• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERANGKA TEORI

C. Teori Oligarki

Penjelasan Aristoteles mengenai varian dan tipe pemerintahan berdasarkan jumlah orang yang memerintah, dan motif elit yang duduk di struktur pemerintah, yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat Yunani, merupakan salah satu penjelasan awal yang membahas asal muasal pengetahuan pada terma oligarki, - di samping penjelasan Aristoteles lainnya yang mengkaji soal demokrasi. Perbedaan oligarki dan demokrasi menurut Aristoteles bertumpu pada dialektika aktor dengan berdasarkan jumlah kekayaan yang dimiliki oleh masing-masing

43 Ibid, h. 99. 44 Ibid, h. 99. 45 Ibid, h. 71.

46

pihak, dan juga dengan motif politik yang dibawakan berdasarkan preferensi masing-masing. Bila oligarki kental dengan aroma kekuasaan pada segelintir minoritas kaya dengan motif untuk mempertahankannya, sedang demokrasi merupakan kekuasaan oleh – kalangan marjinal46 – yang menyimpan motif untuk bisa mensejajarkan diri bersama-sama secara egaliter, baik antara kalangan kaya maupun miskin, baik keluarga sultan maupun rakyat biasa, baik masyarakat kota maupun masyarakat pedalaman. Agar seluruhnya turut serta menggenggam hak-hak politik, kebebasan berserikat, berpendapat, memilih dan dipilih, serta mengajukan aspirasi perundang-undangan.

Sejarah oligarki merupakan sejarah yang identik dengan dua hal, pertama oligarki menandaskan superioritas orang berpunya, kedua oligarki identik dengan bagaimana sepak terjang mereka di dunia politik dalam posisinya sebagai elit. Dalam perkembangannya, teorisasi soal oligarki dalam kacamata ekonomi politik perlahan-lahan mulai bias dan bercampur aduk dengan teori elit yang banyak diilhami lewat karya-karya Mosca, Pareto, Michels47 – sekadar menyebutkan. Sulit untuk menspesifikasi elit dan oligark sekaligus. Padahal terdapat jurang pembeda yang begitu ekstrem antara terma elit di satu sisi, dan oligarki di sisi lain. Pembeda yang menggarisbawahi kedua bentuk pola – yang sama-sama mengambil inti “segelintir orang memerintah yang banyak, atau minoritas mendominasi mayoritas” – ini terletak pada basis sumber daya kekuasaan yang menopang keduanya. Selama beberapa kurun masa, terjadi kesimpangsiuran serta kerancuan antara kerangka konseptual yang melekat pada elit dan oligark.

46 Jeffrey A. Winters, Oligarki (Jakarta: Gramedia Pustakan Utama, 2011), h. 40. 47 Ibid, h. 39.

47

Permasalahannya tak lain ditimbulkan oleh definisi yang banyak digunakan oleh kedua term ini. Seringkali posisi elit memiliki makna dan arti ganda yang serupa sebagaimana oligark. Padahal, dengan melihat asal mula sumber daya kekuasaan yang diperoleh dan digunakan oleh masing-masing pihak, sangat kentara apa pembeda di antara keduanya.

Barulah beberapa tahun kemudian, para ilmuwan politik berusaha dengan keras untuk memodernisasi dan memisahkan garis pembatas yang jelas mengenai pengertian apa itu elit, siapa itu elit, dan berlaku pula hal sebaliknya: apa itu oligarki dan siapa itu oligark. Hal ini melaju berbarengan seiring pencapaian kemajuan bentuk negara modern yang secara komposisi menyembunyikan berbagai modus yang sarat kepentingan dari pihak-pihak tertentu. Hak milik pribadi dan klaim harta menggema menjadi salah satu isu substansial yang tidak hanya diatur oleh ketentuan ekonomi dan hukum, melainkan mengarah masuk menjadi salah satu motif fundamental bagi sebagian kalangan – yang terselubung dalam politik. Dan elit sebagai kerangka teoritis, tidak mampu membedah fenomena ekonomi-politik secara lebih dalam.

