• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Civil Society Selama Kepemimpinan Fuad Amin

Bagan IV.3. Garis Keturunan Syaikhona Kholil

E. Kondisi Civil Society Selama Kepemimpinan Fuad Amin

Munculnya kelompok oposisi di internal keluarga bani Kholil yang diwakili oleh Imam Bukhori, tidak lantas memutus hubungan silaturahmi antara dia dengan paman-paman dan keluarga besar lainnya, yang banyak mengkubu ke pihak Fuad Amin. Menurutnya, dia tetap datang di acara silaturahmi keluarga dan menjalin hubungan tersebut. Sikap Imam yang berseberangan dengan pihak keluarga, dan kritik yang selalu ia tujukan pada pemerintahan Fuad Amin, menjadikannya di antara trah keluarga bani dikenal sebagai kelompok pemberontak.136

E. Kondisi Civil Society Selama Kepemimpinan Fuad Amin

Civil society, sebagaimana didefinisikan oleh Muhamad AS Hikam yang menyitir ide-ide de‟ Tocqueville, diartikan sebagai:

134 Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM. 135 Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM. 136 Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM.

149

“wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan antara lain: kesukarelaaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating), dan keswadayaan (self-supporting), kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, dan keterikatan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang

diikuti oleh warganya.”137

Bertolak dari definisi tersebut, kondisi civil society di Bangkalan masih belum tercapai secara maksimal. Artinya, indikator-indikator yang diajukan untuk mengukur suatu lingkup pada tatanan masyarakat yang dapat dikatakan berjalan atau tidaknya civil society di dalamnya lebih menunjukkan hasil negatif. Baik sebelum ataupun sesudah demokrasi diterapkan. Kondisi civil society sebelum Fuad Amin duduk di kursi bupati untuk pertama kali di Bangkalan sebetulnya masih sama rupa dengan kondisi sosial yang berlaku pada era sebelumnya, yakni adanya semacam dominasi terhadap masyarakat oleh kalangan kiai, atau masyarakat berada di bawah kendali alim-kiai secara langsung. Namun dengan tokoh sentralnya waktu itu adalah Kiai Abdullah Sachal, salah satu Ketua Dewan Syuro PKB.138

Dan sebelum Fuad Amin menjabat sebagai bupati definitif pada tahun 2003, bupati Bangkalan sebelumnya adalah Mohammad Fatah. Dia berasal dari unsur TNI dari matra angkatan laut. Seperti kondisi wilayah-wilayah lainnya di Indonesia, Fatah juga merupakan bagian yang terintegrasi dari unsur orde baru.139 Fenomena transisi demokrasi dalam lanskap politik lokal di Bangkalan pasca Soeharto runtuh, yang memunculkan Fuad Amin sebagai pemimpin baru menggantikan Fatah, pada realitanya tidak menghasilkan sebuah tatanan yang lebih terbuka dan transparan, melainkan menghasilkan rezim yang kurang lebih

137 Muhamad AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 3. 138 Wawancara Pribadi dengan AHS.

150

mirip dengan pemerintahan orba. Sepadan dengan ide yang diungkapkan oleh O‟Donnell dan Schmitter bahwa proses transisi hakikatnya dapat menghasilkan beberapa bentuk: jika bukan keberhasilan ditegakkannya demokrasi politik, maka bisa jadi yang muncul adalah rejuvinasi kekuatan otoritarian lama atau bahkan lebih kejam dari pada yang sudah-sudah, atau transisi bisa pula hanya sebatas rotasi kekuasaan tanpa memberikan solusi pada penyelesaian masalah kelembagaan.140 Hasil transisi kekuasaan politik di Bangkalan yang terjadi pasca Soeharto tumbang, justru mengarah pada pengekalan praktik hegemoni, meskipun aktor yang muncul merupakan pemain baru. Hal ini seperti diungkapkan oleh NNH:

“...Tahu bedanya Fuad Amin sama Soeharto, kalau Soeharto ini bisa

mengkondisikan TNI, politiknya dia punya Golkar, kekuatan blaternya maupun penjaga dirinya dia punya TNI, satu. Dan dia juga punya kekuatan finansial yang sangat biasa. Bagi para pejabat yang ingin, dia juga punya kekuatan struktur. Ini kekuatannya Soeharto, kalau kultur saya kira ndak punya. Tapi kalau Fuad Amin, untuk kekuatan hukum, dia itu kejaksaan sama kepolisian, dia keok....”141

