Apakah orang yang memberi hutang boleh memajukan sebagian pembayaran sebelum tiba waktu pelunasan hutang dengan konsekuensi nominal hutang yang harus dibayar oleh orang yang berhutang menjadi berkurang?
Ulama salaf, tabi’in dan para ulama madzhab berbeda pendapat mengenai masalah ini. Ada yang memperbolehkan dan ada yang melarangnya.
Ibn Abbas adalah yang termasuk memperbolehkan hal ini (Al-Mushannaf: [8,72] hal. 14361-14362). Abdurrazaq meriwayatkan, “Muammar menceritakan kepada kami dari Ibn Thawus dari ayahnya ari Ibn Abbas ra, bahwa beliau pernah ditanya tentang seorang yang mempunyai hutang dengan tenggang waktu tertentu, orang yang memberi hutang mengatakan, “Percepatlah pembayaran hutangmu, maka saya akan memperingan hutangmu.” Lalu Ibn Abbas menjawab, “Hal seperti ini boleh dilakukan.”
Sedangkan menurut riwayat at-Tsauri dari Amr bin Dinar, “Ibn Abbas pernah ditanya tentang masalah ini, tetapi dia menjawab bahwa hal itu tidak boleh dilakukan.” Hal senada juga berasal dari riwayat Ibn Uyainah dari Amr dan Ibn Abbas (Shahih).
Tabi’in yang Memperbolehkan;
Ibrahim an-Nakhai, “Abdurrahman meriwayatkan ([8,73] hal. 14363-14369), “At-Thusi menceritakan kepada kami dari Hammad dan Manshur dari Ibrahim tentang seseorang yang mempunyai hutang dengan tenggang waktu, lalu orang yang memberi hutang mengatakan, “Percepatlah pembayaran hutangmu, maka saya akan memperingan hutangmu.” Ibrahim menjawab bahwa hal itu diperbolehkan.
Juga dari Ibrahim an-Nakhai, “Ibn Uyainah menceritakan kepada kami dari Ismail bin Abi Khalid, dia berkata, “Saya mengatakan kepada Syu’ba: ketika Ibrahim ditanya tentang masalah di atas, dia mengatakan bahwa hal itu diperbolehkan.
Yang menjadi dalil bagi ulama yang memperbolehkan adalah hadits riwayat ad-darqathni [3612] dari Abdullah bin Muhammad bin Abdul Aziz bin Mani’ dari Abdullah bin Amr al-Qawariri dari Muslim bin Khalid az-Zunji dari Muhammad bin ali bin yazid bin Rukanah dari daud bin al-Hashin dari Ikrimah dari Ibn Abbas ra, “Bani Nadlir berkata kepada Rasulullah ketika beliau mengusir mereka, “Ya Rasulullah, engkau akan mengusir
kami, sedangkan kami masih memilki banyak tanggungan hutang,” Maka Rasulullah SAW bersabda, “Bayarlah sebagian hutangmu dan majukan pembayarannya!”78
Ahli fiqh yang membolehkan;
Abu Tsaur. Ibn Qudamah mengutip pendapat Abu Tsaur dalam kitab al-Mughni (6/109),
“Menurut riwayat dari Ibn Abbas, beliau mengatakan bahwa hal tersebut diperbolehkan. Riwayat serupa dari an-Nakhai dan Abu Tsaur, “Karena orang yang memberi hutang telah mengambil sebagian hutang yang menjadi haknya dan membiarkan sisanya, maka dia boleh meringankan hutang yang menjadi tanggungan orang yang berhutang.”
Pengikut Abu Hanifah: Ibn Abdil Barr mengutip pendapat mereka dalam kitab
al-Istidzkar [20/262] dari at-Thahawi, “Diriwayatkan dari Muhammad bin Abbas dari Yahya bin Sulaiman al-Juhfa dari al-hasan bin Ziyad dari Dhafir tentang seseorang yang mempunyai hutang seribu dirham berupa harta atau barang jaminan sampai satu tahun lamanya. Lalu dia diberi keringanan dengan hanya membayar limar ratus dengan kontan. Hal ini diperbolehkan.