Bila merunut pada pengertian awal oligarki, di mana para ilmuwan politik bersandar pada definisi Aristoteles, ada poin-poin yang terabaikan saat mereka memahami sekuel oligarki yang dimaksudkan oleh filsuf tersebut. Bagi Winters, para ilmuwan politik hanya terfokus pada pengertian kuantitas aktor yang berperan memerintah saja: “satu orang, sedikit orang, atau banyak orang.”48

“Tak ada maknanya mengecap tiap kelompok kecil orang yang berpengaruh

tak proporsional sebagai oligarki. Minoritas mendominasi mayoritas di

48

banyak konteks. Yang penting adalah bagaimana minoritas melakukannya

dan melalui sumber daya kekuasaan apa.”49

“Oligarki tidak merujuk pada sistem kekuasaan oleh sekumpulan pelaku

tertentu. Oligarki menjabarkan proses dan tatanan politik terkait sejumlah kecil individu kaya yang bukan hanya berkuasa karena sumber daya material, melainkan juga terpisah karena berseteru dengan sebagian besar komunitas (termasuk dengan sesamanya). Oligarki berpusat pada tantangan politik pertahanan konsentrasi kekayaan. Oligarki yang telah ada sejak fajar sejarah manusia menetap dan terus ada sampai sekarang berbeda-beda bentuknya, tergantung bagaimana cara menghadapi tantangan politik itu (Winters, oligarchy, h. 39).”50

Ikhwal ini selaras dengan inti konsep oligarki yang diterangkan Aristoteles, bahwa tak lain dan tak bukan juga menyimpan kepentingan lain dari sekadar kampanye formal sang aktor di masyarakat. Ibarat sistem demokrasi yang berisi tumpah ruah segala retorika kalangan marjinal (terpingirkan) untuk dapat mencapai universalitas hak dan emansipasi - sebab segala apapun jenis pemerintahannya, manusia hidup dengan berbagai kepentingan.51 Maka berdasarkan sejarah manusia dari masa ke masa, dan dari transformasi hak milik dan klaim harta yang lebih canggih, oligarki merupakan sebuah usaha di mana orang-orang kaya mengupayakan agar hak milik mereka tetap lestari dan terlindungi dari pihak-pihak luar yang mencoba mengganggunya, dan klaim harta mereka tetap sama besarnya atau jika bisa, dapat bertambah dan meningkat.52

Dari jalur inilah akhirnya Winters memulai kerangka konseptual oligarki yang lebih rinci. Poin pokok lain dari kesimpulan kepemilikan material atas hak milik adalah bahwa ketidaksetaraan material berdampak pada ketidaksetaraan politik. Hal ini sepadan dengan apa yang dikatakan oleh De Laveleye: “para filsuf

49 Ibid, h. 4.

50 Jeffrey A. Winters, “Oligarki dan Demokrasi di Indonesia,” Majalah Prisma, Vol. 33 (2014): h. 15.

51 Jeffrey A. Winters, Oligarki, h. 41. 52 Ibid, h. 58.

49

dan pembuat hukum zaman dulu tahu benar, berdasarkan pengalaman, bahwa kemerdekaan dan kesetaraan politik hanya bisa ada ketika didukung kesetaraan kondisi”.53

Orang-orang kaya dengan harta yang melimpah bisa melakukan apapun demi terwujudnya cita-cita dan tujuan politik mereka. Dengan bekal material yang lebih besar dibandingkan yang lain, selain mendapatkan kedudukan eksklusif di mata masyarakat, mereka pun memiliki wewenang yang besar karena posisinya. Sulit untuk membayangkan bahwa orang-orang tidak menaruh hormat pada macam orang jenis ini.54

