• Tidak ada hasil yang ditemukan

Term dominasi dan munculnya dinasti politik di berbagai daerah pasca reformasi khususnya, menjadi wacana serta diskursus menarik dalam kajian politik kontemporer masa kini. Permasalahan utama kedinastian yang merebak dan melanda beberapa segmentasi kehidupan politik di tanah air ditengarai telah memunculkan rasa ketidakadilan dari segelintir elit yang turun temurun mempertahankan status quo mereka. Apalagi kinerja elit yang duduk di jabatan publik tidak mampu bekerja dengan maksimal, bahkan kinerja mereka terkesan asal-asalan. Maindset yang tertanam dalam diri para birokrat kita bukan untuk melayani, melainkan mencari keuntungan sebesar-besarnya dari posisi yang mereka duduki. Mereka lebih mengedepankan ego sektoral ketimbang murni

16

mengurus rakyatnya sendiri. Tak ayal akhirnya rakyat kecewa dengan praktek dominasi dan dinasti seperti ini.

Pemerintahan dengan model dinasti politik yang terjadi di alam demokrasi memang tidak terlepas dan bersumber dari keterpilihan masing-masing individu dalam setiap pemilihan, baik pileg, pilbup, pilgub, maupun pilpres. Pendeknya dinasti politik adalah hak, dan demokrasi membuka ruang sebebas-bebasnya kepada rakyat, kepada siapapun, untuk memilih atau tidak memilih, untuk mencalonkan atau tidak mencalonkan, sesuai preferensi masing-masing. Hanya saja, reformasi yang baru berlangsung, tidak secepat kilat memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, sehingga mobilisasi massa lebih menonjol ketimbang partisipasi murni. Praktik patronase politik menjadi wacana substantif dalam mobilisasi tersebut. Padahal syarat berkembangnya pembangunan politik sebagaimana yang dikemukakan oleh Lucian Pye, bertalian erat dengan masalah mobilisasi dan partisipasi seperti ini.30 Partisipasi bersumber dari kesadaran masyarakat atas politik, sedangkan mobilisasi muncul lantaran masyarakat belum mengerti arti penting politik dalam marwah kehidupan mereka sehari-hari. Terbentuknya dinasti politik merupakan faktor dari latar belakang dan problem seperti itu.

Karenanya, tema yang menyangkut dinasti politik banyak diminati. Di antara mereka adalah Leo Agustino dan Mohammad Agus Yusof (2012): Daripada Orde Baru Ke Orde Reformasi: Politik Lokal Di Indonesia Pasca Orde Baru. Di dalam artikel yang diterbitkan oleh Malaysian Journal of History,

30 Lucian Pye, Pembangunan Politik dan Perubahan Politik (Jakarta: PT. Gramedia, 1985), h. 22.

17

Politics & Strategic Studies, Leo dan Yusof menitikberatkan penelitian mereka pada politik lokal di Indonesia setelah 1998 dan sebelum tahun tersebut. Dari penelitiannya didapatkan bahwa gelombang demokratisasi tidak selamanya berakhir dengan hasil yang sempurna. Negara-negara seperti India, Brazil, Filipina, Thailand, Nigeria dan Peru mengalami nasib yang kurang baik, berkebalikan dari esensi demokrasi yang diharapkan pada umumnya. Fakta lain pasca demokratisasi dikumandangkan malah memicu terbentuknya sistem otokratik semi pada politik lokal di negara-negara tersebut. Kemunculan para orang kuat lokal serta bos ekonomi di kancah politik lokal merupakan bukti betapa demokratisasi pun nyatanya dapat lahir dengan wajah lain.31

Esensi demokratisasi sebenarnya adalah untuk membebaskan masyarakat dari belenggu otoritarian, sebuah transformasi nilai dari masyarakat tertutup kepada masyarakat yang lebih terbuka, sehingga masyarakat mendapatkan hak politiknya secara proporsional, terbentuknya civil society yang mapan, dan adanya check and balance yang konstruktif. Tapi di tengah proses pendemokratisasi-an tersebut, nyatanya demokratisasi juga telah ditunggangi oleh para free rider yang kurang lebih memanfaatkan momen untuk adu kuasa baru. Setelah bertahun-tahun dibungkam hak politiknya oleh rezim otoriter, hasrat untuk menjadi raja kecil di daerah mewabahi segenap elemen masyarakat di spektrum lokal. Begitupun dengan demokratisasi di Indonesia, yang tak luput dari keberadaan para pembajak demokrasi tersebut. Saat demokratisasi berlangsung, banyak di antara mereka, khususnya para pemain politik lokal yang juga memanfaatkan momen reformasi

31 Mohammad Agus Yusoff dan Leo Agustino, “Daripada Orde Baru Ke Orde Reformasi: Politik Lokal di Indonesia Pasca Orde Baru,” Jebat: Malaysian Journal of History, Politics & Strategic Studies, Vol. 39 (July 2012): h. 78-82.

