• Tidak ada hasil yang ditemukan

DINAMIKA KEKUASAAN POLITIK FUAD AMIN DI BANGKALAN

A. Terbentuknya Kekuasaan Politik Fuad Amin

Sebagaimana telah penulis uraikan di bab-bab sebelumnya, bahwa terdapat dua entitas kelas masyarakat yang memiliki peranan penting dalam lanskap sosio kultur politik di Madura. Yang pertama adalah kiai, dan yang kedua blater. Kedua entitas informal ini faktanya memiliki pengaruh yang kurang lebih sama, bahkan kadangkala melebihi segala bentuk legitimasi atas kontrol yang dimiliki oleh negara pada masyarakat. Keberadaan kiai dan blater sebagai kekuatan informal di Madura, kerapkali menjadi simbol yang dalam bahasa Migdal disebut sebagai “Strategies of Survival”.1

Simbol ini kelak telah menghantarkan keduanya ke tempat istimewa di antara kalangan orang-orang berpengaruh dan terhormat.

Kehadiran mereka di antara masyarakat Madura, jika ditilik kembali ke sejarah masa silam, sangat begitu besar impresinya. Mereka bukan hanya tinggal dan menetap sebagaimana masyarakat biasa, lebih dari itu, keberadaan mereka ditujukan pula untuk turut serta dalam membina dan mengintervensi masyarakat di berbagai aspek: baik agama, sosial maupun politik. Keterlibatan ini telah membentuk ikatan emosi yang kuat, yang mengikis batas impersonal masyarakat dengan kelompok-kelompok informal.

1 Strategies of Survival merupakan strategi bertahan hidup dengan mendekatkan diri kepada kekuatan patron, yang dalam hal ini adalah para jago yang berkuasa pada teritori tertentu, Daniel

Lambach, “State in Society: Joel Migdal and the limit of state authority.” Paper for presentation at the conference “Political Concepts Beyond the Nation State: Cosmopolitanism, territoriality, democracy”, Danish Political Theory Network Conference, University of Copenhagen, Department of Political Science Copenhagen, 27-30 October 2004.

90

Munculnya kiai sebagai orang lokal berpengaruh, dalam penjelasan Kuntowijoyo,2 tidak terlepas dari konsekuensi logis yang diakibatkan oleh faktor ekologi tegalan. Madura yang didominasi oleh ekologi tegal sebagai impak dari iklim yang kering dan dengan curah hujan yang begitu minim, (pada akhirnya memberikan dampak lain pada kehidupan bercocok tanam masyarakat). Mereka tidak sama dengan masyarakat jawa yang umumnya berococok tanam dengan menanam padi di sawah. Mereka, masyarakat Madura, harus berjibaku dengan cuaca ekstrem yang tidak cocok untuk menanam tanaman sejenis. Karenanya, mereka lebih banyak menanam umbi-umbian yang memerlukan pasokan air lebih sedikit. Tegal menjadi pilihan corak bercocok tanam masyarakat.

Kondisi ekologi yang seperti ini pada akhirnya mau tidak mau juga berpengaruh besar pada konsepsi pemukiman penduduk di sekitarnya. Masyarakat Madura memiliki model pemukiman yang lebih terpencar-pencar dari pada jenis pemukiman di pulau Jawa yang rapat dan terintegrasi di satu desa.3 Makanya hidup masyarakat Jawa cenderung berkelompok, karena dalam sistem tani yang menjadi ciri khas masyarakat Jawa, teknis irigasi perlu diatur sesuai dan biasanya terjadi atas asas gotong royong. Dengan demikian, wajar bila solidaritas antar masyarakat Jawa terbentuk dalam kerangka ekonomi.

Sedang corak ekologi tegalan dengan pemukiman penduduk terpencar-pencar yang dominan pada masyarakat Madura, juga akhirnya berpengaruh pada minimnya solidaritas antar mereka. Hal ini belakangan tergambarkan melalui

2 Lihat Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940

(Jogjakarta: Mata Bangsa, 2002).

3 Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940 (Jogjakarta: Mata Bangsa, 2002), h. 60.

