• Tidak ada hasil yang ditemukan

Merbau dapat diregenerasikan dengan mudah baik secara reproduktif maupun vegetatif. Walaupun demikian keberhasilan ini baru tampak pada perbanyakan reproduktif dan vegetatif secara in vivo. Percobaan perbanyakan tanaman merbau melalui stek mikro secara in vitro dengan menggunakan media modifikasi WPM dan MS baru berhasil menginisiasi pembentukan tunas walau perkembangan lebih lanjut masih terkendala dengan terhentinya pertumbuhan dan defoliasi dini.

Kunci utama dalam perbanyakan tanaman merbau melalui biji terletak pada keberhasilan perlakuan awal terhadap benih untuk dapat merusak lapisan kulit biji kedap air (impermeabel) sehingga imbibisi dapat terjadi. Pencarian alternatif lain yang lebih efektif dalam metode skarifikasi biji merbau dalam penelitian ini tidak sepenuhnya berhasil. Metode skarifikasi secara pelukaan, dilanjutkan perendaman dalam larutan sodium hipoklorit NaClO 0,525% selama 15 menit, kemudian diikuti perendaman dalam air panas (80oC) hingga dingin dengan sendirinya dan benih dibiarkan terendam selama 24 jam masih merupakan perlakuan awal terbaik dibandingkan perlakuan awal lainnya, dengan nilai perkecambahan sebesar 78,67%.

Metode skarifikasi secara pelukaan masih mampu memberikan persen perkecambahan cukup baik walaupun benih yang digunakan telah disimpan selama 24 bulan. Benih yang telah tersimpan cukup lama tanpa adanya perlakuan khusus sering menurun kualitas benihnya, tidak saja viabilitasnya, namun juga karena banyaknya mikroorganisme pada benih yang dapat mengganggu perkecambahan. Penyertaan penggunaan larutan 0,525% NaClO dalam perlakuan awal pelukaan tampaknya dapat mengatasi permasalahan ini. Sebaliknya penggunaan larutan sodium hipoklorit NaClO 5,25% tampaknya tidak mampu merusak lapisan kulit biji yang impermeabel. Bahkan perendaman yang lebih lama bahkan dapat menyebabkan pengaruh buruk akibat masuknya larutan melalui hilum yang dapat merusak embrio. Demikian pula pada perlakuan awal benih secara pembakaran, perkecambahan yang dihasilkan masih jauh dari perlakuan awal secara pelukaan, walaupun masih relatif lebih baik dibandingkan

perlakuan awal dengan perendaman dalam larutan sodium hipoklorit. Kesulitan utama dalam penerapan metode pembakaran terletak pada keseragaman perlakuan yang diberikan. Kurang berhasilnya perlakuan awal dengan pembakaran biji, menunjukkan bahwa walau merbau di alam termasuk sebagai tanaman pionir, namun jenis ini bukan tanaman yang beradaptasi pada lahan-lahan yang sering mengalami kebakaran.

Dalam praktek pembenihan biji merbau, pemilihan biji dengan ukuran besar akan lebih menguntungkan karena dapat menghasilkan kecambah yang lebih seragam dengan keragaan awal kecambah yang baik. Benih berukuran besar mempunyai cadangan makanan dalam kotiledon yang lebih tinggi dan ini berimplikasi pada waktu berkecambah yang lebih pendek dengan keragaan kecambah yang lebih baik. Kecenderungan yang sama ditunjukkan oleh Close dan Wilson (2002) pada tanaman Eucalyptus regnans, oleh Uphadaya et al. (2007) pada benih Prunus jenkinsii, maupun Saeed dan Shaukat (2000) pada benih tanaman Senna occidentalis. Walaupun demikian untuk tujuan praktis, pembenihan merbau sebaiknya menggunakan benih paling tidak berukuran sedang. Pertimbangan ini didasarkan pada terbatasnya jumlah benih berukuran besar dalam suatu lot benih, disamping pula dari hasil analisis tampak bahwa antara benih berukuran sedang dan besar relatif memberikan hasil perkecambahan dan keragaan kecambah yang hampir sama.

