• Tidak ada hasil yang ditemukan

Islamisasi dan Simbol Kiai dalam Perspektif Masyarakat Madura

PROFIL BANGKALAN

C. Islamisasi dan Simbol Kiai dalam Perspektif Masyarakat Madura

Pengislaman Jawa menjalar pada pengislaman daerah-daerah lainnya di nusantara. Fenomena islamisasi daerah-daerah di nusantara merupakan impak dari adanya hubungan dagang yang saling terkait antara daerah satu dengan daerah lainnya. Perdagangan dapat dikatakan sebagai pola „islamisasi nusantara‟ yang berbeda bila dibandingkan pengislaman yang terjadi di antara kabilah-kabilah

33Bappeda Jawa Timur, “Kabupaten Bangkalan,” data ini diunduh pada tanggal 17 Juni 2015 dari http://bappeda.jatimprov.go.id/bappeda/wp-content/uploads/potensi-kab-kota-2013/kab-bangkalan-2013.pdf

34 BPS Provinsi Jawa Timur, “Kepadatan Penduduk Pertengahan Tahun Menurut

Kabupaten/Kota 2010-2013,” data ini diakses pada tanggal 18 juni 2015 dari http://jatim.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/19

35 Biro Humas Dan Protokol Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur, “Gubernur Minta Bupati Baru Prioritaskan Sektor Pertanian,” data ini diakses pada tanggal 18 Juni 2015 dari http://birohumas.jatimprov.go.id/index.php?mod=watch&id=1868

68

timur tengah. Islamisasi di nusantara lebih permisif, sedangkan islamisasi di timur tengah terkesan represif dan radikal karena melaui berbagai ekspansi dan agresi.

Tak terkecuali proses pengislaman Pulau Madura yang merupakan bagian dari islamisasi lanjutan dari pengislaman Jawa oleh para pedagang luar. Beragam teori tentang kedatangan islam di Jawa termasuk di Madura sangat bermacam-macam. Adapun para ilmuwan yang meneliti teori soal kedatangan Islam di nusantara antara lain: Pijnappel, Snouck Hurgonje, Moquette, Fatimi, Kern, Winstedt, Bousquet, Vlekke, Gonda, Schrieke, dan Hall.36 Menurut Azzumardi Azra, ada tiga aspek utama penyebaran islam yang hingga kini masih mengalami perdebatan: tempat asal kedatangan islam, para pembawa, dan waktu kedatangannya.37

Walau perdebatan teori soal kedatangan islam di nusantara masih menjadi hidangan akademik, rasanya banyak ilmuwan setuju bahwa islamisasi jawa awal, bermula dari proses perdagangan. Interaksi para pedagang luar dengan penduduk setempat kemudian berubah menjadi hubungan sosio kultural yang lebih melekat melalui proses silang perkawinan. Pada tahap inilah kemudian islam menjadi bagian penting dari sejarah pembentukan budaya di nusantara. Adanya akulturasi dan asimilasi budaya antara budaya lokal dan pendatang telah menempatkan islam sebagai corak identitas baru dalam dimensi kehidupan masyarakat nusantara.

Islamisasi Madura bila mengacu pada sumber-sumber sejarah terjadi di penghujung abad ke-16, beberapa tahun setelah Kerajaan Majapahit runtuh. Setelah Majapahit runtuh, tepatnya pada tahun 1527, Madura menjadi rebutan

36 Azzumardi Azra, Jaringan Ulama (Bandung: Mizan, 1994), h. 24-25. 37 Ibid, h. 24.

69

kerajaan-kerajaan kecil Islam di Jawa. Demak, Banten, Cirebon, Tuban, Gresik dan Jepara berusaha untuk menancapkan kuasanya di pulau tersebut.38 Menurut Tjiptoatmodjo,39 Jawa bagian timur merupakan sentral penyebaran agama islam di Jawa. Para pedagang dari Gujarat, India, dan Arab banyak berlabuh di daerah-daerah Gresik dan Surabaya. Kota Gresik dan Surabaya adalah kota tertua bagi pusat penyebaran islam di nusantara. Hal ini dikarenakan letaknya yang strategis dalam jalur perdagangan internasional dan menjadi epicentrum hilir-mudik kapal-kapal dagang dunia. Dari dua kota tersebut, ditambah dengan kota Jepara dan Demak di Jawa Tengah, islam mula-mula mengalir ke jantung kota di sepanjang pantai utara Jawa; Tuban, Probolinggo, Sedayu, Besuki, Pasuruan, lalu masuk ke daerah-daerah pesisir di Madura. Proses penyebaran islam di Madura digambarkan dengan teliti oleh De Jonge yang mengutip beberapa sumber sebagai berikut:

“Penduduk pantai Sumenep mungkin sekali pada paroh kedua abad ke-15 mulai berkenalan dengan agama Islam. Keyakinan akan kepercayaan baru mula-mula disebarluaskan di tempat-tempat seperti Parindu, tempat perdagangan yang mempunyai hubungan dengan daerah-daerah seberang. Penyebaran agama Islam berlangsung sejalan dengan perluasan perdagangan. Penyebar yang petama ialah pedagang Islam dari India (Gujarat), Malaka, dan Sumatra (Palembang) (Schrieke 1955-1957, II: 230-232). Mereka disusul dengan pengikut Sunan Ampel dan Sunan Giri, para wali suci Islam yang berkedudukan di dekat kerajaan-kerajaan dagang kecil Surabaya dan Gresik (De Graaf dan Pigeaud 1974: 137-155 dan 159-160). Menurut cerita turun temurun, seorang anak lelaki dari saudaranya Ampel menetap di desa Pasudan dekat ibukota Sumenep (Abdurrachman 1971: 16-17). Pengislaman penduduk Madura meluas lebih lanjut setelah raja-raja, mungkin pada pertengahan abad ke-16, memeluk agama itu dan mendorong penyebaran agama Nabi Mohammad. Terutama Sumenep, kawasan dengan perdagangan paling ramai, tumbuh menjadi daerah Islam yang penting. Pada

pertengahan abad yang lalu, di Sumenep terdapat 2.130 “Ulama Islam”,

38 Muthmainnah, Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep, Madura, h. 217.

70

lebih banyak daripada Madura Barat dan Pamekasan (Hageman Czn 1858:

335 dan 351).”40

Dari penjelasan di atas, dapat diuraikan bahwa Madura mengalami islamisasi lewat 3 jalur. Pertama, melalui para pedagang sebagaimana dijelaskan oeh Schrieke, kedua, lewat para wali, sebagaimana penjelasan De Graaf dan Pigeaud, dan ketiga, dengan perantara para raja seperti yang diterangkan Hageman.

Sebagaimana De Jonge, banyak pula orang yang meyakini bahwa islam di Madura pertama kali disebarkan di daerah Madura Timur (Sumenep). Ada dua sebab mengapa Sumenep menjadi basis Islam di Madura, pertama karena Sumenep merupakan penghasil garam terbesar di pulau tersebut yang memungkinkan terjadinya interaksi perdagangan yang sangat ramai, kedua, Sumenep dulu merupakan vasal dari Kerajaan Majapahit saat Joko Tole (1415M) berkuasa. Sedangkan Madura Barat baru diislamkan setelah anak perempuan Lembu Peteng, penguasa Madura Barat kala itu, dinikahkan dengan anak laki-laki Maulana Ishak. Lembu Peteng sendiri merupakan anak Raja Majapahit terakhir, hasil pernikahan antara Brawijaya dan Putri Campa. Lembu Peteng masuk islam setelah pergi berguru ke Sunan Ampel.41

Pada abad ke-17, kerajaan Mataram di bawah kepemimpinan Sultan Agung memiliki misi besar yaitu keinginan untuk menyatukan seluruh kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa dan Madura dalam wilayah kekuasaan Raja Mataram. Hal ini diambil untuk dapat menahan dan menghentikan segala agresi dan ekspansi yang kerap dilakukan oleh VOC. Dan berturut-turt pada tahun 1614

40 Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman, h. 240-241.

41 Muthmainnah, Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep, Madura, h. 217-218.

71

kemudian tagun 1624, Mataram akhirnya dapat menguasai dan menaklukan Surabaya serta Madura. Setelah Madura resmi ditaklukan, Raden Praseno (putra mahkota Bangkalan, cucu Raden Pratanu, Raja Bangkalan Islam Pertama), diambil mantu oleh Sultan Agung untuk dinikahkan dengan putrinya di Mataram. Melalui pernikahan ini, secara aklamasi Raden Praseno diangkat menjadi Raja Madura Barat dengan gelar „Cakraningrat I‟. Dari sini secara yuridis, Madura menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram. Turun temurun raja-raja di Madura Barat diperintah oleh para keturunan Cakraningrat. Sepeninggal Cakraningrat I, tahta Madura Barat turun kepada anaknya Cakraningrat II yang merupakan anak dari hasil pernikahannya dengan Syarifah Ambami, putri Sunan Giri.42