Hal yang membedakan elit dan oligark berasal dari stimulus sumber daya kekuasaan yang mereka miliki. Sumber daya kekuasaan sebagaimana yang diklasifikasikan oleh Winters, memiliki relevansi kuat pada corak aktor yang menggunakannya. Sumber daya kekuasaan ini terbagi ke dalam lima jenis. Pertama adalah hak politik formal, kedua, jabatan resmi, ketiga adalah kekuasaan koersi (pemaksaan), keempat adalah kekuasaan mobilisasi, dan terakhir adalah basis kekuatan material. Empat sumber daya kekuasaan yang disebutkan di awal merupakan kombinasi akumulasi yang membentuk kekuatan elit. Sedangkan sumber yang terakhir merupakan basis terpenting eksistensi oligark.55

Hak politik formal dalam sejarahnya merupakan sumber daya kekuasaan yang eksklusif. Tidak sembarang orang mendapatkan hak istimewa agar dapat berpartisipasi; dipilih atau memilih. Sejarah bangsa Athena misalnya, melukiskan bagaimana para budak dan perempuan menjadi kaum marjinal dalam urusan-urusan politik. Atau orang kulit hitam dalam sejarah bangsa Amerika mengalami

53 Ibid, h. 7. 54 Ibid, h. 7. 55 Ibid, h. 17-19.

50

hal serupa. Usaha untuk mendapatkan hak politik formal tidak mudah oleh sebagian kalangan. Dengan demikian, hak politik merupakan satu dari beberapa sumber kekuasaan yang penting.56 Sama halnya dengan jabatan resmi, dengan predikat sebagai seorang pejabat di dinas-dinas/lembaga tertentu, seseorang mampu mengerahkan segala kekuasaannya berdasarkan kehendak yang diingingkan. Rasa patuh dari bawahan, atau loyalitas orang-orang yang berada di sekelilingnya, jika bukan karena simbol jabatan yang dipegang, maka sangat sulit untuk mendapatkannya.57

Adapun kekuasaan pemaksaan, hal ini didasarkan pada keabsahan negara dalam mensubordinasikan instrumen pemaksaannya terhadap warga negara. Sebagai elemen resmi, negara sebagaimana perspektif Weber, memiliki hak dan wewenang untuk memaksakan segala ketentuan hukum dan aturan kendatipun menggunakan cara-cara fisik.58 Sedang kekuasaan mobilisasi muncul dari dalam kharisma seseorang yang disandarkan pada “keberanian, status, gagasan, atau kelihaian retorika, penulis, agitator, cendekia, dan lain-lain,”59

jika bukan karena jabatan resmi yang dipegang.60

Sedangkan kekuasaan material/kekayaan sangat berbeda dari sumber daya kekuasaan lainnya. Sumber daya kekuasaan terakhir hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu dengan kapasitas yang dinamis. Maklumlah bila kemudian oligark berdiri lebih tinggi di atas semua golongan. Karena kapanpun, dengan modal yang besar, sewaktu-waktu para oligark bisa merenkarnasikan diri atau mengenyam dua 56 Ibid, h. 19-20. 57 Ibid, h. 20-22. 58 Ibid, h. 22-23. 59 Ibid, h. 23. 60 Ibid, h. 23.

51

status sosial sekaligus, baik sebagai elit maupun oligark. Kendatipun kondisi sebaliknya bisa saja terjadi.61

Dengan kekayaan material melimpah, ketimpangan politik sangat terasa. Apalagi bila praktek ini dilihat di negara-negara yang belum mapan secara demokrasi, di mana demokrasi masih berjalan dalam batasan-batasan prosedural seperti yang dikatakan oleh Schumpeter. Ditambah penegakan hukum yang hanya berupa semboyan semata. Maka sangat kentara sekali jurang pemisahnya. Oligark – melaui arus finansial mereka – mampu membayar aparat hukum, menyewa milisi, menyewa massa, memanipulasi hasil pemilu, dan menyuap masyarakat untuk memilih mereka.62 Maka satu-satunya jalan menghilangkan ketimpangan politik yang disebabkan oleh ketidaksetaraan material bagi Winters adalah dengan melakukan pola redistribusi kekayaan atau dengan menghilangkan sekat ketidakmerataan material.63

