• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.6. Nilai Budaya dan Tipologi Budaya

Menurut Koentjaraningrat (1993), sistem nilai budaya (cultural value system) merupakan bagian dari adat-istiadat dengan tingkat yang paling abstrak. Terdiri dari konsepsi-konsepsi dalam pikiran sebagian besar suatu warga masyarakat tentang hal-hal yang harus mereka anggap paling bernilai dalam hidup. Suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi tingkah laku manusia. Sistem-sistem tata kelakuan manusia yang lebih konkret, seperti aturan-aturan khusus, hukum dan norma-norma, juga berpedoman pada sistem nilai-budaya itu. Sementara itu, sikap mental adalah suatu disposisi atau keadaan mental dalam jiwa dan diri seorang individu untuk bereaksi terhadap lingkungannya (baik lingkungan manusia atau masyarakatnya, baik lingkungan alamiahnya, maupun lingkungan fisiknya). Sikap mental dapat dipengaruhi oleh nilai budaya, dan sering juga bersumber kepada sistem nilai budaya.

Grondona, 1999, dalam Harrison dan Hutington (2006) mengemukakan bahwa dari beragam studi kasus yang telah dianalisis oleh Hutington, ia berusaha membuat tipologi budaya dimana dua tipe ideal sistem saling berhadapan, yaitu yang secara total memihak pembangunan ekonomi dan yang menentang habis- habisan. Tipologi tersebut mencakup dua puluh faktor yang dipandang sangat berbeda dalam budaya yang memihak dan menolak pembangunan. Tipologi ini

sebenarnya ditujukan untuk negara Argentina dan Amerika Latin. Namun, tipologi tersebut masih cukup relevan dalam penggunaan yang lebih luas seperti sebagai alat analisis dengan memilih bagian dari tipologi tersebut yang paling sesuai.

1. Agama

Grondona mengemukakan bahwa menurut Max Weber, terdapat dua aliran agama sebagai contoh, yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi. Yang pertama, aliran agama yang menunjukkan keberpihakan terhadap kaum miskin dibandingkan dengan kaum kaya. Sementara yang kedua adalah yang menunjukkan keberpihakan kepada kaum kaya dibandingkan kaum miskin.

Bila aliran pertama yang dominan dalam suatu negara, maka pembangunan ekonomi akan sulit. Menurutnya, kaum miskin akan merasa dibenarkan dengan kemiskinan mereka dan yang kaya akan merasa tidak nyaman karena mereka melihat diri sendiri sebagai pendosa. Sebaliknya, bila aliran kedua yang dominan, maka hal ini akan menunjang pembangunan ekonomi. Kaum kaya akan merayakan kesuksesan mereka sebagai bukti berkah Tuhan, dan kaum miskin akan melihat keadaan mereka sebagai hukuman Tuhan. Baik pihak yang kaya maupun pihak yang miskin mempunyai dorongan yang kuat untuk memperbaiki kondisi mereka melalui pengumpulan kekayaan dan investasi. Dalam konteks tipologi ini, aliran pertama menyokong nilai-nilai yang menolak pembangunan ekonomi, sedangkan aliran kedua menyokong nilai yang memihak pembangunan.

2. Kepercayaan dalam individu

Mesin utama pembangunan ekonomi adalah kerja dan kreativitas individu- individu. Sikap seperti ini memungkinkan untuk ditemukannya penemuan baru, namun hal ini dapat terwujud bila terdapat suatu iklim kebebasan. Dengan demikian, masing-masing individu dapat memegang kendali atas diri mereka. Bila masing-masing individu merasa ada yang bertanggung jawab atas diri mereka, maka mereka cenderung mengurangi upaya mereka dalam berusaha. Dalam kasus lain, bila masing-masing individu diarahkan untuk memikirkan ataupun mempercayai sesuatu, maka konsekuensinya adalah hilangnya motivasi

dan kreativitas. Selain itu, hal tersebut konsekuensinya adalah pilihan sikap antara kepatuhan atau pembangkangan.

3. Tatanan moral

Tingkat dasar moralitas pada masing-masing individu dapat digolongkan tiga tingkat dasar. Pertama, tingkat moralitas yang tertinggi yaitu sikap mengutamakan kepentingan orang lain dan meniadakan kepentingan sendiri. Kedua, tingkat moralitas pertengahan atau seperti yang diistilahkan Raymon Aron

dengan ”egoisme yang masuk akal”. Masing-masing individu bertindak masuk akal mencari kesejahteraannya sendiri dalam batasan-batasan tanggungjawab sosial dan hukum. Sementara, tingkat moralitas yang terendah yaitu sikap yang tidak menghormati hak-hak orang lain dan hukum, licik dengan kemunafikan dimana-mana (imoralitas).