Di masa-masa awal kepemimpinan Fuad Amin di Bangkalan, eksistensinya sebagai bupati memang harus diakui cukup baik, karena Fuad mampu memberikan rasa nyaman kepada masyarakat. Lewat kharisma yang dia miliki, konflik sosial yang terjadi di kalangan masyarakat relatif bisa diredam. Misal salah satunya adalah konflik antar nelayan Koanyar dan Noreh yang terjadi akibat perebutan tempat. Konflik yang mengarah pada kekerasan dan praktik saling bunuh itu akhirnya bisa diselesaikan oleh Fuad. Contoh lainnya adalah saat akan adanya pembakaran terhadap salah satu pondok di Serabi Barat oleh massa. Emosi

140 Vedi R Hadiz, Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Pasca-Soeharto, (Jakarta: LP3ES, 2005), h. 236.

151

massa bisa diredam setelah Fuad datang. Menurut AHS, aura dan kharisma Fuad Amin itu betul-betul ada. Sehingga gejolak yang terjadi di masyarakat dapat diselesaikan dengan begitu mudah oleh Fuad. Terlepas entah apa itu sekadar kontruksi sosial atau kesaktian, tapi hal itu memang betul-betul terjadi.142

Untuk memahami kondisi civil society di Bangkalan, ada beberapa hal yang sebelumnya mesti kita ketahui lebih dulu. Pertama, secara kultur Bangkalan merupakan kota agamis. Masyarakat Bangkalan menaruh perhatian yang tinggi pada permasalahan-permasalahan seputar agama. Perhatian yang tinggi pada aspek keagamaan ini pada akhirnya membawa masyarakat Bangkalan untuk menghormati segala simbol agama, termasuk penghormatan kepada para kiai. Kedua, tertanamnya kultur blater di lingkungan Bangkalan yang cenderung mempersembahkan penyelesaian masalah melalui unsur kekerasan. Dan kultur keblateran mau tidak mau dampaknya sangat terasa dalam setiap persoalan yang muncul dan menyangkut masyarakat.

E.1). Gambaran Umum Masyarakat Bangkalan

Gambaran umum yang melekat pada kehidupan orang-orang Bangkalan adalah kehidupan mereka yang dekat dengan dunia pesantren. Kultur religi menjadi ikhwal yang penting dan inheren, dan tidak terpisahkan dari kehidupan mereka sehari-hari. Hal ini bisa dilihat dari maraknya pesantren-pesantren yang bermunculan di Bangkalan. Bahkan Kuntowijoyo menyebut kota ini sebagai kota „seribu pesantren‟ yang tentunya banyak didiami oleh para santri.

152

Santri sebagaimana umumnya, adalah kalangan yang menaruh rasa hormat dan takdzim yang besar kepada kiai mereka. Kiai adalah guru-guru mereka. Kiai disimbolkan sebagai orang yang suci yang memiliki banyak mitos tentang kekuatan gaib. Kiai mempunyai nilai baraqa yang hanya bisa didapatkan oleh masyarakat melalui penghormatan kepadanya lewat ritual-ritual tertentu, misalnya melalui mediasi cium tangan (salaman) atau dengan ziarah ke makam para leluhur kiai yang telah dulu meninggal dunia. Kecintaan masyarakat yang besar kepada para kiai secara tidak langsung, telah mengkontruksi sebuah tatanan masyarakat yang memposisikan kiai di strata paling atas.143

Penghormatan masyarakat Bangkalan kepada kiai-kiai mereka, nyatanya tetap terus berlanjut sampai kepada para keturunannya. Hal ini tidak terlepas dari budaya masyarakat di Bangkalan yang mempercayai bahwa seorang anak kiai sudah pasti akan menjadi kiai. Sebab sang anak mewarisi trah darah biru.144 Maka tak aneh bila rata-rata keturunan keluarga besar Syaikhona Kholil menyandang predikat sebagai kiai atau lora.145 Dengan kemuliaan yang dimiliki oleh Syaikhona Kholil sebagai ulama besar dan guru bagi kebanyakan ulama di nusantara, akhirnya, seluruh keturunannya ikut mewarisi kemuliaan beserta nama besarnya.