91

sikap individualistik masyarakat Madura. Mereka tidak terikat dengan rasa tanggung jawab dengan sesama dan antar masyarakat desa sebagaimana yang terjadi pada masyarakat Jawa dan Sumatra. Tanggung jawab yang menonjol di dalam kultur Madura lebih bersifat eksklusif antar keluarga saja.4 Adapun satu-satunya simbol pengerat solidaritas atau yang oleh Durkheim disebut dengan „jaringan sentimen kolektif‟ di antara masyarakat Madura adalah melalui ritus -ritus agama.5 Dengan menunaikan ritual ibadah, dan upacara-upacara keagamaan secara bersama-sama, lambat laun rasa solidaritas ini muncul dan terpupuk ke permukaan. Kiai menjadi entitas penting dalam simbol solidaritas tersebut.6

Sama halnya dengan kiai, eksistensi dan munculnya pengaruh blater juga tidak bisa terlepaskan dari faktor ekologi tegalan yang tidak mampu memberikan pasokan kebutuhan secara maksimal, sehingga keadaan masyarakat menjadi serba kekurangan.7 Walaupun, kemunculannya sebagai orang kuat lokal juga merupakan buntut dari beragam penindasan yang seringkali dilakukan oleh elit semasa raja-raja dulu berkuasa dan semasa penjajahan, serta sebagai impak hadirnya institusi Barisan di bawah kendali kolonialisme Hindia-Belanda.8

Hasil cocok tanam tegalan yang masyarakat Madura kerjakan, faktanya tidak banyak membantu dan memberikan keuntungan bagi kebutuhan hidup

4 Mutmainnah, “Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep, Madura,” dalam Jamil Gunawan, Sutoro Eko Yunanto, Anton Birowo, dan Bambang Purwanto,

ed., Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi Lokal (Jakarta: LP3ES, 2004), h. 215. 5 Kuntowijoyo, Perubahan Sosial, h. 450.

6 Muthmainnah, Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep, Madura, h. 216.

7 Abdur Rozaki, “Social Origin dan Politik Kuasa Blater di Madura,” Kyoto Review of Southeast Asia Issue 11 (December 2009).

8Barisan merupakan satuan korps militer yang beranggotakan para sipil dan digunakan untuk kepentingan Belanda. A. Latief Wiyata, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura

92

mereka sehari-hari. Bahkan untuk memenuhi pasokan kebutuhan yang serba kekurangan tersebut, masyarakat Madura mesti mendatangkan sebagian logistiknya dari Pulau Jawa. Hal tersebut cukup untuk menjadi alasan mengapa akhirnya banyak di antara masyarakat Madura yang lebih memilih hidup bermigrasi ke Jawa atau ke beberapa tempat lainnya di Indonesia ketimbang tetap menetap di daerah. Atau, meskipun menetap, sebagian di antara mereka lebih memilih hidup untuk menjadi bandit-bandit desa (blater).9 Berprofesi sebagai bandit desa atau blater setidaknya telah memberikan jaminan bagi kepastian hidup mereka sehari-hari. Corak hidup blater yang lekat dengan alam kekerasan, menjadikan mereka sebagai aktor yang ditakuti. Mereka kerap terlibat dalam perampokan serta pencurian.10 Sikap ini telah meningkatkan daya tawarnya selaku kelompok penting pada strata sosial di masyarakat. Namun harus digarisbawahi, bahwa tidak selamanya keberadaan para blater di Madura hanya sebatas diilustrasikan sebagai para bandit atau kriminil lokal. Sebab tak jarang dari mereka pun turut serta, malah menjadi bagian dari garda terdepan masyarakat dalam rangka melawan kolonialisme dan despotisme para raja.

Dengan sejarah sosial yang berpengaruh di masyarakat, maka tak aneh bila kemudian, di era-era selanjutnya, dua kelompok ini memegang peranan penting, bukan saja dalam konteks kehidupan sosial, melainkan juga dalam wacana politik lokal di Bangkalan. Penjelasan mengenai lahirnya kekuasaan politik Fuad Amin era kontemporer saat ini, tidak bisa dilepas begitu saja dari sejarah panjang

9 Abdur Rozaki, “Social Origin dan Politik Kuasa Blater di Madura,” Kyoto Review of Southeast Asia Issue 11 (December 2009).