Dalam budaya yang memihak pembangunan, terdapat banyak kesesuaian yang lebih fleksibel pada hukum dan norma sehingga dapat diwujudkan. Dengan demikian, hukum moral dan realitas dapat berjalan seiring. Sebaliknya, dalam budaya yang menolak pembangunan, terdapat dua dunia yang tidak berhubungan sama sekali, seperti pada tingkat moralitas tertinggi dan terendah yang telah dijelaskan.

4. Dua konsep kekayaan

Dalam masyarakat yang menolak pembangunan, kekayaan dilihat dari sudut pandang apa yang ada, sementara yang memihak pembangunan memandang hal itu dari sisi apa yang belum ada. Di negara-negara yang masih tertinggal, kekayaan yang pokok terletak pada tanah dan apa yang diperoleh dari tanah itu. Di negara maju, kekayaan pokok terletak pada proses inovasi yang menjanjikan. 5. Dua pandangan tentang persaingan

Kebutuhan bersaing untuk mencapai kekayaan dan keunggulan mencirikan masyarakat yang memihak pembangunan, tidak hanya bidang ekonomi namun juga dalam berbagai hal dalam kehidupan masyarakat. Pada masyarakat yang menolak pembangunan, persaingan dianggap memiliki nilai-nilai yang negatif, yang mencerminkan pengesahan kedengkian. Sekalipun masyarakat ini mencela persaingan dan menghargai kerjasama, namun kenyataannya kerja sama justru sering terjadi dalam masyarakat kompetitif. Sesungguhnya, persaingan adalah

bentuk kerja sama yang menguntungkan kedua pesaing karena mereka dipaksa untuk melakukan yang terbaik. Persaingan membantu perkembangan demokrasi, kapitalisme dan perbedaan pendapat.

6. Dua gagasan keadilan

Dalam masyarakat yang menolak pembangunan, keadilan distributif hanya mementingkan generasi saat ini. Kecenderungan mengutamakan masa kini juga tercermin dalam sikap yang cenderung mengkonsumsi ketimbang menabung. Sebaliknya, masyarakat yang memihak pembangunan akan mendefinisikan keadilan distributif sebagai sesuatu yang melibatkan kepentingan generasi yang akan datang. Kecenderungan mengutamakan masa yang akan datang tercermin dalam sikap yang cenderung menabung dibandingkan mengkonsumsi.

7. Nilai kerja

Kerja tidak terlalu dihargai dalam masyarakat yang menolak kemakmuran. Hal ini merupakan refleksi aliran filsafat yang sudah ada sejak zaman Yunani kuno. Pengusaha dan pekerja rendahan mempunyai nilai martabat yang lebih rendah. Nilai martabat yang dianggap tinggi adalah intelektual, seniman, politisi, pemimpin agama, dan pemimpin militer. Nilai tersebut kemudian direformasi dengan membalikkan sistem skala martabat sehingga mengabadikan etika kerja. Seperti yang diteliti Max Weber, juga interpretasi Calvinis, sistem nilai terbalik yang sama inilah yang sangat bisa menjelaskan kemakmuran Eropa Barat dan Amerika Utara dan Asia Timur dan kemiskinan relatif Amerika Latin dan wilayah dunia ketiga lainnya.

8. Peranan kepercayaan yang menyimpang dari ajaran gereja

Martin Luther dalam tesisnya mengenai interpretasi bebas dari injil menentang dogmatis yang menganggap kejahatan yang tak termaafkan bukanlah dosa melainkan kepercayaan yang menyimpang dari ajaran gereja. Namun pemikiran yang menggugat ajaran lama itulah salah satu yang menghasilkan inovasi. Sementara inovasi adalah mesin penggerak ekonomi.

9. Mendidik bukanlah mencuci otak

Dalam sistem nilai yang memihak pembangunan, bentuk pendidikan yang dimaksud adalah yang membantu individu menemukan kebenarannya sendiri, bukan pendidikan yang mendikte apa itu kebenaran. Sementara dalam sistem-

sistem nilai yang resisten terhadap pembangunan, pendidikan merupakan proses yang menyebarkan dogma, menghasilkan para konformis dan pengikut.

10. Makna asas manfaat

Dunia yang berkembang menjauhkan diri dari teori yang tidak dapat diuji dan lebih menyukai untuk mengikuti yang secara praktis dapat diuji dan berguna. Kondisi lainnya, tradisi intelektual di Amerika Latin lebih memusatkan perhatian kepada visi alam semesta yang hebat. Kondisi-kondisi tersebut tidak menguntungkan dalam pembangunan.

