• Tidak ada hasil yang ditemukan

Abstrak

Pemanfaatan mikoriza untuk meningkatkan mutu bibit telah banyak digunakan pada praktek persemaian. Inokulasi fungi ektomikoriza Scleroderma sp. dalam bentuk suspensi massa spora maupun agregat miselia dilakukan untuk meningkatkan keragaan anakan sapih hasil stek merbau [Intsia bijuga (Colebr.) O. Kutze]. Penelitian ini dirancang dalam rancangan acak kelompok (RAK) dengan perlakuan anakan sapih tidak diinokulasi, diinokulasi dalam bentuk suspensi spora dan inokulasi dalam bentuk agregat miselium. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anakan sapih merbau yang bermikoriza memiliki keragaaan tinggi 83,6- 139,0% lebih baik dibandingkan tanaman tidak bermikoriza. Defoliasi dini lebih sering ditunjukkan oleh tanaman sapih yang tidak bermikoriza. Penggunaan inokulum suspensi spora berturut-turut 5,92% dan 11,37% lebih baik pada persen tanaman terinfeksi dan persen kolonisasi dibandingkan dengan penggunaan inokulum suspensi agregat miselia.

Abstrak: merbau [Intsia bijuga (Colebr.) O. Kutze], sapihan asal stek, ektomikoriza, Scleroderma sp.

Abstract

Mycorrhiza application for improving seedlings quality is common on nursery practices. Inoculation of ectomycorrhiza fungi Scleroderma sp., in the form of spore slurries and mycelia aggregates, was conducted to improve the performance of transplanted-rooted cuttings of merbau [Intsia bijuga (Colebr.) O. Kutze]. The experiment was performed in randomized-completely block design (RCBD). Transplanted seedlings resulted from vegetative propagation by cuttings were subjected to inoculation treatments, i.e. without inoculation, inoculation with Scleroderma sp. inoculum, in the form of spore suspensions, and inoculation with Scleroderma sp. inoculums, in the form of mycelia slurries. The results revealed that mycorrhizal transplanted plants were 83.6-139% better in the height growth performance comparing to the non mycorrhizal ones. Early defoliation was most frequently shown by non-mycorrhizal plants. The use of spore suspension as inoculants gave 5.92% and 11.37% better in percentage of infected plants and of root colonization, respectively than that of mycelia aggregate suspension.

Key words: merbau [Intsia bijuga (Colebr.) O. Kutze], transplanted cuttings, ectomycorrhiza, Scleroderma sp.

Pendahuluan Latar Belakang

Keberhasilan perbanyakan vegetatif merbau [Intsia bijuga (colebr.) O Kutze] melalui stek, bukan didasarkan hanya pada tingginya stek jadi yang dihasilkan, namun yang tidak kalah penting juga adalah bagaimana stek jadi tersebut mampu untuk tetap hidup, tumbuh dan berkembang dengan baik sehingga dapat dihasilkan anakan merbau yang baik. Oleh karena itu, dalam proses selanjutnya diperlukan adanya pekerjaan penyapihan, yaitu suatu proses untuk memindahkan anakan hasil stek dari dalam propagator yang memiliki kelembaban tinggi ke lingkungan luar dengan kelembaban yang jauh lebih rendah.

Melalui penyapihan, tanaman dipaksa untuk dapat lebih efisien dalam penyerapan unsur hara dan air melalui sistem perakarannya, lebih toleran terhadap stress, maupun mampu menghadapi patogen di lingkungan luar (Hartman et al. 2002). Inokulasi fungi mikoriza saat penyapihan diharapkan pula dapat membantu anakan sapihan untuk lebih cepat dalam beradaptasi, disamping pula untuk memperbaiki pertumbuhannya, sehingga diperoleh bibit bermutu. Pemanfaatan mikoriza sering dilakukan dalam praktek persemaian, termasuk dalam perbanyakan tanaman secara vegetatif melalui stek, yang bertujuan untuk meningkatkan keragaan dan mutu bibit tanaman (Davies 2000).

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi keberhasilan penyapihan stek merbau dengan pemberian inokulum fungi ektomikoriza Scleroderma sp. dalam bentuk agregat miselia dan suspensi spora.