Keberadaan oligark begitu fleksibel dari zaman ke zaman. Dari beragam sejarah sistem pemerintahan, mereka mampu beradaptasi dan memposisikan diri. Mereka bukan hanya tumbuh dalam satu sistem tertentu, melainkan bisa menerobos masuk ke semua sistem; termasuk demokrasi. Hal ini sedikit mengejutkan memang, orang-orang yang menaruh harapan pada demokrasi pluralis sekalipun,64 mau tidak mau harus menerima kenyataan bahwa faktanya ketidakadilan material adalah momok menakutkan yang juga dapat tumbuh subur

61 Jeffrey A. Winters, “Oligarki dan Demokrasi di Indonesia,” Majalah Prisma, Vol. 33 (2014): h. 15.

62 Jeffrey A. Winters, Oligarki, h. 28.

63Dicky Dwi Ananta, “Oligarki: Tatanan Ekonomi Politik Kontemporer,” artikel ini diakses pada tanggal 23 Agustus 2015 dari http://indoprogress.com/2014/11/oligarki-tatanan-ekonomi-politik-indonesia-kontemporer/

52

dalam sistem demokrasi. Di mana para oligark, dengan posisi politik yang dia duduki, mencoba me-reka ulang aturan yang menguntungkannya secara ekonomi. Atau berusaha untuk menghindari pajak yang banyak membebani klaim harta mereka. Masalah ini relevan dengan konteks pengertian oligarki per definisi. Diambil dari pengertian oligarki menurut Winters, ia adalah “pelaku yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material yang bisa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial eksklusifnya.”65 Singkatnya, oligarki “merujuk kepada politik pertahanan kekayaan oleh pelaku yang memiliki kekayaan material.”66

“Jika kekayaan pribadi ekstrem mustahil dimiliki atau tidak ada, maka oligark juga tidak ada. Tiga perkara langsung bersangkut paut. Pertama, kekayaan adalah bentuk kekuasaan material yang beda dari segala sumber daya kekuasaan lain yang bisa terkonsentrasi di tangan minoritas. Kedua, yang penting adalah bahwa penguasaan dan pengendalian sumber daya itu dilakukan untuk kepentingan pribadi, bukan lembaga. Oligark selalu individu, tak pernah berupa perusahaan atau kelompok lainnya. Ketiga, definisi oligark tetap konstan di berbagai zaman dan kasus. Faktor-faktor itulah yang membedakan mereka dengan elit, dan memisahkan oligark dari

bentuk dominasi minoritas lain.”67

Dengan adanya gambaran yang komperehensif tentang oligarki dan bagaimana sepak terjang mereka dalam diskursus ekonomi-sosial ini, berarti kita bisa mengetahui motif apa yang melatarbelakangi oligark saat terjun ke dunia politik. Ancaman terhadap kekayaan material yang mereka timbun, akan semakin besar tatkala jumlah kekayaan yang tersimpan juga sama besarnya. Atau semakin besar harta seseorang, semakin besar pula ancaman yang akan dihadapi. Bila ketentuan hak milik sudah diatur oleh undang-undang dalam konstitusi negara modern,

65 Ibid, h. 8. 66 Ibid, h. 10. 67 Ibid, h. 9.

53

sehingga seseorang tidak bisa secara sembarang melakukan tindakan kriminal dengan mengambil hak milik orang lain, justeru kini yang dihindari oleh para oligark adalah ketentuan-ketentuan pajak yang berasal dari negara itu sendiri. Mereka berusaha untuk mengelak dari pajak negara semampu yang mereka bisa. Dengan masuknya oligark ke dunia politik, maka dengan mudah mereka membuat diskresi terhadap aturan yang mereka kehendaki.