18

sebagai wadah arena persaingan untuk berkuasa. Mereka umumnya para elit lokal yang dulu saat zaman orba adalah para penyokong, maupun kalangan yang beroposisi terhadap Soeharto.

Padahal gambaran politik lokal sebelum orde reformasi lahir, berada dalam posisi yang sangat monoton, sebab daerah tidak memiliki wewenang untuk mengurus daerahnya secara mandiri. Daerah seolah-olah hanyalah wayang, dan pusat adalah sebenar-benarnya dalang. Seluruh kebijakan serta wewenang daerah dikendalikan oleh pusat sepenuhnya. Begitu kuatnya pusat, daerah seakan-akan sekadar dijadikan sebagai lumbung kekayaan pusat semata; yang dikeruk kekayaannya namun tidak diperhatikan keberadaannya.32 Tetapi setelah reformasi 1998 meletus, daerah seperti mendapatkan angin segar untuk bangkit. Hiruk pikuk kehidupan politik yang pelik di masa orde baru seolah-olah sirna dengan datangnya zaman reformasi. Harapan baru demi terwujudnya demokrasi yang utuh-penuh, hinggap pada segenap masyarakat di daerah. Karena jika selama masa orde baru mereka tidak bisa mendapatkan hak politiknya, maka di era reformasi harapan akan mendapatkan hak politiknya datang kembali.

Tetapi, hasil penelitian Leo dan Yusof mendapatkan fakta lain. Politik lokal mengalami “bulan madunya” (istilah Leo dan Yusof) sebagai daerah yang didamba hanya beberapa tahun saja. Setelahnya, lanskap politik lokal di daerah kembali ke wajah bopeng seperti zaman orba sedia kala. Kehidupan atau dinamika politik yang berlangsung beberapa masa selanjutnya hampir serupa dengan zaman

19

Soeharto.33 Tumpuan permasalahan dari ketidakberubahan politik lokal pasca reformasi menurut mereka ada pada eksistensi “orang kuat lokal”. Orang kuat lokal ini terbagi menjadi dua. Pertama adalah penyokong orba, dimana ketika Soeharto masih berkuasa, Soeharto tempatkan orang-orangnya di daerah. Tugas mereka di daerah adalah untuk menjaga stabilitas daerah dari berbagai macam bentuk protes dan aksi. Orang-orang peliharaan ini merupakan orang kuat yang disegani – jika bukan karena yang ditakuti. Dan yang kedua adalah orang-orang yang kontra terhadap Soeharto. Dua kelompok inilah yang nantinya kebanyakan saling berebut kuasa di arena politik lokal sewaktu pilkada langsung diimplementasikan. Dan saat reformasi memberikan nuansa baru dengan harapan adanya kemajuan daerah yang lebih konstruktif, lagi-lagi yang hadir malah reduksi dari nilai tersebut. Daerah malah lahir dengan raja-raja kecil di dalamnya. Mereka mulai membangun model dinasti politik yang hampir mirip dengan apa yang telah dilakukan oleh Soeharto dulu. Transisi orba ke reformasi nyatanya tidak serta merta membawa dampak perubahan ke daerah-daerah, malah zaman reformasi seolah-olah merupakan pembabakan baru neo-Soehartois. Karena sebagian penduduk masyarakat yang tergambarkan sebagai “orang kuat” di kedaerahan masih banyak yang mengutamakan ego nepotistik dibandingkan semangat kebersamaan untuk pembangunan.34

Selain tulisan Leo Agustino dan Mohammad Agus Yusof (2012) soal: Daripada Orde Baru Ke Orde Reformasi: Politik Lokal Di Indonesia Pasca Orde Baru. Ada juga hasil analisa Wasisto Raharjo Djati yang penulis jadikan rujukan

33 Ibid, h. 86. 34 Ibid, h. 90-91.

20

tinjauan pustaka. Tulisan tersebut diterbitkan oleh jurnal sosiologi masyarakat, Pusat Kajian Sosiologi (Labsosio FISIP-UI), dengan judul Revivalisme Kekuatan Familisme dalam Demokrasi: Dinasti Politik di Aras Lokal. Dalam tulisan tersebut, Wasisto melihat pembentukan dinasti politik dari sudut pandang berbeda pada umumnya. Jika kebanyakan ilmuwan melihat Dinasti Politik sebagai akibat adanya campur tangan “elit yang membajak demokrasi,” Wasisto lebih melihatnya dari proses internal familisme. Bahwa adanya elit kuat lokal hanyalah merupakan bagian dari faktor eksternal pembentukan dinasti politik saja, tetapi di sisi lain ada juga faktor internal yang melatarbelakanginya yakni bagaimana keluarga saling memberikan pengaruh terhadap preferensi pembentukan “dinasti politik”.

Dalam penelitiannya, disebutkan ada 3 unsur utama mengapa akhirnya Dinasti Politik lahir. Pertama, karena kegagalan partai lokal melakukan regenerasi politik. Kedua, biaya demokrasi partisipasi yang tinggi. Ketiga, adanya kekuatan antar elit yang tidak seimbang.35 Dari ketiga unsur tersebut, Wasisto melihat bahwa perumusan terbentuknya dinasti politik tidak hanya dapat dilakukan melalui pendekatan Neopatrimornialisme sebagaimana Haris (2007) dan Zuhro (2010), serta pendekatan Klan Politik sebagaimana Kreuzer (2005) dan Cesar (2013), dan pendekatan Poltik Predator sebagaimana Asako (2010) dan Mc Coy (1994) yang bertumpu pada tesis Migdal (1988) dan Sidel (2005), tetapi lebih dari itu juga dapat dilihat dari perspektif familisme.36

35 Wasisto Raharjo Djati, “Revivalisme Kekuatan Familisme dalam Demokrasi: Dinasti Politik di Aras Lokal,” Jurnal Sosiologi Masyarakat, Vol 18 No. 2 (Juli 2013: 203-231): h. 203. 36 Ibid, h. 204-206.

21

Perspektif familisme sebagaimana yang dikutip langsung dari penelitian Wasisto memberikan gambaran semacam ini:

“Pertama, analisis dinasti politik tidak boleh terpaku pada hubungan

patronase keluarga secara umum, tetapi lebih terspesialisasikan menurut preferensi politik keluarga yang terbagi dalam tiga hal, yakni familisme, quasifamilisme, dan ego familisme. Kedua, pembentukan dinasti politik dipahami dalam dua nalar besar yakni by design yang mengarah achieved status atau by design yang mengarah pada by accident. Kedua nalar itu penting untuk membantu kita agar tidak terjebak pada pemikiran elit. Ketiga, sumber dinasti politik tidak hanya relasi keluarga intim atau demokrasi pasutri yang selama ini selalu menjadi diskursus dominan, namun terdapat empat aspek, seperti tribalisme, feodalisme, jaringan maupun populisme.”37

Dari pembacaan penulis terhadap analisis penelitian Wasisto, setidaknya dia hendak mengemukakan bahwa pembentukan dinasti politik tidak hanya dapat dilihat dari perspektif elit yang sudah menjadi semacam kaca mata umum bagi para ilmuwan politik. Padahal melalui pendekatan familisme kita akan mengetahui bagaimana proses pembentukan dinasti politik itu terjadi. Familisme sendiri tidak terdeterminasi pada dorongan keluarga untuk membentuk atau tidak membentuk kekuasaan secara dinasti, tetapi juga dilihatnya berdasarkan pada dukungan dan dorongan dari masyarakat.38

Dengan penelitian yang sudah ada, seperti Leo Agustino dan Mohammad Agus Yusof serta Wasisto Raharjo Djati, yang telah mengupas tuntas apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya dinasti politik serta karakteristik lingkungan sosio politiknya. Sekalipun penelitian di atas tidak terkait dengan tema besar dominasi dan dinasti politik di Bangkalan, setidaknya penulis sudah mendapatkan gambaran umum tentang bagaimana perkembangan dinamika dinasti politik dari tahun ke tahun, baik itu sebelum era reformasi maupun

37 Ibid, h. 228-229. 38 Ibid, h. 229.

22

setelahnya. Ditambah referensi dari kedua tulisan tersebut setidaknya telah memberikan masukan berarti bagi penggunaan teori serta pendekatan metodologi sebagai “pisau analisis” pada tema yang akan penulis angkat. Karena penulis sendiri sadari, bahwa topik dinasti politik di Bangkalan masih baru, sehingga memerlukan literatur pendukung dari penelitian sejenis.