10 Abdur Rozaki, “Social Origin dan Politik Kuasa Blater di Madura,” Kyoto Review of Southeast Asia Issue 11 (December 2009).

93

eksistensi blater dan kiai di masa lalu. Fuad Amin merupakan manifestasi kalangan kiai-blater yang tetap bertahan meskipun di era demokrasi yang lebih modern. Sebagai elit yang mewakili tahta waris trah kiai di satu sisi, dan keterlibatannya secara langsung dengan alam pergaulan blater di pihak lain, telah tampak menegaskan eksistensi Fuad Amin sebagai satu-satunya orang kuat lokal berpengaruh yang paling disegani, dihormati, sekaligus ditakuti oleh masyarakat.

Dengan bersandar pada argumen Joe S. Migdal bahwa orang kuat lokal merupakan ‘melange’ yang berada di luar organisasi negara yang keberadaannya terbentuk karena relasi sosial masyarakat yang masih bersifat patron-klien,11 benar-benar merupakan realita empirik bila merujuk pada kasus lokalitas Fuad Amin di Bangkalan. Kemunculan orang kuat lokal yang tergambarkan lewat pribadi Fuad Amin di aras Bangkalan tidak dapat dihindari dan juga merupakan akibat langsung dari kondisi umum pola jejaring yang terwarisi turun temurun yang menginternalisasi corak masyarakat Bangkalan yang hingga sekarang tetap lestari memegang teguh budaya patrimornialistik. Dimana kiai dan blater kokoh berada di strata paling atas sebagai patron dalam relasi kelas sosial setempat. Apalagi keberadaannya telah menstimulus pandangan masyarakat bahwa mereka adalah satu-dua aktor yang sanggup menawarkan „strategi bertahan hidup‟. Masyarakat menjadi ketergantungan pada dua kelompok ini. Menjauhi keduanya sama saja menolak aspek penghidupan yang ditawarkan oleh dua kelompok informal ini, lebih-lebih menentang atau melawan keberadaannya.

11John T. Sidel, “Bosisme dan Demokrasi di Filipina, Thailand, dan Indonesia,” dalam John

Harris, Kristian Stokke, dan Olle Tornquist. Ed., Politisasi Demokrasi Politik Lokal Baru (Jakarta: Demos, 2005), h. 73.

94

Terbentang sejak pra kolonialisme sampai era demokrasi liberal, kiai dan blater terbilang masih menjadi aktor yang mendominasi unsur kekuatan sosial politik masyarakat Bangkalan. Terkecuali di era orde baru, dimana kekuatan dan dominasinya sedikit mengecil lantaran represifitas Soeharto. Memang harus diakui, bahwa ketidakhadiran kekuatan dominan baik dalam bentuk orang kuat lokal, elit lokal, maupun oligark skala lokal saat Soeharto masih berkuasa dengan kondisi sekarang tentu berbeda. Jika di masa-masa sebelumnya, semasa rezim Soeharto berkuasa, kekuatan-kekuatan informal relatif bisa diredam dengan segala bentuk pengekangan lewat klaim legalitas konstitusional mengatasnamakan pancasila, beda halnya Indonesia pasca Soeharto, dimana negara lebih membuka ruang bagi munculnya kekuatan civil yang lebih masif. Termasuk mulai terlibatnya orang kuat lokal dan aktor-aktor lainnya dalam politik praktis.

