• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komposisi Media

An

Org.

Vit

. Gula (g/L)

NH

4

NO

3

(mg/L)

KNO

3

(mg/L)

KH2PO4

(mg/L)

IBA/NAA

(mg/L)

BAP

(mg/L

)

Casein H

(mg/L)

Arang

Aktif/Vit

C

(mg/L)

ADS

(mg/L)

MS11

½ MS MS 30 412,5 475 - 0,2/0,1 1,0 - - -

MS12

½ MS MS 25 412,5 475 - 0,2/0,1 - - - -

MS13

½ MS MS 25 412,5 475 - 0,2/0,1 1,0 - - -

MS14

½ MS ½ MS 30 - - - 100 - -

MS15

½ MS ½ MS 30 - - - 0,4/0,2 2,0 100 - -

MS16

½ MS MS 30 412,5 475 - - - 100 - -

MS17

½ MS ½ MS 30 - - - - -

MS18

½ MS MS 25 412,5 475 - - - 100 - -

MS19

½ MS MS 20 412,5 475 - 0,2/0,1 2,0 - 100/0 -

MS20

½ MS MS 20 412,5 475 - 0,2/0,1 2,0 - - -

Media WPM yang dimodifikasi komposisi vitaminnya, sesuai dengan komposisi pada media MS (WPM0), telah mampu menginisiasi pertumbuhan tunas walau hasilnya masih rendah (14,3%). Penambahan 1 mg/L BAP dan 0,1 mg/L NAA, 10 mg/L Ads, serta arang aktif 100 mg/L pada perlakuan WPM7 belum mampu meningkatkan inisisi tunas, seperti ditunjukkan oleh tingkat keberhasilan eksplan bertunas yang masih sama dengan WPM0 (14,3%), walaupun telah mampu menginisiasi pertumbuhan akar (14,3%). Dilain pihak penambahan 1 mg/L BAP dan 0,1 mg/L NAA, 10 mg/L Ads, dan 137,7 g/L vitamin C pada perlakuan WPM8 menghasilkan eksplan bertunas sebesar 14,3% tanpa inisiasi akar (Tabel 5 dan Gambar 15).

Media dasar MS yang dimofikasi komposisinya menjadi ½ MS bahan anorganik, dengan kandungan vitamin tetap, namun kandungan NH4NO3 dan

KNO3 dipertahankan relatif tinggi yaitu masing-masing total 1237,5 mg/L dan

1425 mg/L, sedangkan kandungan sukrosa menjadi 25 g/L atau 20 g/L menghasilkan inisiasi tunas lebih baik dibandingkan media dasar modifikasi MS lainnya. Peningkatan kandungan KH2PO4 dari ½ MS menjadi 135 mg/L dapat menginisiasi tunas bila kandungan sukrosanya diturunkan menjadi 20 g/L. Tunas yang terbentuk pada perlakuan MS1 hanya memanjang tanpa pembentukan daun yang sempurna karena defoliasi terjadi sangat dini, sebaliknya perlakuan MS9 tunas terbentuk sempurna karena defoliasi daun terjadi pada 3 bulan setelah tanam (Tabel 5 dan Gambar 15).

Pemberian casein hidrolisat pada media MS yang dimodifikasi, baik dengan atau tanpa auksin maupun kinetin, belum mampu mendorong terjadinya inisiasi pembentukan tunas. Demikian pula pemberian auksin dengan tingkat konsentrasi rendah IBA 0,2-0,4 mg/L, NAA 0,1-0,2 mg/L maupun sitokinin BAP 1-2 mg/L belum berpengaruh terhadap multiplikasi maupun pemanjangan tunas (Tabel 5 dan Gambar 15).

Pembahasan

Hasil penanaman stek mikro yang memiliki tunas apikal maupun aksilar pada media kultur MS, dengan memodifikasi kandungan garam anorganik, baik

makro maupun mikro, namun dengan tetap mempertahankan kandungan N dan P relatif tinggi, memberikan harapan bagi inisiasi pembentukan tunas merbau. Demikian pula kandungan gula dalam media kultur yang lebih rendah dari media MS (>30 g) memberikan hasil relatif lebih baik dibandingkan media kultur dengan kandungan gula sesuai resep MS (=30 g).