Ulama yang Melarang;
Jumhur Ulama Salaf , Tabi’in dan Empat Imam Madzhab. Ulama Salaf yang tidak memperbolehkan;
Umar dan Ibn Umar ra. Abdurrazaq dalam kitab al-Mushannaf [14359] mengatakan, “Ibn
Uyainah meriwayatkan kepada kami dari Amr bin Dinar, dia berkata, “Abu al-Minhal Abdurrahman bin Muth’im meriwayatkan kepadaku, “Saya bertanya pada Ibn Umar tentang seseorang yang mempunyai hutang padaku dengan tenggang waktu dan saya lalu mengatakan padanya, “Percepatlah membayar hutang, maka saya akan memperingan hutangmu. Tetapi setelah saya ceritakan, Ibn Umar melarangku berbuat demikian. Beliau mengatkan, “Amirul Mukminin telah melarang kita menukar barang dengan hutang.”79
Abdurrazaq (14354), “Muammar menceritakan pada kami dari az-Zuhri dari Ibn al-Mushib dari Ibn Umar, “Barang siapa mempunyai hak atas seseorang dengan tenggang waktu tertentu, lalu dia meminta agar pembayarannya dipercepat sebagian, dan supaya
78 Dlaif: HR. Al-hakim dalam al-Mustadrak, vol. 2, hal. 52 dari jalur Muslim bin Khalid bin az-Zanji, dia lemah dlam periwayatan. Ad-Darqathni (as-Sunan vol. 3, hal. 37) mengatakan, “Periwayatan Muslim bin Khalid diragukan, hafalannya buruk dan lemah. Menurut saya: riwayat Daud bin al-Hashin dari Ikrimah adalah diragukan dan dlaif.
sisanya dibayar belakangan, maka praktik seperti ini adalah riba. Muammar mengatakan, “Saya melihat bahwa para sahabat dan tabiin membenci prektik demikian.”80
Riwayat Imam Malik (Al-Muwaththa’ 672), “dari Utsman bin Hafsh bin Khaldah dari Ibn Syihab dari Salim bin Abdullah dari Andullah bin Umar bahwa beliau pernah ditanya tentang seseorang yang mempunyai hutang dengan tenggang waktu tertentu lalu orang yang memberikan hutang memperingan agar segera membayar sebagian hutangnya dan sisanya dilunasi belakangan, Ibn Umar menjawab bahwa hal itu tidak diperbolehkan dan harus ditinggalkan.81
Zaid bin Tsabit ra. Riwayat Imam Malik (Al-Muwatha’ 672)82, “Dari Abi Zannad dari basr dari ibn Sa’id dari Ubaid Abi Shalih penguasa as-Sufah: Saya membeli kain pada penduduk kota Nakhli dengan pemberian tenggang waktu. Saat akan menuju kota Kuffah, mereka menawarkan agar saya membayar sebagian harga dulu dan sisanya dibayar nanti. Lalu saya menanyakan hal itu pada Zaib bin Tsabit, beliau menjawab, “Jangan, saya menyuruhmu agar mengambil barang itu dan jangan kamu pisah-pisahkan pembayarannya.”
Tabi’in yang tidak memperbolehkan;
Sa’id bin al-Musib ra. Abdurrazaq (14357-14358), “Dari at-Tsauri dan Ibn Uyainah dari
Daud bin abi Hindi, “Saya pernah bertanya pada Sa’id bin al-Musib tentang hal ini, beliau menjawab, “Itu adalah penukaran dirham yang diberi tenggang waktu, tetapi dibayar dengan dirham yang lebih sedikit dengan mendahulukan pembayaran.”83
Al-Hasan dan Ibn Sirin ra. Abdurrazaq (14356)84, “Dari hisyam dari al-hasan dan Muhammad, bahwa mereka berdua membensi praktik yang demikian, mereka mengatakan, “Kamu boleh menerima tawarannya bila kamu memang ingin membayar lunas sekaligus sebelum waktunya dan tidak memisah-misahkan pembayaran.”85
80 Shahih Ilaih: Hr. Baihaqi dari jalur malik, vol. 6, hal. 28.
81 Shahih lighairihi: Ibn Hubban menganggap tsiqah Utsman bin Hubban, juga Ibn Abdil Barr dalam at-ramhid. Bukhari menyebut hadits ini dalam at-Tarikh al-Kubra termasuk dalam hadits munkar, Bukhari mengatakan, “Saya tidak tahu, dia apakah Utsman Ibn Abdurrahman. Tetapi ada yang mempersaksikan bahwa ini adalah shahih.
