• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum Hutang Piutang Terlengkap

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hukum Hutang Piutang Terlengkap"

Copied!
143
0
0

Teks penuh

(1)

HUKUM

HUTANG PIUTANG

PENULIS:

ABU ANAS SAYYID BIN RAJAB

PENERJEMAH:

AHMAD AFANDI

(Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. E-mail: [email protected], cp: 085743904236/ 085292134678. Penerjemah terbuka untuk

berdiskusi seputar Hukum dan Hukum Islam)

Pengantar:

(2)

KATA PENGANTAR

مسب ا نمحرلا ميحرلا

Segala sanjung puji kepada Allah SWT Tuhan alam semesta, rahmat dan kesejahteraan semoga selalu tercurahkan pada rasulullah SAW.

Buku yang berada di tangan saudara ini adalah buku yang sangat penting dalam diskursus hukum hutang-piutang. Buku ini di susun oleh Sayyid bin Rajab, salah seorang yang sangat berkompeten dalam bidang ini. Semoga Allah Awt membalasnya dengan kebaikan. Dalam paparannya, Sayyid bin Rajab membahas menurut pandangan fiqh dan hadits sekaligus, yakni memberikan ketentuan berdasarkan hadits bila dirasa benar dan sesuai, serta mengutip pendapat para fuqaha’ dan menjelaskan dalil (Qur’an dan al-Hadits) yang perlu diberi penjelasan.

Saya telah menelaah kembali buku ini, dan saya yakin buku ini akan banyak memberikan manfaat. Hanya bagi Allah SWT segala sanjung puji, hanya kepadanya saya memohon kemanfaatan buku ini, dan semoga Allah SWT menjadikan kita semua termasuk dalam golongan orang-orang saleh.

Ya Allah, limpahkanlah rahmat dan kesejahteraan kepada junjungan nabi besar Muhammad SAW, keluarga, dan para sahabatnya. Amin.

(3)

PENGANTAR PENULIS

Puji syukur ke hadirat Allah SWT kami persembahkan. Memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari keburukan diri dan amal kami. Siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tiada yang dapat menyesatkannya. Dan siapa yang dipalingkan, maka tiada penolong baginya. Saya bersaksi tiada tuhan selain Allah, dzat Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, orang terpilih dari segenap makhluk dan kekasih-Nya, penyampai risalah dan pelaksana amanat-Nya dengan paling sempurna, pemberi segala bentuk nasehat dan pejuang sejati di jalan Allah sampai akhir hayatnya.

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Ali ‘Imran : 102)

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.” (An-Nisa’: 1)

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki amalan-amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu. dan barang siapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Al-Ahdzab : 70-71)

Eksistensi agama Islam terletak pada tiga unsur. Pertama, ibadah. Firman Allah : “Dan tidaklah aku menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepadaku” (Adz-Dzariyat: 56)

(4)

menyempurnakan akhlak yang mulia.”1

Ketiga, muamalat. Firman Allah : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu

bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar” (Al-Baqarah: 282)

Harta termasuk salah satu dari lima hal yang wajib dijaga (dlaruratul khamsi). Sebab, harta merupakan penopang bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, Allah SWT melarang perusakan terhadap harta. Allah berfirman :

“Dan janganlah kamu memberikan harta yang menjadi penopang hidupmu pada orang-orang yang dungu.”

Nabi bersabda :

“Seungguhnya Allah membenci perbuatan ghibah, melenyapkan harta, dan banyak bertanya.”

Dalam hadits ini, Nabi SAW menyebut bahwa Allah juga membenci perusakan terhadap harta.

Allah berfirman :

“Dan janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan bathil.”

Karena peran harta sangat penting dalam kehidupan manusia, Allah SWT mengatur pengelolaan harta antar setiap individu masyarakat dan memeberikan pahala yang besar bagi orang yang membelanjakan hartanya pada hal-hal yang diperintahkan Allah atau bagi orang yang mengelola hartanya sesuai dengan perintah Allah SWT.

Allah SWT mengetahui akan tabi’at dan kecintaan manusia pada harta dan betape mereka sangat ingin memperolehnya.

Allah berfirman :

“Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” (Al-Fajr: 20) “Dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena kecintaannya kepada harta.”

(Al-‘adiyat : 8)

Allah telah banyak menegaskan tabiat manusia ini dalam al-Quran.

Tetapai terkadang kecintaan manusia terhadap harta melampaui batas kewajaran, sehingga membuatnya menjadi kikir, enggan bersedekah pada fakir miskin, enggan

1 Hasan. HR. Bukhari, al-Adab al-Mufarrad, hal. 273, HR. Ahmad Vol. 2, hal.318. dan HR. Hakim Vol. 2, hal.613.

(5)

memberikan pinjaman pada orang yang membutuhkan, dan jauh dari amal kebaikan. Manusia juga terkadang menjadi budak harta, ketamakan membuatnya terjerumus dalam riba dan membuatnya menjadi orang yang merugi di dunia dan akhirat.

Salah seorang penafsir al-Quran menemukan bahwa ayat terpanjang dalam al-Quran adalah ayat yang menjelaskan tentang hutang-piutang. Ayat tersebut berbicara tentang tata-cara pengelolaan hutang-piutang.

Barangkali saudara sepakat dengan saya bahwa hutang-piutang merupakan perkara yang sangat penting, karena ia tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Suatu saat seseorang berhutang dan di saat yang lain dia memberi hutang, bahkan terkadang dua perkara ini tidak dapat dipisah selamanya. Karena sangat pentingnya diskursus ini dan alasan lain, maka sudah sepantasnya pembahasannya dikhususkan. Saya tidak menemukan karangan yang secara khusus membahas hutang-piutang, padahal diskursus ini banyak tersebar dalam kitab-kitab fiqh ternama. Oleh karena itu, dengan senang hati saya menyusun dan mensistematiskan pembahasan dalam sebuah buku, agar dapat memberi kemudahan bagi para penuntut ilmu dan kaum muslimin pada umumnya untuk mengetahui diskursus hutang-piutang secara mendalam.

Dalam buku ini, saya mengikuti langkah para ahlul hadits, yakni dengan membubuhkan dalil nash, menganalisis, dan menerapkannya secara benar dan sesuai, kemudian diikuti dengan pendapat sahabat, tabi’in, empat imam dan ulama lain yang dikenal kepandaian dan keutamaannya.

Buku ini terlebih dahulu saya serahkan pada Syaikh Abu Abdillah Musthafa bin al-‘adawi untuk ditelaah, dan sebagaimana biasa, beliau sangat loyal memberikan nasehat dan bimbingan. Semoga Allah SWT membalasnya dengan kebaikan, memberkatinya atas waktu yang beliau luangkan dan menjadikannya sebagai timbangan amal kebaikan.

Hanya kepada Allah SWT saya memohon agar semua muamalat yng dilakukan kaum muslimin sesuai dengan syariat-Nya dan sunah Nabi SAW. Ya Allah, curahkanlah rahmat, kesejahteraan dan keselamatan kepada junjungan Nabi Muhammad, keluarga dan para sahabatnya. Amin.

Mesir-Daqhaliyah-Balqos Abu Anas Sayyid bin Rajab

(6)

PENDAHULUAN Definisi Dain

Dain adalah harta yang diberikan seseorang kepada orang lain yang berkepentingan memenuhi kebutuhannya dengan kewajiban mengembalikannya sesuai batas waktu yang telah disepakati antara keduanya.

Orang yang memberikan hartanya disebut : DAIN (Pemberi Piutang)

Orang yang menerima harta disebut : MADIN/MADYUN (Penerima Hutang) Dan harta yang ditransaksikan disebut : DAIN (Hutang)

Hutang-piutang adalah transaksi harta benda antara dua orang atau lebih. Salah seorang memberikan harta tertentu kepada yang lain. Dengan harta tersebut orang itu dapat memenuhi kebutuhannya dan mengambil manfaat darinya, dan wajib mengembalikan sesuai batas waktu yang telah disepakati.

Etimologi

Pernyataan –

انلف

تنياد

-“Saya memberikan pinjaman hutang pada si anu”, adalah bermakna: saya bertransaksi dengannya, memberinya hutang, dan mencari hutangan darinya. Hal ini berdasarkan pada perkataan seorang penyair:

“Saya memberi hutang pada Arwa, hutang-hutangnya dulu telah dia lunasi. Dengan demikian, dia sedang menanggung sebagian hutang dan telah melunasi sebagian yang lain”

Abu Ubaid berkata :

لجرلا

تند

, artinya : saya memberi hutang pada orang itu. Maka orang itu disebut madin (

نيدم

) atau madyun (

نويدم).

Pernyataan lain yang sering digunakan adalah:

هنم

تضرقتسا

(saya mencari hutangan darinya).

Al-Ahmar berkata :

“Kami memberikan hutang pada orang lain, kemudian Allah memenuhi kebutuhan kami. Karena kami pernah melihat kebinasaan suatu kaum sebab mereka tidak menjadikan ladang mereka sebagai barang hutangan.”

Menurut mereka,

تggند

sama artinya dengan

تggضرقتسا

dan

تggندأ

sama artinya dengan

تضرقأ.

(7)

Menurut Ibnu Sayyidihi2,

تggندأو

لggجرلا

تggند

berarti memberi hutang kepadanya

sampai batas waktu tertentu. Abu Dzuaib berkata :

“Generasi terdahulu memberi piutang dan memberitahukan bahwa orang yang berhutang adalah orang yang kaya dan berkecukupan.”

Ada yang mengatakan bahwa

هتند

berarti

هتضرقأ

dan

هتندأ

adalah

هنم

تضرقتسا

.

Menurut Al-Jauhari, orang yang berhutang (

نويدم

لجر

) adalah orang yang banyak hutangnya. Disebut

نايدم

apabila kebiasaannya adalah menarik hutang. Pernyataan

نادأ

نلف

ةggنادا

berarti Fulan telah menjual barang kepada suatu kaum sampai batas waktu tertentu, sehingga Fulan memiliki hutang kepada mereka.

Makna dari

ضرقلا

adalah : pemberian hutang seseorang berupa mata uang emas atau perak, biji-bijian, kurma, anggur, dan barang-barang lain yang serupa.

Terminologi

Dain (hutang-piutang) adalah : barang yang menjadi tanggungan seseorang ketika melakukan transaksi. Barang tersebut dapat berupa mata uang3 atau perkakas4, baik

ditentukan atau tidak5, tetapi harus sebanding dengan barang yang dihutangkan.