Bahan dan Metode Bahan Penelitian

Tanaman yang digunakan dalam percobaan ini adalah tanaman hasil stek berumur empat minggu, yang telah berakar dan bertunas, dari hasil percobaan sebelumnya. Tanaman dipilah sesuai dengan perlakuan inokulasi fungi

ektomikoriza (EcM) Scleroderma sp. yang diterima dalam percobaan sebelumnya yaitu (1) kontrol (tanpa inokulasi), (2) inokulasi dengan fungi EcM dalam bentuk agregat miselia dan (2) inokulasi dengan fungi EcM dalam bentuk suspensi spora. Media tanam yang digunakan adalah media tanam pasir sebanyak 2 kg, dicampur secara merata dengan 50 g kompos. Sifat kimia media tanam disajikan pada (Tabel 7).

Rancangan Penelitian

Penelitian dilakukan dalam rancangan acak kelompok (RAK), dengan perlakuan berupa inokulasi fungi ektomikoriza lanjutan terdiri atas: (1) kontrol (tanpa inokulasi), (2) diberi inokulasi fungi Scleroderma sp. asal tanaman merbau dalam bentuk agregat miselia dan (3). dalam bentuk suspensi spora. Setiap perlakuan diulang sebanyak 7 kali. Pengelompokan ditujukan untuk mengelola keragaman lingkungan terutama pencahayaan yang tidak sama dalam rumah kaca.

Prosedur Penelitian

Penyiapan tanaman, penanaman dan inokulasi fungi EcM. Sebelum dipindahkan dari bak penyetekan, stek jadi berumur empat minggu diberikan aklimatisasi selama tiga hari dengan cara membuka sungkup bak penyetekan dan mengurangi pengabutan secara bertahap. Selanjutnya stek yang berakar dan bertunas, dicabut secara hati-hati dan ditanam dalam polibag 15 x 20 cm yang telah diisi media tanam. Polibag yang digunakan terdiri dari dua lapis yaitu lapisan bagian dalam berupa plastik transparan yang ditujukan untuk memudahkan monitoring terjadinya mikorisasi, sedangkan lapisan terluar berupa plastik gelap.

Pemberian perlakuan. Perlakuan terhadap tanaman sapih disesuaikan dengan dengan hasil pilahan tanaman sapih asal stek, yaitu bibit asal stek dengan perlakuan inokulasi dengan suspensi spora akan mendapat perlakuan yang sama dalam percobaan ini. Demikian juga pada bibit asal stek dengan perlakuan inokulasi dengan suspensi agregat miselium akan mendapatkan perlakuan yang sama. Inokulasi fungi ektomikoriza dilakukan pada hari ke tiga setelah tanam

dengan cara menginjeksi 30 ml suspensi spora atau agregat miselium ke dalam 3 lubang yang dibuat menyebar merata di sekitar perakaran stek. Inokulasi ke dua dilakukan pada saat 2 dan 3 minggu setelah tanam.

Inokulum Ektomikoriza. Inokulum agregat miselium dibuat dengan mengambil agregat miselium dari biakan murni dengan media semi cair sebanyak 10 botol dimasukkan ke gelas elernmeyer berisi 1000 ml air steril yang telah ditambahkan 0,25 ml surfaktan tween 80, dan diaduk dengan blender hingga terbentuk suspensi. Inokulum dalam bentuk spora disiapkan dengan cara mensuspensikan spora sebanyak 1 g dalam 1000 ml air yang diberi 0,25 ml surfaktan (tween 80) dengan menggunakan magnetic stirrer (Brundrett et al. 2005). Dengan demikian kerapatan spora diperkirakan sekitar 2,91 x 109 spora.

