• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROFIL BANGKALAN

D. Blater Sebagai Orang Kuat Lokal Madura

Kekerasan tidak luput dalam dinamika sosial kehidupan manusia. Sebab kekerasan merupakan bagian dari dalam diri manusia yang secara psikologi diliputi perasaan dan emosi. Peperangan yang mewarnai perjalanan sejarah umat manusia, adalah ekspresi dari nilai-nilai kekerasan yang dimilikinya. Sepanjang umat manusia masih mendiami bumi, selama itu pula internalisasi kekerasan menjadi hal yang akan menemani perjalanan kita sepanjang masa. Sebagaimana kalimat satir yang dikatakan oleh George Orwel: “perang ialah damai, kebebasan ialah perbudakan, kebodohan ialah kekuatan.”61

Dalam studi yang dilakukan oleh Johan Galtung, pada prakteknya, kekerasan dapat dikategorikan menjadi tiga divertifikasi, pertama adalalah kekerasan secara fisik, kedua, kekerasan struktural, dan ketiga adalah kekerasan kultural. Pada jenis yang pertama, kekerasan fisik digambarkan dengan adanya proses konflik/interaksi yang dilakukan secara langsung, misalkan melalui pemukulan, tamparan ataupun yang memungkinkan terjadinya kontak langsung secara fisik. Sedangkan kekerasan jenis kedua, yakni kekerasan struktural, merupakan jenis kekerasan yang dilakukan melalui kebijakan-kebijakan dan aturan-aturan yang memberatkan. Sehingga munculnya objek sebagai korban yang dirugikan. Salah satu contoh kekerasan yang termasuk kategori ini adalah

81

praktek korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) di lingkungan pemerintahan. Adapun kekerasan jenis terakhir, kekerasan kultural, adalah jenis kekerasan yang dilakukan melalui propaganda dan kampanye melalui berbagai produk kebudayaan. Misalnya, propaganda yang dipraktekkan rezim Soeharto dengan memasifkan kampanye anti-PKI lewat pemutaran film G-30-S-PKI setiap tahunnya.62

Melalui kaca mata kekerasan yang diuraikan Johan Galtung, kita dapat melihat bagaimana fenomena Blater (orang kuat lokal di Madura) didefinisikan. Blater adalah gambaran praktek kekerasan yang terjadi di tingkat lokal – dalam hal ini terjadi di Madura. Kondisi ini sama halnya dengan fenomena jawara yang terjadi di Banten. Baik blater maupun jawara, merupakan lokalitas praktek kekerasan yang marak terjadi di belahan wilayah Indonesia. Ragam kekerasan yang mewarnai dinamika sosial masyarakat daerah, identik dengan eksistensi preman lokal. Kewenangan yang mereka punyai kurang lebih berasal dari berbagai intimidasi, pemalakan, kerusuhan, dan pembunuhan yang kerapkali mereka lakukan.

Dalam diskursus orang kuat lokal Madura, Blater merupakan salah satu elit yang memiliki strata sosial yang prestisius yang serupa dengan kyai. Bila kyai dihormati karena kedudukan ilmu agamanya yang tinggi, Blater disegani karena kekuatan dalam dirinya yang besar. Dalam ruang lingkup kehidupan masyarakat Madura, Blater dideskripsikan sebagai orang yang suka membunuh dan membuat

62 Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film (Serpong: Marjin Kiri, 2013), h. 35-57.

82

onar. Kehadirannya adalah bagian yang tak terpisahkan dari budaya carok yang terkenal di masyarakat setempat.

