• Tidak ada hasil yang ditemukan

SPESIFISITAS MERBAU [Intsia bijuga (Colebr.) O Kuntze] SEBAGAI INANG FUNGI EKTOMIKORIZA

Abstrak

Pemahaman spektrum asosiasi antara merbau [Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze] dan fungi ektomikoriza (EcM) maupun keefektivan penggunaan inokulum dalam bentuk spora maupun agregat miselia sangat penting untuk tujuan praktis. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengevaluasi spesifisitas tanaman merbau dalam membentuk asosiasi EcM dengan jenis fungi EcM yang disolasi dari tanaman merbau yaitu: Scleroderma sp), maupun asal tanaman jenis lain yaitu: Scleroderma sinnamariense, S. dyctiosporum, S. columnare dan Pisolithus sp.; dan (2) membandingkan keefektivan penggunaan inokulum dalam bentuk spora dan agregat miselium. Penelitian dirancang dalam rancangan acak kelompok. Anakan merbau yang ditanam dalam polibag 15 x 20 cm diinokulasi dengan inokulum fungi EcM Scleroderma sp., Scleroderma sinnamariense, S. dyctiosporum, S. columnare dan Pisolithus sp. dalam bentuk spora maupun agregat miselium. Perkembangan pembentukan mikoriza dilihat melalui percobaan terkontrol dengan menanam anakan merbau yang telah diinokulasi dengan Scleroderma sp. pada kontainer kaca 12 x 20 x 20 cm berisi media tanam steril. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya fungi EcM Scleroderma sp yang berhasil mengkolonisasi akar anakan merbau. Fungi lain Scleroderma sinnamariense, S. dictyosporum, S. columnare dan Pisolithus sp. tidak dapat membentuk mikoriza dengan anakan merbau. Inokulasi cenderung memberikan pertumbuhan tanaman lebih baik dibandingkan dengan yang tidak diinokulasi. Penggunaan spora memberikan hasil inokulasi yang lebih baik daripada menggunakan agregat miselia.

Kata kunci: merbau [Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze], spesifisitas, keefektivan, ektomikoriza, massa spora, agregat miselia

Abstract

Understanding the spectrum of the association between merbau [Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze] and ectomycorhizal (EcM) and the effectiveness of spora mass and mycelia aggregate inoculums were important for practical purposes. The study was aimed to evaluate the specificity of merbau seedlings to form EcM association with EcM fungus isolated from merbau, i.e. Scleroderma sp., and EcM fungi isolated from other tree species, i.e. Scleroderma sinnamarense, S. dictyosporum, S. columnare and Pisolithus sp. The study was performed in randomized completely block design (RCBD). Merbau seedlings were inoculated with Scleroderma sp., S. sinnamarense, S. dictyosporum, S. columnare and Pisolithus sp., in the forms of spora slurry and mycelia aggregate. Mycorrhization was observed by a controlled experiment. Inoculated merbau seedlings were planted on 12 x 20 x 20 cm glass containers filled steril planting media. The results of this study confirmed that only EcM fungus of Scleroderma sp. was successful to colonize the roots of merbau. Other EcM fungi i.e

Scleroderma sinnamarense, S. dictyosporum, S. columnare and Pisolithus sp. were not able to form ectomycorrhiza with merbau seedlings. The inoculated plants tended to give 75-78% better growth performance than the uninoculated ones. Inoculation using spora mass gave better results than using mycelia aggregates.

Keywords: merbau [Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze], specificity, effectiveness, ectomycorrhizae, spore mass, mycelia aggregate

Pendahuluan Latar Belakang

Spektrum simbiosis antara tanaman inang dengan fungi ektomikoriza (EcM), ada yang bersifat spesifik hanya berasosiasi dengan satu jenis fungi saja (memiliki spesifisitas tinggi), namun ada pula yang memiliki spektrum simbiosis lebar dengan beberapa jenis fungi sekaligus (memiliki spesifisitas rendah) (Chen 2006; Smith & Read 2008).