Pengamatan dan Analisis Data

Keberhasilan stek dievaluasi 4 bulan setelah tanam meliputi: persen hidup stek sapihan, tinggi stek sapihan, diameter stek sapihan, jumlah tunas, jumlah daun, panjang akar primer, jumlah akar sekunder, persen infeksi fungi eksomikoriza, persen akar bermikoriza (% M), bobot kering tajuk, bobot kering akar dan kandungan total N dan P dalam biomassa tanaman merbau. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan menggunakan ANOVA dan dilanjutkan dengan uji jarak Duncan (DMRT). Analisis korelasi dilakukan untuk melihat hubungan antara kolonisasi fungi EcM dengan keragaan tanaman maupun serapan unsur N dan P oleh tanaman.

Hasil dan Pembahasan Hasil Penelitian

Analisis keragaman (Anova) memperlihatkan bahwa inokulasi lanjutan dengan fungi EcM Scleroderma sp. pada anakan merbau hasil penyetekan berpengaruh terhadap peubah tinggi anakan, berat kering akar anakan, tanaman terinfeksi EcM dan kolonisasi fungi EcM, namun tidak berbeda nyata pada peubah persen tanaman hidup, diameter tanaman, berat kering pucuk, jumlah tunas, jumlah daun, jumlah akar primer maupun sekunder, dan pajang akar

tanaman (Lampiran 18-30). Berdasarkan uji lanjut DMRT perlakuan inokulasi fungi EcM hanya menunjukkan perbedaan pada tinggi anakan, anakan terinfeksi dan persen kolonisasi. Tampak bahwa tanaman yang mendapat perlakuan inokulasi menggunakan suspensi spora relatif lebih baik dibandingkan agregat miselium (Tabel 11).

Tabel 11 Rata-rata penampilan keragaan, persentase tanaman terinfeksi dan persentase kolonisasi pada tanaman sapihan stek merbau [Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze] umur 4 bulan sebagai akibat pengaruh inokulasi fungi ektomikoriza Scleroderma sp.

Peubah Inokulasi Ektomikoriza F0** F1 F2 Tanaman Hidup (%) 91,16 a* 92,38 a 82,90 a Tinggi (cm) 7,72 c 14,17 b 18,45 a Diameter (cm) 2,23 a 2,54 a 2,79 a Berat Kering Pucuk (g) 0,85 a 1,45 a 1,48 a Berat Kering Akar (g) 0,27 b 0,47 a 0,79 a Jumlah Tunas 2,00 b 1,29 a 1,14 a Jumlah Daun 5,29 a 5,29 a 6,29 a Jumlah Akar Primer 1,71 a 1,85 a 2,00 a Jumlah Akar Sekunder 141,00 a 195,14 a 219,43 a Panjang Akar Primer (cm) 38,87 a 34,23 a 39,14 a Tanaman Terinfeksi (%) 0,00 b 72,61 a 78,53 a Kolonisasi (%) 0,00 c 46,26 b 57,63 a * Angka dalam baris yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan (DMRT) (P<0,05).

** F0=tanpa inokulasi; F1=diinokulasi dengan inokulum dalam bentuk agregat miselium; F2=diinokulasi dengan inokulum dalam bentuk suspensi spora

Tinggi anakan merbau, dari yang tertinggi hingga terendah, berturut-turut pada F2 (18,45 cm), F1 (14,17 cm) dan F0 (7,72 cm). Berat kering akar tertinggi dijumpai pada perlakuan F2 (0,79 g) yang tidak nyata berbeda dengan F1 (0,47 g), namun berbeda dengan F0 (0,27 g). Jumlah tanaman terinfeksi tertinggi dijumpai pada perlakuan F2 (78,53%), diikuti F1 (72,61%) dan F0 (0,00%). Persen kolonisasi terbaik dijumpai pada perlakuan F2 (57,63%), diikuti F1 (46,26 %) dan F0 (0,00%) (Tabel 11).

Tanaman sapih stek merbau yang mendapat perlakuan inokulasi fungi EcM Scleroderma sp. dibandingkan yang tidak mendapatkan perlakuan inokulasi, secara umum, memiliki keragaan yang lebih baik (Gambar 27a, b dan c). Tanaman sapih tanpa inokulasi fungi EcM umumnya lebih mudah secara dini mengugur daun dan pucuk. Defoliasi tunas dan daun secara dini menyebabkan tanaman sapih tumbuh lebih menyemak dengan banyak percabangan (Gambar 27d dan e), seperti ditampakkan jumlah tunas pada tanaman kontrol (2,00 tunas) yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan F1 (1,29 tunas) maupun F2 (1,14 tunas) walaupun secara statistik tidak berbeda nyata (Tabel 11). Pada tanaman yang diinokulasi dan tidak mengalami stres menunjukkan mutu bibit yang baik dengan batang yang lurus sangat mirip dengan tanaman hasil dari perbanyakan melalui biji (Gambar 27f).