“...Kaya menjadi sebuah stigma positif bagi mereka bahwa anaknya kiai

pasti akan jadi kiai. Dan anaknya orang awam ndak bakalan jadi kiai. Kan

gitu. Karena ada trah darah biru itu, bahasa mereka.”146

143Ahmad Nurcholis, “MitosKiai Suci,” artikel diakses pada tanggal 27 Maret 2016 dari

http://islamlib.com/gagasan/mitos-kiai-suci/ 144 Wawancara Pribadi dengan MH.

145 Sebutan lora berlaku bagi anak keturunan kiai yang masih muda. Wawancara Pribadi dengan NNH.

153

Sayangnya, penghormatan ini semakin bias tatkala kiai terjun ke dunia politik. Dunia politik yang cenderung dipenuhi oleh segala macam siasat dan perilaku koruptif para aktornya, menyulitkan pembelahan sosiologis kiai sebagai alim, ulama, dan guru di satu sisi, dengan kiai sebagai politisi murni di sisi yang lain. Kesulitan memisahkan dua elemen yang berlainan dalam satu tubuh kiai ini kemudian berdampak pada absennya kontrol masyarakat terhadap para kiai yang terlanjur terjun ke dunia politik. Karena budaya kekiaian yang hierarkis dan keberlakuan budaya tanpa kritik di dalamnya, telah mengkonstruksi pribadi kiai dan masyarakat untuk bagaimana bersikap. Di satu sisi kiai merasa paling superior, di sisi lain masyarakat merasa tidak pantas untuk menasehati kiai lewat kritik yang mereka sampaikan. Sebab, sekalipun kalangan kiai terjun ke dunia politik, embel-embel kekiaiannya akan tetap melekat dan tak akan pernah hilang.

“...Rupanya Bangkalan ini memang agak susah gitu kan, ya karena SDM,

kepala desa dan pejabatnya juga, yang mereka ini istilahnya punya bupati yang tipikal kiai agak susah, karena kiai ini kan tahunya nyuruh, gitu. Enggak bisa mau dikritisi, enggak boleh dikritisi kalau kiai, nah itu bedanya

dengan bupati dengan kiai...”147

Secara kelembagaan, gelar kiai yang disandang oleh seseorang tentu mencerminkan dalamnya sikap-asketis bagi diri yang bersangkutan. Kesucian, dan terjaga dari sikap-sikap tercela merupakan pantulan laku kiai di masyarakat. Sehingga anggapan bahwa kiai tidak mungkin melakukan kesalahan dan terbebas dari segala dosa menjadi kondisi umum yang terjadi di masyarakat. Apalagi kepatuhan yang ditunjukan oleh masyarakat kepada kiai dengan sendirinya akan membentuk perasaan takut dan khawatir tertimpa tulah/kwalat bila berhadapan dan berani melawan kalangan kiai. Maka menjadi kaprah bila impak dari adanya

154

anggapan ini adalah lahirnya rasa enggan untuk memberikan kritik terhadap para kiai. Khususnya terhadap mereka-mereka yang menduduki jabatan publik.

Gambaran tersebut merupakan fenomena lumrah yang terjadi di Bangkalan era reformasi. Representasi kiai yang terjun ke dunia politik era reformasi dapat dilihat dari sepak terjang Fuad Amin. Fuad Amin yang mendapatkan gelar RKH (Raden Kiai Haji) tidak terlepas dari posisinya sebagai keturunan Syaikhona Kholil dan anak kandung Kiai Amin. Kharisma yang terpancar dari diri Fuad Amin kurang lebih bersumber dari para leluhurnya ketimbang berasal dari cerminan perilakunya. Faktanya, meskipun Fuad berasal dari latar keluarga kiai, tidak mesti sikapnya mewarisi tindak-tanduk seorang alim kiai, bahkan kenyataannya, perilakunya sangat jauh dari nilai-nilai substantif agama. Hal ini dapat dilihat dari sepak terjangnya sebagai bupati yang dipenuhi oleh perilaku KKN dan tindak kekerasan yang dia lakukan.

Meskipun kepemimpinan Fuad Amin banyak diwarnai penyimpangan dalam berbagai sektor pemerintahan, faktanya tidak lantas menjadikannya sebagai objek kritik masyarakat yang lebih masif. Masyarakat masih terbilang apatis. Kalaupun ada, itupun hanya dilakukan oleh sebagian kalangan dan jumlahnya sangat begitu kecil. Bahkan adanya kelompok penentang di Bangkalan, tidak sedikit yang kemudian hanya menjadi bahan cibiran masyarakat. Pasalnya pola berpikir masyarakat masih terkungkung dengan segala macam-macam mitos tadi: kwalat, patrimornial dan budaya mengkritisi kiai belum begitu populer di masyarakat.

