• Tidak ada hasil yang ditemukan

Budaya Penduduk Betawi vis-a-vis Penduduk Pendatang di Jakarta

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.5. Budaya Penduduk Betawi vis-a-vis Penduduk Pendatang di Jakarta

Aa (dalam Koentjaraningrat, 1997) orientasi ke agama Islam amat kuat dalam kehidupan sehari-hari etnik Betawi. Kuatnya pengaruh agama Islam menyebabkan mereka memilih belajar mengaji, masuk pesantren atau madrasah. Mereka tidak mau memasuki pendidikan sekolah umum karena sekolah dikaitkan dengan cara hidup orang Kristen (Belanda) atau orang Cina (Koentjaraningrat, 1997). Pendapat ini diperkuat oleh hasil penelitian Andonis (1989) dalam Nilawati (2005) di Kebagusan, Jagakarsa, Jakarta Selatan yang menyimpulkan bahwa orang tua Betawi asli tidak memandang perlu menyekolahkan anaknya sampai ke perguruan tinggi. Yang terpenting bagi mereka adalah dapat membaca

dan menulis terutama yang berkaitan dengan Al Qur‟an. Hal ini pula yang menyebabkan mengapa orang Betawi generasi tua kebanyakan hanya berpendidikan Sekolah Dasar. Sementara itu menurut Aziz (2002) dalam Nilawati (2005), penarikan diri (aloof) yang relatif total terhadap segala yang berbau asing, khususnya Belanda merupakan salah satu cara pengukuhan indentitas sebagai orang Selam.

Pilihan kerja yang dilakukan etnik Betawi apabila tidak bertani adalah bekerja di sektor informal (koentjaraningrat, 1997). Wanita Betawi lebih suka berjualan kue atau menerima cucian yang dikerjakan sendiri di rumah. Pengangguran di kalangan masyarakat Betawi tidak mendorong mereka menjadi pengemis karena sistem sosial kekeluargaan Betawi mengakomodasi anggota keluarga yang menganggur. Implementasi sistem extended family di keluarga Betawi begitu luas dan nyata. Penganggur dibantu meskipun dengan perasaan

tidak senang. Mereka ini umumnya mempunyai sikap ”fatalistik”, terkesan dan

manja karena ditopang oleh kerabat yang tinggal dekat dengannya. Akibatnya

nilai yang berlaku di kalangan etnik Betawi antara lain: (1) rasa solidaritas yang tinggi nilai ini berhubungan dengan nilai gotong royong yang berlaku di kalangan petani; (2) kurang memiliki rasa cemburu dalam arti positif, sehingga kurang memacu diri untuk bekerja keras mengejar ketinggalan terhadap lingkungan yang telah maju pesat; (3) pasrah terhadap nasib dan hidupnya merasa aman dan terjamin dalam lingkungan kerabat dekat; (4) cenderung untuk mengambil keputusan yang merugikan masa depannya sendiri, karena tidak tahan terhadap kesulitan-kesulitan sementara (terutama dalam ekonomi) maka jalan keluarnya adalah menjual lahan yang merupakan faktor produksi terpenting bagi keluarga dan menggunakan hasil penjualan tersebut untuk kepentingan yang tidak produktif.

Selanjutnya, menurut Geertz, 1963, yang diterjemahkan oleh Zainuddin, 1981, secara garis besar susunan kemasyarakatan kota-kota metropolitan di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Palembang dan Ujung Pandang terdiri dari masyarakat diplomat asing dan masyarakat dagang, wakil untuk sementara waktu dari kantor-kantor di negaranya. Kemudian terdapat pedagang asing, terutama orang Cina, India dan Arab yang bergerak dalam bidang perdagangan yang lebih menengah. Selebihnya adalah penduduk Indonesia yang tinggal di kota tersebut.

Penduduk Indonesia yang tinggal di kota-kota metropolitan mempunyai struktur kelas yang masih sulit untuk dipahami, namun setidaknya ada dua dimensi yang memberi kerangka dasar secara kasar, yang pertama berdasarkan struktur sosial dan yang kedua berdasarkan kebudayaan. Dimensi struktur sosial mencakup jenis pekerjaan dan tingkat pendapatan. Sementara dimensi kebudayaan mencakup pola kebudayaan super-kultur metropolitan Indonesia dan berbagai cara hidup tradisional. Kedua dimensi ini saling mempengaruhi dalam bentuk yang amat rumit sehingga menghasilkan suatu penduduk kota yang amat beragam. Karena kebanyakan penduduk kota sekarang ini merupakan pendatang baru atau para pendatang generasi kedua, maka pada umumnya mereka itu bicultural

(berbudaya rangkap). Mereka tetap mempertahankan beberapa aspek dari kebudayaan daerah mereka yang asli untuk beberapa segi dari kehidupan mereka, namun ikut serta dalam super-kultur metropolitan untuk hal-hal yang lain.