Gambar 27 Keragaan tanaman sapih stek merbau [Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze]. (a) tanaman kontrol (tanpa inokulasi fungi EcM Scleroderma sp.), (b) tanaman sapih dengan inokulasi suspensi spora, (c) dengan inokulasi suspensi agregat miselium, (d-e) gugur pucuk dan daun akibat stres. Gejala umum pada tanaman tidak bermikoriza, menyebabkan pertunasan yang menyemak (f) penampilan yang mirip antara tanaman hasil stek (sebelah kanan) dengan hasil perbanyakan dengan biji berumur satu tahun (sebelah kiri).

Pada tanaman sapih berumur 4 bulan, mikoriza telah terbentuk dengan sempurna pada keseluruhan permukaan perakaran (Gambar 28c), bahkan pada beberapa tanaman telah terbentuk sporokarp (Gambar 28 a dan b). Persen kolonisasi rata-rata 46,26% pada tanaman sapih dengan perlakuan inokulasi menggunakan agregat miselium dan 57,63% pada perlakuan inokulasi dengan suspensi spora (Tabel 11).

Gambar 28 Perbandingan antara akar bermikoriza dengan akar non-mikoriza pada tanaman sapih merbau hasil stek. (a-b) kolonisasi fungi ektomikoriza Scleroderma sp. pada akar tanaman merbau [Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze] hasil stek umur 4 bulan setelah tanam. Tampak sporokarp muda terbentuk dalam polibag, maupun muncul di permukaan tanah (tanda panah merah). (c) kolonisasi fungi ektomikoriza terbentuk sangat baik menutup seluruh perakaran tanaman hasil stek umur 4 bulan setelah tanam dibandingkan dengan (d) tanaman kontrol.

Analisi korelasi antara persen kolonisasi fungi EcM Scleroderma sp. dengan berat kering akar (BKA) diperoleh nilai koefisien korelasi (r) = 0,4249, dengan berat kering pucuk (BKP) r = 0,5562, dengan serapan N r = 0,5473 dan dengan serapan P r = 0,5394. Nilai r seperti demikian menunjukkan bahwa kolonisasi

tidak berkorelasi terlalu kuat dengan BKA, BKP, serapan N maupun serapan P (Tabel 12).

Tabel 12 Korelasi antara tingkat kolonisasi fungi EcM dengan berat kering akar (BKA), berat kering pucuk (BKP), serapan N dan serapan P

No Peubah Kofisien Korelasi (r)

1. Persen Kolonisasi dengan BKA 0,4249

2. Persen Kolonisasi dengan BKP 0,5562

3. Persen Kolonisasi dengan Serapan N 0,5473 4. Persen Kolonisasi dengan Serapan P 0,5394

Pembahasan

Tanaman terinfeksi fungi EcM Scleroderma sp. sebagai hasil inokulasi menggunakan agregat miselium maupun suspensi spora secara signifikan lebih baik dibandingkan kontrol. Penggunaan inokulum dalam bentuk suspensi spora diperoleh tanaman terinfeksi sebesar 78,53% atau 5, 92% lebih baik dibandingkan penggunaan agregat miselium dengan tanaman terinfeksi sebesar 72,61%. Kecenderungan yang sama juga dijumpai pada tingkat kolonisasi akar yang terjadi. Tingkat kolonisasi akar dengan perlakuan inokulasi menggunakan suspensi spora (57,63%) memberikan hasil 11,37% lebih baik dibandingkan menggunakan suspensi miselium (46,26%). Lebih rendahnya keberhasilan perlakuan inokulasi dengan menggunakan agregat miselium dikarenakan fragmen miselium tidak berhasil untuk bertahan hidup dan berkembang. Kondisi persaingan dengan mikroorganisme lain yang tinggi seringkali menyebabkan kegagalan perkembangan fragmen miselium. Kejadian seperti ini sering dijumpai dalam praktek persemaian (Brundrett et al. 2005).

