penyeleksian kandungan nutrisi dalam media untuk meningkatkan pertumbuhan fungi ini, namun dengan tetap memperhatikan agar fungi tidak kehilangan kemampuan menginfeksi dan membentuk mikoriza dengan anakan merbau saat diinokulasikan kembali.

Pada kultur dengan menggunakan media semi-cair MMN, Scleroderma sp. mampu tumbuh, walaupun saat penanaman perlu diusahakan agar potongan agregat miselium tidak tenggelam dalam media. Fungi EcM merupakan fungi obligat aerobik sehingga akan mati bila tenggelam. Kecenderungan umum bagi fungi EcM yang dikultur pada media semi-cair, seperti pula ditunjukkan oleh Scleroderma sp., yaitu membentuk gumpalan-gumpalan (clumps). Mengatasi hal tersebut, homogenisasi melalui penggojlokan biakan fungi EcM secara perlahan perlu dilakukan. Keberhasilan pembiakan dalam media semi-cair ini sangat berarti dalam penyediaan fasilitas untuk produksi inokulum (Harvey et al. 1998).

Simpulan

Isolasi fungi EcM Scleroderma sp. dapat dilakukan dengan menggunakan potongan jaringan sporocarp yang ditanam pada media MMN. Pertumbuhan koloni miselium pada media agar MMN mempunyai kecepatan relatif rendah. Isolat yang dikulturkan pada media semi cair MMN dapat tumbuh dengan baik

walau cenderung membentuk gumpalan agregat miselium (clumps). Optimasi kultur untuk memperoleh pertumbuhan yang baik dengan kemampuan infeksi yang masih tinggi saat diinokulasi kembali ke tanaman merbau masih perlu dilakukan. Keberhasilan pembiakan jenis fungi ini secara in vitro memberikan kemudahan bagi penyediaan inokulum.

Daftar Pustaka

Brundrett M, Bougher N, Dell B, Grove T, Malajczuk N. 1996. Working with Mycorrhizas in Forestry and Agriculture. Wembley, WA: Australian Centre for International Agriculture Research (ACIAR),

Brundrett M, Malajezuk N, Gong M, Xu D, Snelling S. 2005. Nursery inoculation of Eucalyptus seedlings in Western Australia and Sourthern China using spores and mycelial inoculum of diverse ectomycorrhizal fungi from different climatic region. For Ecol Manag 209: 193-203.

Chen YL. 2006. Optimization of Scleroderma spore inoculum for Eucalyptus nurseries in south China [Disertasi] Perth: Murdoch University.

Harvey LM, Smith JE, Kristiansen B, Neil J, Senior E. 1998. The cultivation of ectomycorrhizal fungi. Di dalam: Whipps JM, Lumaden RD, editor. Biotechnology of Fungi for Improving Plant Growth. Cambridge: Cambridge University Press. Hlm. 27-40

Hutchinson LJ. 1991, Description and identification of cultures of ectomycorrhizal fungi found in North America. Mycotaxon 42:387-384. Kjøller R, Bruns TD. 2002. Rhizopogon spore bank community within and among

California pine forest. Mycologia 95(4):603-613.

Lee SS, Patahayah M, Chong WS, Lapeyrie F. 2008. Successful ectomycorrhizal inoculation of two dipterocarp species with a locally isolated fungus in Peninsular Malaysia. J Trop For Sci 20(4):237-247.

Setiadi Y, Mansur I, Budi SW, Achmad. 1992. Mikrobiologi tanah hutan: Petunjuk laboratorium. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian.

Sims KP, Sen R, Watling R, Jeffries P. 1999. Species and population structures of Pisolithus and Scleroderma identified by combined phenotypic and genomic marker analysis. Mycol. Res. 103 (4): 449-458.

Tata MHL. 2001. Pengaruh kebakaran hutan terhadap daya tahan hidup fungi ektomikoriza Dipterocarpaceae [Thesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Xu M et al. 2008. Optimum condition for pure culture of major ectomycorrhizal fungi obtained from Pinus sylvitris var. mongolica plantations in southest- ern Keerqin sandy lands, China. J For Res 19(2):113-118.

SPESIFISITAS MERBAU [Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze]