• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROFIL BANGKALAN

A. Geografi dan Demografi Pulau Madura

Madura merupakan salah satu pulau yang terletak di salah satu titik laut Jawa. Keberadaannya dengan Jawa hanya dipisahkan oleh sebuah selat yang dikenal dengan Selat Madura. Selat Madura, selain sebagai pemisah antara Pulau Jawa dan Madura, juga merupakan penghubung pertemuan antara Laut Jawa dan Laut Bali. Luas pulau ini adalah 5.304 km2.1 Menurut Mardiwarsito, nama Madura berasal dari bahasa sanskerta yang artinya permai, indah, molek, cantik, jelita, manis, ramah tamah, dan lembut. Nama pulau ini mirip dengan nama sebuah prefektur di India selatan.2 Di ujung timur pulau ini, ada kepulauan Kangean dan Sapudi yang terdiri dari 50 pulau, baik yang berpenghuni maupun tidak berpenghuni.3

Dalam struktur geografis, Madura berada pada posisi 7 derajat selatan khatulistiwa, dan 112 derajat serta 114 derajat bujur timur.4 Letaknya tepat berdekatan dengan kota Surabaya di sebelah timur pulau Jawa. Kota Surabaya sendiri banyak dihuni oleh orang-orang Madura. Tak heran di kota ini kemudian lahir suporter ultras klub Persebaya yang dijuluki Bonek Mania (bocah nekat) yang identik dengan kultur kekerasan carok di Madura.

1 Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam (Jakarta: PT. Gramedia, 1989), h. 3-5.

2 Muh. Syamsudin, “Agama, Migrasi dan Orang Madura,” Aplikasia, Jurnal Aplikasi llmu-Ilmu Agama, Vol. VIII, No. 2 (Desember 2007:150-182): h. 151.

3 Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman, h. 5. 4 Ibid, h. 3.

58

Gambar III.1. Peta Madura

Sumber Gambar: Google Map 2016

Bila diperhatikan dengan seksama, secara geologis, Madura adalah bagian dari embel-embel utara Jawa yang merupakan terusan dari pegunungan kapur yang terletak di sebelah utara dan selatan lembah Solo. Bedanya bukit kapur di Madura lebih rendah dan kasar ketimbang di Jawa. Begitu pun dengan beberapa gunung di Madura, tinggi puncaknya relatif rendah bila dibandingkan dengan gunung-gunung di Pulau Jawa. Bahkan gunung di Madura terkesan lebih tepat jika disebut bukit. Gunung-gunung tertinggi di Madura antara lain: Gunung Gadu 341 m, Gunung Merangan 398 m, dan Gunung Tembuku 471 m.5

Secara administratif pulau ini masuk ke dalam wilayah politik provinsi Jawa Timur yang terdiri atas 4 kabupaten di dalamnya, yaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep.6 Pulau Madura, sebagaimana telah dijelaskan, adalah

5 Ibid, h. 5- 6.

6 Mutmainnah, “Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep, Madura,” dalam Jamil Gunawan, Sutoro Eko Yunanto, Anton Birowo, dan Bambang Purwanto,

59

lanjutan ekologis tekstur Jawa. Hanya saja sayangnya, Madura secara genealogis didominasi oleh tanah regusol, grumusol, aluvial, dan tanah mediteran merah kuning yang kurang baik dijadikan sebagai lahan pertanian. Iklim di pulau Madura terbagi atas dua macam musim, musim pertama adalah musim hujan dengan jumlah curah hujan yang sangat minim, musim kedua adalah musim kemarau dengan suhu rata-rata tinggi.7

Sungai utama di pulau ini di antaranya adalah Sungai Bangkalan, Sungai Balega, Sungai Sampang, dan Sungai Saroka.8 Dari beberapa sungai yang disebutkan, hanya Sungai Sampang yang terhitung dapat diandalkan sebagai jalur transportasi air yang dapat membawa perahu sampai ke pedalaman.9 Sepanjang musim kemarau, masyarakat Madura mengandalkan kebutuhan airnya dari galian di pinggiran palung-palung sungai tersebut. Selain diwarnai dengan geografis sungai, Madura sebelum modernisasi merebak, sebetulnya juga banyak memiliki hutan.10 Namun pasca modernisasi, hutan-hutan mulai tereduksi jumlahnya dan kini luas areal hutan di Madura tidak lebih berkisar antara 47.487.30 Ha.11

Walau mata pencaharian masyarakat Madura mayoritas adalah masyarakat agraris, tapi tidak sedikit pula dari mereka yang memilih profesi sebagai nelayan, pedagang, dan peternak. Intensitas cuaca yang selalu tinggi antara 32-33 derajat celcius, dengan curah hujan yang terbatas 1000-2000 mm, mengakibatkan tanah di Madura kurang subur dan tidak cocok untuk bertanam padi. Alternatifnya,

7 Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman, h. 8. 8 Ibid, h. 9.

9 Ibid, h. 9. 10 Ibid, h. 9.

11BPS Provinsi Jawa Timur, “Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi,” data ini diakses pada tanggal 16 Februari 2016 dari http://jatim.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/80

60

masyarakat menggunakannya sebagai lahan tegal yang banyak ditanami umbi-umbian seperti singkong dan jagung.12 Simbol tegal inilah yang membedakannya dengan kultur Jawa yang khas dengan persawahan dan sistem irigasi yang terintegrasi.13 Tapi dengan segala tingkat rendah kesuburan tanahnya, Madura tetap merupakan pemasok garam penting bagi kebutuhan garam nasional.14

Tingkat kepadatan penduduk di Madura sangat tinggi. Paling kentara, kepadatan penduduk di Madura terpaku di sekitar daerah aliran sungai dengan daerah Bangkalan dan Pamekasan sebagai wilayah terpadat dibandingkan dua daerah lainnya yakni Sampang dan Sumenep.15 Kebanyakan masyarakat Madura tinggal di daerah-daerah terpencar dengan pola pemukiman yang unik. Hal ini dikarenakan lahan tegalan yang ditanami Jagung, Singkong, dan beberapa umbi-umbian lainnya tidak memungkinkan terjadinya konsentrasi penduduk di suatu wilayah tertentu dalam skala besar. Beda halnya dengan pola pemukiman masyarakat Jawa yang serentak yang banyak dipengaruhi oleh keberadaan sawah, dengan penduduk terkonsentrasi dalam satu kesatuan wilayah dengan jumlah yang tinggi.16

Pemukiman masyarakat Madura yang terpencar yang dipengaruhi oleh ekologi tegal ini telah memberikan lanskap kultur tersendiri pada pola dan bentuk kampung di wilayah Madura. Pola pemukiman tegal di Madura, biasa dinamakan „tanean lanjang‟ untuk daerah Sumenep, dan „kampong meji‟ di daerah

12 Ibid, h. 8.

13 Muthmainnah, Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep, Madura, h. 215.

14 Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman, h. 8. 15 Ibid, h. 23.

61

Pamekasan. Unit sosial berdasarkan kelompok tegal ini biasanya hanya berlaku atas dasar ikatan keluarga saja. Gambaran mengenai bentuk pemukiman ini adalah deretan pemukiman yang memanjang dari barat ke timur dimulai berurutan dari keluarga tertua sampai keluarga termuda dengan posisi rumah sama-sama menghadap ke selatan dengan masing-masing rumah memiliki dapur sendiri. Yang khas dari pola pemukiman seperti ini adalah bahwa musala, sumur, dan lumbung padi dikelola secara bersama-sama. Menurut Kuntowijoyo, secara filosofi hal tersebut menandakan bahwa masyarakat Madura mandiri secara ekonomi namun tidak menafikan satu kesatuan dengan keluarga luas.17

Secara sosial, masyarakat Madura lebih individualistik ketimbang masyarakat Jawa. Menurut Kuntowijoyo dan Abdurahman, hal ini merupakan dampak ekologi Madura terhadap demografi masyarakatnya.18 Solidaritas antar masyarakat di Madura hanya terjadi antar unit kelompok tegalan secara internal. Berbeda dengan solidaritas desa di Jawa yang tumbuh karena maraknya gotong royong semisal saat pembagian air untuk sawah, kerja bakti, ronda dan lain sebagainya. Solidaritas desa di Madura tidak terbentuk dalam kerangka ekonomi, melainkan agama. Agama menjadi satu-satunya simbol yang berperan menjaga dan melestarikan solidaritas antar masyarakat. Ritual agama, upacara, dan ormas-ormas agama memiliki kekuatan dalam mobilitas sosial. Sedang administrasi desa hanya dianggap sebagai beban yang memberatkan, karena berkaitan dengan pajak dan pemilu.19

17 Muthmainnah, Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep, Madura, h. 215.

18 Ibid, h. 215. 19 Ibid, h. 216.

62

Pemerintahan desa di masyarakat Madura kurang diperhatikan, kehadirannya tidak sekuat dan seoptimal dewan-dewan desa di Jawa. Bahkan sebagai basis kekuatan formal, pamor desa dikesampingkan. Perkumpulan desa secara administratif yang umumnya membicarakan kepentingan bersama hampir tiada. Misalnya saja rapat-rapat mengenai lahan pertanian atau perkebunan yang dikelola secara komunal seperti yang terjadi di desa-desa di pulau Jawa. Sebab sebagian besar tanah produktif di Madura dikelola perorangan.20

Selain ekologi tegal yang sudah dijelaskan, ekologi masyarakat Madura juga sedikit-banyak dipengaruhi oleh kelangkaan pangan, sekalipun sebagian besar petani di Madura menanam Jagung dan Padi, tetapi hasilnya tetap tidak mencukupi bagi kebutuhan masyarakat Madura secara keseluruhan.21 Menurut Kuntowijoyo,22 ada dua musabab mengapa kelangkaan pangan mempengaruhi faktor ekologi masyarakat. Pertama kelangkaan pangan berpengaruh pada ketergantungan ekonomi masyarakat Madura, kedua, kelangkaan pangan pada akhirnya menggerakan mobilitas sosial masyarakat itu sendiri.

Untuk mengatasi kelangkaan pangan, Madura mendatangkan bahan-bahan pokok makanannya dari Bali dan beberapa kota di Jawa Timur. Ekspansi mobilitas sosial pada masyarakat Madura biasanya terjadi ketika musim kemarau melanda. Minimnya air dan lahan garapan, membuat masyarakat mau tidak mau memilih untuk meninggalkan kampungnya dan mendatangi kota-kota lainnya di Indonesia. Urbanisasi masyarakat Madura mayoritas didominasi oleh kaum pria.

20 Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman, h. 17-18. 21 Ibid, h. 38.

22 Muthmainnah, Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep, Madura, h. 216.

63

Mereka bermigrasi ke daerah-daerah sepanjang pantai utara timur jawa yang searah dengan letak kabupaten mereka. Penduduk Bangkalan bermigrasi ke daerah-daerah Surabaya, Malang, Kediri, Madiun, Bojonegoro. Penduduk Sampang bermigrasi ke Pasuruan, Probolinggo, dan Lumajang. Penduduk Sumenep dan Pamekasan ke arah Jember, Bondowoso, dan Banyuwangi.23

Kultur agama masyarakat Madura pada umumnya mirip dengan kultur yang berlaku di kalangan masyarakat Jawa, penghayatan serta penghormatan pada Kyai ditempatkan pada urutan paling tinggi. Di samping kepercayaan pada klenik, mitos, serta adatisme agama masih menghiasi wajah dan corak religiusitas masyarakat setempat. Hal ini terbilang wajar, mengingat dulu Madura merupakan bekas teritorial kerajaan-kerajaan Hindu dan Islam Jawa.24

Sinkretisme Jawa merupakan akulturasi Hindu dan Islam. Soal ini mendapat perhatian khusus dari banyak peneliti luar yang salah satunya adalah Snouck Hurgonje, seorang sarjana Islam Belanda yang mengungkapkan bahwa islam hanyalah formalitas agama dalam subkultur masyarakat Jawa.25 Selain Hurgonje, antropolog besar yang berkontribusi dalam mendalami teologi Jawa adalah Cliford Geertz dengan risetnya tentang islamisasi Jawa. Ia menemukan bahwa islam dalam masyarakat Jawa terbagi kedalam beberapa subkelompok yang dibedakan berdasarkan tingkat pemahaman dan penghayatan mereka terhadap

23 Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman, h. 24.

24 Muthmainnah, Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep, Madura, h. 216-217.

64

islam sebagai agama. Subkelompok tersebut adalah Santri, Abangan,26 dan Priyayi.27

Dari uraian di atas, bila dilakukan komparasi kultur antara Jawa dan Madura, signifikansi pokok pembeda hanya terletak di persoalan demografi. Persamaan dimensi keagamaan lebih mencolok, karena berdasarkan historisitas, Madura adalah bagian dari kerajaan-kerajaan Jawa. Walau sebelum tahun 1800 dan sebelum menjadi bagian dari teritori Hindia-Belanda, di Madura banyak berdiri kerajaan-kerajaan kecil, akan tetapi mereka terlalu sibuk dengan pertikaian sehingga sulit untuk melakukan konsolidasi di antara mereka. Bahkan ketika VOC muncul dan mulai melakukan eksplorasi perdagangan di seluruh wilayah nusantara, Madura banyak bergantung pada kerajaan-kerajaan di Jawa. Kerajaan-kerajaan di Madura antara lain pernah berada di bawah Kerajaan Hindu, Kerajaan Islam Demak dan Surabaya, dan Kerajaan Mataram di Jawa Tengah. 28