Menjamurnya oligark dan orang kuat lokal dalam politik praktis era reformasi, tidak terhindar dari adanya implementasi desentralisasi serta keterbukaan civil yang minus proses transisi ideal yang mengabaikan logika penataan serta penguatan lembaga hukum untuk menciptakan asas-asas keadilan dan kesejahteraan pada masyarakat. Asumsi yang terburu-buru lewat proses strukturasi dengan seolah-olah menganggap bahwa bila desentralisasi dan demokrasi di tingkat lokal diterapkan maka kemakmuran masyarakat dengan sendirinya akan terwujudkan,12 tidak sepenuhnya benar. Padahal pasca reformasi meletus, praktik penegakan hukum di Indonesia masih kacau balau.13 Distorsi lembaga hukum di Indonesia pasca reformasi tentu telah menjadikan kesempatan

12 Tim Lipi, Membangun Format Baru Otonomi Daerah (Jakarta: LIPI Press, 2006), h. 11-12. 13 Jeffrey A. Winters, Oligarki (Jakarta: Gramedia Pustakan Utama, 2011), h. 267.

95

ini hanya menjadi arena adu kepentingan semata oleh para oligark, orang kuat lokal, dan para elit politisi, baik lokal maupun nasional sebagai ajang pengerukan dan penghisapan sumber-sumber ekonomi penting yang jarang bahkan tidak mungkin mereka lakukan saat Soeharto masih bertahan. Dan perlu diketahui, bahwa reorganisasi administratif pada masa transisi ini hanya memerlukan waktu selama 18 bulan.14 Padahal, ada seribu peraturan yang kurang lebih mesti direstrukturisasi (Amzulian Rifai, 2002:23).15 Bahkan karena alasan tanggung jawab yang terlampau besar ini, Ryaas Rashid, selaku pengemban tanggung jawab tersebut, akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai menteri negara.16

Pasca Soeharto tumbang, kesempatan ini tidak disia-siakan oleh banyak kelompok kepentingan itu untuk mengisi kekosongan kekuasaan yang ditinggalkan oleh rezim. Seluruh elemen sosial turut larut dalam perlombaan. Mereka berupaya sekuat tenaga untuk menjadi raja-raja baru penerus estafet kekuasaan orba. Praktik suap, jual beli suara, dan unsur kekerasan, menjadi isu penting yang mewarnai momen-momen politik era reformasi. Secara garis besar, kelompok kepentingan yang memperebutkan kekuasaan di segala tingkatan dan ranah, terbelah menjadi dua. Kelompok pertama diwakili oleh mantan gerbong pengikut orba, dan kelompok lainnya diwakili oleh kelompok pembaharu yang tidak terkait dengan orba. Namun motif logika kekuasaannya tetap sama: mereka

14 Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken, “Pendahuluan,” dalam Henk Schulte

Nordholt dan Gerry van Klinken, ed., Politik Lokal di Indonesia (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV, 2014), h.17.

15 Menurut Amzulian Rifai seperti dikutip Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken, ed., Politik Lokal di Indonesia (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV, 2014), h. 17. 16 Ibid, h. 17.

96

hanya berlomba-lomba untuk menguasai aset-aset ekonomi yang ditinggalkan Soeharto. Berakhirnya kapitalisme semu ala Soeharto (meminjam istilah Yoshihara Kunio)17, telah merubah peta persaingan ekonomi-politik para elit menjadi semakin sengit. Era reformasi telah menjamin setiap warga negara untuk turut berkompetisi secara aktif baik dalam ekonomi maupun politik.

Dinamika politik lokal di Bangkalan era reformasi juga tidak jauh berbeda dengan wilayah-wilayah lainnya di Indonesia. Bangkalan menjadi salah satu contoh tempat kebermunculan kelompok-kelompok kepentingan yang dulu dikekang oleh orba. Reformasi, jika divisualisasikan, adalah pondasi awal konsolidasi kekuatan-kekuatan lama. Fuad Amin yang direpresentasikan sebagai bagian yang tak terpisah dari golongan kiai, dianggap sebagai mesin awal bagi perubahan menuju Bangkalan ke arah yang lebih baik. Fuad adalah tumpuan masyarakat kebanyakan yang mendamba adanya perbaikan di segala sektor. Apalagi posisinya yang dianggap kiai, telah menambah rasa percaya diri masyarakat, bahwa mereka sudah berada di trek yang benar dengan pemimpin yang ideal. Tapi apa nyana, impian serta harapan tersebut pupus tidak lama setelah Fuad Amin sah menjadi pemimpin. Berbagai tindakan inkonstitusional, korupsi, serta tindakan kriminal menghiasi seluk beluk kepemimpinan Fuad. Anggapan bahwa Fuadlah sang pemimpin ideal ternyata bertolakbelakang 100 persen dengan realita yang belakangan baru saja terjadi. Fuad Amin justru menjadi pesakitan di tangan KPK.

