• Tidak ada hasil yang ditemukan

SUFTAJAH (WESEL) Definisi:

Dalam dokumen Hukum Hutang Piutang Terlengkap (Halaman 123-126)

Kalimat ini sebenarnya kata yang diadopsi dari bahasa Persia yang pada asalnya adalah “suftaj”yang berarti sesuatu yang dihukumi, dan kata jamaknya adalah “safatij”.

Menurut para ahli ilmu fiqh, suftajah adalah secarik kertas yang atau cek yang ditulis seseorang untuk wakilnya atau orang yang berhutang kepadanya yang berada di Negara lain yang mengharuskan orang itu membayar dan menyampaikan hutang tersebut kepada seseorang yang telah memberikan pinjaman serupa kepadanya, dan orang tersebut berada satu wilayah (negara) dengannya.

Hukum pemberlakuan suftajah:

Para ulama berbeda pendapat untuk memperbolehkan atau melarang pemberlakuan hal ini. Sebagian dari mereka berpendapat bahwasanya suftajah tidak diperbolehkan jika mensyaratkan perkara tersebut diperkarakan di negara lain. Para ulama yang sepakat dengan hal tersebut diantaramya adalah ulama Hanafiah188, Maliki dan Syafi’I189, Sedangkan para ulama Hanabilah190 berpandapat bahwasanya suftajah termasuk interaksi yang mengambil keuntungan, dan mereka memasukkan dan menjelaskannya dalam bab hutang yang mendatangkan kemanfaatan.191

Para ulama yang berpendapat bahwasanya suftajah boleh diberlakukan diantaranya sebagai berikut:

Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni (6/436-437): Atha’ berkata: sesungguhnya Ibnu Zubair mengambil dirham di mekkah dari suatu kaum, kemudian dia menulisnya untuk Mas’ab bin Zubair di Irak kemudian mereka mengambilnya. Ketika Ibn Abbas ditanya akan hal ini, dia melihat tidak ada kebolehan didalamnya.192

Diriwayatkan dari Ali RA, dia ditanya oleh seseorang tentang masalah ini dan dia tidak melihat kebolehan didalamnya.193

188 Hasyiah Ibn Abidin atas Rad al-Mukhtar (5/350)

189 Asna al-Muthalib fi al-Fiqh as-Syafi’I (2/142), Ibn Qudamah, al-Mughni (6/436)

190 Riwayat ini dianggap dhaif dan selainnya dianggap shahih oleh Ibn Taimiyah seperti yang diungkapkan dalam kitab al-Fatawa (29/530), Ibn Qudamah, al-Mughni (6/436)

191 Telah dibahas pada bab terdahulu tentang hutang yang mendatangkan kemanfaatan

192 Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam kitab as-Sunan (5/352) melalui Said bin Manshur dari Hasyim dari Hajjaj bin Artho’ah dari Atha’. Menurut saya, selain Hajjaj bin Athr’ah, semua perawinya terpercaya. 193 Al-Baihaqi, dalam kitab as-Sunan (5/352) berkata: ini diriwayatkan dari Ali. Syaikh Nashiruddin al-Albani berkata dalam kitab al-Irwa’ (5/238): saya tidak menemukan sanadnya.

Al-Qadhi menceritakan: sesungguhnya al-Laushy telah meminjam harta anak yatim di Negara lain dan dijual di Negara sendiri untuk mendapatkan keuntungan.

Memperbolehkan suftajah dianggap lebih baik karena merupakan maslahah bagi kedua belah pihak dengan tanpa merugikan salah satu dari mereka. Selain itu, hukum syariat tidak menunjukkan pengharaman atas pemberlakuan suftajah karena memang tidak berdampak buruk, bahkan syariat menganjurtkan pelaksanaannya. Kemudian karena tidak ada nash yang melerangnya, maka suftajah wajib dimasukkan dalam kategori boleh-boleh saja.