Super-kultur metropolitan Indonesia masih dalam proses pembentukan, baru berusia dua atau tiga generasi. Isi super-kultur yang paling maju terdapat dalam bidang ideologi politik, gaya artistik dan kebudayaan material. Sementara itu, ciri khas super-kultur itu yang paling menonjol adalah penggunaan bahasa Indonesia setiap hari, dan hal-hal yang langsung berhubungan dengan bahasa itu adalah sastra Indonesia baru, lagu populer, film dan tulisan-tulisan tentang sejarah, politik, perkembangan ekonomi dan kemajuan bangsa. Ciri-ciri yang dapat dilihat dari para pendukung super-kultur metropolitan Indonesia misalnya, berpendidikan universitas, mampu berbahasa asing, pernah ke luar negeri dan memiliki materi ukuran barat, seperti mobil. Sebagaimana halnya dengan setiap ukuran kebudayaan, hanya golongan elite intelek dan politik dan orang-orang kaya yang tinggal di kota-kota besarlah yang menjadi pendukung super-kultur metropolitan itu sepenuhnya Mereka terdiri dari pegawai-pegawai tinggi pemerintah, para tenaga ahli, para pemimpin partai politik, perwira tinggi militer dan para pengusaha yang berhasil. Kalau status sosial seseorang menurun maka neraca budaya rangkap cenderung lebih berat kepada kebudayaan daerah asalnya.

Dibawah kelompok-kelompok elite kota, terdapat suatu kelas menengah kota. Mereka terdiri dari para pegawai menengah seperti tenaga kesehatan, guru- guru sekolah dan perwira menengah di kalangan angkatan bersenjata dan kepolisian. Mereka cenderung ingin mencapai super-kultur metropolitan. Bagian menengah pekotaan lainnya yaitu buruh ahli seperti tukang jahit, tukang batu, tukang besi juga pedagang pasar atau toko kecil yang berhasil. Selain itu kelompok ini juga mencakup ahli listrik, pekerja jalan, sopir truk atau montir mobil. Beberapa anggota kelas menengah kota adalah pendatang baru yang berasal dari kota kecil atau desa. Sementara yang lainnya adalah keturunan keluarga-keluarga yang telah lama tinggal di kota itu.

Kelompok terakhir adalah golongan proletar kota, yang jumlahnya lebih besar. Mereka terdiri dari para buruh, pembantu rumahtangga, pedagang kaki lima, dan sebagainya. Mereka umumnya tidak mempunyai keahlian tertentu dan berpendidikan rendah bahkan tidak pernah bersekolah. Seiring dengan waktu, jumlah mereka semakin memadati kota-kota besar. Secara sosial dan kebudayaan, mereka tampaknya berada dalam keadaan yang amat berbeda dengan dunia kaum

pegawai dan para pekerja ahli. Sedikit sekali dari mereka yang ingin ikut serta dalam super-kultur metropolitan. Kepatuhan sosial dan identitas kebudayaan adalah terhadap desa tempat asal atau kebudayaan daerah asalnya, walaupun beberapa diatara mereka telah lama tinggal di kota karena nenek-moyang mereka telah bergenerasi-generasi lamanya tinggal di kota sebagai pedagang kecil.

Secara logis para anggota dari kelas sosial terendah itu biasanya pindah ke kota dari desa-desa sekeliling kota itu (berbeda dengan pegawai-pegawai yang barangkali lahir beberapa ribu mil jauhnya dari tempat itu). Mereka selalu pulang mudik ke desanya. Kebanyakan anggota kelompok ini, sekurang-kurangnya generasi pertamanya, tinggal dalam suatu lingkungan yang umumnya terdiri dari kelompok suku bangsa dan bahasa yang sama, terus berbicara dengan mempergunakan bahasa daerah aslinya di rumah dan tetap mempertahankan pola kebudayaan daerah asal mereka dengan beberapa variasi kota.