• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAFALAH Definisi kafalah:

Dalam dokumen Hukum Hutang Piutang Terlengkap (Halaman 118-123)

Ketika orang yang berhutang tidak mampu membayar dan hutangnya telah jatuh tempo, seseorang yang dipercaya menjamin orang yang berhutang itu di hadapan orang yang memberi hutang bahwa orang yang berhutang benar-benar akan membayar hutangnya. Menurut para ahli Fiqh,179

Pengumpulan180 tanggungan orang yang menjamin dengan tanggungan orang yang dijamin agar segera meaksanakan kewajiban. Maka hutang kemudian menjadi tanggungan

keduanya, dan orang yang memberi hutang boleh menuntut salah satu dari keduanya.

Pensyariatan kafalah:181

Al-Qur’an:

72. Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan Aku menjamin terhadapnya".

Ibnu Jabir at-Thabary berpendapat bahwasanya yang dimaksud dengan lafadz (wa ana bihi zaiimun), adalah para penyeru itu menjamin bahwasanya orang yang menemukan piala raja akan mendapatkan bahan makanan dengan jaminan dirinya

Kemudian, beliau juga menyebutkan dengan sanad melalui Ibnu Abbas, Mujahid, Said bin Jabir, Qatadah serta Dhihak.182 Ayat tersebut berkisah tentang seseorang yang diutus oleh nabi yusuf yang menjamin akan memberikan bahan makanan dan kemudian mereka berkata “aku menjammin terhadapnya”.

179 Ibnu Qudamah, al-Mughni (7/71)dan al-Umm milik as-Syafi’I (3/342) ini adalah definisi menurut ulama hanafiyah dan syafiiyah, sedangkan ulama malikiyah memiliki pendapat berbeda tentang definisi tersebut, mereka berkata: orang yang memberi hutang tidak seharusnya menuntut haknya kepada orang yang menjamin, kecuali jika orang yang berhutang berhalangan untuk membayar hutangnya.

180 Dikatakan: Dhamin, Kafil, Jamil, Raghim, dan Shabir mempunyai makna yang sama (al-Mughni: 7/72) 181 Jami’ al-Bayan (8/20)

182 Atsar Ibn Abbas di dalam sanadnya terdapat Ali bin Abi Thalhah dari Ibn Abbas, akan tetapi dia tidak mendengarnya secara langsung. Atsar-atsar yang shahih: atsar Mujahid dilihat dari sejumlah jalur

periwayatannya. Atsar Said al-Jabir dari jalur Ibn Basyar dari Ibn Mahdi dari Abdul Wahid bin Ziyad dari Waraqa’. Atsar Qatadah dari Muhammad bin Abdul A’la dari Muhammad bin at-Tsaur dari Muhammar. Sedangkan atsar ad-Dahhak sangan lemah sekali, sebab perawinya adalah Ibn Waki’ dan Jubair. Dalam sanad ini, ada periwayatan yang munqathi’ yakni: “Diriwayatkan padaku dari Husain bin al-Farj.

Sunnah, pertama:

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, “Dari Abu Ashim dari Yazid bin Abi Ubaid dari Salamah bin Akwa’ bahwasanya Nabi Muhammad SAW hendak menshalati orang yang meninggal, kemudian beliau bertanya kepada para jamaah: “apakah dia mempunyai hutang?” dan mereka menjawab “tidak”, kemudian nabi menshalatinya. Pada waktu yang lain, nabi hendak menshalati orang yang meninggal kemudian beliau bertanya: “apakah dia mempunyai hutang?”, mereka menjawab “benar” kemudian nabi bersabda: “maka shalatilah sendiri untuk sahabatmu”

Abu Qatadah lalu berkata pada Nabi, “Saya yang akan menanggung hutangnya ya Rasul”. Maka kemudian Rasulullah bersedia menshalatinya.183

Diceritakan oleh Ismail bin Iyas dari Sarhabil bin Muslim al-Khaulany dari Abi Umamah al-Bahily: saya mendengar Rasulullah bersabda pada tahun Haji wada’: “pinjaman

hendaklah dikembalikan, orang yang meminta-minta hendaklah ditolak, hutang hendaklah dilunasi dan orang yang menanggung hendaklah membayar tanggungannya”184 (HR. Abdurrazaq)

Ijma’:

Ibn Qudamah, al-Mughni, vol. 7, hal. 72, “Umat muslim telah menyetujui akan kebolehan penanggungan hutang. Hanya saja mereka berbeda pendapat dalam masalah cabangnya.”

