Ka’ab ra menceritakan bahwa dia pernah berpekara masalah hutang dengan Ibn Abi Hadard di masjid dengan suara tinggi, sampai-sampaa Rasulullah SAW yang sedang berada di rumahnya mendengar pembicaraab itu. Lalu beliau keluar sambil menyingkap korden kamarnya seraya memanggil, “Wahai Ka’ab.” “Baik ya Rasulullah.” Lalu beliau bersabda sambil menunjuk ke suatu arah, “Kurangilah nominal hutangnya padamu.” “Saya sudah menguranginya ra Rasulullah.” Jawab Ka’ab. Lalu Rasulullah bersabda kembali, “Kalau begitu, cepat selesaikan perkara hutangmu.”65
Dalam kitab al-Fath (5/364), al-Hafidh memberikan komentarnya, “Hadits tersebut menunjukkan bahwa orang yang mempunyai hutang boleh meminta keringanan nominal hutangnya.” Tetapi madzhab Malikiyah menganggap hal ini makruh, alasannya karena pemberi hutang akan terpaksa memberikan keringanan ketika itu.
Menanggapi hal ini, al-Qurthubi mengatakan, “Yang dimaksud makruh oleh madzhab malikiyah barangkali adalah khilaf al-aula (tidak melaksanakan yang utama).
Aisyah ra meriwayatkan, “Suatu saat Rasulullah mendengar suara orang yang sedang bertengkar dengan nada tinggi di pintu. Lalu salah seorang meminta agar diberi keringanan nominal hutang dan menagihnya dengan baik-baik. Lalu orang yang diminta menjawab, “Demi Allah saya tidak akan melakukannya lagi.” Melihat hal itu Rasulullah keluar mendatangi keduanya, “Siapa tadi yang bersumpah atas nama Allah dan tidak melakukan kebaikan?” “Saya ya Rasulullah, dia telah mendapatkan semua belas kasihanku.”66
Menanggapi hadits ini, an-Nawawi dalam kitab Syarh Muslim (10/463) mengatakan, “Yang dimaksud dengan ‘minta diberi keringanan nominal hutang dan meminta agar menagih secara baik-baik’ adalah keringanan dan penagihan hutang. Hadits ini menjadi dalil bahwa hal-hal semacam ini diperbolehkan, selama dilakukan dengan baik-baik, tidak memaksa dan medesaknya serta tidak menghina dan merendahkan martabatnya, kecuali bila dalam keadaan terpaksa. Wallahu a’lam.
Al-Hafidh ibn Hajar dalam kitab al-Fath (5/363) mengatakan, “Yang dimaksud ‘telah mendapatkan semua belas kasihanku’adalah memberinya keringanan nominal hutang dan menagihnya secara baik-baik. Dalam hadits lain riwayat Ibn Hubabn, “Orang yang diminta
65 Muttafaq alaih: HR. Bukhari, hal. 2710, HR. Muslim, hal. 396, HR. Ahmad, vol. 6, hal. 39o. HR. Abu Daud, hal. 3590, HR. An-Nasai dalam bab “Adab membayar hutang”, hal. 19.
mengatakan: kalau saya mau, saya akan ringankan nominal hutangmu, dan kalau saya mau saya akan meminta keseluruhan hutangmu, orang itu menganggap bahwa yang dimaksud dengan meringankan adalah mengurangi nominal hutang, menagihnya secara baik-baik dan tidak melebih-lebihkannya. Hadits ini menekankan agar menagih hutang secara baik-baik dan berbuat baik pada orang yang mempunyai hutang dengan memberinya keringanan dalam nominal hutangnya.
Mengenai lafadz al-mutaalli dalam hadits tersebut, al-Hafidh mengatakan,
“Al-muta’alli (dengan mim dlammah, lam dan hamzah fathah, dan lam kedua tasydid dan
berharkat kasrah) adalah berarti orang yang bersungguh-sungguh dalam bersumpah, al-mutaalli diambil dari akar kata aliyah yang bermakna hutang.