Di sisi lain, Madura Timur pada tahun 1671 dikuasai oleh raja nan arif dan bijaksana, Yudanegara namanya. Konon ia merupakan keturunan Cakranegara, Raja Madura Timur sebelum mereka ditaklukan oleh Sultan Agung. Menurut beberapa kabar yang didapat, Yudanegara adalah seorang sahabat Trunojoyo sewaktu mereka menyantri kepada Sunan Giri. Sepeninggal Yudanegara, suksesi raja di Madura Timur jatuh ke tangan para menantunya lantaran tak satu pun dari garis keturunannya dikaruniai anak laki-laki. Silsilah Dinasti Yudanegara berakhir ketika kekuasaan kerajaan dipimpin oleh Pangeran Adikara III. Pangeran Adikara III akhirnya dikudeta oleh Ki Lesap karena ia bersekongkol dengan VOC. Seterusnya kerajaan dipegang oleh Raden Ayu Tirtanegara dengan Bindara Saod sebagai suaminya. Bindara Saod sendiri merupakan putra dari Bindara Bungso

72

yang masyhur dengan ilmu agamanya. Ia adalah seorang kyai terkenal di Batu Ampar Sumenep.43

Madura masuk menjadi bagian teritori Hindia-Belanda setelah VOC bubar pada tahun 1799. Selama mengawasi Madura, Hindia-Belanda menerapkan sistem pemerintahan tidak langsung.44 Kondisi penduduk Madura selama berada langsung di bawah kekuasaan Hindia-Belanda maupun VOC hampir serupa dengan keadaan penduduk Indonesia pada umumnya, mereka berada dalam kondisi yang mengenaskan. Kelaparan dan kemiskinan adalah fenomena yang lumrah. Hanya sebagian saja di antara mereka yang turut serta menikmati hasil jerih payah para petani dan penduduk setempat. Mereka adalah terutama para raja, penguasa dan orang-orang pilihan bangsa kolonial.45

Tindak pidana kriminal di Madura, dari hari ke hari, selama kolonialisasi berlanjut, selalu semakin bertambah jumlahnya. Fakta di lapangan menunjukan bahwa kasus tindakan kriminal di Madura lebih banyak ketimbang di Jawa. Banyak di antara para penduduk yang mati terbunuh sia-sia. Satu kasus pembunuhan pada tahun 1871 pernah terjadi di daerah Sumenep. Sebanyak 2.342 penduduk meninggal dunia.46 Penyebab utama maraknya tindakan kriminal ini disebabkan oleh berbagai macam pajak dan kewajiban yang dibebankan kepada penduduk. Selain kriminalitas, wabah penyakit, telah menambah kesengsaraan

43 Ibid, h. 219-220.

44 Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman, h. 54-55.

45 Muthmainnah, Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep, Madura, h. 221.

73

penduduk semakin menjadi-jadi. Suatu waktu di daerah Pamekasan pernah terjadi wabah penyakit yang sangat ganas.47

“Banyak penderita berbulan-bulan lamanya tidak makan nasi dan hidup dengan memakan kulit katjang dan djagoeng, kulit-kulit kayu, akar-akaran, dan bedogol makanan lunak, seperti bedogol pisang. Pencurian tanaman

tegalan yang „dimakan mentah‟ adalah begitu banyak, sehingga keadaan itu dianggap normal, (Nota 1904:57).”48

Kelaparan, kesengsaraan, penindasan, serta ketimpangan yang terjadi di masyarakat inilah yang pada akhirnya menciptakan ketidakpercayaan penduduk kepada para penguasa setempat.

“Dalam masa hampir dua abad penjajahan Belanda di Madura, terdapat

beberapa realitas sosial sebagai akibat kolonialisasi itu. Pertama, Madura menjadi terisolasi dari dunia luar karena hubungan dari dan keluar Madura diatur dengan sangat ketat. Kedua, Madura mengalami defisit. Kemiskinan massal yang berujung pada pencurian pangan dan ternak serta migrasi besar-besaran adalah fenomena yang amat mudah dijumpai. Ketiga, terjadi kemunduran kaum ningrat. Mereka miskin dan terpuruk dalam utang piutang serta terlibat dalam kejahatan. Mereka menjadi lemah dan bergantung pada Belanda. Sebagai akibatnya, rakyat tak lagi memercayai mereka dan mencari sosok pemimpin lain yang dinilai lebih mampu mewakili aspirasinya. Fenomena ketiga inilah yang pada akhirnya memicu munculnya golongan

lain untuk tampil sebagai pemimpin masyarakat Madura: kyai.” 49

Dengan demikian, satu-satunya tumpuan masyarakat waktu itu persis berada di bawah bimbingan para kyai. Kyai adalah aktor moral sekaligus sosial. Ia merupakan stimulus bagi asa para penduduk yang hampir pupus. Kharisma keilmuan agama yang besar yang dimiliki oleh peran kyai mencitrakan bahwa “merekalah” agen pembaharu satu-satunya yang dapat dipercaya.