Kedua:

Diceritakan oleh Abdullah bin Musallamah al-Qa’nabi diceritakan oleh Abdul Aziz (Ibnu Muhammad) dari Amr (Abu Amr) dari Akramah dari Ibn Abbas: sesungguhnya seseorang menjamin bahwasanya dia memiliki sepuluh dinar kemudian dia berkata “demi Allah, aku tidak akan meninggalkanmu sampai kamu membayarku atau memberiku bahan makanan. Kemudian nabi memberinya bahan makanan sesuai yang dijanjikan kemudian Rasulullah bertanya kepadanya: dari mana engkau dapat emas ini? Dia menjawab: dari tambang. Kemudian Rasulullah bersabda: kami tidak membutuhkannya, barang itu tidak ada gunanya sama sekali. Kemudian Rasulullah mengembalikannya”.185(hadits riwayat Abu Daud)

Menurut al-Khitaby RA dalam kitab syarh maalim as-Sunnah (3/47): hadits ini

mengandung tetapnya denda dan tanggungan bagi orang yang menjamin. Mengapa nabi

183 Shahih: HR. Bukhari, hal. 2295, HR. an-Nasai (Bab Jenazah, vol. 4, hal. 65)

184 Hasan: al-Mushannaf, hal. 1630, HR. Ahmad (al-Musnad, vol. 5, hal. 267, 293), HR. Abu Daud, vol. 4, hal. 824-hadits ke 3565, HR. Tirmidzi, hadits ke-1265, menurutnya, hadits ini adalah hasan gharib, HR. At-Thabari, vol. 7, hal. 137, hadits ke-7621.

mengembalikan emas yang diberikan bukan karena emas tersebut berasal dari tambang, bukan juga karena meragukan kepemilikan orang tersebut, melainkan karena emas tersebut tidak di ketahui peredarannya dan karena yang dijanjikan adalah dinar, bukan emas, maka Rasulullah mengembalikannya.

Para ulama lain menafsirkan hadits tersebut dengan tafsiran berbeda. Mereka berpendapat bahwasanya Rasulullah menolak menerima emas itu karena tedapat unsur penipuan

didalamnya. Bisa jadi, orang tersebut mengeluarkan 1/10, 1/5 atau 1/3 dari barang tambang tersebut.

Ketiga:

Dari Laits: diceritakan oleh Jakfar Ibn Rabiah dari Abdurrahman bin Hurmuz dari Abi Hurairah RA dari Rasulullah SAW: seorang bani israil diminta sahabatnya agar memberikan pinjaman 1000 dinar kemudian dia berkata:

“datangkanlah beberapa saksi” “cukuplah Allah yang menjadi saksi” “datangkanlah orang yang menjamin” “cukuplah Allah sebagai penjamin” “kamu benar”

Kemudian orang itu memberikan harta berupa uang itu sampai pada suatu waktu yang telah ditentukan. Kamudian dia pergi kelaut dan melaksanakan kebutuhannya. Ketika sampai pada waktunya, dia mencari perahu untuk mengembalikan uang itu namun dia tidak menemukannya. Maka dia mengambil kayu dan melubanginya, kemudian dia meletakkan 1000 dinar dan selembar kertas, kemudian dia memperbaiki perahu itu, dan menaikinya pergi ke tengah laut dan berdoa: “Ya Allah, Engkaulah yang Maha mengetahui