Reseptivitas tanaman inang (host receptivity) didefinisikan sebagai banyaknya atau keragaman fungi EcM yang dapat diterima untuk berasosiasi dengan tanaman inang (Molina et al. 1992). Istilah ini setara dengan istilah kompatibilitas antara tanaman inang dengan fungi ektomikoriza. Pengetahuan tentang reseptivitas atau kompatibilitas tanaman inang terhadap fungi EcM mempunyai arti penting untuk tujuan praktis. Apabila tanaman merbau mampu berasosiasi dengan jenis fungi EcM lain yang bukan berasal dari habitat aslinya dan ternyata hasilnya dapat memberikan peningkatan pertumbuhan bagi merbau, maka dengan demikian penyediaan inokulum akan lebih mudah karena tidak tergantung pada ketersediaan fungi tertentu. Semakin rendah spesifisitas tanaman inang terhadap fungi EcM, maka kemungkinan kompatibel dengan banyak jenis fungi EcM semakin tinggi. Dari hasil analisis sukuens DNA dari ujung akar bermikoriza yang dilakukan oleh Tedersoo et al. (2006) di habitat alami merbau di P. Seycelles, teridentifikasi 15 jenis fungi ektomikoriza, dua jenis diantaranya termasuk dalam genus Scleroderma, dan ini mengindikasikan bahwa tanaman merbau memiliki spesifisitas yang rendah. Dengan demikian inokulum dari jenis fungi EcM asal tegakan lain kemungkinan dapat digunakan untuk membentuk

asosiasi ektomikoriza dengan tanaman merbau, yang sekaligus dapat digunakan untuk meningkatkan keragaan pertumbuhan tanaman.

Fungi dari genus Scleroderma dikenal sebagai salah satu jenis fungi pembentuk ektomikoriza yang memiliki kemampuan kolonisasi dengan spektrum asosiasi yang lebar dengan spesifisitas inang (host specificity) yang rendah (Chen 2006). Fungi Sclerodema sinnamariense, Scleroderma dictyosporum, Scleroderma columnnare dan Pisolithus spp merupakan jenis-jenis fungi EcM yang mudah dijumpai. Jenis S. columnnare dijumpai pada tegakan Shorea spp., S. dictyosporum pada tegakan Pinus merkusii dan S. sinnamariense pada tanaman melinjo (Gnetum gnemon) (Wulandari 2002), sedangkan jenis fungi EcM Pisolithusarhizus bersimbiosis dengan Eucalyptus spp., dan Pinus spp (Sims et al 1999). Jenis fungi EcM Scleroderma dan Pisolithus merupakan jenis yang paling umum digunakan sebagai inokulum pada tanaman kehutanan di Asia Tenggara (Turjaman et al. 2006; Watling 2006).

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengevaluasi spesifisitas tanaman merbau dalam membentuk asosiasi EcM dengan menggunakan fungi EcM asal tanaman merbau, yaitu Scleroderma sp., maupun asal tanaman jenis lain yaitu: Scleroderma sinnamariense, S. dyctiosporum, S. columnare dan Pisolithus sp.; dan (2) membandingkan keefektivan penggunaan inokulum dalam bentuk spora dan agregat miselium.

Bahan dan Metode Rancangan Penelitian.

Penelitian dirancang dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK). Pengelompokan dilakukan untuk mengatasi pencahayaan yang tidak sama kondisinya dalam rumah kaca. Perlakuan terdiri atas:

1. Kontrol atau tanpa inokulasi (K)

2. Inokulasi dengan Scleroderma sp asal anakan merbau dalam bentuk miselium (Im)

3. Inokulasi dengan S. sinnamariense asal pohon melinjo (Gnetum gnemon) dalam bentuk miselium (Sm)

4. Inokulasi dengan S. columnare asal pohon Shorea leprosula dalam bentuk miselium (Cm)

5. Inokulasi dengan S.dictyosporum asal saninten (Catastropis trisperma) dalam bentuk miselium (Dm)

6. Inokulasi dengan Pisolithus sp asal tegakan acacia (Acacia mangium) dalam bentuk suspensi spora (Ps)

7. Inokulasi dengan Scleroderma sp asal anakan merbau dalam bentuk suspensi spora (Is)

8. Inokulasi dengan S. sinnamariense asal pohon melinjo dalam bentuk suspensi spora (Ss)

9. Inokulasi dengan S. columnnar asal pohon S. leprosula dalam bentuk suspensi spora (Cs)

10.Inokulasi dengan S. dictyosporum asal saninten dalam bentuk suspensi spora (Ds)

Ulangan dilakukan sebanyak 3 kali dengan setiap satuan percobaan terdiri atas 3 (tiga) satuan amatan, sehingga keseluruhan terdapat 90 satuan amatan

Prosedur Penelitian.