Dalam strata sosial masyarakat Madura, posisi kyai ditempatkan pada posisi yang tinggi. Fakta ini sebenarnya tidak berbeda jauh dengan kondisi yang ada di

47 Ibid, h. 76.

48 Menurut Nota dalam Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman, h. 76.

49 Muthmainnah, Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep, Madura, h. 222.

74

berbagai wilayah lain di Indonesia pada umumnya. Kyai adalah aktor penting dalam sejarah pergerakan nasional, sehingga secara otomatis keberadaannya dalam hirarki sosial begitu tinggi. Kyai merupakan salah satu aktor penggerak basis massa. Perannya di masa awal pra-kemerdekaan telah membuktikan hal tersebut. Keikutsertaan kyai dalam pelbagai perlawanan memperjuangkan kemerdekaan, dan keikutsertaan mereka memimpin pemberontakan kepada para penguasa yang lalim, tidak sulit untuk menjadikan para kyai sebagai panutan rakyat yang sangat dihormati. Rakyat dari zaman ke zaman, menganggap kyai adalah guru mereka sekaligus orang tua mereka. Segala perkataan dan nasihatnya dianggap karomah dan berkah yang wajib diamini.

Munculnya berbagai organisasi pergerakan nasional pun, faktanya, juga tidak terlepas dari campur tangan para kyai. Sebagai salah satu agen sosial, kyai adalah orang-orang terdidik yang hidup bersama keluh kesah dan berbaur langsung dengan rakyat. Inilah yang membedakan kyai dengan agen sosial lainnya yang terkesan menjaga jarak dan jauh dengan rakyat. Tidak sulit kiranya bagi mereka menaruh tempat di hati rakyat.

Sejarah perjuangan bangsa indonesia, yang terfragmentasi semenjak kolonialisasi, mampu diintegrasikan atas inisiatif para kyai - selain oleh orang-orang terdidik (kaum intelektual) lainnya. Berdirinya Sarekat Islam, Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, tidak lain merupakan inisiasi para kyai. Nama-nama seperti KH. Samanhoedhi, KH. Ahmad Dahlan, dan KH. Hasyim Asy‟ari, mereka adalah agen tonggak permulaan berkembangnya suatu identitas

75

kebangsaan.50 Identitas berdasarkan keagamaan ini kemudian membentuk semacam ikatan kebersamaan yang termanifestasikan lewat ragam aksi perjuangan dan perlawanan. Maka wajar jika akhirnya kyai menempati posisi struktur dan peran penting dalam diskursus sosial kemasyarakatan di Indonesia.

Sepang terjang kyai dalam hubungannya dengan fungsi sosial di masyarakat, tidak hanya terjadi saat indonesia dijajah, setelah indonesia mengalami kemerdekaan sekalipun, kyai tetap dianggap sebagai aktor utama penggerak umat. Berbeda dengan pemimpin formal pada umumnya yang mendapatkan legitimasi formal dari rakyat, kyai mendapatkan otoritasnya di masyarakat sebagai pemimpin informal melalui legitimasi sosio-kultural.51

Pada kasus Madura, dengan mayoritas penduduknya beragama islam, sebagaimana telah digambarkan secara ringkas di atas, kyai memiliki fungsi sosial strategis dalam kehidupan di dalamnya. Mereka sering dimintai pendapat untuk berbagai macam persoalan. Bukan saja persoalan yang berkaitan dengan aspek agama, bahkan untuk masalah-masalah remeh temeh sekalipun, kyai tidak absen dimintai masukan. Saat musim pemilu tiba misalnya, banyak orang-orang dari elit pemerintah yang datang untuk sekadar mohon restu dan minta didoakan supaya menang dalam pemilihan. Atau para pedagang yang mohon dimudahkan mencari rezeki saat berdagang. Sebenarnya masih banyak tradisi umum lainnya, yang bisa dibilang kurang afdol tanpa melibatkan kyai.