Kolonisasi fungi EcM pada tanaman sapih hasil penyetekan lebih mudah terjadi, diduga berhubungan dengan banyaknya pembentukan akar adventif muda sehingga memudahkan kontak dengan miselium fungi EcM. Dugaan demikian dikuatkan dengan adanya pembentukan sporokarp yang terjadi cukup cepat yaitu hanya dalam waktu 4 bulan setelah tanam. Ini menandakan bahwa inisiasi kolonisasi fungi EcM dapat terjadi lebih awal, dibandingkan tanaman asal biji

yang memproduksi sporokarp dalam waktu 8 bulan. Hasil seperti demikian, sekaligus juga memperlihatkan bahwa penyediaan inokulum dalam bentuk spora dari sporokarp fungi Scleroderma sp. dapat lebih cepat diperoleh dengan menggunakan anakan merbau asal stek.

Pemberian inokulum fungi EcM Scleroderma sp. memberikan pengaruh nyata terhadap keragaan tanaman sapih merbau hasil penyetekan, terutama pada peubah tinggi tanaman dan berat kering akar. Pengaruh positif penggunaan fungi EcM untuk meningkatkan keragaan tanaman sapih asal stek sering tidak konsisten dalam mempengaruhi semua peubah pertumbuhan. Pada tanaman Shorea leprosula yang mendapat inokulasi dengan fungi Amanita sp., Russula sp., dan Scleroderma columnare, pengaruh positif hanya tampak pada peubah jumlah daun dan total berat kering tanaman tetapi tidak pada tinggi tanaman (Omon 2002). Pada tanaman Shorea seminis, inokulasi Scleroderma columnare dan Pisolithus arhizus mampu meningkatkan penyerapan unsur hara maupun pertumbuhan tanaman di persemaian secara nyata (Turjaman et al. 2006). Demikian pula pada tanaman sapih hasil stek Douglas fir, inokulasi fungi EcM memberikan pengaruh yang nyata hanya pada peningkatan keragaan akar tanaman namun pada percobaan lain pemberian fungi EcM sama sekali tidak memberikan pengaruh (Parladé et al. 1999). Di lain pihak pada tanaman sapih stek Hopea odorata yang diinokulasi dengan fungi EcM lokal isolat FP160 memberikan respon yang sangat nyata terhadap pertumbuhan dibandingkan dengan tanaman kontrol (Lee et al. 2008)

Tingkat kolonisasi fungi EcM pada tanaman sapih asal stek merbau tidak terlalu kuat berkorelasi dengan BKA, BKT, serapan N maupun serapan P. Seringkali tingginya tingkat kolonisasi fungi EcM tidak selalu otomatis akan meningkatkan kandungan N dan P, di lain pihak peningkatan konsentrasi N dan P juga tidak selalu berkorelasi dengan stimulasi pertumbuhan tanaman (Rincǒn et al. 2007; Bâ et al. 1999). Hal yang sama juga ditunjukkan pada tanaman Eucalyptus teresticornis yang diinokulasi dengan Pisolithus albus tidak menampakkan perbedaan dalam status kandungan P pada tajuk tanaman dibandingkan tanaman yang tidak diinokulasi, walaupun tingkat kelarutan P

dalam media tumbuh mampu diperbaiki dengan hadirnya fungi EcM (Khosla & Reddy 2008).