Perbanyakan tanaman melalui stek pada tanaman merbau dapat dilakukan dengan hasil cukup baik. Penggunaan zat pengatur tumbuh dari golongan auksin sangat membantu dalam keberhasil usaha penyetekan merbau, terutama untuk mendorong pengakaran. Stek yang diaplikasikan dengan 2000 ppm IBA/1000 ppm NAA menghasilkan stek jadi terbaik dengan stek berakar 76,4% dan stek berakar dan bertunas sebesar 43.1%.

Berdasarkan survei lapangan maupun metode umpan (baiting method) dijumpai hanya satu jenis fungi ektomikoriza yang berasosiasi dengan anakan merbau. Identifikasi dengan menggunakan karakter morfologi basidiokarp, fungi EcM ini termasuk dalam genus Scleroderma. Identifikasi hanya mampu pada level genus karena tidak adanya pembanding karakter morfologi sporokarp maupun

ektomikoriza pada tanamana merbau. Pembandingan karakter morfologi dengan jenis fungi EcM dari jenis fungi Scleroderma yang berasosiasi dengan tanaman lain (Chen 2006), termasuk dengan tanaman yang secara taksonomi dekat dengan merbau (Sanon et al. 2008), tidak terdapat satu jenis pun yang mirip.

Melalui percobaan inokulasi dengan menggunakan jenis fungi Scleroderma sp. asal merbau, Scleroderma sinnamariense asal mlinjo, Scleroderma columnare asal Shorea leprosula, Scleroderma dictyosporum asal saninten dan Pisolithus sp. asal akasia terungkap bahwa hanya Scleroderma sp. yang mampu mengkolonisasi akar anakan merbau dan membentuk mikoriza, sedangkan jenis lainnya gagal. Walaupun demikian merbau masih belum dapat dikatakan memiliki spesifisitas yang tinggi, dengan adanya kenyataan yang dinyatakan oleh Tendersoo et al. (2007) bahwa terdapat 15 jenis fungi EcM terindikasi dari ujung akar bermikoriza melalui metode sekuensing DNA mempunyai asosiasi dengan merbau. Oleh karena itu, kemungkinan terungkapnya jenis fungi lainnya yang berasosiasi dengan merbau masih sangat memungkinkan bila daerah survei diperluas meliputi kondisi ekologi yang beragam.

Peran fungi Scleroderma sp. pada regenerasi tanaman merbau secara generatif maupun vegetatif tampak pada anakan hasil perbanyakan melalui biji dan pada anakan sapih hasil penyetekan. Di lain pihak, pemberian inokulasi fungi ini pada saat penyetekan tidak mampu mendorong keberhasilan penyetekan, baik ditinjau dari jumlah stek jadi maupun dari banyaknya stek jadi yang mampu dikolonisasi fungi. Anakan hasil perbanyakan melalui biji yang diinokulasi fungi Scleroderma sp. cenderung mempunyai keragaan yang lebih baik hingga 75-78% dibandingkan tanaman yang tidak diinokulasi, walau secara statistik perbedaan terlihat hanya pada beubah berat kering biomassa anakan merbau. Demikian pula keragaan tanaman sapih hasil stek yang diinokulasi fungi EcM Scleroderma sp. menunjukkan lebih baik 84-139% pada keragaan tinggi dan 70-74% pada berat kering akar dibandingkan tanaman yang tidak diinokulasi (kontrol). Peubah lainnya, walau secara statistik tidak nyata, namun menunjukkan kecenderungan lebih tinggi dibandingkan pada tanaman kontrol kecuali pada peubah jumlah tunas. Banyaknya tunas pada perlakuan kontrol yang secara statistik berbeda nyata

dengan tanaman bermikoriza menunjukkan bahwa tanaman tak bermikoriza cenderung memiliki bentuk tanaman yang lebih menyemak dengan banyak percabangan sehingga menurunkan kualitas bibit. Berdasarkan pengamatan kecenderungan demikian disebabkan defoliasi dini daun dan tunas lebih sering dialami tanaman tak bermikoriza dibandingkan tanaman bermikoriza.