82 Para perawinya tsiqah. Juga diriwayatkan oleh Baihaqi dari jalur malik, vol 6, hal. 28, HR. Abdurrazaq dalam al-Mushannaf, hal. 14355 dari at-Tsauri dari Ibn dzakwan dari Basr bih.
83 Shahih: ini adalah jual beli yang diharamkan, termasuk riba. Karena Nabi SAW telah melarang jual beli emas dengan emas serta perak dengan perak kecuali bila saling menerima barang, saling merelakan dan masing-masing barang sama takarannya.
84 Shahih: Baihaqi juga meriwayatkan ini, vol. 10, hal. 335.
85 Maksudnya dari “Kamu boleh menerima tawarannya bila kamu memang ingin membayar lunas” adalah: dia boleh menerima tawarannya, seperti perabot rumah, baju atau barang bermanfaat lain selain mata uang dirham dan dinar. Transaksi ini termasuk dalam kategori jual beli sebagian dirham dengan dirham lain sebagaimana telah ditegaskan oleh Said Ibn al_Musib. Menerima tawaran diperbolehkan bila dalam
As-Syu’ba dan al-Hikam bin Utaibah ra. Abdurrazaq, “Dari Uyainah dari Ismail bin Abi
Khalid, dia mengatakan, “Saya berkata pada Syu’ba, “Tentang seseorang yang mempunyai hutang lalu dia membayar sebagian dan sisanya akan menyusul, Ibrahim mengatakan bahwa hal itu diperbolehkan. Tetapi al-Hikam bin Utaibah membenci hal tersebut. Syu’ba lalu mengatakan, “Al-hikam benar sedangkan Ibrahim salah.”86
Imam Madzhab yang tidak memperbolehkan.
Empat Imam Madzhab ra. Ibn Qudamah (Al-Mughni 6/109), “Seseorang mempunyai hak
atas hutang yang diberi tenggang waktu, lalu dia mengatakan pada orang yang berhutang padanya, “Bayarlah sebagian hutangmu agar kamu dapat segera melunasinya.” Praktik seperti di atas tidak diperbolehkan. Zaib bin Tsabit, Ibn Umar, Miqdad, sa’id bin al-Musib, Salim, al-hasan, al-Hummad, al-Hikam, as-Syafi’I, Malik, at-Tsauri, Hasyim, Ibn Ilyah, Ishaq, dan Abu Hanifah juga telah menyepakati ketidakbolehan prektik seperti ini.
Imam Malik ra (Al-Muwatha’ 673), “Praktik yang sudah disepakati bahwa hukumnya makruh adalah: seseorang mempunyai hutang sampai waktu tertentu. Dengan membayar hutang dipercepat dari waktu yang sudah disepakati, hutangnya akan lunas hanya dengan membayar sebagian saja. Menurut kami, praktik di atas sama halnya dengan orang yang boleh membayar hutang melebihi dari batas waktu yang ditentukan, tetapi dia harus membayar lebih dari hutangnya.87 Jelas hal ini adalah praktik riba.
Imam Syafi’I, : Jika seseorang mempunyai hutang emas sampai batas waktu tertentu, lalu dia berkata pada orang yang memberinya hutang, “Saya akan membayar hutang sebelum waktu yang telah kita sepakati, tetapi nominal hutang saya harus kamu kurangi.” Hal seperti ini tidak ada manfaatnya.
Ibn Hazm dalam kitab al-Mahalli [8/83] mengatakan, “Menyegerakan pembayaran sebagian hutang sebelum waktunya dengan konsekuensi sisanya dianggap lunas adalah tidak diperbolehkan. Jika hal ini terlanjur terjadi, maka sebagian hutang yang bayarkan harus dikembalikan lagi. Sebab, pensyaratan seperti ini tidak terdapat dalam al-Kitab. Rasulullah SAW juga telah bersabda, “Semua pensyaratan yang tidak terdapat dalam
al-pemberian tenggang waktu tidak ada masalah. 86 Shahih: Mushannaf Abdurrazaq, hal. 14369.
87 Menurut saya: inilah yang dinamakan qiyas syibh oleh ulama ushul. Maknanya adalah: pemberi hutang mengambil pengembalian lebih dari penghutang sebab dia telat membayar hutang, yakni melewati batas waktu yang telah disepakati. Ini adalah praktik riba, haram hukumnya. Sebab kembalian lebih itu dianggap sebagai ganti dari waktu keterlambatan. Begitu pula bila pembayaran diawalkan yang berakibat hutangnya dapat berkurang, ini serupa dengan model riba pertama yang hukumnya juga diharamkan.