Menurut Ibnu Taymiyah dalam kitab al-Fatawa (29/530): dia ditanya oleh seseorang “bolehkah jika seseorang meminjamkan dirham (sebagai modal) kepada orang lain untuk digunakan di negara lain?” kemudian beliau menjawab: “jika kamu meminjamkan dirham (sebagai modal) kepada orang lain untuk digunakan di negara lain, semisal orang yang meminjam membawa dirham ke negara lain dan orang yang meminjamkan dirham itu berada di negara yang lain dan pada saat itu dia sedang membutuhkannya, kemudian dia menulis suftajah kepada orang yang memberinya pinjaman, maka ini sah-sah saja.

Sebagian ulama (sebagaimana telah disebutkan sebelumnya) berpendapat bahwasanya pemberian modal dilarang karena itu adalah pinjaman yang mendatangkan kemanfaatan dan pinjaman yang mendatangkan kemanfaatan adalah riba.

Pendapat yang lebih baik adalah pendapat yang memperbolehkan suftajah karena kemanfaatan yang ada didalamnya lebih besar dari pada kemudharatannya. Dalam perjalanan, mereka lebih aman dan terjaga.

Allah juga tidak melarang kita dari sesuatu yang bermanfaat bagi kita, Dia melarang kita dari sesuatu yang berbahaya bagi kita.

Seandainya orang yang berhutang menunda untuk membayar hutangnya dari orang yang memberikan pinjaman, apakah dia akan dijatuhi sanksi materi oleh

hakim karena hal tersebut?

Apakah penggantian kerugian ini termasuk dalam kategori riba Qardhi yang mendatangkan manfaat yang diharamkan ataukah masuk dalam kategori mengembalikan hak seseorang dan qishash???

Saya berpendapat bahwasanya penundaan dalam membayar hutang tidak diperbolehkan. Semisal orang yang berhutang telah mampu membayar hutangnya akan

tetapi dia menunda-nunda waktu pembayaran tersebut. Dan sebab itu, hakim boleh menjatuhkan sanksi berupa denda material kepada orang yang berhutang sesuai dengan yang dibelanjakan oleh orang yang memberikan hutang dan karena mengabaikan pelaksanaan pembayaran hutang. Hal ini tidak masuk dalam bab riba Qardhi yang mendatangkan manfaat tetapi masuk dalam bab hukuman dan denda berdasarkan hadits nabi Muhammad SAW: “orang yang sudah mempunyai harta tapi dia masih menunda-nunda untuk membayar hutang, maka dia dikenai sanksi dan denda”.

Jika kamu berkata: para ulama menafsirkan uqubah dengan penahanan, maka saya akan bertanya: dari penahanan tersebut, keuntungan apakah yang akan didapatkan oleh orang yang memberikan hutang? Siapakah yang akan mengganti hutang yang

ditanggungnya? Allah SWT berfirman:

Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).(QS. Ar-Rahman: 60)

Sanksi ini termasuk dalam bab Qishash dan Mu’aqabah. Akan tetapi, sanksi itu telah berbeda dengan tujuannya, yaitu membayar hutang. Yang seharusnya disanksi dengan melunasi hutangnya, malah disanksi dengan sesuatu yang tujuannya berbeda dengan hal itu. Allah SWT berfirman:

Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, (QS.As-Syuraa: 60)

Saya mencoba memahami fatwa-fatwa syaikh Ibnu Taimiyah dengan contoh seperti apa yang saya sebutkan sebelumnya dan segala pujian dan sanjungan hanyalah bagi Allah: beliau ditanya (fatawa, 30/24) tentang orang yang mempunyai hutang namun dia enggan untuk membayarnya sampai dia diadukan kepada hakim, kemudian dia mau membayar hutangnya. namun, orang yang mengadukan tersebut telah mengalami kerugian berupa ongkos. Apakah kerugian itu ditanggung oleh orang yang berhutang atau tidak?

Kemudian beliau menjawab: Alhamdulillah, jika seseorang memiliki kewajiban dan dia mampu melaksanakan atau memunaikan kewajiban itu akan tetapi dia

memunda-nundanya hingga memaksanya untuk mengadukannya kepada hakim, maka sanksi yang seharusnya diberikan adalah sanksi karena dia telah berbuat dzalim dengan menunda-nunda pembayaran hutang yang melampaui batas.

Dalam dokumen Hukum Hutang Piutang Terlengkap (Halaman 123-126)