Ada empat jenis oligarki berdasarkan tipologi yang dikeluarkan Winters, mereka adalah: oligarki panglima, oligarki sultanistik, oligarki penguasa koletif, oligarki sipil.68 Pembagian tipologi oligarki ini seperti yang Winters ungkapkan ada pada:

“Kadar keterlibatan langsung oligark dalam melakukan pemaksaan yang

menyokong klaim atau hak milik atas harta kekayaan; keterlibatan oligark dalam kekuasaan atau pemerintahan; sifat keterlibatan dalam pemaksan dan kekuasaan itu; terpecah atau kolektif; dan terakhir apakah oligark bersifat liar atau jinak (di mana penjinakan oleh pihak luar lebih umum serta lebih

stabil daripada penjinakan diri sendiri).”69

Oligarki panglima merupakan jenis paling ekstrem dibandingkan dengan yang lain. Oligarki jenis ini menuntut keikutsertaan langsung oligark untuk terjun dan berseteru melalui ragam persengketaan dengan para oligark lainnya dalam rangka perjuangan mempertahankan sumber daya kekayaan/penghasilan.70 Oligarki penguasa kolektif lebih bersifat kelembagaan,71 di mana para oligark berkumpul sebagai “komisi mafia.”72

Adapun oligarki sultanistik lebih dekat kepada pengertian dipegangnya kekuasaan oleh satu orang oligark saja. Untuk jenis ini

68 Ibid, h. 48-54. 69 Ibid, h. 48. 70 Ibid, h. 52. 71 Ibid, h. 52.

72 Istilah lain yang dinisbatkan oleh Winters untuk menyebut aktivitas oligarki model penguasa kolektif.

54

bisa dilihat pengalaman Indonesia di bawah Soeharto.73 Dan oligarki sipil cenderung diartikan sebagai usaha oligark untuk menjauhi bahkan jika bisa menghindar ketentuan-ketentuan pajak negara. Atau seperti yang Winters kemukakan: “upaya mengelak dari jangkauan tangan negara yang hendak melakukan redistribusi kekayaan.”74

Di samping Winters, ilmuwan politik yang juga menaruh minat pada persoalan oligarki lainnya adalah Vedi dan Robinson. Lokalitas penelitian Vedi dan Robinson pada praktek dan historisitas kelahiran oligark di Indonesia, setidaknya telah memberikan wawasan tambahan tentang bagaimana mereka tumbuh dan tetap bertahan kendati demokrasi semu ala Soeharto telah berakhir. Ikhwal penting dari sejarah oligarki di Indonesia terbentang semenjak kapitalisme pasar dibuka sampai ketika Indonesia mengalami boom oil di era 1970-1980. Ini merupakan masa-masa pembenihan sekaligus cikal bakal kemunculan oligarki dan membenamkan pengaruhnya pada sistem ekonomi-politik nasional di belakang bayang-bayang Soeharto. Dengan berada di belakang Soeharto, negara bukan hanya telah menjadi salah satu aspek pelindung, bahkan penyuplai penting segala bantuan, kredit pinjaman, kolusi tender, dan sebagainya, hingga mereka tetap bisa survive sampai saat ini.

Kebijakan-kebijakan ekonomi yang dulu dilakukan Soekarno dengan jargon kemandirian dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan aset kolonial, mau tidak mau dirubah haluannya oleh Soeharto dengan mengikuti model pasar global, di mana saat itu laju inflasi telah mencapai “600 persen dengan kemampuan