Jabir ra meriwayatkan, “Abdullah tertimpa musibah, dia meninggalkan banyak anak dan hutang. Lalu saya meminta pada orang-orang yang pernah memberikan pinjaman hutang pada Abdullah agar bersedia memberi keringanan nominal hutangnya, tetapi ternyata mereka tidak bersedia. Saya kemudian menemui Rasulullah untuk meminta pertolongan pada beliau, tapi tetap saja mereka tidak bersedia. Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Sisihkan dari kurma yang kamu punya sesuai dengan klasifikasinya, anggur, air susu dan makanan juga demikian, mintalah pada orang yang berkemampuan agar bersedia menyisihkannya. Lalu taruhlah di hadapan orang-orang yang tidak bersedia itu sampai aku menemui kamu.” Lalu saya melaksanakan perintah beliau. Beberapa saat kemudian Rasulullah SAW datang lalu duduk seraya menimbang bagian hutang tiap-tiap orang itu dan memberikannya sampai hutang Abdullah terlunasi. Tetapi saya melihat kurmanya masih utuh seakan tidak pernah dijamah.67
RIBA
Etimologi
Al-Qurthubi ra (Jami’ul Bayan 3/101) : al-irba’= melebihkan sesuatu. Misalnya pernyataan, “Seseorang memberi tambahan lebih pada seseorang.” (arba-yurbi-irba’). Kelebihan/tambahan itulah yang disebut riba. Disebut melebihkan barang ialah apabila dia memberi tambahan pada barang itu sehingga menjadi lebih banyak dari sebelumnya. Orang yang melebihkan barang itu disebut murbin/al-murbi, karena dia melipatgandakan harta yang menajdi tanggungan orang yang berhutang padanya, yakni dengan harus membayar lebih pada saat pengembalian hutang. Semakin akhir dia mengembalian hutangnya dari waktu yang telah disepakati sebelumnya, maka semakin berlipat pula hutang yang harus ia bayarkan. Oleh karena itu, Allah SWT berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Ali Imran: 130)
Riba ada dua maca; pertama, riba nasiah, yakni pembayaran lebih yang disyaratkan kepada orang yang berhutang bila dia mengakhirkan pembayaran dari waktu yang telah ditentukan. Riba inilah yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.
Dalam kitab Jami’ul bayan (3/101) at-Thabari meriwayatkan dari Mujahid, “Praktik riba yang dilarang Allah pada masa jahiliyah ialah seperti seseorang yang memiliki hutang pada seseorang lalu ia mengatakan, “Kamu memiliki hutang padaku sebayak sekian dirham, maka bila kamu tidak membayarnya tepat waktu, maka kamu harus membayar lebih dari hutangmu.”
Dalam kitab Nasful Masdar at-Thabari juga meriwayatkan dari Qatadah, “Riba pada masa jahiliyah yakni membeli barang pada seseorang sampai waktu tertentu (pembeli belum menyerahkan uangnya), bila sudah sampai pada waktunya sedangkan pembeli tidak mampu membayarnya, maka dia boleh mengakhirkan pembayaran dengan syarat harus membayar lebih dari harga sebelumnya.
Kedua, riba fadhl, yakni menukar salah satu dari enam macam barang yang telah
dilarang Rasulullah dengan barang sejenis dengan takaran yang berbeda. Misalnya, menukar satu kilo kurma yang kualitasnya baik dengan dua kilo kurma yang kualitasnya
lebih jelek.
Enam macam barang tersebut yakni emas, perak, gandum, kurma, tepung, garam dan barang yang serupa.
Hukum transaksi riba: haram dan pelakunya mendapatkan dosa besar. Dalil-dalil yang menunjukkan keharamannya telah termuat dalam al-Kitab, as-Sunnah dan ijma’.
Dalil al-Kitab:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak akan dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan karena (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang seperti itu, adalah disebabkan perkataan (pendapat) mereka, “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba”, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Maka bagi orang yang telah sampai padanya larangan Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
(Al-Baqarah: 275)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.”