Benih merbau terlebih dahulu dicuci bersih dengan detergen, dilukai pada kedua sisinya dan disterilisasi dengan larutan sodium hipoklorit NaOCl 0,525% selama 15 menit, kemudian dilakukan perendaman dalam air selama 24 jam. Benih yang telah mendapat perlakuan awal kemudian ditanam dalam kontainer perkecambahan berisi media tanam berupa pasir steril. Anakan dari hasil perkecambahan secara steril selanjutnya ditanam pada polibag berukuran 15 x 20 cm berisi pasir steril (2 kg) yang dicampur dengan kompos sebanyak 50 g. Analisis karakteristik kimia media tanam campuran pasir dan kompos disajikan pada Tabel 7. Setelah berumur dua minggu maka anakan telah siap untuk diinokulasi.

Inokulum dalam bentuk miselium diperoleh dengan mengambil potongan miselium (mycellium disc) dari biakan murni dengan menggunakan cork borer (Ø 0,75 cm). Inokulasi pertama dilakukan dengan menggunakan 3 (tiga) potongan

miselium yang diletakkan pada akar anakan merbau saat tanam. Inokulasi berikutnya dilakukan pada minggu ke 3 dan ke 8 setelah tanam dengan menggunakan suspensi miselium. Suspensi miselium dibuat dengan cara sebanyak 40 potongan miselium dimasukkan ke dalam blender ditambahkan tween 80 sebanyak 0,25 ml dan digenapkan dengan air menjadi 1000 ml, kemudian diblender. Aplikasi dilakukan dengan menginjeksi suspensi pada 3 (tiga) lubang yang dibuat tersebar merata pada perakaran anakan merbau.

Tabel 7 Sifat kimia media tanam

No Parameter sifat tanah yang diukur Nilai Kriteria*

1. pH H20 6,60 Netral

2. C Walkley & Black (%) 1,38 Rendah

3 N Kjedah (%) 0,11 Rendah 4. C/N 13,00 Sedang 5. P2O5 HCl 25% (mg/100 g) 140,00 Tinggi 6 P2O5 (Olsen) (ppm) 110,00 Tinggi 7. K2O HCl 25% (mg/100 g) 22,00 Sedang 8. Ca dd (cmol/Kg) 7,97 Sedang 9. Mg dd (cmol/Kg) 2,08 Tinggi 10. K dd (cmol/Kg) 0,42 Sedang 11. Na dd (cmol/Kg) 0,44 Sedang 12. KTK (cmol/Kg) 7,05 Rendah 13. Al dd (cmol/Kg) 0,00 Rendah

*Berdasarkan Staf PPT 1983 (Hardjowigeno 2007)

Inokulum dalam bentuk spora diperoleh dari sporokarp segar fungi EcM. Spora dipisahkan dari peridium, dikeringanginkan pada suhu kamar (30oC) selama 24 jam, kemudian dihancurkan dan disimpan pada refrigerator pada suhu 5oC selama 1 (satu) bulan sebelum digunakan. Inokulum disiapkan dengan cara mensuspensikan 1 g spora dalam 1000 ml air yang diberi 0,25 ml surfaktan (tween 80) dengan menggunakan magnetic stirrer (Brundrett et al. 2005). Sebanyak 25 ml suspensi spora per tanaman diinjeksikan ke dalam 3 (tiga) lubang yang dibuat merata pada perakaran anakan merbau yang ditanam dalam polibag. Dalam 25 ml suspensi tersebut terdapat ± 2,43x109 spora. Inokulasi dilakukan pada awal

percobaan dan diulang kembali pada saat anakan merbau berumur 3 minggu dan 2 bulan.