73 Ibid, h. 53. 74 Ibid, h. 54.

55 produksi yang kecil (Chalmers,1997)”.75

Dengan dibukanya pasar dan arus investasi modal, pada titik inilah korupsi kolusi nepotisme mengalir deras berkesinambungan dengan penguasaan proyek-proyek negara dan pemberian lisensi yang ditetapkan pada orang-orang pilihan. Apalagi geopolitik global di tahun 1974 telah memaksa harga minyak naik drastis sebab perseteruan Arab-Israel, yang memberi keuntungan tersendiri terhadap rezim borjuis kapitalis. Mereka meraup banyak pemasukan dari penjualan minyak yang tengah meroket. Namun kondisi ini tidak berlangsung lama karena harga minyak kembali normal di pertengahan tahun 1980-an dan pada 1986 harga minyak kembali ke harga sebelum tahun 1973. Kepanikan ini berdampak pada kebijakan deregulasi sektor-sektor ekonomi. Namun faktanya liberalisasi pasar yang diambil tidak serta merta merubah sifat korporatis predatoris yang lebih egaliter dan sehat. Kondisi ini bahkan tetap mengekalkan praktek-praktek KKN yang sudah berakar-urat.76 Begitupun dengan kondisi saat terjadinya letusan demonstrasi besar-besaran di tahun 1998, reformasi umumnya hanya menjadi jargon semata, nyatanya kekuatan-kekuatan predator yang dulu dipelihara orba tetap eksis dan mampu beradaptasi dengan sistem yang baru. Desentralisme merupakan bahasa lain dari devolusi aktivitas KKN yang semakin terpolarisasi.

Dengan titik tolak persepektif neo-marxis,77 Vedi mengasumsikan kemunculan oligarki sebagai dampak bangunan korporatisme negara, di mana

75 Menurut Chalmers seperti dikutip Vedi R Hadiz, Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Pasca-Soeharto, (Jakarta: LP3ES, 2005), h. 180.

76 Ibid, h. 177-190.

77Dicky Dwi Ananta, “Oligarki: Tatanan Ekonomi Politik Kontemporer,” artikel ini diakses

pada tanggal 23 Agustus 2015 dari http://indoprogress.com/2014/11/oligarki-tatanan-ekonomi-politik-indonesia-kontemporer/

56

negara merupakan akumulasi para pemburu rente demi tercapainya kepentingan personal.

“Saat oligarki ini terkonsolidasikan di pertengahan dan akir 1980-an –

dengan dasar patronase negara dan akses ke sumber daya negara – ia dengan perlahan merampas kekuasaan negara itu sendiri dan mengubah aparatur

negara menjadi suatu „komite‟ yang mengelola perlindungan terhadap

berbagai kepentingannya. Berbeda dari negara-negara industri maju sekarang ini, kecenderungan di Indonesia dewasa ini telah menggemakan

kembali rumusan Marx dan Engels yang terkenal tentang „eksekutif negara modern‟ yang bertindak sebagai suatu „komite yang mengelola urusan bersama‟ kaum borjuis (Marx dan Engels dalam Panitch dan Leys, 1998).

Dengan memanfaatkan kekuasaan dan lembaga-lembaga negara untuk tujuan-tujuan mereka sendiri, keluarga birokratis dan korporatis yang memiliki posisi kuat mampu mengendalikan kebijakan ekonomi, bahkan saat Indonesia secara international dipuji karena suatu reorientasi ke arah

serangkaian kebijakan propasar.”78

Singkatnya negara menjadi arena yang melegalkan aktivitas borjuasi yang berusaha memperkaya diri mereka sendiri melalui pelemahan-pelemahan kelompok penentang, disorganisasi civil society dan kalangan buruh revolusioner.79 Relasi yang terjalin antara negara dengan kekuatan-kekuatan sosial lainnya mutlak mendudukan negara pada koersifitas kontrol yang tinggi. Di samping lahirnya organisasi-organisasi bayangan pro pemerintah yang menambah beban perjuangan kalangan-kalangan kontra untuk protes dan melawan pemerintah. Seperti yang dikatakan oleh Vedi “kekuasaan atas negara dapat secara instrumental – bukan hanya secara struktural – dapat dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan sosial yang dominan.”80

78 Vedi, Dinamika Kekuasaan, h. 170. 79 Ibid, h. 193-202.

57

BAB III