• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAPAT PARA IMAM MENYANGKUT BAB DI ATAS

Dalam dokumen Hukum Hutang Piutang Terlengkap (Halaman 40-44)

Imam malik ra mengatakan, “Tidak boleh mengambil hadiah dari orang yang

mempunyai hutang padanya, kecuali bila sudah diketahui sebelumnya oleh keduanya, dan dia (yang memberi hutang) mengetahui bahwa hadiah tersebut bukan untuk membeyar hutang.

Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I, dan para pengikutnya mengatakan, “Jika

dalam pengembalian hutang seseorang mensaratkan lebih, maka hal itu menjadi haram. Begitu pula jika orang yang berhutang disyaratkan agar memberi hadiah. Jika pemberian hadiah tersebut tanpa disyaratkan sebelumnya, maka hal itu boleh.

Mereka mengatakan, “Setiap hutang yang menghasilkan keuntungan dan tidak mengendung kebaikan sedikitpun adalah haram.” Ibrahim juga meriwayatkan hal yang serupa.

At-Thahawi mengatakan, “Menurut ulama, keharaman menyangkut keuntungan yang

dihasilkan dari hutang tersebut adalah apabila disyaratkan sebelumnya. Jika pemberian hadiah tidak disyaratkan sebelumnya, maka maka hal itu boleh, begitu pula jika dia makan makanan yang disediakan olehnya (orang yang berhutang). Sedangkan menurut al-Laits bin Saad, menerima hadiah atau makan makanan dari orang yang berhutang padanya adalah perbuatan makruh.

Ubaidillah bin al- Hasan mengatakan, “Seseorang dibolehkan menerima hadiah dari

orang yang berhutang padanya. Yakni setelah Ibn Abdil Barr mengutip pendapat para imam terdahulu dalam kitab al-Istidzkar,57 “Ijma’ telah memutuskan bahwa memberikan persyaratan dalam salah satu transaksi di atas adalah termasuk riba. Maka transaksi pertama (jika terjadi dua transaksi jual beli yang dijadikan satu) adalah dibolehkan dan mempunyai dalil yang jelas, dan transaksi jual beli yang kedua adalah diharamkan dan mempunyai dalil yang jelas pula.

Menurut saya, “Pendapat terakhir Ibn Abdil Barr adalah pendapat yang masih umum

dan masih membutuhkan penjelasan yang lebih rinci dan jelas. Jika seseorang berhutang dan bermaksud mengembalikannya lebih dari hutangnya tanpa ada syarat sebelumnya, maka hal ini diperbolehkan dan dalilnya sudah jelas. Tetapi apabila pada waktu memberikan hutang dia mensaratkan agar pengambaliannya dilebihkan, maka hal ini

diharamkan dan sudah jelas dalilnya.

Al-Khirqi mengatakan, “Murtahin (orang yang menerima barang gadaian) tidak boleh

memanfaatkan sedikitpun dari barang gadaian kecuali dari hewan yang dapat kendarai dan diambil susunya, maka dia boleh mengendarai dan mengambil air susunya sesuai dengan kadar makanan yang dia (murtahin) berikan pada hewan itu.

Dalam kitab asy-Syarh Ibn Qudamah mengatakan, “Pendapat mengenai masalah barang gadaian ini dapat digolongkan menjadi dua kelompok. Salah satunya adalah, barang yang tidak membutuhkan biaya hidup seperti rumah dan perabotan-perabotannya, dan hal-hal lain yang serupa. Maka murtahin tidak boleh memanfaatkannya tanpa seizin rahin (orang yang menggadaikan), dia boleh memanfaatkannya tetapi harus membayar ganti bila ada kerusakan atau kekurangan. Dan menjadikan barang gadaian sebagai hutang juga tidak diperbolehkan, karena hal itu termasuk dalam hutang yang menghasilkan keuntungan, yang demikian itu adalah haram.58

Dalam kitab Majmu’ al-Fatawa, syaikhul islam Ibn Taimiyah ra mengatakan, “Saya pernah ditanya, bagaimana jika seseorang mempunyai sebidang tanah yang dikerjakan dengan upah empat ratus dirham per liter. Lalu dia menyerahkan tanah itu pada para petani untuk dikerjakan dengan upah dua ratus dirham lebih per liternya, mereka lalu memutuskan menjadi tujuh ratus dirham per liter, apakah itu termasuk riba?”

Saya jawab, “Alhamdulillah, setiap hutang yang dimanfaatkan untuk mengambil keuntungan, maka itu adalah riba. Seperti halnya jual beli dan sewa menyewa, yakni berat sebelah dengan adanya pemihakan pada transaksi jual beli dan barang sewaan yang akan dihutangkan.”