50 Untuk lebih jelasnya mengenai sejarah gerakan modern islam bisa dilihat dalam buku Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1980).

51 Muthmainnah, Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep, Madura, h. 223.

76

Image yang tertanam dalam benak masyarakat tentang kyai, menyimpan keutamaan penting bahwa ia adalah pusat pemecah setiap masalah. Saluran bagi tercapainya setiap cita dan impian mereka. Kontribusi kyai yang besar dalam bidang pendidikan agama, etika moral, dan peran sosial di dalam masyarakat Madura, pada akhirnya sulit untuk tidak melibatkan kyai di berbagai sudut dimensi kehidupan mereka. Sebagaima dikatakan oleh Muhammad Kosim dalam sebuah tulisannya di Jurnal Karsa:

“Pengaruh kyai melampaui batas pengaruh institusi-institusi kepemimpinan lainnya. Dalam berbagai urusan umat, kyai menjadi tempat mengadu. Seperti urusan agama, pengobatan, rizki, jodoh, membangun rumah, bercocok tanam, konflik sosial, karier, politik, dan sejumlah problema hidup lainnya. Belum mantap rasanya apabila segala urusan tidak dikonsultasikan kepada kyai dan belum mendapat restu darinya. Kyai melayani kebutuhan umat dengan penuh kesabaran dan kasih sayang, umatpun merasa puas. Dan

sebagai “imbalannya” umat akan patuh, tunduk, dan siap mengabdi kepada kyai. Hubungan antara kyai dan umatnya— sebagaimana digam-barkan di atas—dikenal dengan pola hubungan paternalisme, di mana hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin (atasan-bawahan) seperti hubungan antara

ayah dan anak.”52

Hubungan yang terjalin antara masyarakat dengan kyai di Madura menyiratkan adanya hubungan timbal balik yang saling menguntungkan (simbiosis mutualisme) di antara mereka . Di satu sisi masyarakat mendapatkan kepuasan batin dengan wejangan, nasihat, yang diberikan oleh kyai, di sisi lain kyai meneguhkan fungsinya sebagai aktor penting di masyarakat. Rasa hormat, manut, dan loyalitas kepada kyai disajikan oleh masyarakat dalam bentuk penghormatan yang sama besarnya dengan apa yang mereka lakukan kepada para pemimpin mereka. Malah sebagian di antara mereka lebih menghormati kyai dibandingkan pejabat

52 Muhammad Kosim, “Kyai Dan Blater: Elit Lokal Dalam Masyarakat Madura,” Jurnal Karsa, Vol. XII No. 2 (Oktober, 2007): h. 162.

77

pemerintahan. Saking besarnya peran kyai dalam masyarakat, sampai-sampai ada peribahasa lokal di Madura yang terkenal “buppa’-babu’guruh-ratoh.”53

Menurut Kuntowijoyo seperti yang penulis kutip dari Muhammad Kosim, Madura adalah „pulau seribu pesantren‟.54

Beragam model kyai, hidup dan berkembang sesuai vak serta bidangnya masing-masing. Mulai dari kyai langgar, kyai pesantren, kyai tarekat, dan kyai dukun, menghiasai bentuk-bentuk profesi kyai dalam masyarakat Madura.55 Otoritas kyai yang besar dilihat dari sudut pandang kehidupan masyarakat Madura, membentuk citra tersendiri bahwa kyai adalah manusia yang berbeda dari manusia pada umumnya. Persepsi masyarakat yang memercayai bahwa kyai jauh dari tindak tanduk profan, telah mempertebal perannya sebagai sebuah institusi baru di masyarakat. Dan sebagai cikal bakal sebuah institusi, kyai sepertinya memiliki imunitas sosial moral di masyarakat. Secara eksplisit, masyarakat yakin, barang siapa yang melawan kyai maka orang itu akan mendatangkan bencana bagi dirinya sendiri (kualat).56

Peranan kyai dan otoritasnya yang besar dalam kaca mata orang Madura, dapat ditelusuri dengan menggunakan dua parameter.57 Parameter pertama menyangkut islamisasi yang terjadi di Madura, dan kedua, faktor ekologis Madura. Penyebaran Islam di Madura secara historis salah satunya dilakukan oleh wali songo. Pembauran wali songo dengan masyarakat sekitar, dalam hal ini Sunan

53 Peribahasa ini konon mempertegas posisi kyai/guru dengan peranan Bapak, Ibu, dan Pejabat Pemerintah. Dalam keluarga, orang Madura menghormati Bapak-Ibu, dan dalam unit sosial di masyarakat, orang Madura menghormati Kyai dulu baru Pemerintah. (Muhammad Kosim dalam Jurnal Karsa. Kyai dan Blater: Elit Lokal Dalam Masyarakat Madura, h. 162).