Percobaan untuk melihat pembentukan mikoriza (mycorrhization) dilakukan melalui percobaan terkontrol dengan menggunakan kontainer kaca berukuran 12 x 20 x 20 cm. Anakan merbau yang digunakan dalam percobaan ini merupakan anakan berumur 2 minggu hasil perkecambahan dengan menggunakan media pasir steril. Sebelum ditanam dalam kontainer kaca, anakan disterilisasi terlebih dahulu akarnya dengan fungisida, kemudian dicuci beberapa kali dengan air akuades. Media tanam berupa campuran pasir 2 kg dan kompos komersial 50 g yang telah disterilisasi. Inokulasi menggunakan inokulum dalam bentuk miselium maupun spora dilakukan saat tanam dan diulang pada minggu ketiga dan ke delapan setelah tanam. Kontainer selanjutnya dibungkus dengan plastik hitam untuk menghalangi masuknya cahaya agar sesuai bagi kondisi pertumbuhan akar dan untuk mendorong terjadinya kolonisasi. Penyiraman dilakukan dengan menggunakan air akuades.

Pengamatan dan Analisis Data.

Pada 12 bulan setelah tanam dilakukan pemeriksaan ujung akar bermikoriza meliputi morfotipe EcM, dan pengukuran riap tinggi (T), riap diameter (D), persentase tanaman terinfeksi (I), persentase ujung akar bermikoriza/kolonisasi (K), berat kering pucuk (BKP) dan akar tanaman (BKA), dan kandungan N dan P pada biomassa anakan merbau. Sedangkan perkembangan mikoriza diamati secara periodik dari percobaan terkontrol pada kontainer kaca.

Analisis data dilakukan dengan menggunakan Analisis Keragaman (ANOVA) dan dilanjutkan dengan perbandingan rataan dengan menggunakan analisis uji jarak Duncan (DMRT) untuk melihat perbedaan antara perlakuan. Analisis korelasi (r) digunakan untuk melihat keterkaitan antara persen kolonisasi dengan keragaan tanaman dan serapan unsur N maupun P.

Hasil dan Pembahasan Hasil Penelitian

Kemampuan Menginfeksi dan Keefektifan Fungi Ektomikoriza Uji

Infeksi fungi ektomikoriza dapat terjadi dengan pemberian inokulum fungi EcM, dengan persentase anakan merbau terinfeksi tertinggi dijumpai pada Is (91,67%), diikuti berturut-turut pada Ps (66,67%), Cs (66,67%), Cm (41,67%), Dm (33,33%), Im (25,00%), Ds (25,00%), Ss (8,33%), Sm (8,33%) dan K (8,33%). Persen akar bermikoriza (kolonisasi) terbesar ditunjukkan pada perlakuan inokulum Is (26,51%) diikuti Ps (13,54%), Im (8,85%), Cs (3,79%), Cm (3,51%), Dm (2,39%), Ds (1,13%), Sm (0,43%), K (0,09%), dan Ss (0,05%) (Tabel 8).

Walaupun infeksi dan kolonisasi fungi ektomikoriza berhasil cukup baik, namun tidak memberikan pengaruh cukup nyata pada penampilan keragaan anakan merbau umur 1 (satu) tahun. Perbedaan keragaan hanya ditunjukkan pada bobot kering tanaman namun tidak pada tinggi dan diameternya. BKP terbaik dijumpai pada perlakuan Im (13,68 g) diikuti oleh perlakuan Is (13,18 g), Dm (12,83 g), Cm (12,47 g), Ps (11,84 g), Ds (11,50 g), Cs (10,89 g), Ss (9,98 g), Sm (9,39 g) dan K (7,82 g). BKA tertinggi terdapat pada Cm (7,63 g), kemudian diikuti Ds (7,50 g), Is (7,31 g), Dm (7,28 g), Ps (6,95 g), Im (6,48 g), Cs (6,44 g), Sm (5,65 g), Ss (5,46 g), K (3,70 g) (Tabel 8).