Menurut an-Nawawi ra dalam kitab Raudlah at-Thalibin (Hal. 169 dan 172), “Harta yang menjadi hak seseorang ketika berada dalam tanggungan orang lain adalah berupa ‘ain (

نيع

) dan dain (

نيد

). Yang dimaksud ‘ain adalah dua hal, yakni amanat dan jaminan. Dan yang dimaksud dain (apabila berada dalam tanggungan seseorang) adalah tiga hal, yakni mutsamman (

نمثم

)6, tsaman (

نمث

)7 dan selain keduanya.

2 Lisan al-Arab Vol. 4 hal. 409, 459, 460. 3 Emas dan perak.

4 Seperti pakaian dan perabotan rumah. 5 Rad al-Mukhtar, vol. 5, hal. 152. 6 Barang yang pesan dalam akad salam.

(8)

KEUTAMAAN MEMBERI HUTANG Memberi Hutang Lebih Utama dari pada Bersedekah :

Diriwayatkan dari Baridah ra, saya mendengar Rasulullah SAW acapkali bersabda, ”Siapa yang memberi penangguhan hutang bagi orang yang kesulitan, maka dia memperoleh pahala sedekah setiap hari sesuai jangka waktu penangguhannya.” Katanya lagi, “Kemudian saya mendengar Rasulullah SAW acapkali bersabda, “Siapa yang memberi penangguhan hutang bagi orang yang kesulitan, maka dia memperoleh pahala sedekah setiap hari, dua kali lipat dari jangka waktu penangguhannya.” Saya berkata, “Ya Rasulallah, saya mendengar engkau acapkali bersabda, “Siapa yang memberi penangguhan hutang bagi orang yang kesulitan, maka dia memperoleh pahala sedekah setiap hari sesuai jangka waktu penanggguhannya.” Dan saya juga mendengar engkau acapkali bersabda, “Siapa yang memberi penangguhan hutang bagi orang yang kesulitan, maka baginya pahala sedekah setiap hari, dua kali lipat dari jangka waktu penangguhannya.” Kemudian Rasulullah bersabda pada Baridah ra, “Dia memperoleh pahala sedekah setiap hari apabila hutang belum jatuh tempo (belum tiba saatnya pengembalian), dan apabila sudah jatuh tempo (tiba saatnya pengembalian) kemudian dia menangguhkannya, maka baginya pahala sedekah setiap hari dua kali lipat dari jangka waktu penangguhannya.”8

Memberi Hutang Sama Halnya dengan Membebaskan Budak

Diriwayatkan dari Al-Barra’ bin ‘Adzib ra, “Saya mendengar Rasulullah SAW acapkali bersabda: Siapa yang memberi hutang berupa mata uang, susu, atau menghadiahkan jalan setapak, maka sama halnya dia telah membebaskan budak.”9

Abu Isa at-Tirmidzi mengatakan (As-Sunnah 4/341), “Hadits ini adalah hadits hasan shahih gharib dari hadits riwayat Abu Ishaq. Dan redaksi hadits yang tertera di atas adalah riwayat an-Nu’man bin Basyir.10 Makna dari hadits

اgمنا

قرو

ةحينم

حنم

نم

adalah, “Siapa

yang memberi hutang berupa dirham.”

8 Shahih. HR. Ahmad, vol. 5, hal.360, dan HR. Ibn Majah, hal. 2418. 9 Shahih. HR. Ahmad, vol. 4, hal.275, dan HR. Tirmidzi, hal. 1957. 10 HR. Ahmad, vol. 4, hal.272.

(9)

KEUTAMAAN BERTRANSAKSI DENGAN BENAR

DAN PENANGGUHAN HUTANG BAGI ORANG YANG KESULITAN

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berikanlah penangguhan sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.”

Ath-Thabari11 mengatakan, “Konteks yang benar dari ayat“ ىggلاةرggظنفةرggسعوذناggكناو

ةرسيم ” bahwa yang dimaksud dalam ayat ini adalah orang-orang yang berhutang dan telah masuk agama Islam, mereka mempunyai banyak hutang sebab praktik riba yang mereka melakukan pada masa jahiliyyah. Islam lalu datang sebelum mereka sempat menyelesaikan perkara hutang-piutangnya. Allah SWT memerintahkan agar sisa praktik riba yang telah mereka lakukan dulu tetap dalam haknya masing-masing. Orang yang berhutang hanya dituntut untuk mengembalikan pokok harta tanpa menyertakan bunganya bila sudah memiliki kemampuan membayar hutang. Demikianlah ketentuan bagi orang yang pernah melakukan praktik riba sebelum keislamannya. Islam memerintahkan agar pemberi hutang menggugurkan bunga hutang yang berasal dari praktik riba yang terjadi sebelum Islam datang. Jika orang yang berhutang berkelapangan, dia hanya harus mengembalikan pokok harta tanpa bunganya. Jika dia dalam kesulitan maka pemberi hutang harus memberikan penangguhan pembayaran hutang baginya.

Mereka adalah orang yang diberi keutamaan oleh Allah sesuai firman-Nya di atas. Ketentuan Allah tentang penangguhan hutang bagi orang yang kesulitan dan keringanan dengan hanya harus membayar pokok hutang tanpa bunga yang berasal dari praktik riba yang mereka lakukan sebelum masuk Islam, adalah ketentuan wajib bila sudah jatuh tempo (tiba saatnya pengembalian hutang).

Namun demikian, bila hanya diberi penangguhan sampai berkelapangan, orang yang mempunyai hutang akan tetap merasa kesulitan, karena hutang yang dia tanggung dan harus dia bayarkan akan tergantung pada kondisi pemberi hutang. Oleh karena itu, apabila hartanya habis, pemberi hutang tidak bisa menuntutnya untuk dihukum penjara dan tidak memperbolehkannya melakukan praktik jual-beli lagi.

Kesulitan tersebut terjadi karena harta orang yang berhutang tidak akan lepas dari salah satu dari tiga bentuk pemegangan harta, yakni pertama, harta orang yang berhutang

(10)

dipegang oleh pemberi hutang, kedua, dipegangnya sendiri dan dengan harta tersebut dia membayarkan hutangnya, dan ketiga, harta dia pegang dengan penguasaan penuh.

Jika harta dia pegang dengan penguasaan secara penuh, maka hutangnya menjadi gugur apabila hartanya tersebut habis. Inilah pendapat yang seharusnya diambil agar orang yang mempunyai hutang tidak lagi menemui kesulitan, tetapi tidak ada seorang pun yang berpendapat seperti ini.

Jika dipegangnya sendiri, maka hutang kepada pemilik harta menjadi gugur apabila harta tersebut habis sekalipun dia terlambat membayar atau sedang dalam proses pencicilan hutangnya. Lagi-lagi tidak ada seorang pun yang berpendapat seperti ini.

Titik terang akan muncul bila kita telah mengetahui dua bentuk tanggungan terakhir, yakni yang kedua dan ketiga. Oleh karena itu, untuk bentuk tanggungan yang pertama, yakni bila harta orang yang berhutang dipegang oleh pemberi hutang, maka tidak ada alasan bagi pemberi hutang untuk memegangnya kembali apabila harta tersebut telah habis di tangannya. Karena harta yang seharusnya dipakai untuk melunasi hutang orang yang berhutang telah habis. Karena tidak ada alasan bagi pemberi hutang untuk memegang dan menguasai harta kembali, maka dia tidak berhak untuk menuntut agar orang yang berhutang dipenjarakan, karena tidak terdapat satu alasan pun untuk memenjarakannya, sebab dia tidak membuat-buat alasan untuk menghindari pelunasan hutang. Tetapi jika dia lalai sehingga pelunasan tidak urung dilaksanakan, maka hal ini dapat menjadi alasan menuntutnya untuk dipenjarakan.

Dalam menakwilkan ayat

نوgggملعت

مgggتنك

نا

مgggكل

رgggيخ

اوقدgggصت

نأو

, Ath-Thabri ra mengatakan bahwa yang dimaksud adalah: “Bersedekahlah, karena bersedekah itu merupakan keutamaan dan perbuatan yang mulia. Karena bersedekah dengan hanya menuntut pokok harta dari hutang mereka yang tertimpa kesulitan adalah lebih baik bagimu dari pada menangguhkan pembayaran seluruh hutang (yakni dengan bunganya sekaligus) sampai dia berkelapangan. Agar dia merasa berkelapangan dengan hanya membayar pokok hutang. Hal ini apabila kamu mengetahui letak keutamaan sedekah. Allah akan memberikan banyak pahala bagi orang yang memberi keringanan bagi orang mempunyai hutang padanya.

(11)

ORANG YANG MENANGGUHKAN PEMBAYARAN HUTANG PADA ORANG YANG KESULITAN, MAKA ALLAH AKAN

MEMBERINYA NAUNGAN PADA HARI YANG TIDAK ADA NAUNGAN KECUALI NAUNGAN-NYA

Diriwayatkan dari Ubadah bin al-Walid bin Ubadah bin as-Shamat, “Dalam hidup ini, saya dan ayah saya menuntut ilmu dari orang-orang Anshar sebelum mereka tiada. Orang pertama yang kami temui adalah Abu al-Yasar, salah seorang sahabat Rasulullah SAW. Beliau sedang bersama seorang budaknya yang memegang kumpulan kertas. Abu al-Yasar kelihatan marah penuh emosi, begitu pula budaknya. Lalu ayah saya berkata padanya, “Wahai Paman, saya melihat wajahmu kemerah-merahan sebab emosi.” Abu al-Yasar menanggapi, “Fulan bin Fulan tidak melunasi hutangnya padaku, padahal sudah jatuh tempo (tiba waktunya melunasi hutang).”

Mendengar hal itu, saya bergegas mendatangi keluarga si Fulan yang dimaksud, “Di mana Fulan?”, tanyaku pada keluarganya. “Tidak ada”, jawab mereka.

Kemudian seorang anak keluar dengan menuntun kambing berumur empat bulan, “Di mana ayahmu?” tanyaku padanya, “Beliau bersembunyi di balik tempat duduk setelah mendengar suaramu.”

”Keluar dan menghadaplah padaku, saya sudah mengetahui keberadaanmu”, kata saya. Kemudian dia keluar.