“...pola pikir masyarakat yang masih terkontaminasi dengan patrialistik ya. Jadi jangankan mendengar namanya fuad yang kita lawan, mau kita ajak mereka untuk bergerak umpama, dengar kita ngotak-atik kekuasaannya fuad,

155

kritik demo segala macam, mereka udah antipati dengan kita. Karena dianggap ini seorang kiai gitu loh yang gak pantas dilawan, gitu.”148

Tapi semenjak Fuad Amin ditangkap oleh KPK, mulai meruak kabar bahwa masyarakat saat ini mulai sadar dan mereka tidak akan lagi mencari bupati dari silsilah kiai. Pengalaman Fuad Amin sebagai Kiai-Bupati dengan berbagai penyimpangan-penyimpangan yang dia lakukan sampai harus ditangkap oleh KPK, setidaknya telah mencoreng kalangan kiai secara keseluruhan. Wacana ini keluar sebagai bukti bahwa masyarakat Bangkalan masih mencintai kalangan kiai.149

“Sangat. Karena apa sekarang ini, setelah kita (ini bahasa masyarakat) mereka saking cintanya kepada kiai, takut nama kiai itu tercoreng kembali, nah masyarakat sekarang ini yang sekarang ini tidak mau lagi, kayaknya tidak mau lagi jadi (bahasa-bahasa masyarakat di bawah) kalau mencari bupati jangan cari kiai. Kalau mau jadi bupati jangan mencari kiai, dari kiai. Ini masyarakat yang bicara, ini jangan diartikan kami tidak suka pada kiai, saking cintanya masyarakat pada kiai, takut tercoreng seperti kondisi sekarang, akhirnya masyarakat punya inisiatif jangan mencari kiai, mencari orang biasa saja yang mampu untuk membangun Bangkalan ke depan, ya kalau kita dengar-dengar di lapangan seperti itu.”150

E.2). Dinamika Aktivis Bangkalan

Di kalangan para aktivis Bangkalan, adalah menjadi sesuatu yang lumrah apabila Fuad Amin melakukan cengkeraman dan dominasinya dengan berbagai upaya yang melampaui hukum. Fenomena dan dinamika aktivis Bangkalan selama berada di bawah kepemimpinan Fuad Amin, berjalan sangat tragis. Aktivis kerapkali menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh Fuad Amin beserta para kroninya. Ada banyak contoh kekerasan yang dilakukan oleh Fuad Amin lewat tangan suruhannya itu. Meskipun Fuad tidak terjun secara langsung untuk

148 Wawancara Pribadi dengan MH.

149 Wawancara Pribadi dengan MMD, Bangkalan, 19 September 2015. 150 Wawancara Pribadi dengan MMD.

156

melakukan kekerasan, tapi para aktivis di Bangkalan sangat mafhum bahwa otak sebenarnya dari maraknya kasus kekerasan yang terjadi terhadap para aktivis adalah Fuad Amin. Rasionalisasinya adalah karena kasus kekerasan yang menimpa mereka biasanya terjadi setelah mereka melakukan aksi protes ataupun melakukan kritik terhadap kepemimpinan Fuad Amin. Misalnya, pembacokan yang menimpa saudara Fahrillah, peristiwa tersebut terjadi beberapa hari setelah dia melakukan aksi protes mengenai perda kepala desa yang bermasalah, karena wewenang Fuad Amin terkait perda ini begitu besar.

“Jadi begini, 1 minggu apa 10 hari kurang lebih begitu setelah saya

mengkritisi masalah perda itu. Dan saya memimpin beberapa demo di Bangkalan. Akhirnya pada tanggal 6 hari sabtu, pada tanggal 6 hari sabtu,

november, tahun 2010 itu....”151

Atau seperti kasus yang menimpa Husni, yang dijebak oleh sabu-sabu oleh orang-orangan Fuad, sehingga membuatnya sempat mendekam di penjara. Dan itu terjadi beberapa hari setelah dia melakukan protes terhadap PPP yang waktu itu dikekang oleh Fuad Amin untuk tidak mencalonkan Imam Bukhori Kholil menjelang pencalonannya sebagai bupati. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 2007.152 Hal yang sepadan juga diungkapkan oleh NNH, dia mengatakan bahwa semua orang sudah mengerti betul bahwa aktor intelektual di balik peristiwa kekerasan terhadap aktivis yang terjadi di Bangkalan adalah Fuad Amin.