Pemeriksaan terhadap karakteristik ektomikoriza yang terbentuk secara teliti, meliputi morfotipe dan anatomi akar bermikoriza, menunjukkan bahwa seluruh fungi EcM yang menginfeksi akar tanaman adalah identik dengan karakteristik fungi Scleroderma sp. asal merbau, dicirikan dengan percabangan ektomikoriza monopodial pinnate dengan warna putih krem, mantel tebal dengan struktur mantel tersusun atas satu lapis jaringan pseudoparenchymatous. Pemeriksaan hifa eksternal memperlihatkan adanya sambungan apit (clam connection) dengan bentuk yang sama. Terdapat pula pembentukan sporokarp dari jenis Scleroderma sp. pada perlakuan inokulasi Ps (Gambar 19). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa fungi EcM asal tegakan lain (Scleroderma

sinnamariense, S. Columnnar, S. dictyosporum dan Pisolithus sp.) tidak dapat membentuk EcM dan hanya fungi Scleroderma sp. asal merbau yang mampu membentuk ektomikoriza dengan baik.

Tabel 8 Kemampuan fungi ektomikoriza uji dalam menginfeksi dan mengkolonisasi, dan penampilan keragaan anakan merbau [Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze] akibat keberadaan fungi ektomikoriza

Inokulum T D BKP BKA I K

(cm) (cm) (g) (g) (%) (%)

Kontrol 28.90 a 6,71 a 7,82 d 3,70 c 8,33 c 0,09 c

Dalam bentuk agregat miselium

Scleroderma sp. (Im) 34,85 a 7,67 a 13,68 a 6,48 ab 25,00 bc 8,85 bc

S.sinnamariense (Sm) 27,38 a 7,00 a 9,39 cd 5,65 ab 8,33 c 0,43 c

S.columnare (Cm) 31,84 a 7,55 a 12,47 ab 7,63 a 41,67 bc 3,51 bc

S.dictyosporum (Dm) 31,29 a 7,54 a 12,83 ab 7,28 ab 33,33 bc 2,39 bc

Dalam bentuk spora

Scleroderma sp. (Is) 33,49 a 7,26 a 13,18 a 7,31 ab 91,67 a 26,51 a

S.sinnamariense (Ss) 26,98 a 7,06 a 9,98 bcd 5,46 bc 8,33 c 0,05 c

S. columnare (Cs) 28,83 a 7,26 a 10,90 abc 6,44 ab 66,67 ab 3,79 bc

S.dictyosporum (Ds) 28,21 a 7,08 a 11,50 abc 7,50 ab 25,00 bc 1,13 c

Pisolithus sp. (Ps) 29,57 a 7,03 a 11,84 abc 6,95 ab 66,67 ab 13,54 b

* Nilai dalam kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan (DMRT) (P<0.05).

** T= tinggi, D=diameter, BKP=berat kering pucuk; BKA=berat kering akar; I=persentase anakan terinfeksi fungi EcM, K=persentase kolonisasi fungi EcM.

Kolonisasi fungi ektomikoriza Scleroderma sp. yang terjadi pada inokulasi fungi EcM asal tegakan lain, termasuk pula pada perlakuan Kontrol (K) disebabkan oleh kontaminasi dari satuan percobaan lain yang mendapat perlakuan inokulasi fungi Scleroderma sp. asal tanaman merbau. Kolonisasi akibat kontaminasi umumnya dicirikan dengan kolonisasi yang mengelompok pada pangkal batang dengan persentase kolonisasi yang rendah. Ini berbeda dengan kolonisasi yang memang terbentuk akibat inokulasi, seperti pada perlakuan Is dan Im, umumnya menyebar merata pada seluruh permukaan akar. Semut diduga merupakan agen utama penyebab kontaminasi.

Inokulasi fungi Scleroderma sp. pada anakan merbau dengan menggunakan spora lebih berhasil dibandingkan penggunakan miselium, dengan persentase tanaman terinfeksi pada perlakuan Is mencapai 91,67% dan persentase kolonisasi mencapai 26,51%. Pada perlakuan Im, persentase infeksi mencapai 25,00% dan persentase kolonisasi mencapai 8,85%.