“Apa yang membuat kamu bersembunyi dariku?”, tanyaku.

“Demi Allah, saya takut, saya akan menceritakan padamu dan sekali-kali saya tidak akan berbohong. Demi Allah, saya akan ceritakan, saya akan berbohong padamu sampai beberapa kali sampai saya sanggup mengganti hutang itu. Saya adalah sahabat Rasuluulah SAW. Demi Allah, saya sedang tertimpa kesulitan.”

“Demi Allah?”, tanyaku. “Demi Allah”

“Demi Allah?”, tanyaku lagi. “Demi Allah”

“Demi Allah?”, tanyaku lagi.

“Demi Allah. Abu al-Yasar datang dengan membawa kertas, lalu dia merobeknya seraya berkata padaku, “Periksalah, jika kamu mendapati bahwa batas waktumu telah habis,

(12)

maka lunasilah. Jika kamu tidak dapat melunasi, maka hutangmu akan kuanggap lunas. Kemari, lihatlah kedua mataku ini (seraya menunjuk kedua matanya dengan dua jari, atau kalau tidak salah dia mengatakan, “Lihatlah Dua telingaku ini”), Rasulullah SAW telah menyadarkan hatiku ini (seraya menunjuk bagian tubuh yang menjadi letak hatinya), beliau acapkali bersabda, “Siapa yang menangguhkan hutang bagi orang yang kesulitan atau meringankan nominal pembayarannya, maka Allah akan menempatkan dia dalam naungan-Nya.12

Diriwayatkan dari Abdullah bin Abi Qatadah, bahwa Abu Qatadah ra mencari-cari orang yang mempunyai hutang padanya. Orang itu lari bersembunyi, tetapi kemudian Abu Qatadah menemukannya. “Saya sedang tertimpa kesulitan”, kata orang itu. “Demi Allah?”, tanya Abu Qatadah. “Demi Allah”, jawabnya. Kemudian Abu Qatadah berkata, “Saya mendengar Rasulullah acapkali bersabda, “Siapa yang ingin berbahagia dengan diselamatkan Allah dari malapetaka hari kiamat, maka hendaklah dia menangguhkan hutang bagi orang yang kesulitan atau meringankan nominal pembayarannya.”13 Hadits ini juga

diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan ad-Darami. Matan hadits riwayat ad-darami dari Abu Qatadah dari Rasulullah SAW, “Siapa yang memberi keringanan pada orang yang mempunyai hutang padanya atau bahkan menganggapnya lunas sama sekali, maka dia akan berada dalam naungan Arsy pada hari kiamat.”14

12 HR. Muslim, hal. 3006, HR. Ibn Majah, hal. 419 dengan lafadz yang lebih ringkas, “Siapa yang ingin mendapat naungan Allah, maka tangguhkanlah hutang dan ringankanlah nominal pembayaran.”

13 HR. Muslim, hal. 1563.

(13)

JAMINAN AMPUNAN DOSA

BAGI ORANG YANG MERINGANKAN NOMINAL HUTANGNYA ORANG YANG KESULITAN

Diriwayatkan dari Hudzaifah ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersada, “Para malaikat telah menyambut ruh seseorang dari generasi terdahulu.” Lalu sahabat bertanya, “Apakah sebab engkau mengerjakan kebaikan?”, “Tidak”, jawab Rasulullah. “Lalu kenapa?”. Rasulullah menjawab, “Saya pernah memberi hutang pada seseorang, lalu saya perintahkan agar pelyan-pelayan saya menangguhkan hutang bagi orang yang kesulitan dan memaafkan orang yang berkelapangan, karena Allah SWT telah berfirman, “Dan ampunilah mereka”

Dalam riwayat lain, “Saya pernah menyambut orang yang berkelapangan dan mengampuni orang yang kesulitan”, kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Ampunilah hambaku”

Dalam riwayat lain, “Saya pernah menangguhkan hutang bagi ornag yang kesulitan dan merasa puas dengan sedikit sikkah (mata uang). Maka jika demikian, Allah akan mengampuni orang itu.”

Dalam riwayat lain, “Kebiasaan saya adalah senang memafkan orang. Saya memudahkan orang yang berkelapangan dan menangguhkan hutang bagi orang yang kesulitan. Karena Alllah telah berfirman, “Aku lebih berhak dengan ini dari pada kamu. Maka ampunilah hambaku.”15

Makna lafadz زواggجتلا dan زوggجتلا adalah : toleran dalam menagih dan melunasi, serta merasa puas dengan sedikit kekurangan. Sebagaimana sabda Nabi, “Saya merasa puas dengan sedikit sikkah (mata uang).”

Hadits-hadits menerangkan tentang keutamaan menanngguhkan hutang bagi orang yang kesulitan atau meringankan nominal hutangnya, baik semua hutang maupun sebagiannya, keutamaan bertoleran dalam menagih dan melunasi, baik dari orang yang berkelapangan maupun orang yang kesulitan, dan keutamaan meringankan nominal hutang. Dan sesungguhnya tidak ada satu pun perbuatan baik yang dianggap rendah, karena hal itu merupakan penyebab datangnya kebahagiaan an rahmat.

15 HR. Bukhari, hal. 2077, 2078, HR. Muslim, hal. 3969, 3975, HR. An-Nasa’I vol. 7, hal.317, HR. Tirmidzi, hal. 1307, dan HR. Ibn Majah, hal. 2420.

(14)

Lafadz-lafadz yang searti dengan زواجتلا antara lain : ىضاقتلانسح - ةعيضولا - راظنلا.16

Dalam hadits di atas disebutkan bahwa memberi kelapangan adalah termasuk perbuatan baik –jika disertai dengan keikhlasan kepada Allah- dan dapat melebur perbuatan jelek.

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah ra, bahwa Rasulullah bersabda, “Allah memberkati orang yang toleran ketika berjual beli dan menagih hutang.”17

Menurut Al-Hafidh ibn Hajar dalam kitab Al-Fath (4/359). Samhan (حمggسلا) berarti mudah/lembut (لهgggسلا). Dalam ilmu nahwu, لهgggسلا adalah sifat musyabbihat (sifat yang menyerupai isim fa’il) yang menunjukkna arti terus-menerus. Karena itulah, problematika jual-beli dan hutang harus diulang-ulang.

حمggggسلا juga berarti dermawan (داوggggجلا). Seseorang dikatakan toleran apabila dia dermawan. Dan sabda Nabi SAW : ىggضتقا , artinya : menagih dengan lembut tanpa اذا pemaksaaan.

Hadits di atas merupakan anjuran bertoleransi ketika bermu’amalah, menggunakan akhlak yang baik, menghindari persengketaan, tidak menyulitkan ketika menagih, dan memebri keringanan pada orang yang kesulitan.

16 HR. An-Nawawi, Syarh Muslim, vol. 10, hal.468. Semua riwayat ini dikeluarkan oleh Muslim.

17 HR. Bukhari, hal. 2076, HR. Ahmad, vol. 3, hal.340, HR. Tirmidzi dari Zaid bin Atha’ bin Saib dari Ibn Munkadir dari Jabir dengan lafadz, “Allah mengampuni seseorang sebelum kamu yang memberi

kemudahan.”. Tirmidzi juga meriwayatkan dari Abu Hurairah berupa hadits gharib dengan lafadz,

“Sesungguhnya Allah menyukai toleransi dalam jual beli dan menagih hutang.” HR. An-Nasa’I dari Atha’ bin Farukh dari Utsman ra, Atha’ tidak pernah bertemu Utsman ra, sebagaimana dikatakan Ibn al-Madani dalam kitab al-‘Ilal. Dengan lafadz, “Allah akan memasukkan ke dalam surga orang yang memberi kemudahan baik saat menjadi pembeli, penjual, penagih hutang atau yang yang ditagih. HR. Ahmad, vol. 1, hal.58, 67, 70. dan HR. Ibn Majah, hal. 2202.

(15)

ALLAH AKAN MEMBERI KEMUDAHAN DI DUNIA DAN AKHIRAT BAGI ORANG YANG MEMBERI KEMUDAHAN BAGI ORANG LAIN

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, “Rasulullah SAW bersabda : Siapa yang meringankan beban yang menumpa orang mukmin, maka Allah akan meringankannya dari beban-beban pada hari kiamat. Siapa yang memberi kemudahan pada orang yang kesulitan, maka Allah akan memberinya kemudahan di dunia dan akhirat kelak. Dan siapa yang menjaga rahasia orang muslim, maka Allah akan menjaga rahasianya di dunia dan akhirat kelak. Allah akan menaungi hamba-Nya selama dia membantu saudaranya.”18

Menurut An-Nawawi ra (16/351), “Hadits ini menunjukkan keutamaan membantu orang muslim, meringankan bebannya, dan menjaga rahasinya. Termasuk dalam kategori meringankan beban orang muslim adalah orang yang membantu dengan harta dan jabatannya.

18 Shahih. HR. Muslim, hal. 2073, HR. Abu Daud, hal. 4946, HR. Ibn Majah, hal. 225, HR. Tirmidzi, hal. 1425, 1930, 2945, HR. Bukhari, hal. 2442 dari Ibn Umar dengan lafadz, “Semua umat muslim adalah bersaudara, tidak saling menganiaya tetapi saling membantu. Siapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Siapa yang melapangkan saudaranya dari derita kesulitan, maka Allah akan melapangkannya pula dari kesulitan pada hari kiamat kelak. Dan siapa yang dapat menjaga rahasia saudaranya, maka Allah akan menjaga rahasianya pada hari kiamat. Muslim juga meriwayatkan matan hadits ini.

Menurut saya, “Bukhari menolak memasukkan hadits dalam bab ini ke dalam Shahih-nya, sebab dia

khawatir akan kepalsuan hadits karena diriwayatkan oleh al-A’masy. Al-Hafidh dalam al-Fath vol. 1, hal.67 mengatakan, “Hadits itu diriwayatkan Tirmidzi, menurutnya hadits itu adalah hadits hasan, bukan hadits shahih sebab terdapat kekaburan yang menunjukkan kepalsuan, yakni “diriwayatkan pada saya dari Abu Shalih” (orang yang meriwayatkan tidak disebut). Tetapi hadits ini bukanlah hadits palsu, sebab Imam Muslim juga meriwayatkan hadits ini dari Usamah dari al-A’masy (dari Abu Shalih).