(Al-Baqarah:278)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.” (Ali Imran: 130-131)
Dalil as-Sunnah:
Jabir ra meriwayatkan, “Rasulullah melaknat orang yang memakan harta riba, yang melakukan transaksi, pencatat, dan dua saksi di dalamnya. Mereka sama hukumannya.”68
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Hindarilah jauh-jauh
68 Muttafaq alaih: HR. Bukhari dari hadits Abu Hanifah, HR. Para pemilik kitab as-Sunan dari hadits Ibn mas’ud dan Ahmad, vol. 5, hal. 225, HR. Muslim, hal. 4069, HR. An-Nasai, hal. 2238, HR. Abu Daud, hal. 3333, HR. Tirmidzi, hal. 1206.
tujuh dosa besar.” Para sahabat bertanya, “Apa tujuh dosa besar itu ya Rasul?” Rasulullah menjawab, “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh seseorang yang diharamkan membunuhnya kecuali dengan hak, makan harta riba, makan harta anak yatim, lari dari pasukan saat sedang berkecamuk perang, dan menuduh berzina pada perempuan beriman yang lalai dan sudah bersuami.”69
Dalil Ijma’:
Ijma’ mengutip pendapat as-Shana’ani dalam kitab Subul as-Salam, tidak ada seorang pun dari para sahabat Rasulullah sampai hari ini yang mengatakan dan menyaksikan akan halanya praktik riba.
Imam Nawawi mengatakan dalam kitab Syarh Muslim (11/9), “Secara umum, umat muslim telah menyepakati keharaman praktik riba. Sekalipun masih berbeda pendapat dalam batasan-batasan dan cabang-cabangnya.”
Firman Allah:
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa.”
(Al-Baqarah: 276).
Ibn Mas’ud ra meriwayatkan, “Rasulullah SAW bersabda: Sekalipun praktik riba marak dilakukan, tetapi akibatnya tidak dapat disadari.”70
Dalam kitab jami’ul Bayan (3/104) at-Thabari mengatakan, “Maksud lafadz
yamhaqullahu ar-riba dalam ayat di atas adalah: Allah meminimalisir riba dan kemudian
memusnahkannya. Maksud inilah yang ditunjukkan oleh hadits riwayat Abdullah bin Mas’ud di atas.
Siksa Kubur bagi Orang yang Melakukan Praktik Riba:
Samurah bin Jundub meriwayatkan, “Rasulullah seringkali bersabda pada para sahabat: “Apakah di antara kamu ada yang mengetahui apa mimpiku semalam?”. Lalu Rasulullah mengisahkan mimpinya. Pada suatu hari di siang yang terik Rasulullah bercerita,
69 Muttafaq alaih: HR. Bukhari, hal. 2766, HR. Muslim, hal. 258.
70 Shahih: HR. Ahmad, vol. 1, hal. 395-424 dari Hajaj dan Abu Kamil dari Syarik pengikut Israil, HR. Al-Hakim, vol. 2, hal. 37 dari jalur yang sama. dalam riwayat al-hakim ini, ada perawai yang masih diragukan, yakni Ahmad bin Ja’far al-Quthi’I. Masih ada ketidakjelasan di sini, yakni dia meriwayatkan dari gurunya dari Israil sebagai ganti dari Syarik. HR. Ibn Uday dalam al-Kamil, vol. 4, hal. 18, biografi Syarik, HR. Ibn Majah, hal. 2297 dari jalur Israil.