Tabel 5 Persentase eksplan bertunas (ET), eksplan berkalus (EK) dan eksplan berakar (EA) stek mikro merbau [Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze] pada beberapa media modifikasi WPM dan MS

Media ET (%) EK (%) EA (%) Keterangan WPM0 14,3 0,0 0,0 Defoliasi dini WPM1 0,0 0,0 0,0 - WPM2 0,0 0,0 0,0 - WPM3 0,0 42,9 0,0 - WPM4 0,0 100,0 0,0 - WPM5 0,0 100,0 0,0 - WPM6 0,0 100,0 0,0 - WPM7 14,3 0,0 14,3 Defoliasi dini

WPM8 14,3 0,0 0,0 Mati setelah 3 bulan setelah tanam MS1 14,3 100,0 0,0 Mati setelah 3 bulan setelah tanam MS2 0,0 0,0 0,0 -

MS3 0,0 0,0 0,0 -

MS4 42,9 57,1 0,0 Mati setelah 3 bulan setelah tanam MS5 42,9 85,7 0,0 Mati setelah 3 bulan setelah tanam MS6 0,0 0,0 0,0 -

MS7 14,3 0,0 0,0 Mati setelah 3 bulan setelah tanam MS8 28,6 28,6 0,0 Mati setelah 3 bulan setelah tanam MS9 42,9 0,0 0,0 Defoliasi dini

MS10 14,3 85,7 0,0 Mati setelah 3 bulan setelah tanam MS11 14,3 100,0 0,0 Mati setelah 3 bulan setelah tanam MS12 14.3 57,1 0,0 Mati setelah 3 bulan setelah tanam MS13 0,0 100,0 0,0 Kalus putih hijau

MS14 28,6 0,0 0,0 Tunas tidak berkembang MS15 14,3 0,0 0,0 Tunas tidak berkembang MS16 0,0 0,0 0,0 -

MS17 28,6 0,0 0,0 Tunas tidak berkembang MS18 0,0 0,0 0,0 -

MS19 42,9 0,0 0,0 Tunas tidak berkembang MS20 14,3 0,0 0,0 Tunas tidak berkembang

Gambar 15 Inisiasi tunas stek mikro merbau [Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze pada media modifikasi Woody Plant Media (WPM), Murashige dan Skoog (MS). (a) tunas terbentuk setelah 2 bulan dalam media MS1, (b) pemanjangan tunas pada media MS4 setelah 3 bulan dalam media disertai defoliasi dini, (c) tunas mati pada media MS8 setelah 2 bulan dalam media, (d) tunas pada media MS9 tampak terjadi defoliasi, (e) pembentukan kalus warna putih kehijauan pada media MS13, (f) tunas pada media WPM0 tampak terjadi defoliasi setelah 2 bulan dalam media; (g) tunas pada media WPM0 setelah dipindahkan ke media baru 4 bst, (h) tunas pada media WPM7 setelah 2 bulan dalam media dan (i) tunas terbentuk pada media WPM8 setelah 2 bulan dalam media.

Seperti telah diketahui bahwa N adalah konstituen komponen sel tanaman. Defisiensi unsur ini akan menyebabkan penghambatan pertumbuhan tanaman. Demikian pula perimbangan ratio nitrat terhadap amonium juga merupakan aspek penting pada nutrisi nitrogen tanaman (Baskaran & Jayabalan 2005). Sebagian besar tanaman cenderung lebih menyukai nitrogen dalam bentuk nitrat, namun dengan keseimbangan yang tepat dari kedua bentuk nitrogen tersebut bagi pertumbuhan tanaman secara in vitro, yang antar jenis tanaman sangat berbeda. Media Murashige and Skog (MS) merupakan media yang paling banyak digunakan. Media MS merupakan media yang sering disebut sebagai media

dengan garam anorganik tinggi karena kandungan K dan N yang relatif tinggi dibandingkan media lain. Media dengan komposisi demikian sering terlalu tinggi bagi jenis yang sensitif, seperti pada banyak jenis tanaman berkayu, sehingga dikembangkan media WPM yang rendah kandungan garam anorganiknya (Beyl 2004).