Gambar 19 Kolonisasi fungi Scleroderma sp. pada akar anakan merbau [Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze] berumur satu tahun. (a) akar tanaman kontrol (K) tidak terdapat kolonisasi, (b) kolonisasi sempurna pada perlakuan inokulasi dengan Scleroderma sp. dalam bentuk spora (Is), (c) kontaminasi Scleroderma sp. pada perlakuan inokulasi dengan Pisolithus sp. dalam bentuk spora (Ps) (tanda panah warna merah) terjadi dekat pangkal batang, (d) sporokarp Scleroderma sp. (tanda panah warna hitam) terbentuk pada Ps, (e) morfotipe ektomikoriza yang terbentuk pada Is identik dengan Ps (f).

Analisis histologi terhadap akar tidak bermikoriza (K) dan akar bermikoriza pada anakan merbau memperlihatkan bahwa inokulasi fungi EcM Scleroderma sp. mampu membentuk mantel dan hartignet dengan baik. Demikian pula sel-sel epidermis yang telah terkolonisasi berubah bentuk menjadi sel-sel epidermis yang

secara radial memanjang bentuknya (radially elongated epidermis cells) (Gambar 20).

Korelasi antara Persen Kolonisasi dengan BKA, BKT, Serapan N dan P

Analisis korelasi antara peubah persentase kolonisasi fungi EcM Scleroderma sp. dengan berat kering akar (BKA), berat kering pucuk (BKP), serapan N dan serapan K menunjukkan tidak adanya korelasi yang baik, ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi (r) yang sangat rendah (Tabel 9).

Gambar 20 Analisis histologi (a) akar non mikoriza dan (b) akar bermikoriza hasil inokulasi fungi Scleroderma sp. M=Mantel, Hn=Hartig net, Ep=Epidermis, C=kortek, Recc=Radially elongated epidermis cel.

Tabel 9 Korelasi antara persentase kolonisasi (K) dengan berat kering akar (BKA), berat kering pucuk (BKP), serapan N dan serapan P

No Peubah Kofisien Korelasi (r)

1. Persentase Kolonisasi dengan BKA - 0,01 2. Persentase Kolonisasi dengan BKP - 0,08 3. Persentase Kolonisasi dengan Serapan N 0,06 4. Persentase Kolonisasi dengan Serapan K 0,01

Perkembangan Mikoriza

Penanaman anakan merbau yang diinokulasi dengan fungi ektomikoriza Scleroderma sp. asal merbau pada kondisi terkontrol dalam kontainer kaca memperlihatkan pertumbuhan anakan dan pembentukan EcM yang lebih baik (Gambar 21). Tinggi dan diameter tanaman pada perlakuan inokulasi dengan menggunakan inokulum suspensi spora berturut-turut dapat mencapai 90,3 cm dan 0,91 cm, sedangkan dengan agregat miselium berturut-turut dapat mencapai 80,5 cm dan 0,88 cm. Pembentukan EcM telah tampak pada umur 4 bulan setelah tanam, bahkan EcM dapat dilihat dengan jelas karena muncul pada permukaan tanah pada 5 bulan setelah tanam. Sporokarp terbentuk pada umur 8 bulan setelah tanam dan pada umur 1 tahun seluruh permukaan akar terkolonisasi dengan fungi EcM (Gambar 22).

Pembahasan

Pengamatan pada akar yang terinfeksi fungi EcM berdasarkan ciri morfotipe EcM yang terbentuk, menunjukkan bahwa hanya jenis fungi Scleroderma sp. yang berhasil mengkolonisasi perakaran anakan merbau. Mudahnya infeksi oleh Scleroderma sp. dari satu satuan percobaan ke satuan percobaan lainnya. membuktikan agresivitas jenis fungi ini di alam yang sangat mudah menginfeksi anakan merbau. Semut merupakan agen yang paling dicurigai bertanggungjawab sebagai pemindah propagul fungi walaupun kemungkinan terjadi secara tidak

sengaja, terbawa melalui aktivitasnya saat berasosiasi dengan kutu putih (Dysmicoccus brevipes) pengisap cairan anakan merbau (tidak dipresentasikan).