(16)

MEMOHON KEPADA ALLAH AGAR DIJAUHKAN DARI BANYAK HUTANG

Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra, “Rasulullah SAW pernah bersabda kepada Abu Thalhah : Carilah seorang pemuda dari pelayan-pelayanku untuk melayaniku. Kemudian Abu Thalhah membawaku pada Rasulullah, maka aku mengabdi pada beliau. Setiap kali beliau turun, maka saya mendengar beliau banyak berdoa,

مهللا

ينا

ذوعا

كب

نم

مهلا

نزحلاو

لسكلاو

لخبلاو

نبجلاو

علضو

نيدلا

ةبلغو

لاجرلا

“Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari kecemasan, kesedihan, ketidakberdayaan, malas, kikir, takut, banyak hutang, dan kungkungan laki-laki”19

Al-Hafidh ibn Hajar berpendapat dalam kitab al-Fath (11/177-178) tentang “

علggض

نيدلا

.”

علض

(dengan dla’ dan lam fathah) adalah bermakna kecondongan.

علض

(dengan lam fathah

علضي

= yadll’u) adalah bermakna harta. Dan yang dimaksud dengan

نيدلا

علض

di sini adalah hutang yang banyak dan memberatkan. Yakni, orang yang tidak sanggup membayar hutangnya sekelipun telah mencari bantuan ke mana-mana. Ada ulama alaf yang mengatakan, “Kecemasan hati karena memiliki hutang hanya terjadi sebab hilangnya sesuatu yang secara akal tidak akan kembali lagi.”

(17)

MEMOHON PERLINDUNGAN KEPADA ALLAH DARI HUTANG

Aisyah istri Nabi mengabarkan bahwa ketika Rasulullah SAW shalat, beliau berdo’a: “Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari adzab kubur, fitnah dajjal terlaknat, dan dari fitnah hidup dan mati. Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari dosa dan hutang”

Pernah seseorang bertanya pada Rasulullah, “Kenapa dengan hutang sehingga engkau harus memohon perlindungan?”, Rasulullah menjawab, “Jika seseorang mempunyai hutang, maka dia akan sering berdusta saat berbicara dan ingkar ketika berjanji.”20

Imam an-Nawawi ra berkata dalam kitsb Syarah Muslim (17/32), “Rasulullah memohon perlindungan dari ‘maghram’, artinya dari hutang. Hal ini didasarkan pada penjelasan Rasulullah pada hadits-hadits sebelumnya, “…jika seseorang mempunyai hutang, maka dia akan sering berdusta saat berbicara dan ingkar ketika berjanji.” Karena dia akan menunda-nunda pengembalian hutang dengan dusta dan ingkar janji. Dan terkadang hutang dapat membuatnya gelap mata, sehingga mungkin saja dia mati sebelum dapat melunasi hutangnya, maka dia akan terus menanggung tanggungan hutangnya.”21

Menurut al-Hafidz ibn Hajar dalam kitab al-Fath (2/371), “Lafadz ‘

مرggغملا

’ dalam hadits di atas adalah bermakna hutang. Ada yang mengatakan, مرggغ (gharima, dengan ra’ kasrah) sama artinya dengan

نادا

(memberi hutang).

Ulama lain berpendapat, “yang dimaksud dengan lafadz tersebut adalah, berhutang untuk keperluan yang dibolehkan dan yang tidak dibolehkan, kemudian dia tidak dapat mengembalikannya. Mungkin saja yang dimaksud dengan hadits ini lebih umum dari yang saya paparkan, sebab Rasulullah juga memohon perlindungan dari kungkungan hutang.”

Al-Qurthubi berpendapat, “

مرggغلا

=

مرggغملا

.

Dalam hadits tersebut, Rasulullah telah mengingatkan bahaya yang akan terjadi akibat hutang. Wallahu a’alam.

20 Shahih, HR. Bukhari, hal. 832.

(18)

RASULULLAH ENGGAN MENSHALATI MAYIT YANG MASIH MEMILIKI TANGGUNGAN HUTANG

Diriwayatkan dari Salamah bin al-Akwa’ ra, “Kami sedang duduk di sisi Rasul SAW, tiba-tiba datang iring-iringan jenazah. Mereka lalu berkata pada Rasul,

“Shalatilah mayat ini ya Rasulallah.”

Rasul bertanya,“Apakah mayat ini masih memiliki tanggungan hutang?”, “Tidak”, jawab mereka.

“Apakah dia meninggalkan warisan?”, tanya Rasul.

“Tidak”, jawab mereka. Maka Rasul bersedia menshalatinya. Taka berapa lama kemudian, datang iring-irngan jenazah lain, lalu mereka berkata pada Rasul, “Shalatilah mayat ini ya Rasulallah.”

“Apakah mayat ini masih mempunyai tanggungan hutang?”, tanya Rasul. “Ya”, jawab mereka.

“Apakah dia meninggalkan warisan?”, tanya Rasul lagi. “Tiga dinar. Maka shalatilah mayat ini.”

“Kalian saja yang menshalati,” lalu Abu Qatadah berkata, “Shalatilah mayat ini ya Rasulallah, saya yang akan menanggung hutangnya,” maka Rasul bersedia menshalatinya.22

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, “Apabila mayat seseorang yang masih memiliki tanggungan hutang dihadapkan pada Rasulullah, maka Rasul akan bertanya, “Apakah dia mempunyai peninggalan harta yang dapat melunasi hutangnya?” Jika dijawab ‘iya’, maka rasul bersedia menshalatinya. Dan jika dijawab ‘tidak’, maka beliau akan bersabda pada kaum muslimin yang hadir, “Kalian saja yang menshalatinya.” Tetapi setelah Allah membukakan hati beliau, maka Beliau berkata, “Aku lebih berhak atas jiwa orang-orang mukmin, maka apabila ada dari orang mukmin yang meninggal dan masih mempunyai tanggungan hutang, maka akulah yang akan melunasinya. Dan apabila dia meninggalkan harta warisan, maka harta itu menjadi hak ahli warisnya.”23

Menurut Imam an-nawawi ra dalam kitab Syarah Muslim (11/63), “Hadits yang menerangkan bahwa Nabi SAW pada awalnya enggan menshalati mayit yang masih

22 Shahih, HR. Bukhari, hal. 2289-2295. HR. Ahmad, vol. 3, hal.320, HR. An-Nasai, vol. 4, hal.65, dan sanad at-Thayalusi, hal.1673 dari Jabir dari Abdullah bin Muhammad bin Aqil, Nabi SAW menemuinya pada keesokan hari, “Apa yang terjadi dengan Dinaran?”, “Ya Rasulullah, dia meninggal kemarin.” Lalu pada keesokan harinya, “Ya Rasulullah, saya telah melunasi hutangnya.” Rasul kemudian bersabda, “Sekarang kulitnya telah dingin (tidak mendapat siksa).”

(19)

memiliki tanggungan hutang dan tidak meninggalkna harta yang dapat melunasi hutangnya, adalah untuk mengingatkan manusia agar mereka segera melunasi hutang semasa hidupnya agar terbebas dari masalah yang ditimbulkannya dan agar Rasul bersedia menshalatinya. Tetapi setelah Allah membukakan hati beliau, maka Rasul kembali bersedia menshalati dan menanggung pelunasan hutang mereka jika mereka tidak meninggalkan warisan yang dapat digunakan untuk melunasi hutangnya.”

(20)

BERHATI-HATI TERHADAP KELALAIAN TIDAK MELUNASI HUTANG

Diriwayatkan dari Tsaubah ra bahwasanya Nabi SAW bersabda, “Siapa yang meninggal dan terbebas dari tiga perkara, maka dia masuk surga. Tiga perkara itu yakni dosa besar, hutang, dan dendam.”24

Muhammad bin Abdullah bin Jahsy ra meriwayatkan, “Kami duduk-duduk di halaman masjid ketika mayat-mayat diwudlu’kan, sedangkan Rasulullah mendongak dan melihat ke langit, kemudian tiba-tiba beliau menundukkan pandangannya dan meletakkan tangan di dahinya seraya berkata, “Subhanallah, subhanallah (maha suci Allah), suara keras apa yang turun?” Kemudian setelahnya kami hanya berdiam diri sehari- semalam sambil berharap-harap cemas sampai fajar menyingsing. Kemudian saya memberanikan diri untuk bertanya pada Rasulullah SAW, “Suara keras apakah yang turun ya Rasulallah?” Beliau menjawab, “Tentang hutang. Demi Dzat yang diriku berada dalam genggamannya, andaikan seseorang gugur di jalan Allah lalu hidup lagi, kemudian dia gugur lagi di jalan Allah lalu hidup lagi, sedngkan dia masih memilki tanggungan hutang, maka dia tidak akan masuk surga sampai dia melunasi hutangnya.”25

Dan diriwayatkan dari Abu Hurarirah ra, “Rasulullah SAW bersabda: Jiwa seorang mukmin terbelenggu selama dia masih memiliki tanggungan hutang.”26

24 Shahih. HR. Ahmad, vol. 5, hal. 276, HR. Tirmidzi, hal. 1573, HR. Ibn Majah, hal. 2412, HR. Baihaqi, vol. 5, hal. 355, HR. Al-Hakim, vol. 2, hal. 26.

25 Shahih beserta semua turunannya. HR. Ahmad, vol. 5, hal. 389, HR. An-Nasai, hal. 31517, HR. Hakim, vol. 2, hal. 24. menurut Hakim, sanad hadits ini shahih, dan menurut ad-Dzahabi hadits ini shahih. Menurut saya: pusat hadits ini berada pada Abu Katsir Maula Muhammad bin Jahsy. Dalam kitab Mujtama’ vol. 4, hal. 127, para Imam menyatakan bahwa hanya perkataan al-Haitsami saja yang yang tidak jelas. Dalam at-Taqrib, al-Hafidh mengatakan, “Dia dapat dipercaya, perawi bagian atas, yakni Bin Abdurrahman.”

26 Shahih beserta semua turunannya. HR. Ahmad, vol. 1, hal. 440, 475, 508, HR. Tirmidzi, hal. 1078, 2140. HR. Hakim, vol. 2, hal.26-27, HR. al-Baihaqi, vol. 6, hal. 49-67. Dalam riwayat dari Saad bin Ibrahim dari Abu Salamah, tanpa menyebut Umar bin Salamah. Menurut para penghafal hadits, sanad yang menyebutkan Umar bin Abu Salamah adalah lebih benar.