Maksud dari “Tidak boleh pinjam-meminjam dengan bunga dan juga jual beli yang berat sebelah”59 adalah misalnya seseorang memberi hutang, kemudian orang yang diberi hutang membeli barang dagangan dengan uang tersebut, lalu ia jual seharga 150 dirham, maka kelebihan limapuluh dirham itu adalah riba. Demikian pula jika seseorang memberi hutang, lalu orang diberi hutang menyewakannya pada orang lain dengan harga dua dirham lebih banyak, maka dengan satu dirhamnya dia memperoleh keuntungan sebesar dua dirham. Bahkan termasuk perbuatan yang dilakukan oleh para pengajar, mereka berhutang dan cenderung akan mengambil keuntungan dengan disewakan, itu adalah riba. Demikian

58 Al-Mughni, vol. 6, hal. 509.

59 Hasan: HR. Abu Daud, hal. 3504, HR. Tirmidzi, hal. 1234, “Ini adalah hadits hasan shahih.”, HR. Ahmad, vol. 2, hal. 174, 179. semua riwayat ini dari jalur Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya sebagai hadits marfu’, silsilah ini diambil dari silsilah yang semua haditsnya masuk dalam kategori hasan.

pula jika seseorang menyewakan tanah, rumah, atau toko dengan harga seratus dirham. Lalu orang yang menyewakan dengan sengaja mengakhirkan pembayaran dengan maksud akan mengambil keuntungan lima puluh dirham dari padanya, maka hal itu adalah riba.”

Menurut Imam as-Syairazi dalam kitab al-Muhadzdzab60, “Hutang yang digunakan untuk mengambil keuntungan adalah diharamkan. Seperti seseorang yang memberi hutang dengan syarat orang yang akan diberi hutang menjual rumahnya pada yang memberi hutang. Atau pengembaliannya harus lebih baik dan lebih banyak dari hutangnya. Atau dengan mengirim suftaj(wesel)61 dengan maksud akan diambil di tempat lain atau di perjalanan. Dalil yang menjelaskan keharaman hal tersebut adalah hadits riwayat Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Haram pinjam-meminjam dengan bunga dan juga jual beli yang berat sebelah.”

Lafadz

فلggسلا

sama artinya dengan

ضرggقلا ,

hanya saja lafadz

فلggسلا

berasal dari bahasa Hijaz.

Ubai bin Ka’ab meriwayatkan dari Ibn Mas’ud dari Ibn Abbas ra bahwa mereka telah dilarang Rasulullah akan hutang yang dimaksudkan untuk mengambil keuntungan.”

Hal di atas adalah termasuk akad yang dimaksudkan untuk memperoleh untung, karena jika demikian, maka hal itu akan keluar dari makna esensialnya.

Ringkasan Masalah:

Menjadikan hutang sebagai sumber pencarian keuntungan yang disyaratkan atas orang yang berhutang adalah haram.

Contohnya adalah seperti ucapan: saya akan memberi hutang padamu dengan syarat kamu harus bekerja untukku dengan upah yang lebih sedikit dari upah umum. Atau seperti ucapan: saya akan memberi hutang padamu dengan syarat kamu harus menjual demikian. Atau: saya akan memberi hutang padamu dengan syarat kamu harus menyewakan rumah atau tokomu padaku. Sehingga dengan pensyaratan itu, pemberi hutang memperoleh harga miring kurang dari harga biasanya. Maka semua hal di atas diharamkan, karena ijma’ ulama mengatakan hal tersebut.

Tentang hadits Nabi SAW yang artinya : Tidak boleh pinjam-meminjam dengan bunga dan juga jual beli yang berat sebelah, adalah sebagai berikut:

60 Lih. Al-Majmu’ Syarh Muhadzab, vol. 13, hal. 170.

61 Suftajah: bahasa Persia (oleh pensyarah kitab at-Takmulah), artinya: peminjam mengirim surat kilat pada pemberi pinjaman, bahwa dia akan membayar di tempat lain. Surat ini Pada zaman sekarang disebut dengan telegram.

Jika tidak ada pensyaratan dalam pengembalian atau bahkan orang yang berhutang memang bermaksud mengembalikan lebih dari hutangnya dengan senang hati, maka hal itu tidak menjadi masalah, sebab Rasulullah SAW juga melakukan hal itu, juga sabda beliau, “Yang paling baik di antara kamu adalah orang yang mengembalikan hutang dengan baik.”

Sedangkan jika orang yang berhutang bermaksud memberi hadiah atau menjamu makan pada orang yang memberinya hutang, maka sebagian ulama menghukuminya makruh kecuali jika hadiah dan jamuan makan tersebut sudah diketahui oleh keduanya sebelum akad, maka tidak menjadi masalah dan hukumnya tidak makruh.

BOLEH MENGEMBALIKAN LEBIH DARI HUTANG YANG SEBENARNYA

Dalam dokumen Hukum Hutang Piutang Terlengkap (Halaman 40-44)