“Ya tidak usah kasih contoh pun semua orang sudah tahu. Kalau saya secara pribadi, saya secara pribadi inikan orang yang mau dibunuh. Saya secara pribadi orang yang mau dibunuh, salah satu target. Ya saya sampaikan, kalau siapa yang narget, yang narget ya itu lah. Kenapa saya punyai, saya juga punya dasar, dasar kenapa saya harus kesana menetapkan itu, gitu.”153

151 Wawancara Pribadi dengan FHR. 152 Wawancara Pribadi dengan FHR. 153 Wawancara Pribadi dengan NNH.

157

Kasus kekerasan ini faktanya bukan hanya sekadar memberikan teror agar menjadi pembelajaran bagi para penentang Fuad Amin yang lainnya: bahwa orang-orang yang berlawanan dengan Fuad akan mengalami nasib yang serupa. Tapi kasus kekerasan yang terjadi faktanya juga mengarah kepada pembunuhan bagi target yang bersangkutan. Target „pembunuhan‟ pernah dialami oleh aktivis CIDE, Mathur Khusairi. Dia adalah salah satu korban penembakan. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 20 Januari 2015. Mathur sendiri merupakan mantan asisten pribadi Fuad Amin yang keluar dari lingkaran Fuad setelah mengetahui gelagat sikap dan prilaku Fuad yang menyimpang. Peristiwa kekerasan terhadapnya sebetulnya bukan kali itu saja, sebelumnya kaca jendela rumahnya pernah menjadi objek pelemparan oknum Fuad, dan pada tahun 2011, mobilnya sempat dibakar. Sebelumnya Mathur Husairi pernah beberapa kali melaporkan dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Fuad Amin pada proyek pembangunan Pelabuhan Madura Industrial Seaport City di Kecamatan Socah dan proyek pengaspalan Jalan Bujuk Sarah di Desa Martajesah kepada KPK. Selain itu Mathur Husairi pun terlibat dalam protes aksi mengenai pungutan liar di dinas pendidikan dan penyimpangan pada pengangkatan CPNS di Badan Kepegawaian Daerah Bangkalan.154

Kasus kekerasan lainnya juga pernah menimpa beberapa aktivis Bangkalan. Kebanyakan dari mereka rata-rata dibacok dan dijebak dengan sabu-sabu. Sebagaimana diungkapkan oleh AHS, yang juga mantan orang dekat Fuad dan pernah mengalami sendiri bagaimana dirinya diajak carok oleh Fuad Amin.

154 Tempo.co, “Polisi Usut Penembakan Aktivis di Bangkalan,” berita ini diakses pada tanggal

25 Februari 2016 dari http://nasional.tempo.co/read/news/2015/01/20/058636213/polisi-usut-penembakan-aktivis-di-bangkalan

158

Mereka antara lain: Fahrillah (dibacok), Husni (dijebak sabu-sabu), Muzakki (dibacok), Nanang Hidayat (diancam dan menjadi salah satu target operasi Fuad), Mahmudi (dibacok).

“Kalau fisik belum, tapi (oiya fisik ditelepon diajak carok saya, diajak

berantem) tahun 2010. Dia memang beda politik dengan saya. Mobil saya

dikepruk.”155

“Pokoknya awalnya saya ya, tapi saya itu kan tidak fisik. Tidak langsung

fisik saya, setelah itu Fahri, Fahrillah (dibacok), Muzakki (dibacok), Mahmudi, Mathur (ditembak), Husni (dijebak narkoba), Nanang

(diancam).”156

Sebetulnya pasca reformasi digulirkan, keterbukaan untuk memberikan kritik terhadap kinerja pemerintahan sangat terbuka lebar. Dan masyarakat Bangkalan setidaknya juga sadar akan penyimpangan-penyimpang yang telah Fuad Amin lakukan. Tapi lagi-lagi, dengan dominasi dan teror yang sering Fuad lakukan, pada akhirnya hanya sedikit saja dari mereka yang masih tetap bertahan untuk melakukan kontrol pada pemerintahan. Karena untuk menuangkan segala kritikan tersebut, mereka takut. Kecuali mereka-mereka yang siap dengan segala resiko yang akan mereka dihadapi.157