(21)

SEMUA DOSA SYUHADA’ DIAMPUNI KECUALI HUTANGNYA

Abu Qatadah ra pernah membicarakan Rasulullah SAW, bahwa Rasul pernah berdiri di hadapan para sahabat seraya bersabda, “Sesungguhnya berjihad di jalan Allah dan beriman kepada-Nya merupakan amal yang paling utama.” Salah seorang sahabat berdiri lalu bertanya, “Ya Rasulallah, bagaimana menurutmu jika saya gugur di jalan Allah, apakah dosa-dosaku akan terampuni?” Rasulullah menjawab, “Benar, dosa-dosamu akan terampuni jika kamu gugur di jalan Allah, dan kamu sebelumnya juga sabar dan berbuat baik, serta tidak lari dari tanggung jawab.” Lalu Rasulullah balik bertanya, “Coba ulangi apa yang kamu tanyakan.” Sahabat tersebut menjawab, “Bagaimana menurutmu jika saya gugur di jalan Allah, apakah dosa-dosaku akan terampuni?” Rasulullah kembali menjawab, “Iya, jika sebelumnya kamu sabar dan berbuat baik serta tidak lari menghindar dari tanggung jawab, kecuali hutang, karena Jibril as baru saja mengatakan padaku demikian.”27

Abdullah bin Amr bin al-‘ash ra meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda, “Semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali hutang.”28

Dan dalam riwayat Abdullah bin Amr bin al-‘ash yang lain, “Semua dosa orang yang gugur di jalan Allah akan terampuni kecuali hutang”29

Menurut Imam an-Nawawi ra dalam kitab Syarah Muslim (13/32), lafadz نيدggلا لا dalam hadits tersebut menunjukkan tanbih (peringatan) atas semua hak-hak adami (yang berkaitan dengan interaksi sesama), dan menunjukkan bahwa jihad, mati syahid dan perbuatan-perbuatan baik yang lain tidak bisa menggungurkan hak adami, tetapi hanya bisa mengguhurkan haqqullah (hak yang berkaitan dengan Tuhan).

Menurut saya, hadits ini, sebagaimana hadits yang menerangkan tentang orang yang bangkrut (muflis), menunjukkan bahwa, semua hak-hak adami jika tidak diselesaikan kepada yang bersangkutan ketika masih hidup di dunia dan meminta maaf kepadanya, maka di akhirat nanti, amal kebaikannya diberikan kepada orang yang bersangkutan, atau jika tidak mencukupi, maka amal jelek orang yang bersangkutan akan ditimpakan kepadanya.

27 Shahih. HR. Muslim, hal. 4857, HR. an-Nasai, vol. 6, hal. 33, HR. Tirmidzi, hal.1712. 28 Shahih. HR. Muslim, hal. 4860.

(22)

BALASAN DI DUNIA DAN AKHIRAT

BAGI ORANG YANG TIDAK MELUNASI HUTANG

Abu Hurairah ra meriwayatkan dari Nabi SAW, “Siapa yang mengambil harta seseorang dan dia bermaksud mengembalikannya, maka Allah akan mengembalikan hartanya yang hilang. Sedangkan siapa yang mengambinya dengan maksud melenyapkannya, maka Allah juga akan melenyapkan harta.”30

Dalam kitab al-Fath (5/66), Ibn Hajar mengatakan, “Lafadz

ا

هggفلتأ

dalam hadits tersebut secara lahir bermakna pelenyapan yang terjadi di dunia, dalam hal ini, dalam dirinya atau kehidupannya. Hal ini termasuk salah satu dari tanda kenabian, yakni ketika kami melihat beliau menyaksikan orang yang sibuk mengurus salah satu dari dua urusan. Ada ulama yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan

فلتلا

adalah adzab akhirat.

Diriwayatkan pula dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW pernah bertanya, “Tahukah kamu siapa orang yang bangkrut itu?” Para sahabat menjawab, “Menurut kami, orang yang bangkrut adalah orang yang tidak memiliki dirham dan harta benda.” Lalu Rasulullah bersabda, “Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa amal shalat, puasa, dan zakatnya. Tetapi di dunia dulu dia pernah mencaci-maki orang, menuduh orang bezina, makan harta orang tanpa hak, pernah membunuh dan memukul orang. Maka amal-amal kebaikannya dibagi-bagi untuk diberikan kepada orang yang pernah didhaliminya dulu, maka jika amal kebaikannya telah habis sebelum mencukupi sebagai ganti, maka dosa-dosa mereka ditimpakan kepadanya lalu dia dicampakkan ke dalam neraka.”31

Dalam kitab Syarh Muslim (16/351) Imam an-Nawawi berpendapat bahwa makna hadits di atas adalah:

Orang bangkrut yang diterangkan Nabi dalam haditas di atas adalah hakikat orang bangkrut yang sesungguhnya. Sedangkan orang yang mempunyai sedikit harta atau bahkan tidak sama sekali, maka dia disebut juga dengan muflis (orang yang bangkrut), tetapi bukan arti muflis yang sesungguhnya, karena muflis dalam arti demikian akan lepas dan bebas dengan kematiannya. Dan mungkin juga dia terbebas dari kebangkrutan sebab kekayaan yang dia peroleh kemudian dalam hidupnya. Maksud muflis yang diterangkan dalam hadits

30 Shahih. HR. Bukhari, hal. 2387, HR. Ahmad, vol. 2, hadits ke-4143631, baris kedua adalah HR. Ibn Majah, hal. 2411, HR. al-Baihaqi, vol. 5, hal. 354.

(23)

di atas adalah orang yang celaka secelaka-celakanya dan binasa sebianasa-binasanya sebab amal kebaikannya dibuat untuk melunasi tanggungan hutangnya, dan jika amal kebaikannya telah habis sedangkan hutangnya belum terlunasi, maka dosa-dosa mereka (orang yang ditangguhkan pelunasan hutangnya) dirimpakan kepadanya, lalu dia dicampakkan ke dalam neraka, maka sempurnalah kerugian, kebinasaan, dan kebangkrutannya.

(24)

BALASAN BAGI ORANG YANG BERKEMAMPUAN MELUNASI HUTANG TETAPI TIDAK MELAKSANAKANNYA

Abu Hurairah ra meriwayatkan dari Nabi SAW, “Penangguhan pembayaran hutang bagi orang yang berkemampuan adalah dhalim. Jika salah seorang dari kamu diberi penangguhan yang lama, maka patuhilah.”32

Dalam kitab Syarh Muslim (10/471), an-Nawawi berpendapat, “Menurut al-Qadli dan ulama lainnya, maksud lafadz

ملظ

ينغلا

لطم

pada hadits di atas adalah: al-Mathal bermakna menangguhkan pembayaran hutang yang telah jatuh tempo (tiba waktunya mengembalikan). Maka penangguhan pembayaran hutang bagi orang yang telah berkemampuan adalah dhalim dan haram.

Menurut saya, yang dimaksud dengan

ينغلا

di sini adalah orang yang berkemampuan membayar hutang, sekalipun dia dalam keadaan fakir.

Asy-Syarid meriwayatkan dari Rasulullah SAW, “Penannguhan pembayaran hutang bagi orang yang berkemampuan dapat membuat harga dirinya jatuh dan dihukum.”33

Imam at-Thahawi dalam kitabnya Musykilul Atsar (2/410) mengatakan, “Suatu komunitas telah menetapkan hukuman yang pantas dia peroleh, yakni haknya dalam hutang tersebut ditahan.”

Menurut pendapat yang diambil dari Muhammad bin al-Hasan, hukuman itu adalah dia terus menanggung hutang itu. Kemudian beliau menambahkan, “Menurut kami, yang lebih berhak menahannya dari orang yang berhak adalah hakim. Sebab, jika orang yang mempunyai hutang terus dibebani penannggungan hutang, maka dia akan disibukkan oleh kepentingannya sendiri. Para ulama juga sepakat bahwa apabila hakim meminta penahanan hak atas hutang itu, maka hal itu adalah suatu keputusan yang wajib ditaati. Jika demikian, maka menahan hak atas hutang menjadi lebih utama dari pada menjadikan hutang terus-menerus menjadi tanggungannya.

Imam Bukhari dalam kitabnya juga meriwayatkan hadits di atas dari Sufyan. Bahwa

32 Muttafaq alaih: HR. Bukhari, hal. 2288, HR. Muslim, hal. 3978, HR. Abu Daud, hal. 3345, HR. An-Nasai, vol. 7, hal. 317.

33 Hasan: HR. An-Nasai. Vol. 7, hal. 316, 317. HR. Ahmad, vol. 4, hal. 222-388-389, HR. Abu Daud, hal. 3628, HR. Ibn Majah, hal. 3427, Imam Bukhari masih menggantungkan hadits ini, hal. 7515, al-Fath dan at-Thahawi (Musykil al-Atsar, hadits ke-9500949) HR. Ibn Hubban, hal. 5089, HR. al-Hakim, vol. 4, hal. 102, HR. Al-Baihaqi, vol. 7, hal. 51 Muhammad bin Maimun, “Ibn Hubban termasuk perawi yang tsiqah. Abu Hatim, “Sekelompok orang telah meriwayatkan hadits ini, para perawinya triqah dan baik. Al-Hafidh dalam kitan at-Taqrib, “Riwayat hadits bisa diterima, karena sanadnya hasan (Al-Fath 5/76). Ibn Hubban, al-Hakim dan ad-Dzahabi menganggap shahih sanad hadits ini.

(25)

yang dimaksud dengan lafadaz

هضرع

adalah perkataan kepada orang yang berkemampuan itu :

يggنتلطم

(kamu menangguhkan pembayaran hutangmu pada saya). Dan lafadz

هتبوggقع

(26)

ORANG YANG PALING BAIK ADALAH ORANG YANG MELUNASI HUTANGNYA DENGAN CARA YANG BAIK

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, “Nabi pernah mempunyai hutang seekor unta berumur satu tahun pada seseorang. Kemudian orang itu datang menagih hutang pada Rasul. “Bayarlah hutangku padanya”, kata Rasul pada sahabat. Para sahabat lalu mencari unta yang dimaksud, tetapai mereka hanya menemukan unta yang umurnya lebih tua. “Berikan saja unta itu” perintah Rasul pada sahabat. “Engkau telah melunasi hutang padaku, mudah-mudahan Allah menyempurnakan engkau ya Rasul.” Lalu Rasul bersabda, “Seseungguhnya orang yang paling baik di antara kalian adalah orang yang peling baik dalam melunasi hutangnya.”34

Dalam riwayat lain, “Maka sesungguhnya hamba Allah yang paling baik adalah yang paling baik dalam melunasi hutangnya.”35

Riwayat lain, “Bahwa orang yang paling baik adalah orang yang paling baik dalam melunasi hutangnya.”