Adanya peningkatan keragaan pada tanaman merbau bermikoriza yang lebih baik bila dibandingkan tanaman merbau tidak bermikoriza, walaupun status serapan unsur hara (N dan P) dengan tingkat kolonisasi tanaman tidak berkorelasi kuat, menunjukkan bahwa kemungkinan terdapat pengaruh non-nutrisi yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi keragaan tanaman. Tanaman merbau termasuk jenis tanaman semi-decideous yang dalam kondisi stres akan menggugurkan daun. Dengan adanya kolonisasi fungi EcM Scleroderma sp., tanaman sapihan merbau tampak lebih tahan terhadap defoliasi dini daun dan pucuk dibandingkan tanaman non mikoriza. Tanaman sapih bermikoriza cenderung lebih tinggi, dengan percabangan lebih sedikit. Sebaliknya tanaman sapih non mikoriza cenderung memiliki percabangan lebih banyak. Defoliasi dini tunas dan daun mendorong pembentukan tunas baru yang akan berakibat terhadap penurunan mutu tanaman untuk digunakan sebagai bibit.

Simpulan

Inokulasi tanaman sapih merbau asal stek dengan fungi EcM Scleroderma sp. mampu memperbaiki keragaan tanaman. Tinggi tanaman sapih bermikoriza 84-139 % lebih baik daripada tanaman non-mikoriza. Inokulasi dapat dilakukan dengan menggunakan inokulum dalam bentuk agregat miselium maupun suspensi spora. Walaupun demikian inokulum dalam bentuk suspensi spora menghasilkan persen tanaman terinfeksi dan persen akar terkolonisasi berturut-turut lebih baik 5,92 % dan 11,37 % dibandingkan tanaman yang diinokulasi dengan inokulum dalam bentuk suspensi agregat miselium.

Tanaman sapih yang tidak memiliki simbiosis dengan fungi EcM Scleroderma sp. lebih mudah mengalami defoliasi daun dan pucuk secara dini, yang menyebabkan peningkatan jumlah tunas, sehingga menurunkan kualitas bibit. Tanaman sapih merbau asal stek mampu memproduksi sporokarp dalam waktu relatif pendek yaitu 4 bulan setelah tanam.

Daftar Pustaka

Bâ AM, Sanon KB, Duponnois R, Dexheimer J. 1999. Growth response of Afsellia africana Sm. Seedlings to ectomycorrhizal inoculation in a nutrient-deficient soil. Mycorrhiza 9:91-95.

Brundrett, M, Malajezuk N, Gong M, Xu D, Snelling S. 2005. Nurcery inoculation of Eucalyptus seedlings in Western Australia and Sourthern China using spores and mycelial inoculum of diverse ectomycorrhizal fungi from different climatic region. For Ecol Manag 209: 193-203.

Davies FTJr. 2000. Benefits and opportunities with mycorrhizal fungi in nursery propagation and production system. Combined Proceedings International Plant Propagators’ Soc 50:482-489.

Khosla B, Reddy MS. 2008. Response of Ectomycorrhizal fungi on the growth and mineral nutrition of Eucalyptus seedlings in bauxite mined soil. American-Eurasian J Agric & Enviro Sci.3(1):123-126.

Hartman HT, Kester DE, Davies FT, Geneve R. 2002. Plant Propagation: Principle and Practices. 7th Ed. New Yersey: Prentice-Hall International, Inc.

Lee SS, Patahayah M, Chong WS, Lapeyrie F. 2008. Successful ectomycorrhizal inoculation of two dipterocarp species with a locally isolated fungus in Peninsular Malaysia. J Trop For Sci 20(4):237-247.

Omon RM. 2002. Dipterocarpaceae: Shorea leprosula Miq. Cuttings, Mycorrhizae and Nutrients [Disertasi]. Wagenihen: Wageningen University, The Nederland. MOF-Tropenbos-Kalimantan Project.

Parladé J, Pera J, Álvarez IF, Bouchard D, Généré B, Tacon FL. 1999. Effect of inoculation and substrate disinfection method on rooting and ectomycorrhizal formation of Douglas fir cuttings. Ann For Sci. 56:35-40 Rincǒn A, de Felipe MR, Fernández-Pascual M. 2007. Inoculation of Pinus

halepensis Mill. with selected ectomycorrhizal fungi improves establishment 2 year after planting in a degraded gypsum soil. Mycorrhiza 18:23-32.

Turjaman et al. 2006. Increase in early growth and nutrient uptake of Shorea seminis seedlings inoculated with two ectomycorrhizal fungi. J Trop For Sci 18 (4):243-249.