“Pada suatu malam, dua orang utusan mendatangiku seraya berkata: “Mari kita pergi!”, kemudian aku berangkat bersama mereka berdua menuju sebuah sungai.” Kira-kira, saya (Samurah) mendengar beliau mengatakan, “Air sungai tersebut merah menyala bagaikan darah, tiba-tiba saya melihat seseorang berenang dan seseorang lagi di tepi sungai membawa banyak batu yang telah dia kumpulkan. Lalu orang pertama tadi berenang lebih cepat mendatangi orang yang membawa banyak batu, membuka mulutnya lebar-lebar lalu memakan batu-batu itu. Kemudian dia pergi dan sesaat kemudian kembali melakukan hal serupa beberapa kali. Lalu aku bertanya pada dua orang yang bersamaku tadi, “Apa arti semua ini?” “Mari kita pergi”, kata mereka. Kataku lagi, “Sungguh sejak tadi malam saya heran menyaksikan kejadian di hadapanku, apa sebenarnya itu?” Mereka berdua menjawab, “…orang yang berenang di sungai dan memakan batu-batu itu adalah orang yang memakan harta riba.”71
Al-Hafidh ibn Hajar (Al-Fath 12/465) mengatakan, “Ibn Hubairah mengatakan bahwa siksa orang yang memakan harta riba dengan harus berenang di sungai dengan air yang merah dan memakan batu, adalah karena riba terjadi pada emas, sedangkan warna emas adalah merah. Batu yang banyak itu tidak dapat menjadikannya kaya, begitu pula orang yang melakukan praktik riba, dia tidak akan menjadi kaya. Dia selalu berangan-angan hartanya akan bertambah, padahal Allah akan menjungkalkannya dari belakang.”
Siksa bagi Orang yang Makan Harta Riba pada Hari Kiamat:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak akan dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan karena (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang seperti itu, adalah disebabkan perkataan (pendapat) mereka, “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba”, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Maka bagi orang yang telah sampai padanya larangan Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
(Al-Baqarah: 275)
Ibn Jarir at-Thabari dalam kitab Jami’ul Bayan (3/101) mengatakan, “Allah berfirman kepada orang-orang yang melakukan praktik riba di dunia, yakni orang-orang yang telah kami sebutkan sifat-sifatnya, bahwa mereka tidak akan dapat berdiri di akhirat ketika sudah bangkit dari kubur melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan karena tekanan penyakit gila.
Maksudnya adalah: syaitan membuanya gila di dunia, orang yang dibuat gila ini bertingkah layaknya orang yang mengidap penyakit ayan (epilepsi) sebab tekanan penyakit gila.
Al-Qurthubi ra dalam kitab Ahkamul Qur’an (3/229) mengatakan, “Maksud dari ‘ketika sudah bangkit dari kubur’ menurut Ibn Abbas, Mujahid, Ibn Jubair, Qatadah, ar-Rabi’, ad-Dlahhhak, as-Suda, Ibn Zaid72, adalah syaitan membuat mereka tercekik. Pendapat ini masih diperdebatkan, tetapi mereka sepakat apabila diartikan bahwa mereka dibangkitkan kelak di akhirat seperti halnya orang gila sebagai bentuk siksaan bagi mereka dan pembedaan dari makhluk lain yang berkumpul di padang makhsyar. Ta’wil yang disepakati oleh para sahabat ini dikuatkan oleh bacaan versi Ibn Mas’ud, yakni ayat: la
yaqumuna yaumal qiyamati illa kama yaqumu. (mereka tidak dapat berdiri pada hari kiamat
melainkan seperti berdirinya…dan seterusnya). Firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka pokok hartamu tetap menjadi hakmu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”
Al-Qurthubi ra dalam kitab Jami’ al-ahkam al-Quran (3/235) mengatakan, “Dengan ayat ini, Allah mengancam akan memerangi orang-orang yang tetap melakukan prktik riba. Ibn Abbas menceritakan bahwa orang yang memakan harta riba akan ditantang pada hari kiamat kelak, “Cepat ambillah senjatamu, mari berperang!”73
Ibn Abbas, “Pemimpin umat muslim harus meminta orang yang tidak mau berhenti
72 Semua atsar ini adalah riwayat at-Thabari, vol. 3, hal. 102 dengan sanad-sanad shahih dan hasan, terkecuali atsar Ibn Jubai yang dlaif, di antara perawinya terdapat at-Thabari ibn Humaid ar-Razi, periwayatannya dianggap lemah. Dalam atsar ar_Rabi’ disebutkan, “Diriwayatkan padaku dari Ammar.”