Riwayat lain, “Orang yang paling baik di antara kalian adalah orang yang membayar hutangnya dengan baik.”

An-Nawawi ra (11/309) berepndapat, “Dalam hadits-hadits tersebut diterangkan bahwa, sunat bagi orang yang mempunyai hutang seperti pinjam-meminjam misalnya, untuk mengembalikannya dengan cara yang paling baik. Sikap ini merupakan sunah Nabi dan termasuk dalam prilaku yang mulia. Dan sesungguhnya pemanfaatan barang yang dipinjam sampai melebihi batas pemanfaatan yang sewajarnya, maka hal itu dilarang.

Menurut al-Baghwi dalam kitab Syarh Sunnah (4/309), “Hadits di atas merupakan bukti/dalil bahwa orang yang meminjam suatu barang lalu mengembalikannya dengan cara yang baik atau melebihkannya (tanpa ada syarat agar dikembalikan lebih sebelumnya), maka dia dianggap orang yang baik dan barang yang dikembalikan tersebut halal bagi orang yang meminjaminya.

34 Muttafaq alaih: HR. Bukhari, hal. 2393, HR. Muslim, hal. 4084.

35 HR. Muslim dan hadits-hadits di bawahnya, hal. 4084-4088. HR. Abu Daud, hal. 3346, Hr. An-Nasaivol. 17, hal. 291, HR. Ahmad, vol. 2, hal. 393, 509, HR. Tirmidzi, hal. 1318, HR. Ibn Majah, hal. 2285, HR. Al-Bughawi, vol. 4, hal. 343, HR. Al-Baihaqi, vol. 5, hal. 351, HR, Al-Hakim, vol. 2 hal. 130.

(27)

RASULULLAH MENGASIHI ORANG YANG MEMILIKI TANGGUNGAN HUTANG

Aisyah ra meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW, “Siapa dari umatku yang memilki tanggungan hutang dan dia bekerja keras agar dapat melunasi hutangnya tetapi kemudian mati sebelum dapat melunasi hutangnya, mka sayalah walinya.”36

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa seringkali ketika seorang mukmin meninggal pada masa Rasulullah dan dia masih memiliki tanggungan hutang, maka di sisinya Rasul bertanya pada sahabat, “Apakah dia meninggalkan harta yang dapat digunakan untuk melunasi hutangnya?” Jika sahabat mejawab ‘Ya’, maka Rasul bersedia menshalatinya, dan jika dijawab ‘Tidak’, maka Rasul berkata, “Shalatilah sendiri mayat ini.” Tetapi setelah Allah membukakan hati beliau dengan selapang-lapangnya, maka Rasul bersabda, “Aku lebih berhak atas jiwa orang-orang mukmin, maka apabila ada dari orang mukmin yang meninggal dan masih mempunyai tanggungan hutang, maka akulah yang akan melunasinya. Dan apabila dia meninggalkan harta warisan, maka harta itu menjadi hak ahli warisnya.”37

36 Shahih. HR. Ahmad, vol. 7, hal. 22. Al-Haitsami, “Para perawi dalam riwayat Ahmad adalah shahih,

Majma’ az-Zawaid, vol. 4, hal. 132. al-Mundziri juga mengatakan hal serupa dalam at-Targhib, vol. 2, hal.

598. Jabir ra secara makna, hal. 2416. HR. Abu Daud, hal. 3343 dari Jabir seperti riwayat Abu Hurairah dari jalur Abdurrazzaq dari Muammar dari az-Zuhri dari Abu Salamah dari Jabir, al-Mushannaf, hal. 1162. 37 Muttafaq alaih: HR. Bukhari, hal. 2298, HR. Muslim, hal. 1618, HR. Tirmidzi, hal. 170, HR. Ibn Majah, hal. 2415.

(28)

DOA AGAR DIBERI KEMAMPUAN MELUNASI HUTANG

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, “Rasulullah SAW pernah bersabda pada kami. Apabila kami beranjak tidur, beliau memerintahkan agar kami membaca do’a:

“Ya Allah tuhan penguasa langit dan bumi, penguasa Arasy yang agung, Tuhan kami dan Tuhan segala sesuatu. Pemberi biji-bijian dan makanan, yang menurunkan kitab taurat, injil, dan al-Qur’an. Aku berlindung kepadamu dari segala keburukan yang hanya engkau yang dapat mencegahnya. Ya Allah, tiada permulaan bagimu dan tiada sesuatu pun yang mendahuluimu. Tiada akhir bagimu dan tiada pula sesuatu pun setelahmu. Engkaulah yang tampak dan tiada sesuatu pun di atasmu. Engkaulah yang tersembunyi dan tiada sesuatu pun di bawahmu. Berilah kami kemampuan untuk membayar hutang dan hindarkanlah kami dari kefakiran.”38

Dalam kitab Syarh Muslim (17/38) Imam Nawawi menerangkan lafadz

نيدلا

انع

ضقا

dalam hadits di atas. Bahwa kemungkinan yang dimaksud dengan

نيدلا

di sini adalah hak-hak Allah dan hak-hak-hak-hak semua hamba-Nya.

Ibnu Abbas meriwayatkan, “Ketika tertimpa kesulitan, Rasulullah SAW berkata, “ “Tiada Tuhan selain Allah dzat maha agung dan pengasih. Tiada Tuhan selain Allah Dzat penguasa langit dan bumi, Tuhan Arsy yang agung.”39

Al-Hafidz dalam kitabnya al-Fath (11/150) mengatakan, “Yang dimaksud dengan kesulitan pada hadits di atas adalah : sesuatu yang menimpa seseorang secara tiba-tiba dan membuatnya sedih dan berkeluh-kesah. Menurut saya, kesulitan yang disebut pada hadits di atas adalah sesuatu yang lumrah terjadi pada seseorang yang mempunyai hutang dan tidak dapat melunasinya.

38 Shahih: HR. Muslim, hal. 2713. yakni dari jalur Sahil dari ayahnya dari Abu Hurairah. Tidak ada yang berbeda dengan riwayat Sahil. Hadits ini juga diriwayatkan dari jalur al-A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah, berbeda dengan riwayat Sahil. Al-A’masy mengatakan, “Fatimah puteri Nabi datang bertanya pada beliau. Hadits Fatimah yang dibuat pegangan adalah hadits lain riwayat Muslim dari jalur Sahil dari ayahnya dari Abu Hurairah. Lalu Nabi SAW bersabda pada Fatimah, “Bertasbihlah sebanyak 33 kali, bertahmidlah sebanyak 33 kali…”. Lih. Al-Ilal-nya ad-Darqathni, vol. 10, hal. 209. HR. Abu Daud, hal. 5051, HR. Tirmidzi, hal. 3400, Ibn Majah, hal. 3831.

39 Muttafaq Alaih: HR. Bukhari, hal. 6345, HR. Muslim, hal. 4730, HR. Tirmidzi, hal. 3435, dan HR. Ibn Majah, hal. 3883.

(29)

ORANG YANG BERMAKSUD MEMBAYAR HUTANG MAKA ALLAH AKAN MEMENUHI MAKSUDNYA

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Nabi SAW bersabda, “Barang siapa berhutang pada seseorang dengan maksud ingin membayarkannya, maka Allah akan memenuhi maksudnya. Tetapi apabila dia berhutang dengan maksud melenyapkannya, maka Allah juga akan melenyapkan hartanya.”40

Dalam kitab al-Fath (5/66) al-Hafidz ibn Hajar berpendapat, “Jika seseorang bermaksud untuk membayar hutang sesuai perintah-Nya, maka hadits di atas telah menerangkan bahwa Allah akan memenuhi maksudnya tersebut. Baik di dunia maupun kelak di akhirat dengan jaminan keselamatan.”

Menurut pendapat Ibn Bathal, “Hadits tersebut menekankan pada manusia agar tidak mengambil harta milik orang lain tanpa hak, anjuran agar santun dalam interaksi hutang-piutang, dan menerangkan bahwa balasan yang akan diperoleh sesuai dengan amal yang diperbuat.”

Diriwayatkan dari Ubaidillah bin Abdillah bin ‘Utbah, bahwa Maimunah istri Rasulullah SAW pernah berhutang pada seseorang lalau ditanya, “Wahai Ummul Mukminin, kenapa kamu berhutang padahal kamu tidak berkemampuan untuk membayarnya?

Maimunah menjawab, “Saya mendengar Rasulullah acap kali bersabda: siapa yang berhutang dengan maksud ingin mengembalikannya kelak, maka Allah SWT akan memberinya jalan keluar.”41

40 Shahih: HR. Bikhari, hal. 2387, HR. Ibn Majah, hal. 2387 dari jalur Abdul Aziz bin Muhammad dari Tsaur dengan lafadz, “Siapa yang mengambil harta dengan maksud melenyapkannya, maka Allah akan melenyapkan hartanya pula.” HR. Ahmad, vol. 2, hal. 316, 417, HR. Al-Baihaqi, vol. 5, hal. 354, HR. Bughawi dalam as-Sunnah, hal. 2139.

41 Shahih beserta turunan lafadznya: HR. An-Nasai, vol. 7, hal. 315, HR. Ibn Majah, hal. 2408 dari Hudzaifah dari Imran dari Ummul Mukminin. Hudzifah di sini tidak diketahui.

(30)

ALLAH MEMBERKATI HARTA SESEORANG YANG SALEH DAN BERSUNGGUH-SUNGGUH BEKERJA

DEMI MEMBAYAR HUTANGNYA

Abdullah bin Zubair ra meriwayatkan, “Pada hari berlangsungnya perang jamal, ayahku berdiri tegak seraya memanggilku, saya kemudian mendekat di sisinya. Ia pun berketa padaku, “Wahai anakku, tiada yang terbunuh pada hari ini kecuali orang yang berbuat aniaya dan teraniaya. Saya sungguh yakin bahwa pada hari ini saya akan membunuh seorang yang teraniaya. Menyangkut hutangku, saya berkeinginan kuat untuk menyisakan harta kita untuk melunasinya.” Ayahku kemudian melanjutkan, “Anakku, aku wasiatkan sepertiga harta untuk membayar hutang. Sepertiganya untuk Bani (keluarga besar) Abdillah bin Zubair dan sepertiganya lagi. Jika ada sisa dari harta yang digunakan untuk membayar hutang, maka sepertiganya untuk ayahmu.