54 Kosim, Kyai Dan Blater, h. 162. 55 Ibid, h. 162.

56 Ibid, h. 162-163. 57 Ibid, h. 163-164.

78

Ampel dan Sunan Giri, menandaskan kontribusi besar kyai sepanjang sejarah islam di Madura. Mereka dalam hitungan matematis jumlah penganut islam di Madura, telah berhasil menyebarkan agama ini di bumi Madura. Bahkan di banyak kesempatan, para wali ini turut dalam berbagai pemberontakan bersama para penduduk. Mereka adalah mobilitator perjuangan melawan kolonialisme. Maka tak heran, jika saat ini banyak pesantren bermunculan di tanah Madura. Itu adalah bukti kontinuitas sejarah yang berkelindan dari masa ke masa. Pesantren merupakan lembaga pendidikan formal pertama dalam sejarah bangsa Indonesia.58

Sedangkan faktor lain, penguat peran kyai di Madura, adalah bersumber dari dimensi ekologi. Ekologi yang dimaksud di sini adalah ekologi tegalan. Sebagaimana sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa ekologi tegalan merupakan impak dari tanah di Madura yang tidak cocok untuk ditanami padi. Curah hujan yang kurang, iklim yang gersang, dan tanah yang kurang subur menyebabkan masyarakat harus mencari alternatif tanaman lain yang cocok dengan tipologi tanah di Madura. Adapun tanaman alternatif tersebut yakni jagung dan singkong. Ekologi tegalan pada akhirnya berpengaruh pada pola pemukiman dengan rata-rata banyak rumah yang minimun di setiap desa. Hal ini membawa spirit yang terbangun antar warga bukan berasal dari unsur gotong royong serta kebersamaan sebagaimana desa-desa di Jawa pada umumnya. Solidaritas warga di perkampungan di Madura diikat oleh ritual-ritual agama dengan masjid sebagai pusat pertemuan dan kyai sebagai pusat panutan (central of man). Agama menjadi satu-satunya perekat silaturahmi antar warga sekaligus pembentuk rasa

79

kepemilikan bersama.59 Tak heran bila agama dan orang Madura menjadi identitas yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Agama adalah bagian dari harga diri orang Madura. Menghina agama berarti sama saja merendahkan harga diri dan martabat orang Madura. Beberapa kasus konflik agama yang terjadi di Madura kurang lebih muncul karena paradigma tersebut.60

Dari waktu ke waktu, dengan semakin besarnya pengaruh dan peran kyai di Madura, banyak di antara mereka, untuk kemudian hari terjun ke dunia politik. Keterlibatan para kyai dalam politik prosedural ini, adalah sarana memanfaatkan modal sosial yang sudah mereka miliki. Kepercayaan dan rasa hormat masyarakat yang sudah mereka genggam, digunakan sebaik-baiknya oleh para kyai dalam melihat peluang mereka yang sangat strategis untuk menjadi pemimpin formal. Transformasi kyai, dari pemimpin informal menjadi pemimpin formal, setidaknya telah mengkristalkan kekuatan dan kekuasaan mereka menjadi semakin luas. Karena kekuasaan legal-formal yang mereka dapat dari panggung demokrasi prosedural, ditambah kharisma yang mereka miliki di mata masyarakat, yang didapat melalui perannya sebagai agen sosio kultural, menjadikan kekuatan para kyai berlipat-lipat besarnya. Kini mereka bukan hanya dinisbatkan sebagai pemimpin informal saja, melainkan sebagai pemimpin formal sekaligus. Untuk itu, sisi negatif dari keikutsertaan kyai dalam persoalan politis adalah melemahnya civil society dalam rangka mengawasi peran serta kinerja pemerintah. Ada rasa tidak enak yang menjangkiti masyarakat untuk melakukan protes tatkala mereka (para kyai) melakukan kesewenang-wenangan dalam tugas mereka sebagai

59 Ibid, h. 163-164.

60 Abdur Rozaki, “Social Origin dan Politik Kuasa Blater di Madura,” Kyoto Review of Southeast Asia Issue 11 (December 2009): h. 2.

80

pemimpin formal baru. Sehingga situasi seperti ini mirip dengan sejarah eropa