Gambar 21 Perbandingan keragaan anakan merbau [Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze] yang diinokulasi dengan fungi ektomikoriza Scleroderma sp. dalam bentuk spora dan miselium 12 bulan setelah tanam dalam kondisi terkontrol.

Gambar 22 Perkembangan pembentukan ektomikoriza pada anakan merbau [Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze] yang diinokulasi dengan suspensi spora dalam kontainer kaca. (a) ujung akar bermikoriza mulai tampak saat anakan berumur 4 bulan setelah tanam, (b) ektomikoriza muncul di permukaan tanah dekat pangkal batang saat 5 bulan setelah tanam, (c) ujung akar bermikoriza saat 5 bulan setelah tanam, (d) ujung akar bermikoriza saat 8 bulan setelah tanam, (e) sporokarp Scleroderma sp. (tanda panah) terbentuk saat 8 bulan setelah tanam, dan (f) pembentukan ektomikoriza telah merata pada seluruh perakaran satu tahun setelah tanam.

Jenis S. columnare, S. dictyosporum, S. sinnamariense maupun Pisolithus sp. gagal dalam membentuk mikoriza dengan anakan merbau. Walaupun demikian anakan merbau belum dapat dikatakan hanya berasosiasi secara spesifik dengan fungi Scleroderma sp., karena dalam percobaan ini baru menguji 4 jenis fungi EcM asal jenis tanaman lain. Keragaman fungi EcM yang berasosiasi dengan suatu jenis tanaman sangat bervariasi tergantung dari kondisi lingkungan, terutama jenis tanah. Peningkatan kandungan N tanah dan terjadinya acidifikasi mampu mengarahkan perubahan komunitas fungi EcM (Lilleskov et al. 2002). pH optimum bagi pertumbuhan kebanyakan fungi EcM berada pada kisaran pH 3 dan pH 5, walaupun terdapat pula beberapa fungi EcM yang lebih toleran terhadap kondisi masam, sangat masam atau dengan rentang pH lebih lebar di atas pH 5.

Secara teoritis tingkat kemasaman tanah berkorelasi dengan ketersediaan unsur hara dalam tanah yang sangat bervariasi tergantung dari jenis tanah. Oleh karena itu keragaman jenis EcM juga sangat terkait dengan jenis tanah (Molina et al. 1992; Dames et al. 1999). Bagaimanapun Tedersoo et al. (2007) mengungkapkan bahwa terdapat 15 jenis fungi EcM yang teridentifikasi dari analisis molekular ujung akar bermikoriza tanaman merbau di hutan alam P. Seychelles. Ini mengindikasi kemungkinan masih ada jenis fungi ektomikoriza lain yang berasosiasi dengan merbau.

Spesifisitas terjadi saat fungi memilih tanaman inang berdasarkan signal kimia yang spesifik. Signal kimia tersebut berupa metabolit sekunder yang dihasilkan tanaman, yang mampu mengarahkan dan menstimulasi perkecambahan spora fungi terhadap fungi yang spesifik (Bruns et al. 2002). Manakala signal tersebut tidak dikenali maka spora fungi akan tetap dorman tidak berkecambah. Penggunaan inokulum dalam bentuk miselium menunjukkan pola yang berbeda. Miselium Suillus grevillei spesialis pada tanaman Larix mampu menginisiasi pembentukan mikoriza pada tanaman bukan inangnya seperti Pinus dan Pseudotsuga. Pada kejadian ini dijumpai adanya akumulasi senyawa phenolik pada akar tanaman, sama seperti saat tanaman bereaksi terhadap patogen (Duddridge 1986). Kejadian seperti ini tidak dijumpai pada percobaan menggunakan fungi EcM jenis S. columnare, S. dictyosporum, S. sinnamariense maupun Pisolithus sp. dalam bentuk miselia yang diinokulasikan pada anakan merbau.