Penisbatan Blater pada diri seseorang dinilai dari seberapa berani ia melakukan upaya carok. Meskipun carok bukanlah satu-satunya arena legitimasi keblateran bisa didapatkan. Ada arena-arena lainnya dimana pelegitimasian keblateran muncul seperti: “kedekatan seseorang dengan tradisi kerapan sapi, sabung ayam, jaringan kriminalitas dan remoh blater.”63

Tetapi tetap budaya carok merupakan budaya yang menyangkut erat soal harga diri dan prinsip orang Madura. Sedikit saja harga diri orang Madura ternodai, maka tak segan orang-orang ini untuk melakukan upaya carok. Bahkan tendensi adanya paradigma semacam ini tergambar jelas dalam peribahasa setempat yang penulis kutip langsung dari Abdur Rozaki: “ango‟an pote tolang etembang pote matah, artinya lebih baik putih tulang dibandingkan putih mata. „Hidup itu tidak ada maknanya kalau kehilangan harga diri‟.”64

Ada banyak kasus yang seringkali menimbulkan praktek carok di masyarakat. Prinsip masyarakat lokal yang teguh soal harga diri, dan merasa maloh65 bila harga diri mereka dinjak-injak, seringkali menimbulkan resistensi antar warga. Pertikaian-pertikain antar warga, bahkan antar sekte agama semisal kasus Syiah di Sampang, beberapa kali mencuat menjadi pemberitaan nasional. Kasus pertikaian dan perkelahian antar warga, menurut Wijayata, yang penulis kutip langsung dari Abdur Rozaki, adalah bisa disebabkan sebagai berikut:

63 Abdur Rozaki, “Social Origin dan Politik Kuasa Blater di Madura,” h. 2. 64 Ibid, h. 1.

83

“Pertama, gangguan atas istri. Orang Madura akan mudah terpancing dan melakukan pembelaan dalam bentuk carok kalau istrinya diganggu. Begitu juga dengan adanya sikap cemburu, kalau kemudian terjadi perselingkuhan sang istri dengan orang lain. Lelaki yang berselingkuh dengan istri orang itulah yang akan menjadi sasaran dari sang suami. Kedua, balas dendam. Upaya melakukan pembalasan bila terdapat diantara salah satu anggota keluaraga yang terbunuh. Ketiga, mempertahankan martabat dan keempat, mempertahankan harta warisan. (Wiyata, 2002; 89-159).”66

Pengidentikan Blater hanya dengan kekerasan di satu titik tidak selamanya menjadi dominasi wacana orang kuat lokal di Madura. Kultur Madura yang agamis, nyatanya juga telah menuntut reproduksi Blater dengan ciri khas tertentu. Adanya hubungan yang saling mengisi antara kekerasan di satu sisi, dan religiusitas di sisi yang lain.67 Maka, dalam kasus Madura, Blater dapat tumbuh dan muncul dari segala aspek strata sosial, baik dari kalangan masyarakat sipil biasa maupun santri.68 Sebuah diametral yang saling berbeda tentunya, tapi dalam realita sosial di lapangan, tak jarang peristiwa ini terjadi: jiwa blater dan santri hadir pada diri seseorang sekaligus. Dan tak jarang antara Blater dan Kyai terjalin relasi ekonomi-politik bersama yang saling menguntungkan satu sama lain.69 Sebagaimana yang ditulis oleh Abdur Rozaki:

“Kedua aktor ini dalam praktek sosialnya, terkadang saling berseberangan

paham dan visi. Namun dalam konteks tertentu tak jarang pula saling menjalin relasi kultural, ekonomi dan politik kuasa. (Rozaki; 2004). Dalam konteks inilah citra simbolik kekerasan dan religiusitas saling berkelindan dan berdialektika dalam ruang-ruang sosial masyarakat Madura.”70

Berdasarkan pengamatan penulis, faktor kemunculan Blater di Madura dapat ditelusuri lewat 3 jalur utama. Pertama, dari sudut pandang kesejarahan, kedua, dari sudut pandang sosiologis-ekologis, dan ketiga dari perspektif