17 wacanakiri-blogspot, “Memahami Erzat Kapitalisme bersama Yoshihara Kunio,” artikel

diakses pada tanggal 12 Maret 2016 dari http://wacanakiri.blogspot.co.id/2011/07/memahami-erzat-kapitalisme-bersama.html

97

Hal lainnya, yang harus digarisbawahi, bahwa kemunculan orang kuat lokal yang terkejewantahkan pada diri Fuad Amin yang dimulai semenjak liberalisasi ekonomi-politik diterapkan, termasuk di Bangkalan, sekaligus juga mengandaskan logika Migdal yang berpandangan bahwa keberadaannya hanya menjadi faktor penghalang bagi kapitalisme serta pembangunan di daerah - lewat gangguan yang kerapkali ditujukan terhadap para implementors (wakil pusat di daerah) untuk menguasai dan menghalang-halangi berbagai kebijakan yang akan dialokasikan untuk beragam kepentingan masyarakat di tingkat lokal.18 Alih-alih menghalangi jalannya kapitalisme pasar serta mengganggu berbagai proyek pembangunan di Bangkalan, Fuad Amin justru meraup banyak keuntungan dari sistem globalisme pasar seperti ini. Sistem kapitalisme terbuka malah merupakan sumber basis bagi ladang kekayaan yang Fuad pupuk dan didistribusikan untuk kepentingan pribadinya semata. Iklim investasi dimonopoli, yang seakan-akan menjadi mainan pribadinya yang Fuad kelola berdasarkan aturan serta kehendak yang Fuad inginkan. Praktik ini hampir mirip dengan kondisi orba di masa lalu.

Sebetulnya impak kemunculan orang kuat lokal yang mengarah pada penghambatan ataukah merupakan bagian elemen pendukung sistem kapitalisme pasar mendapat respon balik dan kembali diperdebatkan oleh John T. Sidel. Sidel lebih percaya, bahwa keberadaan orang kuat lokal malah membantu sekaligus memanfaatkan jalannya kapitalisme tersebut. Terakhir, Sidel menyebut orang kuat lokal sebagai bos lokal. Kondisi ini salah satunya Sidel gambarkan dalam fenomena transformasi bos lokal di Provinsi Cavite dan Cebu di Filipina, yang

18John T. Sidel, “Bosisme dan Demokrasi di Filipina, Thailand, dan Indonesia,” dalam John

Harris, Kristian Stokke, dan Olle Tornquist. Ed., Politisasi Demokrasi Politik Lokal Baru (Jakarta: Demos, 2005), h.73-74

98

tumbuh menjadi kawasan metropolis berkat keterlibatan bos lokal. Di mana para bos lokal menjadi fasilitator yang mengundang sekaligus meyakinkan para pemodal untuk berinvestasi di kawasan tersebut, dengan menikmati manfaat dari keterlibatannya itu.19

Persoalan menghambat atau tidak menghambat jalannya pembangunan lewat perlakuan orang kuat lokal terbilang masih relatif apabila merujuk ke beberapa kasus. Bolehlah dikatakan bahwa keberadaan orang kuat lokal di daerah bermanfaat dalam menjaga stabilitas politik di aras bawah. Gejolak dari berbagai kelompok kepentingan yang terfragmentasi relatif bisa dilembagakan melalui eksistensi orang kuat lokal selaku penguasa utama pada teritorial di dalamnya, sehingga logika pembangunan yang mengutamakan stabilitas politik, dapat direalisasikan. Atau para orang kuat lokal kerap menjadi bagian marketing dari beragam modal investasi yang ditujukan pada para investor. Tapi persoalannya, keberadaan mereka tetap saja mereduksi benefit ekonomi negara dari berbagai praktik suap, ilegalitas hukum, koersifitas yang mereka lakukan, dan rongrongan pengkorupsian aset belanja negara di sektor kapital pembangunan.