Peranan fungi EcM dalam penyerapan unsur hara telah lama dikenal (Smith dan Read 2008) dan ini berhubungan dengan peningkatan kemampuan tanaman dalam penyerapan unsur hara dan air melalui perluasan permukaan penyerapan maupun dengan kemampuan menghasilkan agen kelat (Molina & Trappe 1984; Pedersen & Sylvia 1996). Perluasan permukaan penyerapan ini disebabkan adanya perluasan daerah pencarian unsur hara oleh kehadiran hifa eksternal fungi EcM yang berasosiasi dengan tanaman. Hifa akan mampu masuk ke dalam pori- pori tanah yang sangat kecil, yang tidak dapat dijangkau oleh akar tanaman (Dell 2002). Dengan adanya hifa eksternal fungi EcM juga menyebabkan jangkauan pencarian unsur hara akan semakin ekstensif dapat mencapai tempat-tempat yang lebih jauh, yang tidak terjangkau oleh panjangnya akar tanaman. Ratio panjang hifa terhadap akar tanaman berkisar 300 hingga 800 m dengan kerapatan hifa diperkirakan antara 16-200 m hifa/cm3 tanah (Pampolina et al. 2002).

Ditinjau dari hubungan antara tingkat kolonisasi fungi EcM Scleroderma sp. pada akar merbau dengan keragaan tanaman maupun tingkat serapan N maupun P, ternyata meningkatnya tingkat kolonisasi tidak selalu diikuti oleh perbaikan keragaan tanaman maupun serapan nutrisi tanaman N dan P. Terdapat tiga kemungkinan untuk menjelaskan fenomena demikian. Kemungkinan pertama, berdasarkan analisis tanah, media tanam yang digunakan dalam kedua percobaan tersebut memiliki kandungan N rendah namun P tinggi. Dengan kondisi media tanam demikian, kolonisasi fungi EcM tidak mempengaruhi dalam banyaknya serapan unsur hara N dan P oleh tanaman. Kondisi demikian memperlihatkan dua jalur pengambilan unsur hara yaitu melalui hifa eksternal fungi EcM dan melalui jalur langsung rambut akar dan lapisan epidermis akar tanaman tidak bertindak aditif (Smith et al. 2010), dengan kata lain kemungkinan hanya jalur pengambilan unsur hara secara langsung oleh tanaman yang terjadi, sedangkan jalur hifa fungi

mikoriza tidak berperan. Oleh karena itu, peningkatan keragaan tanaman bermikoriza tidak disebabkan oleh tingginya tingkat kolonisasi mikoriza namun lebih disebabkan oleh efek non-nutrisi yang berhubungan dengan kepekaan tanaman non mikoriza terhadap defoliasi dini. Defoliasi dini bila sering terjadi, seperti pada tanaman merbau tak bermikoriza, akan mengganggu jalannya fotosintesis dan metabolisme tanaman, sehingga akan mempengaruhi pula pertumbuhan tanaman. Kemungkinan kedua, berhubungan dengan stok unsur hara tanaman dalam media tanam yang terbatas. Tanaman bermikoriza akan tumbuh lebih cepat karena lebih efisien dalam penyerapan unsur hara, namun kemudian akan melambat saat persediaan unsur hara dalam media tanam semakin terbatas. Sebaliknya tanaman tidak bermikoriza atau dengan tingkat kolonisasi EcM rendah akan tumbuh lambat karena lebih rendah efisiensinya dalam penyerapan unsur hara, namun secara perlahan pertumbuhannya dapat menyusul tanaman bermikoriza. Kemungkinan ketiga, persen kolonisasi fungi EcM pada akar tanaman tidak menggambarkan sepenuhnya kemampuan hifa eksternal dalam pengambilan unsur hara tanaman.