Efektivitas penggunaan inokulum berupa suspensi spora lebih baik dibandingkan inokulum berupa agregat miselium seperti terlihat dari persentase tanaman terinfeksi (91,67%) dan persentase kolonisasi (26,51%) pada perlakuan Is yang lebih tinggi daripada persentase tanaman terinfeksi (25,00%) dan persentase kolonisasi (8,85%) pada perlakuan Im. Rendahnya hasil inokulasi menggunakan miselium telah banyak dilaporkan. Fragmen miselium seringkali gagal untuk tumbuh kembali (Brundrett et al. 2005), walaupun pada kasus lain pengunaan inokulum miselium sama efektifnya dengan spora (Rincǒn et al. 2007), yang kemungkinan dikarenakan kondisi media tumbuh yang lebih bersih

dari mikroorganisme lain. Hasil ini dikuatkan oleh hasil percobaan mikorizasi terkontrol dengan hasil persentase tanaman terinfeksi 100% pada kedua bentuk inokulum, sedangkan persentase kolonisasi 49,00% pada inokulum miselium dan 61,47% pada inokulum spora (Gambar 20).

Salah satu kemungkinan rendahnya keberhasilan inokulum miselium Scleroderma sp. dalam percobaan ini disebabkan tingginya persaingan dengan mikroorganisme lain. Dalam percobaan tidak terkontrol permukaan media tanam sering terkontaminasi oleh lumut dan fungi oportunistik non-mikoriza, diduga terbawa bersama air yang digunakan dan kejadian seperti ini sering dijumpai di persemaian. Sumber kontaminan perlu diidentifikasi selama kontaminan ini dapat mengurangi atau bahkan menggagalkan terjadinya kolonisasi fungi EcM yang diintroduksi (Brundett et al. 2005).

Pengaruh kolonisasi fungi EcM Scleroderma sp. hanya ditunjukkan pada berat kering akar (BKA) dan berat kering pucuk (BKP) tanaman. Analisis korelasi memperlihatkan tingginya kolonisasi fungi EcM Scleroderma sp. tidak diikuti dengan peningkatan perbaikan keragaan maupun serapan N dan P. Walaupun demikian, tanaman merbau bermikoriza cenderung memiliki produksi biomassa lebih baik hingga 75-78% dibandingkan tanaman tidak bermikoriza (kontrol). Korelasi antara kolonisasi dan nutrisi N dan P sering dilaporkan tidak konsisten. Inokulasi fungi EcM tidak selalu akan meningkatkan kandungan N dan P dalam biomassa tanaman, demikian pula peningkatan konsentrasi N dan P dalam biomassa tanaman tidak selalu berkorelasi dengan stimulasi pertumbuhan tanaman (Bâ et al. 1999; Rincǒn et al. 2007).

Tidak adanya korelasi antara persentase kolonisasi fungi EcM dengan pertumbuhan, dan serapan N maupun P diduga terkait dengan keterbatasan unsur hara dalam media tanam untuk menyuplai kebutuhan tanaman merbau dalam jangka waktu satu tahun. Tanaman bermikoriza yang pada awalnya tumbuh lebih cepat kemudian akan tumbuh melambat karena keterbatasan unsur hara tanaman dalam media tanam. Bahkan kehadiran mikoriza diduga dapat menjadi beban bagi tanaman merbau, karena tanaman harus menyuplai C untuk fungi EcM,

sebaliknya fungi tidak mampu menyuplai unsur hara karena stok unsur hara yang semakin tipis dalam media tanam.

Secara teoritis asosiasi antara fungi dan tanaman inang dapat terjadi dalam bentuk asosiasi yang seimbang dan saling menguntungkan. Asosiasi seperti ini disebut sebagai balanced mycorrhiza. Namun dapat pula terjadi asosiasi eksploitatif yang disebut sebagai exploitative mycorrhizal association, apabila fungi telah mengeksploitasi tanaman inang untuk kebutuhan karbohidratnya (Brundrett 2004). Dasar penting untuk terjadinya peran mikoriza terletak pada suplay karbohidrat bagi fungi oleh tanaman inang dan sebagai respon terhadap besarnya tingkat kehilangan karbohidrat sebagai konsekuensi simbiosis, maka tanaman inang dapat (a) meningkatkan efisiensi fotosintesis dan (b) mengontrol kehilangan karbohidrat karena diambil fungi untuk menghindari terjadinya parasitisme fungi (Nehls et al. 2007). Unsur hara yang terbatas dalam media