sesungguhnya saya telah meminjam 1000 dinar kepada seseorang, kemudian dia meminta saya untuk mendatangkan orang yang akan menjamin, dan saya berkata “Cukuplah Allah yang menjadi penjamin”, dan dia menyetujuinya. Dia meminta saya untuk mendatangkan saksi lalu sayapun berkata “Cukuplah Allah yang menjadi saksi”, dan dia menyetujuinya. Saya bersungguh-sungguh memperbaiki perahu itu agar saya bisa sampai pada orang yang memberiku pinjaman akan tetapi saya tidak mampu, maka saya menitipkannya pada-Mu”. Lalu dia melemparkan barangnya ke laut sampai tenggelam. Setelah melemparkan barang tersebut, dia mendapatkan perahu kemudian dia pergi mendatanginya. Sementara itu, orang yang memberikan hutang pergi ke pantai dan melihat-lihat kalau ada perahu yang datang

dan membawa hartanya, tapi ternyata dia hanya menemukan depotong kayu, dan dia mengambilnya untuk dijadikan kayu bakar. Ketika dia menggergaji kayu itu, dia menemukan harta dan sehelai surat.

Ketika orang yang berhutang datang, dia berkata: “Demi Allah, saya telah bersungguh-sungguh mencari perahu untuk mendatangimu, namun aku tidak mendapatkannya”. Kemudian dia bertanya: “apakah kamu pernah mengirimkan sesuatu kepadaku?”. “saya mengabarimu bahwasanya saya tidak menemukan perahu untuk mendatangimu”. “sesungguhnya Allah telah melunasi hutangmu dengan sepotong kayu yang engkau kirimkan kepadaku, dia pergi membawa 1000 dinar dengan pembimbing”186

Syarat sah kafalah:

1. kerelaan kafil atas makful terhadap akad kafalah.

Menurut ibn Qudamah dalam kitab al-Mughni (7/72): kerelaan orang yang menjamin adalah hal yang sangat menentukan. Jika orang yang menjamin (dhamin) tidak menyetujui hal tersebut, maka hal kafalah ini tidak sah dan mayoritas ulama menyetujui hal tersebut.

2. kerelaan makful lahu:

para ulama hanafiah mensyaratkan kerelaan makful lahu karena akad yang mengikat dan diharapkan terjadinya serah terima antara kafil dan makful lahu.

Sedangkan mayoritas ulama berpendapat bahwasanya kerelaan makful lahu tidak disyaratkan berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abi Qatadah yang tidak menjelaskan hal tersebut.187

Jika makful anhu meninggal dunia, apakah kafalah akan putus?

Menurut Ibn Qudamah dalam kitab al-Mughni (7/103): jika makful anhu meninggal dunia maka kafalah terputus dengan sendirinya, dan orang yang menjamin tidak dikenakan sesuatu. Para ulama yang sepakat dengan pendaat ini diantaranya adalah as-Syafi’I, Abu Hanifah, Syarih, as-Syu’ba, dan himad bin Abu Sulaiman.

Sedangkan menurut Hakam, Laits dan Imam Malik sebagaimana diceritakan oleh Ibn Syarih: orang yang menanggung wajib membayar apa yang menjadi tanggungannya karena orang yang menanggung adalah orang yang telah dipercayai, apabila orang yang

186 Shahih, Al-Bukhari (2291), menurut Hafidz Mazi dalam kitab Athraf: diriwayatkan oleh Abi al-Waqt dari Abdullah bin Soleh dari Laits. Al-Hafidz Ibn Hajar berkata dalam kitab al-Fath seperti demikian: diriwayatkan oleh Abu Dzar dari Abdullah bin Soleh ………..

berhutang itu tidak mampu membayar hutangnya seperti halnya Rahn. Apabila orang yang berhutang itu tidak ada, maka orang yang menanggungnyalah yang membayarnya. Bagi kami, kehadiran orang yang berhutang menggugurkan apa yang ditanggung oleh orang yang menanggung, dan orang yang menanggung menjadi bebas. sebagaimana dari hutang, jika orang yang berhutang telah membayar hutangnya, maka dia menjadi bebas.

SUFTAJAH (WESEL)

Dalam dokumen Hukum Hutang Piutang Terlengkap (Halaman 118-123)