Hisyam mengisahkan, “Dua anak Abdullah yakni Khabib dan Ubbad juga menjadi bagian dari bani Zubair. Pada waktu itu, dia memilki sembilan anak laki-laki dan sembilan anak perempuan. “Maka dia kemudian mewasiatkan agar saya membayar hutangnya dengan harta yang dia tinggalkan”, kata Abdullah. Kemudian ayahku (Zubair) menambahkan, “Anakku, jika kamu tidak sanggup melaksanakan sesuatu dari yang telah saya wasiatkan, maka minta tolonglah pada tuanku.”

Abdullah bertanya, “Demi Allah, sungguh saya tidak tahu apa yang engkau maksudkan dengan tuanmu? “Allah”, jawab Zubair.

Abdullah menambahkan, “Demi Allah, setiap kali saya merasa kesulitan dalam mengurusi hutangnya, maka saya berdo’a, “Wahai tuannya Zubair, lunsilah hutang-hutang Zubair, maka semoga Dia mengabulkannya.”

Hisyam mengisahkan, “Kemudian terdengar kabar bahwa Zubair terbunuh. Dia tidak meninggalkan emas dan perak, tetapi hanya sepetak tanah berupa hutan, 21 rumah di Madinah, dua rumah di Basrah, sebuah rumah di Kufah, dan sebuahnya lagi di Mesir.”

Abdullah, “Kronologi kenapa Zubair sampai mempunyai hutang adalah, dulu pernah seseorang datang menitipkan harta padanya.”

Zubair, “Bukan titipan, tapi hutang tanpa bunga. Akan tetapi saya khawatir tidak bisa menjaganya, apalagi tidak ada orang yang dipercaya dapat menjaganya, tidak ada penarikan pajak dan apapun kecuali hanya situasi peperangan bersama Nabi SAW, Abu Bakar, Umar,

(31)

dan Utsman.”

Abdullah bin Zubair, “Kemudian saya mulai menghitungnya. Ternyata hutangnya berjumlah 1.200.000.”

Kemudian Hakim bin Hazm menemui Abdullah bin Zubair, “Wahai putra saudaraku, berapa banyak hutang yang menjadi tanggungan saudaraku?”

Abdullah berusaha menutupi hutang yang sebenarnya, “Hanya 100.000.”

Hakim bin Hazm, “Demi Allah, harta yang kamu miliki tidak lebih dari sepersembilan dari hutang itu.”

Abdullah, “Bagaimana jika saya katakan bahwa hutangnya adalah sebanyak 1.200.000?”

Hakim bin Hazm, “Saya yakin kalian tidak cukup berkemampuan melunasinya. Jika ada masalah mengenao hutang kalian, minta tolonglah padaku.”

Hisyam mengisahkan, “Dulu Zubair pernah membeli sebidang hutan dengan harga 170.000. tetapi Abdullah kemudian menjualnya dengan harga 1.600.000.”

Abdullah kemudian berdiri seraya berkata, “Siapa yang merasa mempunyai hak atas harta Zubair, maka datanglah kemari, saya akan membayarnya dengan sebidang tanah hutan.”

Lalu Abdullah bin Ja’far yang memiliki hak atas harta Zubair sebanyak 400.000 datang seraya berkata pada Abdullah bin Zubair, “Jika kamu mau, saya akan tinggalkan sebidang tanah hutan itu untukmu”

‘Tidak perlu,” jawab Abdullah bin Zubair.

Abdullah bin Ja’far, “Jika kamu mau, kamu boleh memanfaatkan hutan tersebut sampai batas waktu yang kamu mau.”

“Tidak perlu juga,” jawab Abdullah bin Zubair.

Abdullah bin Ja’far, “Kalau demikian, bagilah hutan tersebut untukku sebagian” “Baiklah, untukmu dari batas ini sampai ini,” jawab Abdullah bin Zubair.

Hisyam mengisahkan, “Kemudian Abdullah bin Zubair menjual hutan yang menjadi bagiannya, membayar hutangnya, dan memberikan bagian yang menjadi milik Abdullah bin Ja’far. Sisa dari tanah hutan tersebut seluas 4.5 depa untuk kemudian ditawarkan kepada Mu’awiyah. Di sisi Mu’awiyah pada waktu itu hadir Amr bin Utsman, Mundzir bin Zubair dan Ibn Zam’ah.

(32)

milikmu?”

“100.000 per depa”, jawab Abdullah bin Zubair. “Berapa sisanya?”, tanya Mu’awiyah kembali. “4.5 depa.” Jawabnya.

Lalu Mundzir bin Zubair berkata, “Saya membeli satu depa dengan harga 100.000” Kemudian Amr bin Utsman, “Saya juga membeli satu depa dengan harga 100.000.” Kemudian Ibnu Zam’ah, “Saya juga membeli satu depa dengan harga 100.000.” Mu’awiyah bertanya lagi, “Lalu berapa sisanya?”

“1.5 depa”, jawab Abdullah bin Zubair.

“Saya membeli 1.5 depa itu dengan harga 150.000”, kata Mu’awiyah.

Hisyam melanjutkan kisahnya, “Kemudian Abdulah bin Ja’far juga menjual bagiannya kepada Mu’awiyah dengan harga 600.000.”

Setelah Abdullah bin Zubair selesai membayar hutang, keluarga Zubair berkata, “Bagilah harta warisan untuk masing-masing kami.”

Tetapi Abdullah bin Zubair tidak berkenan, “Tidak, demi Allah, saya tidak akan membagi harta warisan itu untuk masing-masing kalian sampai saya mengumumkan pada tiap-tiap musim selama empat puluh tahun, “Perhatikanlah, barang siapa memiliki hak hutang atas harta Zubair, datanglah kepadaku, saya akan membayarnya.”

Hisyam melanjutkan, “Maka sepanjang tahun pada awal pergantian musim Abdullah bin Zubair mengumumkan hal yang sama. Setelah lewat masa empat puluh tahun, barulah dia membagi harta warisan tersebut pada masing-masing anggota keluarga Zubair yang ditinggalkan.

Zubair memiliki empat anak perempuan, mereka mendapat bagian sepertiga. Setelah dibagi, masing-masing mereka mendapatkan 1.200.000” 42

(33)

WAJIB MEMBAYAR HUTANG

Firman Allah:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.

Al-Qurtubi ra dalam kitab al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an (5/258) mengatakan, “Ibn Abbas berkata: Allah tidak akan memberikan toleransi menyangkut pelaksanaan amanat, baik bagi orang yang sedang tertimpa kesulitan maupun orang yang berkelapangan. 43 Saya

(al-Qurtubi) mengaskan: ini adalah ijma’ ulama. Mereka bersepakat bahwa amanat harus disampaikan pada yang berhak menerimanya, baik mereka orang baik maupun sering berbuat dosa.”

Dalam kitab Tafsir al-Qur’an al-Adzim, Ibn Katsir mengatakan, “Allah SAW mengabarkan bahwa Dia memerintahkan agar amanat segera disampaikan pada yang berhak menerimanya. Dalam sebuah hadits hasan, Samurah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Serahkanlah amanat pada orang yang dapat dipercaya danjanganlah kamu membalas orang yang pernah berkhianat padamu dengan berkhianat pula.” 44

Ayat tersebut di atas mencakup semua amanat yang wajib dilaksanakan oleh manusia. Yakni berupa hak-hak Allah yang dibebankan kepada hambanya seperti shalat, zakat, puasa, kafarat, nadzar dan sebagainya yang memang sudah menjadi tanggungan seorang hamba dan tidak dapat ditolaknya. Juga berupa hak-hak yang terjadi di kalangan manusia, seperti barang-barang titipan yang tidak ada saksi dan sebaginya yang memang sudah menjadi amanat yang harus dia tunaikan. Maka Allah memerintahkan agar menunaikannya.

43 HR. At-Thabari, vol. 5, hal. 146 dengan sanad dlaif dari jalur al-‘aufi dari Ibn Abbas. Al-‘aufi adalah perawi yang lemah, namanya hanya dicantumkan sesekali dalam hadits.

44 HR. Ibn Jarir dalam kitab tafsirnya, vol. 5, hal. 146 dari Hasan sebagai hadits mursal, HR. Ahmad,

al-Musnad, vol. 3, hal. 114 dari salah seorang sahabat Nabi SAW. HR. Abu Daudm hal. 3534, 3535 dari jalur

Thalq bin Ghanam dari Syarik Waqis bin Abu ar-Rabi’ dari Hushain dari Abu Shalih dari Abu Hurairah. HR. Tirmidzi, hal. 1264 dari jalur yang sama, “Haits hasan gharib. HR. Ad-Darqathni, hal. 2912 dari Yusuf bin Ya’qub dari seseorang dari Ubay bin Ka’ab, HR. Anas bin Malik, hal. 2914 dari jalur Ayyub bin Suwaid dari Ibn Syaudzab. Mengenai hadits ini, para ahli hadits mengatakan, “Dalam at-Takhlish, hal. 1454 al-Hafidh mengutip pendapat Imam Syafi’I: hadits ini tidak mempunyai ketetapan sanad. Al-Baihaqi juga mengutip pendapat ini dalam as-Sunan, vol. 10, hal. 271. mengutip pendapat Ahmad, al-Hafidh mengatakan, “Hadits ini ditolak, sebab keshahihannya tidak diketahui. Ibn al-Jauzi, al-Ilal al-Mutanahiyah, hal. 972-974-975, setelah meneliti hadits ini, beliau mengatakan, “Hadits ini tidak termasuk hadits shahih dilihat dari semua jalurnya. Sebagaimana keterangan dalam Ilal Ibn Abi Hatim, hal. 114, “Thalq meriwayatkan hadits munkar.”