11. Kebaikan-kebaikan kecil

Masyarakat yang maju menghargai serangkaian kebaikan kecil seperti sebuah pekerjaan dituntaskan dengan baik, kerapian, kesantunan, maupun ketepatan waktu. Semua itu menunjang efisiensi dan keharmonisan dalam hubungan manusia. Hal ini dianggap tidak penting dalam budaya yang resisten. Sebagian dari mereka menekankan keinginan-keinginan individu, sementara yang lain menganggap yang lebih penting adalah kebajikan tradisional yang besar seperti halnya cinta, keadilan, keberanian dan keluhuran budi. Meski demikian, kebajikan kecil merupakan ciri masyarakat dimana orang lebih menghargai kebutuhan orang lain.

12. Fokus waktu

Waktu dapat dibagi menjadi empat kategori, masa lampau, sekarang, masa depan yang dekat, dan masa depan yang jauh atau alam baka. Fokus waktu dari masyarakat maju adalah masa depan yang berada dalam jangkauan, karena hal ini dapat dikendalikan atau direncanakan. Sementara itu, ciri-ciri budaya tradisional merupakan pengagung masa lalu. Selain itu, budaya tradisional memusatkan perhatian pada masa datang yang jauh, atau kehidupan di alam baka.

13. Rasionalitas

Masyarakat maju dicirikan dengan penekanannya pada rasionalitas. Orang yang rasional memperoleh kepuasan saat memperoleh berbagai pencapaian kecil yang merupakan bagian dari kemajuan. Sebaliknya, budaya pramodern menekankan pada proyek-proyek mahabesar seperti piramid, bendungan aswan dan revolusi-revolusi.

14. Kewenangan

Dalam masyarakat yang rasional, kekuasaan terletak pada hukum. Ketika supremasi hukum ditegakkan, masyarakat berfungsi sesuai rasionalitas yang dihubungkan dengan hukum alam yang logis dan permanen. Sementara dalam masyarakat yang resisten, kewenangan pemimpin serupa dengan Tuhan. Masyarakat mencoba untuk menduga keinginan yang sewenang-wenang dari mereka yang berkuasa. Dengan demikian terjadi ketidakstabilan dalam masyarakat.

15. Pandangan dunia

Dalam budaya yang memihak pembangunan, dunia terlihat seperti panggung aksi yang memberi kesempatan bagi manusia untuk melakukan sesuatu agar dapat mengubahnya menjadi lebih baik. Dalam budaya yang menolak pembangunan, dunia dirasakan sebagai sebuah entitas besar dengan kekuatan- kekuatan yang tidak bisa dilawan. Kekuatan ini melahirkan nama: Tuhan, setan, konspirasi internasional yang kuat, kapitalisme, imperialisme, marxisme, zionisme. Masyarakat dalam budaya ini cenderung memikirkan bagaimana menyelamatkan diri sendiri, sering melalui perang suci yang penuh khayalan. Mereka cenderung terombang-ambing antara fanatisme dan sinisme.

16. Pandangan hidup

Dalam budaya yang maju, kehidupan dipandang sesuatu yang akan diwujudkan oleh masing-masing individu (protagonis). Sebaliknya dalam budaya yang resisten, kehidupan dipandang sebagai sesuatu yang terjadi pada masing- masing individu. Mereka pasrah menerima hal itu.

17. Keselamatan dari atau di dunia

Dalam konsep yang menolak pembangunan, tujuan yang ingin dicapai adalah menyelamatkan seseorang dari dunia. Menurut tradisi katolik dunia adalah

“kefanaan”. Untuk menyelamatkan seseorang darinya adalah dengan menahan

godaan demi pencarian di dunia lain, alam baka. Tapi bagi orang protestan, keselamatan di dunia lain tergantung pada kesuksesan usaha-usaha individu untuk mengubah dunia.

18. Dua khayalan

Baik budaya yang cenderung memihak maupun menolak kemajuan memiliki angan-angan. Dalam budaya progresif, dunia bergerak maju secara perlahan mencapai angan-angan melalui kreativitas dan usaha individu. Dalam budaya yang resisten, individu mencari khayalan awal yang berada di luar jangkauan.

19. Sifat dasar optimisme

Dalam budaya yang resisten, si optimis adalah orang yang berharap bahwa kemujuran, dewa-dewa ataupun pihak penguasa, memihak kepadanya. Sementara dalam budaya yang memihak pembangunan, si optimis adalah orang yang berkeputusan untuk melakukan apa pun yang diperlukan untuk menjamin datangnya takdir yang menyenangkan. Mereka yakin bahwa apa yang dilakukan akan menimbulkan perbedaan.

20. Dua visi demokrasi

Budaya yang menolak pembangunan masih memegang tradisi warisan berupa visi demokrasi absolutisme. Raja memegang kekuasaan yang absolute dalam mengatur masyarakat. Sementara visi demokrasi dalam budaya maju menganut demokrasi konstitusional yang liberal. Kekuasaan politik menyebar di antara sektor-sektor yang berbeda dan hukum adalah kekuasaan tertinggi.

2.7. Beberapa Hasil Penelitian yang Berkaitan dengan Penduduk Betawi dan