Penurunan konsentrasi garam anorganik pada media modifikasi MS maupun penggunaan media modifikasi WPM tampak memberikan harapan bagi inisiasi tunas dibandingkan dengan media MS, seperti juga yang dilaporkan Hamzah (2003). Hal ini menunjukkan bahwa merbau merupakan jenis yang sensitif terhadap tingginya garam organik. Merbau sebagai tanaman berkayu jenis legum memiliki kandungan N dan P pada jaringan tanaman relatif lebih tinggi daripada tanaman jenis non legum (Nugroho 2004), menandakan persyaratan nutrisi yang menghendaki supplai N dan P relatif lebih tinggi daripada tanaman lain. Oleh karena itu peningkatan konsentrasi N dan P pada media ½ MS hingga mendekati kosentrasi MS penuh (412,5 mg/L NH4NO3, 475 mg/L KNO3 dan 42,5 mg/L KH2PO4), tampaknya memberikan efek yang positif.

Sumber karbon merupakan faktor penting dalam kultur in vitro dan sumber karbon yang paling sering digunakan untuk regenerasi tunas adalah sukrosa. Hal ini dikarenakan efisiensi sukrosa dalam uptake dan transportasi melintas plasma membran (Baskaran & Jayabalan 2005), sehingga lebih cepat tersedia bagi eksplan dalam kultur in vitro yang belum mampu menyediakan sumber karbon sendiri untuk digunakan bagi perkembangan dan pertumbuhannya (Beyl 2004). Di lain pihak P merupakan unsur penting bagi tanaman untuk dapat menyediakan energi bagi pertumbuhan eksplan tanaman. Hubungan keduanya tampak saat media modifikasi MS dinaikkan kandungan fosfornya. Untuk mendapatkan regenerasi tunas, peningkatan kandungan P mensyaratkan diturunkannya kandungan sukrosa pada media ½ MS.

Peran auksin maupun sitokinin dalam inisiasi tunas merbau secara in vitro masih belum tampak. Penambahan IBA maupun NAA konsentrasi rendah cenderung mendorong pembentuk kalus, sedangkan penambahan BAP bersama auksin belum cukup kuat untuk mendorong pembentukan tunas. Pada

penambahan hingga 2 mg/L walau titik tunas mucul namun gagal untuk tumbuh lebih lanjut. Penggunaan sitokinin yang lebih kuat seperti thidiazuron (TDZ) perlu dicoba digunakan. TDZ merupakan senyawa sintetik phenylurea yang lebih kuat efeknya untuk mendorong regenerasi tunas dibandingkan sitokinin 6-benzyladenin (BAP) maupun Kinetin (Wang et al. 2008), sering digunakan saat jenis sitokinin lainnya tidak mampu mendorong pembentukan tunas dengan baik seperti pada tanaman Lens cullinaris (Khawar et al. 2004) dan pada tanaman Populus albaxP. Berolinensis (Wang et al. 2008). Di lain pihak penambahan Ads bersama karbon aktif maupun vitamin C memberikan pengaruh yang baik pada media WPM. Sebaliknya Ads, walaupun sering digunakan untuk menginduksi tunas seperti pada tanaman Cichorium intybus melalui jalur organogenesis (Nandagopal & Kumari 2006), namun dalam kasus regenerasi stek mikro merbau secara in vitro belum menampakkan pengaruhnya.

Defoliasi dini dan tidak berkembangnya tunas yang telah muncul masih merupakan masalah yang dihadapi bagi stek mikro merbau. Tanaman merbau di alam dalam kondisi stres mudah menggugurkan daun maupun pucuk tunasnya secara dini.