73 HR. Ibn Jarir dengan sanad hasan, akan tetapi saya tidak menemukan kebaikannya disebut dakam bibliografinya. Jami’ al-Bayan, vol. 3, hal. 102.
melakukan praktik riba agar bertaubat, jika dia tetap melakukannya maka dia harus dipenggal lehernya.” Ibn Qatadah mengatakan, “Allah mengancam akan memerangi orang yang melakukan praktik riba, mereka akan mendapatkan keburukan dari mana pun mereka mendapatkan harta riba itu.” Ibn Khuwaiz Mindad mengatakan, “Seandainya penduduk suatu negeri menyatakan bahwa praktik riba dibolehkan, maka mereka boleh diperangi. Sebab Allah SWT telah membolehkan untuk memerangi mereka dengan berfirman, “Maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu.”
Al-Qurthubi, “Ayat ini menunjukkan bahwa memakan harta riba dan melakukan praktiknya merupakan perbuatan dosa besar, semua ulama menyepakati hal ini.”
Jabir ra meriwayatkan, “Rasulullah melaknat orang yang memakan harta riba, yang melakukan transaksi, pencatat, dan dua saksi di dalamnya. Mereka sama hukumannya.”74 Haram Jual Beli dengan Tenggang Waktu Tertentu
Abi Sa’id al-Khudri ra meriwayatkan, “Rasulullah SAW bersaba: Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, masing-masing harus ditukar dengan yang sejenis dan seimbang. Orang yang melebihkankannya, sengaja atau tidak, maka pemberi dan penerima telah melakukan prektik riba, keduanya dihukumi sama (yakni telah melakukan dosa besar dan akan disiksa).75
Imam Nawawi dalam kitab Syarh Muslim (11/12) mengatakan, “Dengan hadits ini, Rasulullah SAW telah menegaskan keharaman riba dalam enam macam barang, yakni emas, perak, gandum, tepung, kurma, dan garam.”
Ulama sepakat bahwa boleh menjual/menukar barang yang tidak sama takarannya dan diberi tenggang waktu tertentu, dengan syarat kedua barang itu tidak sama dalam jenisnya. Seperti emas dengan gandum, perak dengan tepung dan sebagainya.
Ulama juga sepakat bahwa tidak boleh menjual/menukar barang yang sama jenisnya bila diberi tenggang waktu tertentu. Tidak boleh pula bila barang yang sejenis itu tidak sama dalam takarannya, misalnya menukar emas dengan emas pada saat akad yang takarannya tidak sama. Apabila barang yang dipertukarkan/diperjualbelikan itu sejenis, atau tidak sejenis tetapi masih dalam satu kelompok seperti emas dengan perak dan gandum
74 Telah disebut sebelumnya.
75 Muttafaq alaih: HR. Bukhari secara terpisah, hal. 2176, HR. Muslim, hal. 4040, HR. Ahmad, hal. 413, HR. Para pemilik kitab as-Sunan.
dengan tepung, maka kedua orang yang melakukan transaksi itu tidak boleh berpisah sebelum saling menerima barang masing-masing yang dipertukarkan. Bila kedua barang tidak sejenis maka takarannya boleh tidak sama, dengan syarat kedua belah pihak harus saling menerima barang yang dipertukarkan itu, misalnya satu karung gandum dengan dua karung tepung. Ulama telah menyepakati hal ini, tidak ada perbedaan di antara mereka.
Contoh Model Jual Beli/Tukar Menukar yang Diharamkan Sebab Diberi Tenggang Waktu Tertentu
1. Emas dengan Perak yang diberi tenggang waktu
Jual beli model ini tidak diperbolehkan dan hukumnya haram. Meskipun demikian, jual beli model ini banyak dilakukan oleh umat muslim.