Pada kasus Fuad Amin, penjelasan soal ini rincinya lebih disebabkan karena posisi Fuad Amin sendiri merupakan bagian yang tak terpisah dari keadaan dan status dirinya sebagai implementors atau wakil pusat yang bercokol di daerah. Pada konteks ini adalah dalam kapasitasnya selaku bupati, sehingga rasionalisasinya adalah bahwa tidak mungkin Fuad Amin secara pribadi mengganggu jalannya pemerintahan yang sedang Fuad lakukan, atau bahkan,

99

tidak mungkin bagi dirinya membiarkan adanya kelompok penentang lain dari para seterunya (orang kuat lokal di luar dirinya) yang mencoba mengusik pemerintahan yang sedang berjalan.

Harus diketahui, bahwa Fuad Amin merupakan satu-satunya raja lokal dengan kekuatan besar yang nyaris tidak satupun aktor lokal yang berani untuk melakukan konfrontasi terhadap kekuasaannya. Modal sosial selaku orang kuat lokal yang terlebih dulu Fuad pegang, yang kemudian Fuad manfaatkan sebesar-besarnya untuk masuk ke arena politik formal, telah membangun aspek kekuatan politiknya semakin berlipat-lipat.

Dengan demikian, dengan kepemilikan lewat dua kekuatan ganda, baik formal maupun informal, kontan telah memberikan peluang dan kesempatan bagi dirinya untuk memperluas dominasinya di masyarakat, di samping upaya yang sama yang juga Fuad lakukan untuk memperkecil kesempatan politik kepada pihak lain di luar dirinya. Setelah akumulasi dari modal kekuatan politik Fuad Amin semakin mantap, meluap di segala sektor, baik yang berasal dari elemen-elemen kultural di satu sisi, maupun elemen-elemen struktural formal di sisi lain, tentu bukanlah hal yang sulit bagi Fuad untuk membangun otoritas serta dominasinya ke dalam segala bentuk formula yang menyangkut bagi-bagi posisi struktural politik lokal di Bangkalan. Politik seakan-akan menjadi arena monopolistik kekuasaan yang bisa dibentuk sesuka hatinya.

Fuad Amin dikelilingi oleh orang-orang loyal, sekaligus ditakuti oleh para kelompok penentang. Tak jarang unsur-unsur kekerasan, intimidasi, praktik suap, dan sabotase politik mewarnai jalannya pemerintahan selama kepemimpinannya.

100

Ketakutan kolektif telah menjadi gejala umum masyarakat Bangkalan. Kondisi tersebut telah mempermudah Fuad Amin dalam membangun serta membentuk dinastinya tanpa hambatan yang komplesk. Keajegan dinasti politik Fuad Amin yang hingga saat ini masih terlihat jelas di arena politik lokal Bangkalan, tidak bisa dilepaskan begitu saja dari manajerial bangunan praktik-praktik kriminal yang Fuad lakukan. Permasalahan inti ini bukan hanya tiadanya kelompok oposisi yang setara yang mampu mengimbangi segala bentuk kapasitasnya menguasai kelompok-kelompok civil yang ada, melainkan juga disebabkan tiadanya lembaga hukum independen yang berani mengusik sikap-sikap inkonstitusional yang kerap dilakukan oleh Fuad. Semenjak pertama kali Fuad Amin menjabat sebagai bupati, para kroni dan keluarga yang berjasa kepada proses pemenangannya, perlahan-lahan Fuad masukan ke dalam struktur pemerintahan. Sebagian yang lainnya Fuad bantu dalam penguasaaan ormas-ormas di Bangkalan. Gambaran dinasti politik Fuad dapat dilihat seperti dalam bagan IV.1 dan bagan IV.2.