(34)

Siapa yang tidak melaksanakannya di dunia, maka Allah akan menagihnya pada hari kiamat kelak, sebagaimana keterangan yang bersumber pada hadits shahih, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh kamu wajib menunaikan hak kepada pemiliknya, meskipun itu berupa tanduk kambing” 45

Andaikan aku memilki emas sebesar gunung Uhud, aku tidak akan merasa bahagia karenanya jika aku masih melewatkan tiga batang emas tanggunganku. Tetapi aku akan merasa bahagia jika memiliki sedikit emas dan dapat aku gunakan untuk melunasi hutang.”46

Menurut Ibn Hajar dalam kitab al-Fath (5/67), “Hadits tersebut menegaskan perintah agar segera melunasi hutang, dan apabila tidak berkemampuan, dia harus bersungguh-sungguh berusaha agar kemudian berkemampuan melunasinya.”

45 Shahih: HR. Muslim, hal. 2582 riwayat Abu Hurairah dari Anas, HR. At-Thabrani dengan jalur yang sama dari Anas, as-Shaghir, hal. 475.

(35)

BERSEDEKAH PADA ORANG YANG MEMILIKI HUTANG AGAR DAPAT SEGERA MELUNASINYA

Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri ra, “Pernah pada masa Rasulullah seseorang tertimpa musibah, lalu beliau bersabda: bersedekahlah untuknya. Maka orang-orang segera memberinya sedekah, tetapi masih belum mencukupi untuk membayar hutangnya. Lalu Rasulullah SAW berkata pada orang-orang yang mempunai hutang ada beliau, “Berilah padanya apapun yang dapat kamu temui, hutangmu padaku akan lunas dengan itu.”47

47 Shahih: HR. Muslim, hal. 3958, HR. Abu Daud, hal. 3469, Hr. An-Nasai, hal. 4543, HR. Tirmidzi, hal. 655, HR. Ibn Majah, hal. 2356.

(36)

MELUNASI HUTANG YANG MENJADI TANGGUNGAN MAYIT SEBELUM MELAKSANAKAN WASIATNYA

Ali ra meriwayatkan, “Muhammad SAW melakukan pelunasan hutang sebelum pelaksanaan wasiat, sedangkan kamu membaca wasiat dulu sebelum melakukan pelunasan hutang. Dan sesungguhnya bani Umm saling mewarisi hartanya, tetapi tidak bagi Bani ‘Allat.48

Dalam kitab Shahihnya, al-Bukhari berkata, “Penjelasan dari ayat “………..”, disebutkan bahwa Nabi SAW melaksanakan pelunasan hutang sebelum pelaksanaan wasiat.

Menurut al-Hafidz dalam kitab al-Fath (5/445) terkait dengan penafsiran di atas, “Matan hadits di atas adalah bagian terakhir dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Tirmidzi, dan imam lain yang bersumber dari Harits yang dikenal mempunyai cela/cacat, dia meriwayatkan dari Ali ra yang kemudian menyebut matan hadits ini.

Menurutnya pula, “Sanad hadits ini dla’if. Tetapi menurut at-Tirmidzi, kalangan ahli ilmu boleh mengamalkan hadits ini. Ini karena seakan-akan al-Bukhari juga bersandar pada hadits ini dengan alasan sudah disepakati.

Ijma’ ulama juga menjelaskan hal ini. Al-Hafidz mengatakan, “Ulama telah sepakat bahwa melaksanakan pelunasan hutang lebih didahulukan dari pada melaksanakan wasiat.” Dalam kitab at-Takhlish diterangkan, “Sekalipun Harits dianggap lemah dalam periwayatan hadits, ijmak tetap meyakini dan menerima hadits yang dia riwayatkan.”

48 Dlaif: HR. Ahmad, vol. 1, hal. 79, HR. Tirmidzi, hal. 2094, HR. Ibn Majah, hal. 2715, HR. At-Thayalusi, hal. 179, HR. Al-Baihaqi, vol. 6, hal. 267. semua riwayat ini dari jalur Abu Ishaq al-Hamdani dari al-Harits dari Ali. Maksud Bani Allat adalah: saudara-saudara ayah (paman-bibi).

(37)

ORANG YANG DIBERI WASIAT MEMBAYAR HUTANG SI MAYIT TANPA PERSETUJUAN AHLI WARISNYA

Jabir bin Abdullah al-Anshari menceritakan bahwa ayahnya gugur sebagai syuhada pada perang Uhud. Dia meninggalkan enam anak perempuan serta banyak hutang pada ahli warisnya. Maka, saat potongan-potongan pohon kurma disodorkan pada Rasulullah, saya lalu mendatangi beliau seraya berkata, “Ya Rasulullah, engkau telah mengetahui bahwa ayahku telah gugur di medan perang Uhud dengan meninggalkan banyak hutang pada kami, saya senang bila orang-orang yang memiliki hutang padamu melihat padamu. Rasulullah SAW lalu bersabda, “Pergi dan tanamlah semua kurma kering dengan sisi sejajar.” Saya pun melaksanakannya. Lalu saya memanggil Rasulullah SAW. Ketika mereka (orang-orang yang memilki hutang pada Rasul) melihat beliau, mereka menyembunyikan hal itu dariku. Melihat kelakuan mereka, Rasulullah berkeliling tiga kali di sekitar mereka sambil menanam kurma. Kemudian beliau duduk seraya berkata, “Panggil teman-temanmu.” Mereka pun lalu menghitungnya, dan mereka tetap melakukan hal itu sampai amanat ayahku terlaksana. Demi Allah saya menerima dengan senang hati ketika Allah meluluskan amanatnya. Saya juga tidak mengembalikan satu kurma pun pada saudara-saudara perempuan saya.

Demi Allah, semua kurma yang beliau timbun tetap hidup seolah tidak pernah diambil satu kurmapun darinya.49

Ijma’ juga mengatakan kebolehan akan hal tersebut:

Dalam kitab al-Fath (5/485), al-Hafidz mengatakan, “Menurut ad-Dawudi, semua ulama sepakat akan kebolehan orang yang diberi wasiat si mayit untuk membayar hutangnya sekalipun tanpa izin ahli waris.”

(38)

HUTANG YANG MENGHASILKAN KEUNTUNGAN ADALAH RIBA

Abdullah bin Amr meriwayatkan, “Rasulullah SAW bersabda: pinjaman dengan bunga, jual beli yang berat sebelah, pemberian dua syarat dalam transaksi jual beli, dan mengambil untung tidak diperbolehkan selama belum terjadi saling terima, tidak boleh pula menjual barang yang bukan miliknya.”50

Pendapat al-Khattabi ra dalam kitab Ma’alim as-Sunan (3/771-772) hasyiah dari kitab as-Sunan, “Tidak boleh pinjam-meminjam dengan bunga dan juga jual beli yang tidak ketahui’ yang disebut dalam hadits di atas adalah termasuk bentuk transaksi yang dilarang sebagaimana telah dijelaskan, yakni larangan Nabi SAW tentang dua transaksi jual beli yang dijadikan satu seperti perkataan : saya jual budak ini padamu dengan harga lima puluh dinar dengan syarat kamu harus menyerahkan seribu dirham padaku atas makanan yang saya jual padamu sampai batas waktu tertentu. Atau perkataan: saya jual barang ini padamu dengan harga demikian, tetapi dengan syarat kamu harus meminjamkan uang sebesar seribu dirham kepadaku. Makna dari lafadz

فلسلا

adalah hutang dengan bunga, dan hal ini tidak diperbolehkan. Karena terkadang seseorang memberi hutang yang berbunga dengan harga yang disepakati dan berat sebelah, maka penetapan harga tersebut termasuk dalam penetapan zaman jahiliyah. Sebab utama adalah karena setiap hutang yang menghasilkan keuntungan adalah riba.

Atsar-atsar (perkataan sahabat) yang menjelaskan tentang hutang yang berbunga: Atsar Abdullah bin Salam ra. Diriwayatkan dari Sa’id bin Abi Bardah dari ayahnya,

“Saya pergi ke Madinah dan bertemu Abdullah bin Salam ra, dia mengatakan: “Kenapa kamu tidak datang dan masuk rumahku, saya akan menjamu kamu dengan makanan dari tepung dan kurma?” Dia menambahkan: “Kamu sekarang berdiri di tanah riba yang dengannya orang dapat menjadi sombong dan berbangga diri. Jika kamu mempunyai hak atas seseorang lalu saya memberimu satu ikat jerami, setumpuk tepung atau qat (jenis tumbuh-tumbuhan di arab), maka itu adalah riba.51

50 Hasan: HR. Ahmad, vol. 1, hal. 79. HR. Abu Bakar al-Hanafi dan ad-Dlahak bin Utsman dari Amr dari ayahnya dari kakeknya, HR. Abu Daud, hal. 3504, HR. Tirmidzi, hal. 1234, “Ini adalah hadits hasan shahih.” 51 Shahih: HR. Bukhari, hal. 3814. Menurut al-hafidh, vol. 7, hal. 163, qat: jenis tumbuhan untuk makan ternak. HR. Abdurrazaq, al-Mushannaf, hal. 1463, HR. Al-Baihaqi, vol. 5, hal. 349.

Referensi

Dokumen terkait

Ketika syarat dan Rukun pernikahan tersebut telah terpenuhi maka pernikahan tersebut sah menurut Ajaran Islam meski dilakukan secara siri (diam-diam) maupun ramai-ramai, akan

Puji Syukur atas kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyeleseikan penyusunan skripsi yang berjudul

Bila diatas jalur penggalian terdapat tiang-tiang listrik, telepon, atau sarana lainnya, maka Instalatur agar mengamankannya dengan mengadakan dan memasang

Tabel 4.2 Profil Berpikir Kritis Siswa Pada Pembelajaran Matematika Dengan Model Kooperatif Tipe TSTS Dengan Pendekatan Open Ended

Faktor saran dari wiraniaga, besarnya pengeluaran konsumen, pengetahuan varian es krim, manfaat, tempat pembelian, dan kepribadian adalah faktor-faktor yang menurut persepsi

Berdasarkan klasifikasi Travis (1955), batuan dengan dominasi mineral-mineral diatas merupakan batuan Diorit Porfiri yang merupakan batuan beku dalam. Pengamatan mineral pada

Selanjutnya, bertitik tolak dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2011 – 2016, Rencana Kerja Pemerintah

bersangkutan, baik jaog disusun oleh wartawannja sendiri maupun jang bersumber dari kantor-kantor berita, masih banjak jang belum baik bahasanja. Alangkah akan besar