66 Abdur Rozaki, “Social Origin dan Politik Kuasa Blater di Madura,” h. 1. 67 Ibid, h. 1.

68 Ibid, h. 2. 69 Ibid, h. 3. 70 Ibid, h. 3.

84

institusi.71 Secara historis, sepak terjang dunia Blater yang mewarnai kehidupan masyarakat Madura, tidak terlepas dari eksistensi mereka di masa lalu. Kemunculan mereka di masa lalu merupakan buah dari ragam kompleksitas hidup semasa jaman kerajaan dan kolonialisme. Di saat era kerajaan berlangsung, selain yang menjadi raja adalah orang-orang istimewa yang memiliki nasab kerajaan, tidak sedikit dari para raja adalah mereka yang berasal dari para jagoan desa. Mereka mempunyai pengikut yang banyak dan memiliki ilmu bela diri yang hebat. Cerita-cerita rakyat yang berseliweran mengisahkan bahwa para jago ini tidak mempan ditembak, anti-bacok, dan sulit ditangkap. Maka tak heran, sebagian dari mereka mampu mengambil alih kekuasaan dari para raja dan duduk sebagai raja baru. Cerita ini dapat ditemukan pada kisah Ki Lesap dan Ken Arok Dedes misalnya. Berbagai pemberontakan dan perlawanan yang dilakukan para jago desa ini umumnya karena merasa gerah dan muak dengan sikap dan perilaku raja yang sewenang-wenang.

Begitupun saat bercokolnya negara kolonial, ada banyak ceritera tentang jago desa yang ikut terlibat dalam beragam perlawanan. Dalam konteks Madura, ada cerita tentang Kutil, yang terkenal dalam peritiwa tiga daerah. Sebuah revolusi yang terjadi di sekitar daerah Pekalongan. Nama asli Kutil adalah Sakhyani. Ia merupakan seorang keturunan Madura yang hidup di Dukuh Pesayangan, daerah Talang. Selama masa revolusi di daerah tersebut, ia mendirikan sebuah organisasi, AMRI namanya, dengan pengikut yang beragam, mulai dari pedagang, penjahit,

85

petani miskin, tukang besi, dan tukang jamu.72 Tugas dan misi berdirinya organisasi ini adalah untuk menumpas keberadaan sisa-sisa NICA dan orang-orang yang disinyalir bersekongkol dengan NICA.73

Lain lagi cerita soal Sakera, seorang Madura yang melakukan perlawanan di salah satu daerah tapal kuda, Pasuruan. Ia adalah seorang jago yang anti-penjajahan. Kelihaiannya melakukan manuver pemberontakan membuat negara kolonial Belanda hampir kehilangan akal untuk menghabisinya. Sakera merupakan sosok jago yang terkenal di kalangan rakyat bukan saja karena keberaniannya melakukan perlawanan semata, tetapi juga karena kemampuan tubuhnya yang anti ditembaki beberapa selongsong peluru. Ia konon memiliki ilmu kebal sehingga sulit untuk dimatikan. Ringkas cerita, akhirnya Belanda melakukan upaya muslihat dalam sebuah pentas seni yang bernama Sadur. Dalam pentas itu, Sakera diperbolehkan menari dengan perempuan asalkan seluruh jimat yang dia pakai dilepas saat menari. Sewaktu Sakera menari, Belanda menembakinya dan dia pun mati terkapar.74

Tetapi, di samping banyaknya para jago yang melawan ketidakadilan dari para raja, dan penindasan yang dilakukan oleh bangsa penjajah, ada pula dari mereka yang dimanfaatkan oleh dua elemen tersebut. Dalam internal kerajaan, para jago diangkat dan dipekerjakan sebagai pelindung tahta dan keselamatan raja dari marabahaya. Tugasnya tak lain adalah untuk menjaga status quo eksistensi para raja. Sedangkan dalam konteks kolonialisme, para jago direkrut oleh para

72 Anton E. Lukas, Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi Dalam Revolusi (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989), h. 146-147.