Imam Nawawi (Syarh Muslim 11/13), “Ulama telah menyepakati keharaman jual beli emas dengan emas dan perak dengan perak yang diberi tenggang waktu. Hal ini berdasarkan hadits Nabi;
“Janganlah kamu melakukan jual beli bila tidak duduk dalam suatu tempat.”
“Janganlah kamu melakukan tukar menukar emas dengan emas dan mata uang dengan mata uang kecuali bila sama takarannya.”
“Menukar mata uang dengan emas adalah riba kecuali bila kedua belah pihak menyetujui.”
“Jika barang-barang yang kamu perjual belikan tidak sama dalam jenisnya, maka kalian boleh menjualnya dengan cara apapun, asalkan kedua belah pihak saling menerima barang yang diperjual belikan itu.”76
Imam Nawawi (Syarh Muslim 11/17), “Yang di maksud dengan ‘kedua belah menyetujui’ dalam hadits di atas adalah, salah seorang mengatakan, “Ambillah barang ini”, lalu yang lain juga mengatakan hal yang sama. Dan mengenai saling menerima antara kedua belah pihak, para ulama telah menyepakati bahwa hal itu harus dilakukan, sekalipun jenis barang yang diperjual belikan tidak sama.
Menurut saya, “Di antara bencana dan musibah yang umum terjadi di zaman sekarang adalah perempuan menjual perhiasan lamanya untuk diganti dengan perhiasan yang baru. Sebelum perhiasan lamanya terjual dan diterima dengan sempurna, dia lalu membeli perhiasan baru dengan tambahan uang kekurangan dari perhiasan lama. Bila disampaikan
bahwa hal tersebut haram dan tidak diperbolehkan, maka mereka akan mengatakan, “Apa perbedaannya, pada initinya sama.” Maka kami akan menjwab, “Perbedaannya adalah antara berbuat ketaatan dan kemaksiatan kepada Allah.”
2. Menukar sekarung beras dalam negeri dengan dua karung beras impor atau barang lainnnya.
Jual beli semacam ini tidak diperbolehkan, baik kontan maupun tempo. Berdasarkan sabda Nabi SAW saat mengutus salah seorang dari Bani Udai al-Anshari untuk dipekerjakan di Khaibar, dia membawa kurma dari selatan. Lalu Rasulullah SAW bertanya padanya, “Apakah semua kurma Khaibar seperti ini?” dia menjawab, “Tidak, demi Allah ya Rasul, kami menukar satu karung kurma Khaibar dengan dua karung kurma keseluruhan.” Rasulullah lalu bersabda, “Jangan melakukannya seperti itu, tetapi harus menukar dengan yang sama takarannya, atau bila tidak, juallah barangmu kemudian hasilnya penjualannya kamu belikan barang yang lain.”77 Dalam suatu riwayat, Rasulullah juga pernah bersabda pada al-Mizan, “Aduh, ini adalah riba. Janganlah kamu lakukan. Apabila kamu ingin membeli kurma, maka maka juallah kurmamu terlebih dahulu dan hasil penjualannya kamu belikan kurma yang ingin kamu beli.”
3. Menukar satu koli beras dengan dua kilo gandum dan diberi tenggang waktu.
Jual beli seperti ini ridak diperbolehkan dan hukumnya haram. Berdasarkan hadits Nabi SAW, “Jika barang-barang yang kamu perjual belikan tidak sama dalam jenisnya, maka kalian boleh menjualnya dengan cara apapun, asalkan kedua belah pihak saling menerima barang yang diperjual belikan itu.”
Imam Nawawi (Syarh Muslim 11/13), “Semua ulama telah menyepakati keharaman menukar emas dengan emas, perak dengan perak, dan menukar gandum dengan gandum atau tepung yang diberi tenggang waktu, demikian pula setiap dua macam barang yang berada dalam kelompok barang riba.
MEMBAYAR SEBAGIAN HUTANG