Kitab tidak diperbolehkan.”
Dalil-dalil yang menjadi dasar pijakan bagi ulama yang tidak memperbolehkan:
Hadits riwayat al-Baihaqi (6/28) dari Ali bin Ahmad bin ‘abdan dari Ahmad bin Ubaid dari Muhammad bin Yunus dari Ghanim bin al-Hasan bin Shalih as-Saadi dari Yahya bin Ma’la al-Aslami dari Abdullah bin Abbas dari Abi an-Nadlr dari Basr bin Sa’id dari al-Miqdad bin al-Aswad ra, “Saya pernah memberi hutang seratus dinar pada seseorang. Pada waktu itu, Suhma datang dari rombongan yang diutus Rasulullah, lalu saya berkata pada orang yang saya beri hutang, “Percepatlah membayar sembilan puluh dinar dari hutangmu, maka yang sepuluh dinar akan saya anggap lunas.” “Baiklah,” jawabnya. Ketika Suhma mengadukan hal ini pada Rasulullah, beliau lalu bersabda, “Hai Miqdad, kamu telah memakan dan memberi orang itu makan harta riba.”88
Ibn Rusyd (Bidayatul Mujtahid 2/144), “Menurut kami, asal-muasal riba ada lima, yakni;
1. Mundurkan waktu pembayaran hutang saya, maka nanti pada saat mengembalikan hutang, saya akan melebihkannya.
2. Tidak sama dalam takarannya.
3. Perempuan yang menjual perhiasannya.
4. Membayar sebagian hutang dan memajukan pengembaliannya. 5. Menjual makanan yang tidak dia pegang.
Untuk asal yang keempat, hal ini diperbolehkan menurut Ibn Abbas dan sebagian kecil ahli fiqh Mesir, dan tidak diperbolehkan menurut jumhur ulama seperti Ibn Umar dari golongan sahabat, Imam Malik, Abu Hanifah, at-Tsauri dan sebagian besar ulama Mesir. Sedangkan menurut madzhab syafi’I masih ada perbedaan. Alasan utama dari ulama yang tidak memperbolehkan ‘pembayaran sebagian hutang dan memajukan pengembalian’ adalah bahwa hal itu sama dengan melebihkan pembayaran hutang bila waktu pembayaran dimundurkan dari waktu yang disepakati (mengenai masalah ini, semua ulama sepakat menghukuminya haram). Segi kesamaannya adalah sama-sama menjadikan waktu sebagai ukuran nominal hutang yang harus dibayarkan. Jika waktu pembayaran dimundurkan dari waktu yang telah disepakati, maka nominal hutang yang dibayar harus dilebihkan. Begitu pula sebaliknya bila pembayaran dimajukan, maka nominal hutang yang dibayar harus
88 Sangat dla’if: Baihaqi mengatakan hal ini dalam as-Sunan, vol 6, hal. 28. sebab ada Yahya bin Ya’la al-Aslami riwayatnya dianggap munkar.
dikurangi.
Dan alasan utama ulama yang memperbolehkan adalah hadits yang diriwayatkan dari Ibn Abbas, “Bahwa Nabi SAW pernah bersabda pada Bani Nadlir: bayarlah sebagian hutangmu dan majukanlah pembayarannya.
Sebab terjadinya perbedaan di antara ulama adalah ketika menganalogikan segi kesamaan dalam hadits ini.
Identifikasi Masalah
Kemungkinan yang benar adalah pendapat yang mengatakan ketidakbolehan masalah ini. Dengan alasan;
1. Hadits Nabi SAW yang berbunyi “Bayarlah sebagian hutangmu dan majukanlah pembayarannya” telah dibuktikan bahwa hadits tersebut dla’if.
2. Analogi kesamaan yang dilakukan Imam Malik menyatakan bahwa masalah ini termasuk riba yang haram dilakukan.
3. Karena terjadi kesamaan dan kerancuan dalam masalah ini, maka kita harus meninggalkan praktik seperti ini, karena Nabi SAW telah menganjurkan agar kita menjauhi hal-hal yang syubhat (terjadi kerancuan dan kesamaan).
Ketidakbolehan ini adalah pendapat jumhur ulama dari golongan sahabat, tabi’in dan para imam madzhab, sekalipun Ibn Abbas ra memperbolehkannya. Wallau a’alam.