73 Ibid, h. 147-148.

86

Gubernur Jenderal untuk menumpas beragam pemberontakan yang terjadi di sekitar wilayah kekuasaan mereka. Para jago ini mendapatkan keuntungan yang sesuai dengan kesepakan bersama di antara mereka. Secara tidak langsung, bangsa penjajah melakukan strategi devide at impera antara rakyat yang mau berkhianat dengan rakyat yang teguh untuk melawan.75 Pada konteks masyarakat Madura, pemanfaatan rakyat sebagai pasukan penyokong negara kolonial dapat dilihat dari sejarah berdirinya organisasi militer Barisan. Oranisasi militer ini merupakan kesepakatan bersama antara pihak Belanda dengan kerajaan-kerajaan Madura yang saat itu tengah berusaha untuk melepaskan diri dari hegemoni kerajaan Mataram. Dengan melindungi kerajaan Madura dari penguasaan kerajaan Mataram, Belanda mendapatkan privelse untuk mendapatkan jasa militer dari para penduduk Madura yang bebas mereka gunakan untuk berbagai kepentingan kolonialisme.76

Dari sudut pandang sosiologis, kemunculan Blater merupakan imbas dari faktor ekologis Madura - yang disebabkan karena tipologi geografis wilayah yang tidak memungkinkan terjadinya penggarapan tanah secara intensif. Impak dari ketidaksuburan tanah ini kemudian menjalar pada problem unsur kesejahteraan rakyat yang sangat minimalis. Rakyat tidak mampu hidup dari segala keterbatasan yang diakibatkan beragam persoalan fisikawi. Curah hujan yang kurang, iklim yang gersang, dan laju pertumbuhan penduduk yang massif dari tahun ke tahun, menambah perkara hidup menjadi semakin kompleks. Migrasi faktanya bukan merupakan satu-satunya solusi yang dijalankan oleh rata-rata penduduk Madura

75 Ibid, h. 3-6.

76 Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940

87

dalam menjauhi segala permasalahan hidupnya. Menjadi Blater, nyatanya menjadi cara lain guna mengatasi segala problema hidup. Paradigma seperti ini lambat laun mengalami ideologisasi di masyarakat.77 Walau cara menuju keblateran penuh resiko bahkan bisa berujung pada kematian. Tetapi dengan menjadi Blater, mereka memiliki posisi untuk melakukan daya tawar dalam hal apapun, dia akan merasa disegani dan dihormati. Sehingga kekuasaan Blater dalam personalisasi diri, mengukuhkan karakteristiknya sebagai orang kuat lokal.78

Faktor lain yang memicu kelahiran Blater di Madura adalah masalah institusi/kelembagaan. Faktor kelembagaan merupakan hal penting dalam wacana negara modern. Institusi adalah arena legal-formal dimana setiap kepentingan diagregasi, dan setiap konflik dipecahkan melalui mekanisme prosedural. Sehingga adanya institusi dimaksudkan untuk dapat menghilangkan perilaku dan sikap main hakim sendiri. Tetapi dalam kasus Madura, cara kerja ini belum sepenuhnya berhasil. Begitupun di banyak wilayah di Indonesia yang lain. Intoleransi dan aksi-aksi kekerasan yang mewarnai gerak-gerik masyarakat yang disebabkan oleh tidak adanya institusi yang kuat, adalah celah bagi terbentuknya premanisme. Kekacauan yang menimpa lembaga/institusi, khsususnya dalam kasus Madura, dapat ditarik jauh ke alur sejarah perjalanan bangsa Madura. Secara historis, bangsa Madura selalu berada di bawah hegemoni kerajaan-kerajaan Jawa dan negara kolonial, hal ini mengakibatkan tidak adanya upaya untuk melakukan intensifitas dan signifikansi institusi di kalangan masyarakat

77Abdur Rozaki, “Social Origin dan Politik Kuasa Blater di Madura,” h. 5. 78 Ibid, h. 5.

88

Madura. Negara tidak hadir di tengah-tengah mereka.79 Masyarakat tidak dilatih untuk melakukan pemecahan masalah secara institusionalis. Mereka dibiarkan begitu saja untuk mengelola persoalannya sendiri-sendiri. Institusi hukum absen dalam kehidupan mereka. Hal ini menurut Abdur Rozaki berimbas pada strategi pemecahan masalah di antara mereka (problem solving), kekerasan menjadi pilihan utama masyarakat dalam rangka membela diri mereka.80

79 Ibid, h. 6. 80 Ibid, h. 6.

89

BAB IV