Simpulan

Penggunaan media dasar modifikasi WPM maupun MS telah mampu menginduksi tunas. Perlakuan WPM dengan memodifikasi komposisi vitaminnya sesuai dengan komposisi pada MS dan menambah 1 mg/L BAP, 0,1 mg/L NAA, 10 mg/L Ads, serta arang aktif 100 mg/L menghasilkan eksplan bertunas 14,3% dan eksplan berakar 14,3%. Penggantian arang aktif dengan 137,7 mg/L vitamin C menghasilkan eksplan bertunas 14,3% tanpa inisiasi akar.

Pengunaan media dasar MS yang telah dimodifikasi kadungan garam anorganiknya menjadi ½ MS, dengan tetap mempertahankan kosentrasi N dan P dalam media tanam relatif tinggi mendekati konsentrasi pada MS (412,5 mg/L NH4NO3, 475 mg/L KNO3 dan 42,5 mg/L KH2PO4), namun dengan menurunkan

kandungan gula hingga 20 g/L, masih menguntungkan bagi inisiasi tunas, dengan ekplan bertunas mampu mencapai hingga 42,9%. Pemberian sitokinin BAP

hingga 2,0 mg/L dan auksin kombinasi IBA/NAA hingga 0,4 mg/L IBA dan 0,2 mg/L NAA belum dapat meningkatkan pembentukan tunas maupun akar.

Secara umum induksi tunas stek mikro merbau masih terkendala oleh adanya defoliasi dini daun dan pucuk dan terhentinya pertumbuhan tunas yang telah terbentuk setelah dua bulan dalam media inisiasi. Oleh karena itu masih diperlukan pencarian strategi untuk mengatasi hambatan tersebut

Daftar Pustaka

Baskaran P, Jayabalan N. 2005. Role of basal media, carbon sources and growth regulators in micropropagatio of Eclipta alba, a valuable medicinal herb. KMITL Sci.J. Vol.5 No.5:469-482.

Beyl CA. 2004. Getting started with tissue culture: media preparation, steril technique dan laboratorium equipment. Di dalam: Trigiano RN dan Gray DJ, editor. Plant Development and Biotechnology. Boca Racon: CRC Press. Hlm.19-37.

Gunawan LW. 1992. Teknik Kultur Jaringan. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.

Hamzah T. 2003. Respon pertumbuhan kultur pucuk merbau (Intsia bijuga OK) pada berbagai media dasar secara in vitro [skripsi]. Manokwari: Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua.

Litz RE, Gray DJ. 1992. Organogenesis and Somatic Embryogenesis. Dalam: Hammerschlag FA, Litz RE, editor. Biotechnology of Perennial Fruit Crops. Walingford: CAB International. Hlm 3-33.

Machmud R. 2003. Kultur in vitro pucuk Intsia bijuga O.K. dengan penambahan zat pengatur tumbuh Naphthelena Acetic Acid (NAA) dan Kinetin [Skripsi]. Manokwari: Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua. Nandagopal S, Kumari BDR. 2006. Adenin sulfat induced high frequency shoot

organogenesis in callus and in vitro flowering of Cichorium intybus L.cv. Focus- a potent medicinal plant. Acta Agriculturae of Slovenica 87:415- 425.

Nugroho 1997. Litterfal and soil characteristics under plantation of five tree species in Irian Jaya. Science in New Guinea 23(1):17-26.

[PROSEA] Plant Resources of South-East Asia. 1994. Plant Resources of South- East Asia 5. Di dalam: Soerianegara, Leummans RHMJ, editors. (1) Timber Trees: Major Commercial Timbers. Bogor: PROSEA.

Thaman RR, Thomas LAJ, DeMeon R, Areki F, Elevich CR. 2004. Intsia bijuga (Vesi). Di dalam: Elevich CR, editor. Species Profile for Pacifics Islands

Agroforestry.[Terhubung berkala]. http://www.traditional tree.org [25 Apr 2005]

Wang HM, Liu HM, Wang WJ, Zu YG. 2008. Thidiazuron, basal medium and light quality on adventitious shoot regeneration from in vitro cultred stem of Populus alba x P.berolinensis. J For Res 19(3):257-259.

KARAKTERISASI MORFOLOGI EKTOMIKORIZA PADA