Kekerasan yang dilakukan oleh Fuad Amin tidak terlepas dari dominasinya yang amat begitu besar di Bangkalan. Apalagi jaringan blater yang cenderung lekat dengan dunia kekerasan dan carok, adalah jaringan yang juga dipelihara oleh Fuad Amin. Segala krtitik yang mengarah pada Fuad Amin, akan dia redam dengan banyak cara. Jika yang mengkritik adalah kalangan mahasiswa atau pemuda, biasanya Fuad Amin akan memanggil orang-orang terdekat mereka

155 Wawancara Pribadi dengan AHS. 156 Wawancara Pribadi dengan AHS. 157 Wawancara Pribadi dengan AHS.

159

terlebih dulu, orang tua atau guru ngaji mereka. Dari orang dekat tersebut, merekalah yang kemudian akan meneruskan pesan Fuad, agar mereka berhenti melakukan aksi protes dan lain sebagainya.

Berbagai teror dan tindak kekerasan yang acapkali Fuad lakukan sangat berpengaruh pada munculnya rasa takut dari masyarakat dan orang-orang yang ada disekelilingnya. Ketakutan masyarakat kepada Fuad Amin juga terlihat dari beberapa orang dekatnya yang lebih memilih untuk mengangkat telepon dari Fuad Amin ketimbang menyelesaikan shalatnya lebih dulu. Peristiwa ini merupakan fakta yang tidak bisa dipungkiri. Momok Fuad divisualisasikan sebagai orang kuat tanpa batasan kekuasaan.

“...Jadi orang-orangnya ini anak-anak ideologisnya ini, jadi seakan-akan menuhankan, mas. Seandainya rukun iman itu bisa ditambah, ditambah satu lagi itu. Iman kepada Fuad Amin. Bahkan mungkin pada urutan pertama itu. Kenapa saya sampaikan seperti itu, karena adapun teman saya yang juga senior saya pas lagi solat sudah baca fatihah pas ada telepon dari fuad amin, salatnya dibatalin. Demi menerima telepon karena takut. Berartikan dia lebih takut kepada Fuad Amin daripada kepada Allah. Jadi ini, rukun imannya itu tujuh.”158

Selain itu, dominasi Fuad pun tidak terlepas dari dukungan para kepala desa atau klebun yang ada di sekelilingnya. Keterlibatan mereka dibuktikan dengan turut melakukan monitoring kepada warga yang kerap melancarkan aksi protes terhadap pemerintahan Fuad. Sehingga tidak sulit bagi Fuad untuk melakukan kontrol satu persatu terhadap masyarakat Bangkalan, lantaran jaringan kepala desa pun sepenuhnya ada di bawah kendalinya.

“Yang kedua, cengkeraman blater itu tadi dan kepala desa. Ini akan ketahuan siapa yang bergerak di desa itu akan ketahuan. Jadi kontrolnya di situ. Kalau gak memang anak atau teman-teman ini yang benar-benar berani terhadap resiko, gak mungkin akan bergerak bergabung dengan teman-teman di sini.

160

Karena kontrol itu kuat. Ketahuan nanti oh ini anaknya ini gitukan, di desa ini, tinggal kepala desanya yang dipanggil. Nanti sampean yang aktivis umpama, saya kepala desa, orang tuanya yang dipanggil. Kalau enggak sampean dulu pernah belajar di mana, pesantrennya umpama, kiainya yang dilobi. Kalau sampean udah lobinya lewat kiainya, siapa yang masih mau

melawan.”159

Kontrol Fuad kepada para penentangnya biasanya Fuad lakukan dengan cara persuasif terlebih dulu. Cara persuasif ini tidak lepas dari dua hal, pertama iming-iming materil atau bantuan, kedua, kemampuan Fuad dalam berteatrekalisasi di depan penentangnya. Kehebatan Fuad dalam melakukan akting ini diakui sendiri oleh beberapa aktivis di Bangkalan. Hal seperti ini pernah dialami sendiri oleh AHS.

“...orang dalam saya awalnya kan. Tek keluar. Tuh maukan letupan -letupan, karena memang saya yang mengawali, enggak ada yang berani mas. Saya yang mengawali, Saya awalnya digituin juga lagi: ayo perlu apa Liman gini gini tapi bukan orangnya langsung. Karena saya sering tidak kuat ketika orangnya sendiri yang bicara. Dipanggil, ditelepon saya gak pernah mau,